Selasa, 22 April 2014

HANDOUT MATERI KONSELING, PENDAMPINGAN DAN PEMBERDAYAAN KELOMPOK KELUARGA SAKINAH



HANDOUT MATERI KONSELING, PENDAMPINGAN
 DAN PEMBERDAYAAN KELOMPOK KELUARGA SAKINAH 

KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN KALIORI KAB. REMBANG 
TAHUN 2014
 
  1. Pendahuluan.
1.      Latar Belakang.
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang sakinah, sejahtera, selama-lamnya berdasarkan Ke-tuhanan Yang Mahas Esa. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.[1] Setiap orang menginginkan terciptanya tujuan perkawinan tersebut, dalam memperoleh keselamatan hidup di dunia dan akherat.
Dari keluarga sakinah inilah kelak akan terwujud masyarakat yang rukun, damai dan makmur baik marterial dan spiritual. Bahkan menjadi cita-ciata dan tujuan pembangunan nasional yang sedang dan akan terus dilaksanakan pemerintah dan rakyat Indonesia. Agar cita-cita dan tujuan tersebut dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya maka suami-isteri yang memegang peranan utama dalam mewujudkan keluarga sakinah.[2]
Namun dalam kenyataan peranan suami-isteri tidak terlepas dari ujian dan tidak sedikit yang tergoyahkan atau bahkan mengalami kehancuran rumahtangganya. Setiap bulan perceraian cenderung selalu terjadi. Ini dapat diamati dari putusan atau penetapan perceraian yang didaftarkan di Kantor Urusan Agama. Informasi di mas media atau media cetak dapat kita baca setiap hari  peristiwa terjadinya keluarga bermasalah dan tentunya masih banyak lagi peristiwa itu yang tidak terekspos.  Hal ini tidak terlepas dari factor-faktor yang menyebabkannya. Lihat alasan perceraian dalam UU tentang Perkawinan.[3]
Untuk mensikapi persoalan semacam ini, maka diluncurkanlah apa yang kita kenal dengan program gerakan pembinaan keluarga sakinah pada tahun 1993. Dalam program tersebut disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan perkawinan, suami-isteri tidak hanya dituntut memahami  tentang hak-hak dan kewajibannya sebagai suami isteri tetapi keduanya masih harus melakukan berbagai upaya yan d dapat mendorong kea rah tercapainya cita-cita untuk mewujudkan keluarga sakinah, yaitu:
a. Membina hubungan antara anggota keluarga dan lingkungan,
b. Melaksanakan pembinaan kesejahteraan keluarga,
c. Membina kehidupan beragama dalam keluarga, dan
d. Mewujudkan harmonisasi hubungan antara suami-isteri.[4]
Dari keempat upaya tersebut, maka kelompok kami dalam makalah ini hanya dkana membatasi pada perssoalan yang keempat yaitu bagaimana upaya harmonisasi dalam hubungan suami-isteri, dalam membina keluarga sakinah.
2.      Landasan Hukum.
a.       Al-Qur’an Surat ar-Rum ayat: 21.
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”[5]

b.      Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir
Artinya: “Ada empat factor terwujudnya kebahagiaan hidup seseorang (dalam keluarga), yaitu:  memiliki isteri yagn solihah, memiliki keturunan yang baik, hidup di lingkungan orang-orang soleh, dan memiliki pekerjaan di negerinya.”

c.       UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawiwnan, yaitu pasal 1:
“Perkawinan adalah ikatan lahiar batin anatara seorang pria dengan seorang wanita  sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Keetuhanan Yang Mahas Esa.”[6]

d.      Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
e.       KMA Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pembinaan Keluarga sakinah.
  1. Rumusan Masalah.
Dari uraian  di atas, kiranya  ada beberapa persoalan yang menarik untuk dikaji  dalam makalah ini, yaitu:
1.      Apakah yang dimaksud dengan harmonisasi hubungan suami isteri atau rumah tangga itu?
2.      Bagaimana  upaya-upaya apa saja yang dilakukan untuk keharmonisan hubungan suami-isteri dalam membina keluarga sakinah? 
3.      Apa akibat yang terjadi menyangkut ada atau tidak adanya keharmonisan keluarga?
C.    Upaya-Upaya Harmonisasi Hubungan Keluarga Dalam Membina Keluarga Sakinah

Sebelum memasuki pada pembahasan makalah ini, terlebih dahulu akan dikemukakan batasan-batasan berkaitan dengan pengertian judul makalah yang diangkat, yaitu: suami, isteri, harmonisasi, membina, keluarga  sakinah.
Suami  berarti kata yang takzim yaitu laki.[7] Selain sumai ada istilah ayah. Ayah adalah matahari keluarga. Atau suami dari isteri dan bapak dari anak-anak. Dia adalah matahari keluarga, sumber dari kehidupan sebuah keluarga dan manusia yang paling bertanggung jawab terhadap keluarga baik semasa masih di dunia ataupun kelak di akhirat di hadapan Allah SWT.[8]
Isteri berarti wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang bersuami, wanita yang dinikahi.[9] Selain Isteri ada nama lain yaitu ibu.  Ibu adalah isteri dari suami dan ibu bagi anak-anak. Ia adalah rembulan yang mengayomi, menjaga dan memberi keteduhan terhadap segenap anggota keluarga. Ibu adalah simbol kasih sayang dan tempat reproduksi sebuah keluarga. Islam sangat menjunjung tinggi derajat seorang ibu, oleh karena itu menghormati ibu berarti menghormati Allah.[10]
Harmonisasi berarti pengharmonisan, pencarian keselaarasan Harmonis berarti selaras, serasi; dan keharmoniosan: keadaan selaras, serasi, keserasian, keselarasan.[11] Upaya berarti usaha, syarat untuk menyampaikan, ikhtiar; berupaya: berikhtiar; mengupayakan: melakukan sesuatu untuk mencari akal, jalan dan sebagainya.[12] Membina berarti membangun.[13] Sedangkan penyebutan kata
Keluarga dalam al-Qur’an memiliki aneka lafal yang berbeda seperti: ahlun dan alun. Menurut Abdul Wahab Khallaf, pakar hukum Islam ditemukan sebanyak 70 ayat yang secara spesifik mengulas soal keluarga.[14] Sakinah berarti tenang atau tenteram[15].
Dari penjabaran tersebut, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa untuk mewujudkan keluarga sakinah perlu dilakukan upaya harmonisasi hubungan antara suami-isteri dalam rumahaa tangga.
Keluarga sakinah adalah sebuah keluarga yang memperoleh ketenangan dan ketenteraman jiwa dalam menjalankan tugas-tugas sosialnya , sesuai firman Allah QS. Ar-Rum: 21. Secara sosiologis, perkataan keluarga sakinah dapat pula disebut keluarga simetris. Namun sebagian orang menilai terdapat perbedaan antara keluarga simetris dengan keluarga sakinah.  Keluarga sakinah tidak hanya memiliki keseimbangan danan peran-peran domestik dan sosial (khilafah), tetapi terpenting keseimbangan dalam mewujudkan fungsinya sebagai hamba Allah (vertikal). Dengan demikian, keluarga sakinah adalah keluarga yang memperoleh ketentraman lahir dan batin, sejahtera duniawi dan ukhrowi, dan akhirnya menejadikan seluruh rangkaian kehidupannya sebagai sarana beribadah kepada Allah SWT.[16]
Untuk mewujudkan dan membina keluarga tersebut diperlukan upaya-upaya yang harus dilakukan, salah satunya adalah harmonisasi hubungan keluarga, khususnya suami-isteri. Sedangkan yang dimaksud dengan keluarga yang harmonis adalah struktur keluarga itu utuh, dan interaksi diantara anggota keluarga berjalan dengan baik, artinya hubungan psikologis di antara mereka cukup memuaskan dirasakan noleh setiap anggota keluarga.[17]
Untuk menciptakan sebuah keharmonisan hubungan suami-isteri dalam rumah tangga, sebelum pernikahan sudah sangat ditekankan terpenuhinya persyaratan nikah yang mengisyaratkan adanya faktor sebagai pendukung terciptanya keharmonisan keluarga, seperti syarat adanya batasan umur ---bagi calon penganten baik putra maupun putri yang sudah dianggap dewasa adalah sudah berusia 21 tahun. Jika calon isteri sudah berusia 16 tahun dan putra 19 tahun maka diharuskan ada surat ijin orang tua. Dan jika kurang dari usia tersebut baik putra maupun putri diharuskan mendapatkan ijin pengadilan[18] --- yang mencerminkan calon pasangan suami-isteri yang diharapkan dapat mempersiapkan diri sekaligus dapat beradaptasi dengan pasangannya masing-masing dalam berumaha tangga. Termasuk adanya kriteria keahlian dalam bertindak dan dapat mendengar perkataan yagn merupakan kriteria yagn harus dimiliki koleh calon suami.[19] 
Dari kriteria tersebut dapat kita pahami bahwa sejak awal pernikahan upaya harmonisasi dalam keluarga sudah menejadi sebuah keniscayaan. Dan jika tidak dapat memenuhi kriteria tersebut sebaiknya niat untuk menikah perlu dievaluasi lagi.
Termasuk juga adalah tentang persiapan-persiapan, baik persiapan lahir maupun batin. Persiapan lahir berupa persiapan fikriyah dan kesiapan fisik. Sedangkan persiapan batin adalah menyangkut persiapan ruhiyyah , yakni menikah adalah sebuah ibadah serta persiapan psikologis yaitu siap berbagi dengan orang ”asing”.[20]
Pada tahun pertama perkawinan, pasangan dalam meleburkan kepentingan dua dkepala dan seseorang menejadi satu kepentingan atas nama bersama. Pada masa ini pasangan memiliki serba positif tentang konsep pernikahan. Sikap positif tinkhing menjadi dasar setiap pasangan dalam mewujudkan kehidupan perkawinan yang kekal seperti yang mereka bayangkan.
Masa-masa pernikahan juga bisa menjadi masa-masa penuh percobaan karena penyesuaian awal ini butuh pengorbanan. Jika berhasil, pasangan akan memasuki masa-masa penyesuaian tahap berikutnya dengan landasan yang lebih kokoh. Sebaliknya, jika gagal menyesuaiakan diri dan menghabiskan banyak energi untuk memahami atau menuuntut pasangan agar sesuai dengan harapan, maka perkawinan akan disibukan dengan hal-hal kecil. Kalau dibiarkan akan menjadi besar.
Banyak sekali hal-hal yang menjadi hambatan dari tahun ketahun yang menjadi tantangan yang tentunya justru diharapkan dapat memperkuat kehidupan rumah tangga untuk memasuki tahap berikutnya yang lebih menantang. Adapun tantangan tersebut adalah:
a.       Sukar melepaskan gaya hidup lajang.
Banyak orang yang dmemasuki gerbang rumah tangaga dengan pemahaman bahwa pasangannya akan memahami gaya hidupnya saat melajang. Mayoritas manusia lupa bahwa dirinya telah menempuh hidup baru yang kemarin masih sendiri dan secara tiba-tiba harus terbiasa menejadi dewasa dan berstatus seorang suami atau isteri. Sebaiknya, hal ini menjadi persiapan bagi setiap yang akan menikah dan dibicarakan dengan sungguh-sungguh.
b.      Sulit beradaptasi. Yang didmaksud beradaptasi bukan hanya dengan si isteri tetapi dengan kehidupan baru yang ditempuhnya.  Ada pasangan yang mudah berbaur lingkungan tetapi ada juga yang sulit. Sebaiknya pasangan tidak terlalu menuntut dapat beradaptasi secepat kilat terhadap pasangannya.
c.       Ekspektasi berlebih. 
Umumnya, pasangan yang baru membayangkan kehidupan yang serba indah dan sempurna dalam menjalani kehidupan rurmah tangga. Kemudian merasa kecewa karena pasangannya tidak seperti yang ia bayangkan sejak mula. Dalam hal ini sebaiknya menerima kenyataan yang ada. Anggaplah kekurangan itu sebagai anugarah dan tantangan bagi kita untuk mengimbanginya dengan kelebihan kita.
d.      Sukar menyatukan pendapat.
Tak sedikit pasangan yang baru menikah hanya menghabiskan waktu berduanya dengan beragumentasi membicarakan hal-hal yang tak terlalu penting dan mempertahankan egoismenya. Namun setelah menikah, semua keputusan diambil harus dengan kesepakatan bersama. Tridak ada salahnya bila masing-masing belajar kompromi dan mengalah demi kesenangan yang lain.
e.       Masalah keuangan.
Pasangan yang berkarir sebelum menikah, mengalami banyak benturan mengenai keuangan bersama setelah memasuki gerbang rumah tangga. Kuangan rumah tangga modern yang makin fleksibel, sebenarnya jauh memudahkan pasangan yang sama-sama berpenghasilan sendiri untuk kompromi. Tinggal pilih mau tabungan bersama atau pengbagian pembiayaan rumaha tangga berdasarkan pos-posnya.
f.       Terusik masa lalu.
Setelah menikah, sebaiknya masa lalu disimpan di dalam hati saja. Bila bagian dari mana lalu kembali mengusik setelah kita berumah tangga, yang harus diingat adalah tanggung jawab terhadap komitmen pernikahan dengan pasangan. Biarlah masa lalu menjadi kenangan dan mulailah masa kini dengan harapan baru menuju masa depan yang bahagia.[21]
Tidak adanya keharmonisan hubungan suami-isteri dalam keluarga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor yang bersifat intern sendiri dan faktor yang bersifat ekstern. Adapun faktor yang bersifat intern antara lain adanya besar pasak dari pada tiang yang bersifat finansial, kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama dan sebagainya. Sedangkan faktor yang bersifat ekstern salah satunya adalah: adanya pengaruh negatif dari pihak ketiga.
Faktor-faktor tersebut sangat membahayakan terhadap ketentraman dan keberlangsungan  hidup berumah tangga. Antara lain dapat terjadinya perceraian, kenakalan remaja. Ketidakharmonisan atau broken home ini bisa terjadi karena salah satunya meninggla dunia, perceraian.
Berkaitan dengan hala tersebut diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari semua komponen keluarga, yaitu ayah, ibu, dan anak. Adapun upaya mewujudkan harmonisasi hubungan suami-isteri dapat dicapai dengan melalui:
a.       adanya saling pengertian
b.      saling menerima kenyataan
c.       saling menyessuaiikan diri
d.      Memupuk rasa cinta
e.       Melaksanakan asas musyawarah
f.       Suka memafkan
g.      Berperan serta untuk kemajuan bersama.[22]

Tahapan selanjutnaya, perlu adanya upaya dalam memupuk atau membina kemesraan suami-isteri tersebut dengan melalui:
a.       Kemitraan sejajar suami-isteri
b.      Saling memuji kelebihan dan menyempurnakan kekurangannya
c.       Memberikan hadiah
d.      Saling memberi nasishat
e.       Masing-masing mengangsikan diri
f.       Saling terbuka dan saling pengertian
g.      Menyatukan tujuan perkawinan
h.      Perkawinan bernilai ibadah.[23]

Selain tersebut diatas, baik dalam menciptakan ataupun memupuk serta membina keharmonisan keluarga perlu memperhatikan etika yang ada. Adapun etika tersebut adalah:
a.       Mendasarinya dengan taqwa dan ikhlas
b.      Selalu bermusyawarah
c.       Keterbuakaan
d.       Adil dan berimbang
e.       Memperhatiakan tugas utama
f.       Strata ketaatan jadi solusi
g.      Membangun kebersamaan dengan sholat berjamaah
h.      Memberi keteladanan dan meneladani
i.        Tepat saat memberi nasehat
j.        Mempedomani norma nash untuk diri bukan untuk menekan pihak lain
k.      Memperkuat hubungan batin
l.        Saling memuji[24].

  1. Kesimpulan dan Penutup
Dari pembahasan tersebut, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.      Dimaksud dengan keluarga yang harmonis adalah struktur keluarga itu utuh, dan interaksi diantara anggota keluarga berjalan dengan baik, artinya hubungan psikologis di antara mereka cukup memuaskan dirasakan noleh setiap anggota keluarga. Keharmonisan rumah tangga merupakan salah satu faktaor utama dalam membina keluarga sakinah.
2.      Upaya harmonisasi hubuangan keluarga dilakukan sejak awal pernikahan melalui tahapan-tahapan yang ada sebagai pijakan dalam menghadapi tantangan aatau ancaman yang menghadang serta upaya tersebut tidak hengkang dari etika pergaulan dalam rumah tangga
3.      Faktor-faktor ketidakharmonisan hubuangan suami isteri dapat bersifat intern dan ekstern. Dan ketidakharmonisan keluarga dapat menyebabkan antara lain terjadinya perceraian dan kenakalan remaja.


DAFTAR PUSTAKA


Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008), cet-2
Balai Diklat Semarang, Buku Panduan Diklat Pembina Keluarga Sakinah, 2009.
Departemen Gama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya

Departemen Agama RI, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Departemen Agama RI, Membina Keluaraga sakinah, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam  RI, 2007.

Depag RI, Membina Kelduarga sakinah, Jakarta: Depag RI, 2007.

Kartubi, Mashuri,  Baiti Jannati,  Ciputat: Yayasan Fajar Islam, 2007.

Lubis, HM. Ridwan, Prof. DR., Cetak Biru Peran Agama, Jakarta: Departemen Agama RI, 2005, cet-1.

Suharso, Drs.  dan Dra. Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Semarang: CV Widya Karya, 2005, cet-1.

Tarmuji, Drs., H., MA., Kuliah Pada Mata Pelajaran Fiqih Munakahat dan Etyika Perkawinan, diklat Pembina Keluarga sakinah, Hari sabtu, 07 Februari 2009.

Wilis, Sofyan S., Drs., Problem Remaja dan Pemecahannya, Bandung: Angkasa,  1993.








[1] Departemen Agama RI, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[2]Departemen gama RI, Membina Keluarga sakinah, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam  RI, 2007) hlm. 1.
[3] Departemen Agama RI, UU tentang ……., hlm. 15.
[4] Departemen Agama RI, Membina………., hlm. 25.
[5] Departemen Gama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya.
[6] Departemen Agama RI, UU Nomon 1 ……..,  hlm. 1.
[7] Drs.  Suharso dan Dra. Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: CV Widya Karya, 2005), cet-1, hlm. 500.
[8] Mashuri Kartubi, Baiti……, hlm. 48.
[9] Ibid, hlm. 193.
[10] Mashuri Kartubi, Baiti ….., hlm. 56.
[11] Ibid, hlm. 166.
[12] Ibid, hlm. 620.
[13] Ibid, hlm. 434.
[14] Mashuri Kartubi, Baiti….., hlm. 43.
[15] Prof. DR. HM. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), cet-1, hlm. 146.
[16] Prof. DR. HM Ridwan lubis, Cetak Biru….., hlm. 147.
[17] Drs. Sofyan S. Wilis, Problem Remaja dan Pemecahannya, (bandung: Angkasa,  1993)hlm. 64.
[18] Depag RI, Undang-Undang Perkawinan
[19]Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008), cet-2, hlm. 27.
[20]Mashuri Kartubi, Baiti….., hlm. 34-36.
.[21] Mashuri Kartubi, Baiti….., hlm. 38—42
[22] Depag RI, Membina Kelduarga sakinah, (Jakarta: Depag RI, 2007), hlm. 26-29.
[23] Balai Diklat semarang, Buku Panduan diklat Pembidna Kelduarga sakinah, 2009, hlm. 4-5.
[24] Drs. H. Tarmuji, MA., Kuliah Pada Mata Pelajaran Fiqih Munakahat dan Etyika Perkawinan, diklat Pembina Keluarga sakinah, Hari sabtu, 07 Februari 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar