HANDOUT MATERI KONSELING, PENDAMPINGAN
DAN PEMBERDAYAAN KELOMPOK KELUARGA SAKINAH
KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN KALIORI KAB. REMBANG
TAHUN 2014
- Pendahuluan.
1.
Latar Belakang.
Tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang sakinah, sejahtera, selama-lamnya
berdasarkan Ke-tuhanan Yang Mahas Esa. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.[1]
Setiap orang menginginkan terciptanya tujuan perkawinan tersebut, dalam
memperoleh keselamatan hidup di dunia dan akherat.
Dari keluarga
sakinah inilah kelak akan terwujud masyarakat yang rukun, damai dan makmur baik
marterial dan spiritual. Bahkan menjadi cita-ciata dan tujuan pembangunan
nasional yang sedang dan akan terus dilaksanakan pemerintah dan rakyat
Indonesia. Agar cita-cita dan tujuan tersebut dapat terlaksana dengan
sebaik-baiknya maka suami-isteri yang memegang peranan utama dalam mewujudkan
keluarga sakinah.[2]
Namun dalam
kenyataan peranan suami-isteri tidak terlepas dari ujian dan tidak sedikit yang
tergoyahkan atau bahkan mengalami kehancuran rumahtangganya. Setiap bulan
perceraian cenderung selalu terjadi. Ini dapat diamati dari putusan atau
penetapan perceraian yang didaftarkan di Kantor Urusan Agama. Informasi di mas
media atau media cetak dapat kita baca setiap hari peristiwa terjadinya keluarga bermasalah dan
tentunya masih banyak lagi peristiwa itu yang tidak terekspos. Hal ini tidak terlepas dari factor-faktor yang
menyebabkannya. Lihat alasan perceraian dalam UU tentang Perkawinan.[3]
Untuk mensikapi
persoalan semacam ini, maka diluncurkanlah apa yang kita kenal dengan program
gerakan pembinaan keluarga sakinah pada tahun 1993. Dalam program tersebut
disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan perkawinan, suami-isteri tidak hanya dituntut
memahami tentang hak-hak dan
kewajibannya sebagai suami isteri tetapi keduanya masih harus melakukan
berbagai upaya yan d dapat mendorong kea rah tercapainya cita-cita untuk
mewujudkan keluarga sakinah, yaitu:
a. Membina
hubungan antara anggota keluarga dan lingkungan,
b. Melaksanakan
pembinaan kesejahteraan keluarga,
c. Membina kehidupan beragama dalam
keluarga, dan
Dari
keempat upaya tersebut, maka kelompok kami dalam makalah ini hanya dkana
membatasi pada perssoalan yang keempat yaitu bagaimana upaya harmonisasi dalam
hubungan suami-isteri, dalam membina keluarga sakinah.
2.
Landasan Hukum.
a. Al-Qur’an Surat ar-Rum ayat: 21.
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”[5]
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir
Artinya: “Ada empat factor terwujudnya
kebahagiaan hidup seseorang (dalam keluarga), yaitu: memiliki isteri yagn solihah, memiliki
keturunan yang baik, hidup di lingkungan orang-orang soleh, dan memiliki
pekerjaan di negerinya.”
c. UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawiwnan,
yaitu pasal 1:
“Perkawinan adalah ikatan lahiar batin anatara
seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Keetuhanan Yang Mahas Esa.”[6]
d. Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam
e. KMA Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pembinaan
Keluarga sakinah.
- Rumusan Masalah.
Dari uraian di atas, kiranya ada beberapa persoalan yang menarik untuk
dikaji dalam makalah ini, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan harmonisasi
hubungan suami isteri atau rumah tangga itu?
2. Bagaimana upaya-upaya apa saja yang dilakukan untuk
keharmonisan hubungan suami-isteri dalam membina keluarga sakinah?
3. Apa akibat yang terjadi menyangkut ada
atau tidak adanya keharmonisan keluarga?
C.
Upaya-Upaya Harmonisasi
Hubungan Keluarga Dalam Membina Keluarga Sakinah
Sebelum
memasuki pada pembahasan makalah ini, terlebih dahulu akan dikemukakan
batasan-batasan berkaitan dengan pengertian judul makalah yang diangkat, yaitu:
suami, isteri, harmonisasi, membina, keluarga sakinah.
Suami berarti kata yang takzim yaitu
laki.[7] Selain sumai ada istilah ayah. Ayah adalah matahari keluarga. Atau
suami dari isteri dan bapak dari anak-anak. Dia adalah matahari keluarga,
sumber dari kehidupan sebuah keluarga dan manusia yang paling bertanggung jawab
terhadap keluarga baik semasa masih di dunia ataupun kelak di akhirat di
hadapan Allah SWT.[8]
Isteri berarti wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang bersuami, wanita
yang dinikahi.[9] Selain Isteri ada nama lain yaitu ibu. Ibu adalah isteri dari suami dan ibu bagi
anak-anak. Ia adalah rembulan yang mengayomi, menjaga dan memberi keteduhan
terhadap segenap anggota keluarga. Ibu adalah simbol kasih sayang dan tempat
reproduksi sebuah keluarga. Islam sangat menjunjung tinggi derajat seorang ibu,
oleh karena itu menghormati ibu berarti menghormati Allah.[10]
Harmonisasi berarti pengharmonisan, pencarian keselaarasan
Harmonis berarti selaras, serasi; dan keharmoniosan: keadaan
selaras, serasi, keserasian, keselarasan.[11] Upaya berarti usaha, syarat untuk menyampaikan, ikhtiar; berupaya:
berikhtiar; mengupayakan: melakukan sesuatu untuk mencari akal, jalan dan
sebagainya.[12] Membina berarti membangun.[13] Sedangkan penyebutan kata
Keluarga dalam al-Qur’an memiliki aneka lafal yang berbeda seperti: ahlun dan
alun. Menurut Abdul Wahab Khallaf, pakar hukum Islam ditemukan sebanyak
70 ayat yang secara spesifik mengulas soal keluarga.[14] Sakinah berarti
tenang atau tenteram[15].
Dari penjabaran tersebut, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa untuk
mewujudkan keluarga sakinah perlu dilakukan upaya harmonisasi hubungan antara
suami-isteri dalam rumahaa tangga.
Keluarga sakinah adalah sebuah keluarga yang memperoleh ketenangan dan
ketenteraman jiwa dalam menjalankan tugas-tugas sosialnya , sesuai firman Allah
QS. Ar-Rum: 21. Secara sosiologis, perkataan keluarga sakinah dapat pula
disebut keluarga simetris. Namun sebagian orang menilai terdapat perbedaan
antara keluarga simetris dengan keluarga sakinah. Keluarga sakinah tidak hanya memiliki
keseimbangan danan peran-peran domestik dan sosial (khilafah), tetapi
terpenting keseimbangan dalam mewujudkan fungsinya sebagai hamba Allah
(vertikal). Dengan demikian, keluarga sakinah adalah keluarga yang memperoleh
ketentraman lahir dan batin, sejahtera duniawi dan ukhrowi, dan akhirnya
menejadikan seluruh rangkaian kehidupannya sebagai sarana beribadah kepada
Allah SWT.[16]
Untuk mewujudkan dan membina keluarga tersebut diperlukan upaya-upaya yang
harus dilakukan, salah satunya adalah harmonisasi hubungan keluarga, khususnya
suami-isteri. Sedangkan yang dimaksud dengan keluarga yang harmonis adalah
struktur keluarga itu utuh, dan interaksi diantara anggota keluarga berjalan
dengan baik, artinya hubungan psikologis di antara mereka cukup memuaskan
dirasakan noleh setiap anggota keluarga.[17]
Untuk menciptakan sebuah keharmonisan hubungan suami-isteri dalam rumah
tangga, sebelum pernikahan sudah sangat ditekankan terpenuhinya persyaratan
nikah yang mengisyaratkan adanya faktor sebagai pendukung terciptanya
keharmonisan keluarga, seperti syarat adanya batasan umur ---bagi calon
penganten baik putra maupun putri yang sudah dianggap dewasa adalah sudah
berusia 21 tahun. Jika calon isteri sudah berusia 16 tahun dan putra 19 tahun
maka diharuskan ada surat ijin orang tua. Dan jika kurang dari usia tersebut
baik putra maupun putri diharuskan mendapatkan ijin pengadilan[18]
--- yang mencerminkan calon pasangan suami-isteri yang diharapkan dapat
mempersiapkan diri sekaligus dapat beradaptasi dengan pasangannya masing-masing
dalam berumaha tangga. Termasuk adanya kriteria keahlian dalam bertindak dan
dapat mendengar perkataan yagn merupakan kriteria yagn harus dimiliki koleh
calon suami.[19]
Dari kriteria tersebut dapat kita pahami bahwa sejak awal pernikahan upaya
harmonisasi dalam keluarga sudah menejadi sebuah keniscayaan. Dan jika tidak
dapat memenuhi kriteria tersebut sebaiknya niat untuk menikah perlu dievaluasi
lagi.
Termasuk juga adalah tentang persiapan-persiapan, baik persiapan lahir
maupun batin. Persiapan lahir berupa persiapan fikriyah dan kesiapan fisik.
Sedangkan persiapan batin adalah menyangkut persiapan ruhiyyah , yakni menikah
adalah sebuah ibadah serta persiapan psikologis yaitu siap berbagi dengan orang
”asing”.[20]
Pada tahun pertama perkawinan, pasangan dalam meleburkan kepentingan dua dkepala
dan seseorang menejadi satu kepentingan atas nama bersama. Pada masa ini
pasangan memiliki serba positif tentang konsep pernikahan. Sikap positif
tinkhing menjadi dasar setiap pasangan dalam mewujudkan kehidupan perkawinan
yang kekal seperti yang mereka bayangkan.
Masa-masa pernikahan juga bisa menjadi masa-masa penuh percobaan karena
penyesuaian awal ini butuh pengorbanan. Jika berhasil, pasangan akan memasuki
masa-masa penyesuaian tahap berikutnya dengan landasan yang lebih kokoh.
Sebaliknya, jika gagal menyesuaiakan diri dan menghabiskan banyak energi untuk
memahami atau menuuntut pasangan agar sesuai dengan harapan, maka perkawinan
akan disibukan dengan hal-hal kecil. Kalau dibiarkan akan menjadi besar.
Banyak
sekali hal-hal yang menjadi hambatan dari tahun ketahun yang menjadi tantangan
yang tentunya justru diharapkan dapat memperkuat kehidupan rumah tangga untuk
memasuki tahap berikutnya yang lebih menantang. Adapun tantangan tersebut
adalah:
a. Sukar melepaskan gaya hidup lajang.
Banyak orang yang dmemasuki
gerbang rumah tangaga dengan pemahaman bahwa pasangannya akan memahami gaya
hidupnya saat melajang. Mayoritas manusia lupa bahwa dirinya telah menempuh
hidup baru yang kemarin masih sendiri dan secara tiba-tiba harus terbiasa
menejadi dewasa dan berstatus seorang suami atau isteri. Sebaiknya, hal ini
menjadi persiapan bagi setiap yang akan menikah dan dibicarakan dengan
sungguh-sungguh.
b. Sulit beradaptasi. Yang didmaksud
beradaptasi bukan hanya dengan si isteri tetapi dengan kehidupan baru yang ditempuhnya. Ada pasangan yang mudah berbaur lingkungan
tetapi ada juga yang sulit. Sebaiknya pasangan tidak terlalu menuntut dapat
beradaptasi secepat kilat terhadap pasangannya.
c. Ekspektasi berlebih.
Umumnya, pasangan yang baru
membayangkan kehidupan yang serba indah dan sempurna dalam menjalani kehidupan
rurmah tangga. Kemudian merasa kecewa karena pasangannya tidak seperti yang ia
bayangkan sejak mula. Dalam hal ini sebaiknya menerima kenyataan yang ada.
Anggaplah kekurangan itu sebagai anugarah dan tantangan bagi kita untuk
mengimbanginya dengan kelebihan kita.
d. Sukar menyatukan pendapat.
Tak sedikit pasangan yang baru
menikah hanya menghabiskan waktu berduanya dengan beragumentasi membicarakan
hal-hal yang tak terlalu penting dan mempertahankan egoismenya. Namun setelah
menikah, semua keputusan diambil harus dengan kesepakatan bersama. Tridak ada
salahnya bila masing-masing belajar kompromi dan mengalah demi kesenangan yang
lain.
e. Masalah keuangan.
Pasangan yang berkarir sebelum
menikah, mengalami banyak benturan mengenai keuangan bersama setelah memasuki
gerbang rumah tangga. Kuangan rumah tangga modern yang makin fleksibel,
sebenarnya jauh memudahkan pasangan yang sama-sama berpenghasilan sendiri untuk
kompromi. Tinggal pilih mau tabungan bersama atau pengbagian pembiayaan rumaha
tangga berdasarkan pos-posnya.
f. Terusik masa lalu.
Setelah menikah, sebaiknya
masa lalu disimpan di dalam hati saja. Bila bagian dari mana lalu kembali
mengusik setelah kita berumah tangga, yang harus diingat adalah tanggung jawab
terhadap komitmen pernikahan dengan pasangan. Biarlah masa lalu menjadi
kenangan dan mulailah masa kini dengan harapan baru menuju masa depan yang
bahagia.[21]
Tidak
adanya keharmonisan hubungan suami-isteri dalam keluarga dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu faktor yang bersifat intern sendiri dan faktor yang
bersifat ekstern. Adapun faktor yang bersifat intern antara lain adanya besar
pasak dari pada tiang yang bersifat finansial, kurangnya pemahaman terhadap
ajaran agama dan sebagainya. Sedangkan faktor yang bersifat ekstern salah
satunya adalah: adanya pengaruh negatif dari pihak ketiga.
Faktor-faktor
tersebut sangat membahayakan terhadap ketentraman dan keberlangsungan hidup berumah tangga. Antara lain dapat
terjadinya perceraian, kenakalan remaja. Ketidakharmonisan atau broken home ini
bisa terjadi karena salah satunya meninggla dunia, perceraian.
Berkaitan
dengan hala tersebut diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari semua komponen
keluarga, yaitu ayah, ibu, dan anak. Adapun upaya mewujudkan harmonisasi
hubungan suami-isteri dapat dicapai dengan melalui:
a. adanya saling pengertian
b.
saling menerima kenyataan
c.
saling menyessuaiikan diri
d.
Memupuk rasa cinta
e.
Melaksanakan asas musyawarah
f.
Suka memafkan
g.
Berperan serta untuk kemajuan
bersama.[22]
Tahapan
selanjutnaya, perlu adanya upaya dalam memupuk atau membina kemesraan
suami-isteri tersebut dengan melalui:
a.
Kemitraan sejajar suami-isteri
b. Saling memuji kelebihan dan menyempurnakan
kekurangannya
c.
Memberikan hadiah
d.
Saling memberi nasishat
e.
Masing-masing mengangsikan diri
f.
Saling terbuka dan saling
pengertian
g.
Menyatukan tujuan perkawinan
h.
Perkawinan bernilai ibadah.[23]
Selain tersebut diatas, baik dalam
menciptakan ataupun memupuk serta membina keharmonisan keluarga perlu
memperhatikan etika yang ada. Adapun etika tersebut adalah:
a.
Mendasarinya dengan taqwa dan
ikhlas
b. Selalu bermusyawarah
c. Keterbuakaan
d. Adil dan berimbang
e. Memperhatiakan tugas utama
f. Strata ketaatan jadi solusi
g. Membangun kebersamaan dengan sholat berjamaah
h. Memberi keteladanan dan meneladani
i.
Tepat saat memberi nasehat
j.
Mempedomani
norma nash untuk diri bukan untuk menekan pihak lain
k. Memperkuat hubungan batin
l.
Saling
memuji[24].
- Kesimpulan dan Penutup
Dari pembahasan tersebut, kiranya dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1. Dimaksud dengan keluarga yang harmonis
adalah struktur keluarga itu utuh, dan interaksi diantara anggota keluarga
berjalan dengan baik, artinya hubungan psikologis di antara mereka cukup
memuaskan dirasakan noleh setiap anggota keluarga. Keharmonisan rumah tangga
merupakan salah satu faktaor utama dalam membina keluarga sakinah.
2. Upaya harmonisasi hubuangan keluarga dilakukan
sejak awal pernikahan melalui tahapan-tahapan yang ada sebagai pijakan dalam
menghadapi tantangan aatau ancaman yang menghadang serta upaya tersebut tidak
hengkang dari etika pergaulan dalam rumah tangga
3. Faktor-faktor ketidakharmonisan hubuangan
suami isteri dapat bersifat intern dan ekstern. Dan ketidakharmonisan keluarga
dapat menyebabkan antara lain terjadinya perceraian dan kenakalan remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa
Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008), cet-2
Balai Diklat Semarang, Buku Panduan Diklat Pembina Keluarga
Sakinah, 2009.
Departemen Gama RI,
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Departemen Agama RI, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Departemen Agama RI, Membina Keluaraga sakinah, Jakarta: Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam RI,
2007.
Depag RI, Membina Kelduarga sakinah, Jakarta: Depag RI, 2007.
Kartubi, Mashuri, Baiti Jannati, Ciputat: Yayasan Fajar Islam, 2007.
Lubis, HM. Ridwan, Prof.
DR., Cetak Biru Peran Agama, Jakarta: Departemen Agama RI, 2005, cet-1.
Suharso, Drs. dan Dra. Ana
Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Semarang: CV Widya Karya,
2005, cet-1.
Tarmuji, Drs., H., MA., Kuliah Pada Mata Pelajaran Fiqih Munakahat dan
Etyika Perkawinan, diklat Pembina Keluarga sakinah, Hari sabtu, 07 Februari
2009.
Wilis, Sofyan S., Drs., Problem Remaja dan Pemecahannya, Bandung:
Angkasa, 1993.
[1] Departemen Agama RI, UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
[2]Departemen gama RI, Membina
Keluarga sakinah, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam RI, 2007) hlm. 1.
[3] Departemen Agama RI, UU
tentang ……., hlm. 15.
[4] Departemen Agama RI, Membina……….,
hlm. 25.
[5] Departemen Gama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya.
[6] Departemen Agama RI, UU
Nomon 1 …….., hlm. 1.
[7] Drs. Suharso dan Dra. Ana Retnoningsih, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: CV Widya Karya, 2005), cet-1, hlm. 500.
[14] Mashuri Kartubi, Baiti…..,
hlm. 43.
[15] Prof. DR. HM. Ridwan Lubis, Cetak Biru
Peran Agama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), cet-1, hlm. 146.
[17] Drs. Sofyan S. Wilis, Problem Remaja
dan Pemecahannya, (bandung: Angkasa,
1993)hlm. 64.
[18] Depag RI, Undang-Undang Perkawinan
[19]Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa
Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008), cet-2, hlm. 27.
[20]Mashuri Kartubi, Baiti….., hlm.
34-36.
[22] Depag RI, Membina Kelduarga sakinah,
(Jakarta: Depag RI, 2007), hlm. 26-29.
[23] Balai Diklat semarang, Buku
Panduan diklat Pembidna Kelduarga sakinah, 2009, hlm. 4-5.
[24] Drs. H. Tarmuji, MA., Kuliah Pada Mata
Pelajaran Fiqih Munakahat dan Etyika Perkawinan, diklat Pembina Keluarga
sakinah, Hari sabtu, 07 Februari 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar