Al-Farabi
Abū Nasir
Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (870-950, Bahasa Persia: محمد فارابی ) singkat Al-Farabi adalah ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan. [1]
Ia juga dikenal dengan nama lain Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal
sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi , juga
dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan
Abunasir. [1]
Kemungkinan
lain adalah Farabi adalah seorang Syi’ah Imamiyah[2] (Syiah Imamiyah adalah salah satu aliran
dalam islam dimana yang menjadi dasar aqidah mereka adalah soal Imam) yang
berasal dari Turki.[3]
Kehidupan dan pembelajaran
Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia,
sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak dini ia digambarkan memiliki
kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang
dipelajari. [4] Pada
masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar. [4]
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan
musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk
menuntut ilmu di sana selama 20 tahun. [4]
Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di
Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi
kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil.[4] Ia
kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad. [4].
Tahun 940M, al Farabi melajutkan
pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. [5] Kemudian
al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950
M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah). [5]
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia
Islam. [1] Meskipun
kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani,
ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristotelesdan Plotinus dengan
baik. [5] Kontribusinya
terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. [5] Al-Farabi
telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa.[5] Selain
itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.[5]
Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru
kedua" setelah Aristoteles, karena
kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam
ilmu filsafat. [5]
Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya
menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik
Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam
konteks agama-agama wahyu.[5]
Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah
pemerintahan Sayf al Dawla [5] dan
di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang
dipimpin oleh seorang Khalifah.[5] Ia
lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap
sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik. [1]
Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan
dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan
mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan
pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara
Utama). [4]
Buah Pemikiran Karya
Selama hidupnya al Farabi banyak berkarya.
Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya al- Farabi dapat ditinjau
menjdi 6 bagian [1]
1. Logika
2. Ilmu-ilmu Matematika
3. Ilmu Alam
4. Teologi
5. Ilmu Politik dan kenegaraan
6. Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).
Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas
tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rejim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam.[1] Filsafat
politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama
mencerminkan rasionalisasi ajaranImamah dalam Syi'ah. [1]
Pemikiran tentang Asal-usul Negara dan Warga Negara
Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat
terbentuknya negara.[6] Oleh
karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang
lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu
Negara. [6] Menurut
Al-Farabi, negara atau kotamerupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu
memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian
kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah.[4] Negara
yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata
, menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.[4]
Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang
paling pokok dalam suatu negara. [4] yang
diikuti dengan segala prinsip-prinsipnyaprinsip-prinsipnya (mabadi) yang
berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar. [7]
Keberadaan warga negara sangat penting karena
warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara.[4] Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau
kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. [4] Mereka
juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu
seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.[4]
Negara Utama dianalogikan seperti tubuh
manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam
tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna.[4]. Ada tiga klasifikasi utama:
§
Pertama, jantung. Jantung merupakan organ
pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ
lainnya.[4]
§
Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini,
selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan
bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti : hati, limpa,
dan organ-organ reproduksi. [4]
§
Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya
bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.[4]
Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk[8], yaitu:
1. Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadilah): negara yang dipimpin oleh para
nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf; penduduknya merasakan kebahagiaan.
2. Negara Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah): negara yang
penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
3. Negara Orang-orang Fasik: negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan,
tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
4. Negara yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah): pada awalnya
penduduk negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara
utama, namun kemudian mengalami kerusakan.
5. Negara Sesat (Al-Madinah Ad-dallah): negara yang dipimpin oleh orang
yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak
dengan ucapan dan perbuatannya.
Pemikirannya Tentang Pemimpin
Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin
negara merupakan bagian yang paling penting dan paling sempurna di dalam suatu
negara. [6] Menurut
Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang
berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).[6]
Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the
first one – dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan karena
sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi
selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua. [4] Selanjutnya
al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi , namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara
Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. [4] Oleh
karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar