Ketika Wanita Mulai Menggugat Eksistensi Pernikahan
Arus modernisasi dan globalisasi turut
mengubah pola relasi pria-wanita, karena seiring dengan canggihnya alat
komunikasi dan maraknya media sosial semacam facebook, twitter, weChat, skype,
line, dan lain-lain maka berpengaruh pula pada hilangnya sekat dari hubungan
pergaulan pria dan wanita.
Di zaman yang serba modern ini
inisiator dalam hal gugat menggugat perceraian ternyata lebih banyak didominasi
perempuan. Terdapat beberapa sebab mengapa hal itu bisa terjadi, tentu saja
diantaranya karena terdapat faktor ekonomi dimana penghasilan suami tidak
mencukupi kebutuhan rumahtangga, adanya faktor sosial, dan gangguan dari
hadirnya orang ketiga (PIL/WIL).
Gangguan dalam membangun rumah
tangga diantaranya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
1. Jenuh
Pada Pasangan
Mungkin
bagi para muda-mudi yang sedang jatuh cinta atau bagi para pengantin baru,
mereka tidak percaya bahwa suatu saat mereka mengalami perasaan jenuh atau
bosan pada pasangannya. Namun mungkin bagi mereka yang sudah menjalani 10 tahun
kehidupan pernikahan akan muncul rasa jenuh dan bosan pada pasangannya.
Bagaimana tidak, ketika telah menikah, pasangan suami istri akan sering
berinteraksi. Akan timbul masalah-masalah kecil, percekcokan dan pertengakaran
kecil. Yang bila hal ini tidak bisa dimenej dengan baik maka hal itu akan
tumbuh dan menjadi permasalahan serius, bahkan bisa jadi bom waktu.
Seiring
berjalannya waktu, fisik pasangan tentu akan berubah. Mungkin kasih sayang dan
perhatian pasangan juga akan berkurang. Sebab perhatian mereka akan tersita
oleh kesibukan pekerjaan atau hadirnya buah hati. Yang kesemua ini bisa saja
akan muncul dengan sendirinya dalam perjalanan mengarungi bahtera pernikahan.
Bahayanya adalah bila rasa jenuh, bosan dan hambar pada “rasa” pernikahan
tersebut justru menjadi sebab dari keinginan untuk mencari pelampiasan pada
pihak ketiga untuk mengusir rasa jenuh itu. Namun bila rasa jenuh itu bisa
dikelola dan dikendalikan serta dicarijalan keluarnya maka kehidupan pernikahan
akan tetap dapat dipertahankan.
Islam
menawarkan sebuah solusi untuk mengusir rasa jenuh tersebut. Dalam al-Qur’an
Surat Ar-Rum ayat 21 dijelaskan sebagai berikut:
Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum:21)
Solusinya
menurut Al-Qur’an yaitu terletak pada adanya landasan MAWADDAH dan RAHMAH dalam
pernikahan. MAWADDAH adalah cinta yang ditimbulkan dari adanya daya tarik
terhadap lawan jenisnya. Mungkin ini hanya terbatas pada usia muda, bila
penampilan fisik seorang pria masih ganteng dan gagah, dan wanita masih muda,
cantik dan mulus. Namun bila penampilan fisik yang bersifat lahiriyah itu sudah
tidak lagi menarik, maka satu-satunya perasaan yang harus dikembangkan adalah
sifat RAHMAH atau kasih sayang.
2. Hasrat
Biologis Tidak Terpenuhi
Dalam
membangun sebuah rumah tangga terdapat sebuah pepatah, “Kebutuhan bawah perut
itu lebih dominan dari pada kebutuhan perut”. Bahkan, bila kita tarik kearah
perilaku korup para pejabat kita, maka bisa dipastikan terdapat wanita-wanita
sebagai “harem” untuk pelampiasan kebutuhan “bawah perut”, sebut saja diantaranya
adalah Fathanah dan Luthfi Hasan Ishaq.
Karena
pentingnya pemenuhan kebutuhan bawah perut itu, maka hendaknya setiap pasangan
suami-isteri tidak mengabaikan hal tersebut meski sibuk, karena bertambahnya
umur. Karena untuk urusan yang satu itu tidak ada istilah “tua” atau “capek”
untuk memberikan pada pasangannya. Bahkan dalam sebuah kisah Nabiyullah Daud
A.S. pernah berdoa:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ زَوْجَةٍ تُشَيِّبُنِيْ
قَبْلَ الْمُشِيْبِ
Artinya
: “Ya Allah, aku mohon perlindungan Engkau dari isteri yang menganggap aku
sudah tua”.
Namun
bila alasan karena tidak terpenuhinya hasrat biologis itu disebabkan faktor
“anin” (impoten), maka ada baiknya kita mengikuti nasehat Umar Bin Khattab yang
pernah menyatakan tentang keadaan suami/istri yang mengalami lemah syahwat;
يُؤَجَّلُ سَنَةً فَإِنْ قَدَرَ عَلَيْهَا، وَإِلاَّ فَرَّقَ
بَيْنَهُمَا وَلَهَا الْمَهْرُ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ (رواه البيهقي)
Artinya
: “Beri tempo satu tahun, bila bisa sembuh (pernikahannya dilanjutkan) dan
bila tidak, ia diceraikan dan isterinya mendapat mahar dan harus iddah”
(HR. Al Baihaqi).
3. Hadirnya Pihak Ketiga (Tergoda
PIL/WIL)
Hancurnya
sebuah pernikahan dijaman ini sering disebabkan karena adanya pihak ketiga yang
hadir dan menjadi teror bagi suami/istri. Hal ini bukanlah suatu hal yang
mustahil, bila seorang isteri telah tertarik kepada lelaki lain dan tergoda
padanya, atau sebaliknya, bila seorang suami tergila-gila pada wanita lain dan
tergoda padanya. Maka bisa dipastikan, bahtera rumah tangga telah terancam untuk
kandas ditengah jalan.
Dalam
sebuah hadits diriwayatkan bahwa suatu saat pada zaman Rasulullah SAW.,
terdapat seorang isteri sahabat yang gampang tergoda tertarik dengan lelaki
lain dan membiarkan dirinya disentuh oleh pria tersebut. Karena tidak terima,
maka sang suami lapor kepada Rasulullah SAW., lalu beliau (Nabi) berkata :
“Ceraikanlah isterimu”. Akan tetapi lelaki tersebut menolaknya. Kemudian
Rasulullah berkata lagi: “Bersenang-senanglah engkau dengannya” (HR. Ibnu
Syaibah).
Berdasar
hadits tersebut ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa bila ada seorang
istri yang tertarik kepada lelaki lain bahkan membiarkan dirinya disentuh
lelaki tersebut, asal belum sampai berzina, maka suaminya diberi kebebasan
untuk memilih antara menceraikan isterinya atau tetap mempertahankan
pernikahannya.
4. KDRT
Kekerasan
dalam rumah tangga sering menjadi sebab dari hancurnya perkawinan. Banyak oknum
yang justru menjadikan ayat al-qur’an sebagai justifikasi dari perilaku
menyimpang tersebut. Memang, dalam Al-Qur’an, Allah SWT. berfirman:
“….. dan isteri-isteri yang kamu
khawatirkan kedurhakaannya, maka nasehatilah mereka, tinggalkanlah mereka di
tempat tidur sendirian dan pukullah mereka. Jika mereka telah taat kepadamu,
maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Ayat
tersebut bukan melegalkan seseorang untuk menganiaya pasangannya, namun ayat
tersebut justru mengajarkan bahwa dalam sebuah pernikahan suami wajib mendidik
dan menasehati istrinya. Dia harus bisa menjadi pemimpin dan imam yang baik
bagi istrinya. Tindakan “pukul” bukanlah langkah pertama yang dikedepankan,
namun langkah terakhir untuk menyadarkan perilaku “nusyuz” /durhakanya seorang
istri.
Islam
justru mengedepankan dan mengutamakan cara mendidik istri dengan “menasehati”.
Bila cara pertama itu tidak bisa, maka terdapat cara kedua yaitu pisah ranjang,
dan terakhir baru cara “kontak fisik dengan memukul”. Namun pukulan itu
bukanlah pukulan yang menyakiti, apalagi menyiksa dan melukai. Namun pukulan
itu hanyalah pukulan “sayang” untuk menyadarkan seorang istri.
5. Aspek
Ekonomi
Dijaman
ini, ekonomi sering dituding menjadi sebab utama terjadinya perceraian. Hal
tersebut diperparah dengan penafsiran terhadap kesetaraan gender, yang makin melenceng.
Bahkan bagi para wanita karier peran suami tidak lagi dominan, sebab mereka
menganggap toh tanpa suami mereka masih bisa mencukupi kebutuhan hidupnya
sendiri. Kini, pola pikir perempuan semakin merasa mampu dan bisa berdiri
sendiri (bekerja) tanpa suami. Dan bisa ditebak, pada akhirnya mereka bisa saja
menjadi semena-mena kepada suami, apalagi bila kedudukan, jabatan, dan uang
yang dikumpulkan oleh istri jauh melebihi pendapatan suami.
Sementara
kesalahan penafsiran kesetaraan gender membuat perempuan seringkali membantah
jika diperingatkan suami. Padahal, konsep sebuah keluarga seharusnya, suami
jadi pemimpin dan segala sesuatu atau perintahnya yang baik, harus selalu
ditaati oleh istri. Terlebih, emosional perempuan lebih tinggi dari laki-laki, yang
membuatnya sulit dikendalikan. Akibatnya, saat istri tidak puas sedikit saja,
langsung meminta cerai tanpa mau peduli penjelasan dari suaminya. Sebagaimana
dinyatakan dalam sebuah ayat;
“Orang-orang yang mampu hendaklah
memberi belanja menurut kemampuannya. Dan orang yang sedikit rizkinya hendaklah
memberikan belanja dari harta yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah
tidak membebankan kepada seseorang di luar kemampuan yang diberikan-Nya
kepada-Nya. Allah akan memberikan kemudahan sesudah kesulitan” (Ath
Thalaq/65 : 7).
Akhir
dari tulisan ini, tentu saja untuk membangun sebuah negara dan bangsa yang
maju, modern, dan bermartabat harus diawali dengan membangun keluarga. Maka
ketika seseorang mencari pasangan hidup dan kemudian memutuskan untuk menikahinya,
tak ada salahnya menggunakan slogan “TELITI SEBELUM MEMBELI” .
![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar