KELUARGA SAKINAH DAN TANTANGAN GLOBALISASI
Abstract
The following articledescribes the impactof globalization
toward the life of family.The description of this departsfromthe existence
ofhappy (sakinah) family, the globalization challengtoward the life of family,
and the alternative solution regardingthe negative effect of globalization
toward the existence of family.The negative effects for instance moral
decadence, life style, the disharmony relationship, the desacralization of
family, permissive. Hence, either according to Islam or western stated that to
build the happy family need and should refer to moral, spiritual, and religion
values as the basis of family life.
Kata
kunci: keluarga, globalisasi, bahagia, sejahtera, dan agama.
I. Pendahuluan
Keluarga merupakan fondasi bagi
berkembang majunya masyarakat. Keluarga membutuhkan perhatian yang serius agar
selalu eksis kapan dan di manapun. Perhatian ini dimulai sejak pra pembentukan
lembaga perkawinan sampai kepada memfungsikan keluarga sebagai dinamisator
dalam kehidupan anggotanya terutama anak-anak, sehingga betul-betul menjadi
tiang penyangga masyarakat.
Secara tegas dapat digarisbawahi bahwa tujuan
keluarga ada yang bersifat intern yaitu kebahagian dan kesejahteraan hidup
keluarga itu sendiri, ada tujuan ekstern atau tujuan yang lebih jauh yaitu
untuk mewujudkan generasi atau masyarakat muslim yang maju dalam berbagai
seginya atas dasar tuntunan agama. Keluarga merupakan sumber dari umat, dan
jika keluarga merupakan sumber dari sumber-sumber umat, maka perkawinan adalah
pokok keluarga, dengannya umat ada dan berkembang.[1]
Institusi keluarga yang merupakan
lembaga terkecil dalam sebuah masyarakat selalu dibutuhkan dimana dan kapan
pun, termasuk di era globalisasi seperti sekarang ini. Sebagai institusi yang
terdiri dari individu-individu sebagai anggota, keluarga harus berkembang dan
beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Era
globalisasi yang melahirkan banyak kreasi berbagai fasilitas untuk mempermudah
memenuhi kebutuhan manusia nampaknya membawa dampak yang cukup signifikan
terhadap kehidupan keluarga, baik dampak positif maupun negatif. Bagaimana
suatu keluarga akan mampu menyesuaikan diri dan mempertahankan eksistensinya di
era global ini?
Tulisan ini akan membahas
dampak-dampak globalisasi dan segala produknya terhadap kehidupan rumah tangga
atau keluarga; dimulai dengan membahas eksistensi keluarga sakinah, ancaman dan
tantangan globalisasi kehidupan keluarga serta alternatif solusi efek negatif
globalisasi terhadap kelangsungan kehidupan keluarga.
II. Pilar-Pilar Keluarga Sakinah
Kata sakinah diambil dari akar
kata yang terdiri atas huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna
ketenangan, atau anonim dari guncang dan gerak. Berbagai bentuk kata yang
terdiri atas ketiga huruf tersebut semuanya bermuara pada makna di atas. Rumah
dinamai maskan karena ia merupakan tempat untuk meraih ketenangan
setelah sebelumnya sang penghuni bergerak (beraktivitas di luar).[2]
Sedangkan menurut Quraish Shihab, sakinah terambil dari akar kata sakana
yang berarti diam atau tenangnya sesuatu setelah bergejolak.[3]
Penggunaan kata sakinah dalam
pembahasan keluarga pada dasarnya diambil dari Al-Quran surat al-Rum ayat 21 ”litaskunu
ilaiha” yang artinya bahwa Allah menciptakan perjodohan bagi manusia
agar yang satu merasa tentram terhadap yang lain. Dalam bahasa Arab, kata
sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, penuh kasih
sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa
keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan keluarga.[4]
Kata sakinah yang digunakan dalam mensifati
kata ”keluarga” merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak
dalam membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia
sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya
menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarganya. Ia merupakan tempat
kembali kemana pun mereka pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh
percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.
Dalam istilah sosiologi ini disebut dengan unit terkecil dari suatu masyarakat.[5]
Keluarga sakinah tidak terjadi
begitu saja, akan tetapi ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh yang memerlukan
perjuangan dan butuh waktu dan pengorbanan. Keluarga sakinah merupakan
subsistem dari sistem sosial (social system) menurut Al-Quran, dan bukan
“bangunan” yang berdiri di atas lahan yang kosong. Pembangunan keluarga sakinah
juga tidak semudah membalik telapak tangan, namun sebuah perjuangan yang
memerlukan kobaran dan kesadaran yang cukup tinggi. Namun demikian semua
langkah untuk membangunnya merupakan sesuatu yang dapat diusahakan. Meskipun
kondisi suatu keluarga cukup seragam, akan tetapi ada langkah-langkah standar
yang dapat ditempuh untuk membangun sebuah bahtera rumah tangga yang indah,
keluarga sakinah.
Nick Stinnet dan John Defrain
(1987) dalam studi yang berjudul “The National Study on Family Strength”
mengemukakan enam langkah membangun sebuah keluarga sakinah yaitu:
1. Menciptakan kehidupam beragama dalam keluarga. Hal ini
diperlukan karena di dalam agama terdapat norma-norma dan nilai moral atau
etika kehidupan. Penelitan yang dilakukan oleh kedua profesor di atas
menyimpulkan bahwa keluarga yang di dalamnya tidak ditopang dengan nilai-nilai
religius, atau komitmen agamanya lemah, atau bahkan tidak mempunyai komitmen
agama sama sekali, mempunyai resiko empat kali lipat untuk tidak menjadi
keluarga bahagaia atau sakinah. Bahkan, berakhir dengan broken home,
perceraian, perpisahan tidak ada kesetiaan, kecanduan alkohol dan lain
sebagainya.
2. Meluangkan waktu yang cukup untuk bersama keluarga. Kebersamaan
ini bisa diisi dengan rekreasi. Suasana kebersamaan diciptakan untuk
maintenance (pemeliharaan) keluarga. Ada
kalanya suami meluangkan waktu hanya untuk sang istri tanpa kehadiran
anak-anak.
3. Interaksi sesama anggota keluarga harus menciptakan hubungan
yang baik antaranggota keluarga, harus ada komunikasi yang baik, demokratis dan
timbal balik.
4.
Menciptakan hubungan yang baik sesama anggota keluarga dengan saling
menghargai. Seorang anak bisa menghargai sikap ayahnya. Begitu juga seorang
ayah menghargai prestasi atau sikap anak-anaknya; seorang istri menghargai
sikap suami dan sebaliknya, suami menghargai istri.
5. Persatuan dalam keluarga yang memperkuat bangunan rumah tangga.
Hal ini diempuh dengan sesegera mungkin menyelesaikan masalah sekecil apapun
yang mulai timbul dalam kehidupan keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil
jangan sampai longgar, karena kelonggaran hubungan akan mengakibatkan kerapuhan
hubungan.
6. Jika terjadi krisis atau benturan dalam keluarga, maka
prioritas utama adalah keutuhan rumah tangga. Rumah tangga harus dipertahankan
sekuat mungkin. Hal ini dilakukan dengan menghadapi benturan yang ada dengan
kepala dingin dan tidak emosional agar dapat mencari jalan keluar yang dapat
diterima semua pihak. Jangan terlalu gampang mencari jalan pintas dengan
memutuskan untuk bercerai.[6]6
Langkah-langkah yang dikemukakan
oleh Nick Stinnet dan John Defrain di atas lebih menitikberatkan pada sudut
pandang psikologis dan sosiologis. Ada
pendapat lain yang menitikberatkan pada aspek agama (Islam), yaitu pendapat
Said Agil Husin al-Munawwar, yang menyatakan bahwa simpul-simpul yang dapat
mengantar atau menjadi prasyarat tegaknya keluarga sakinah adalah:
2. Hubungan suami isteri harus didasari oleh saling membutuhkan,
seperti pakaian dan pemakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna);
3. Dalam pergaulan suami istri, mereka harus memperhatikan hal-hal
yang secara sosial dianggap patut, tidak asal benar dan hak (wa’asyiruhinna bil
ma’ruf), besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus
memperhatikan nilai-nalai ma’ruf;
4. Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada lima, yaitu:
pertama, memliliki kecenderungan kepada agama; kedua, mudah menghormati yang
tua dan menyayangi yang muda; ketiga, sederhana dalam belanja; keempat, santun
dalam bergaul; dan kelima, selalu introspeksi;
5.
Menurut hadis Nabi yang lain disebutkan bahwa ada empat hal yang menjadi pilar
keluarga sakinah, yaitu: peratama, suami istri yang setia (shalih dan
shalihah) kepada pasangannya; kedua, anak-anak yang berbakti kepada orang
tuanya; ketiga, lingkungan sosial yang sehat dan harmonis; keempat, murah dan
mudah rezekinya.[10]
Pendapat Said Agil Husin di atas
berpijak pada ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi.
Ada pendapat lain yang hampir serupa, namun hanya berpijak pada ayat-ayat
al-Quran sebagai dasar pembentukan keluarga sakinah, yaitu pendapat Mantep
Miharso yang menyatakan bahwa untuk merumuskan hakekat keluarga di dalam
Al-Quran- yang sebenarnya mengacu pada pembentukan keluarga sakinah – dapat dilihat
dari unsurnya yang terdapat dalam pemaknaan term-term di dalam Al-Quran, yaitu:
Pertama, kesatuan agama atau aqidah, terambil dari makna yang terkandung dalam
kata “al-’Al”; Kedua, kemampuan atau kesanggupan mewujudkan ketenteraman, baik
secara ekonomis, biologis maupun psikologis, terambil dari makna yang
terkandung dalam kata al-Ahl. Kehidupan keluarga sakinah tidak akan tercipta
oleh orang yang tidak memiliki kemampuan itu. Ketiga, pergaulan yang baik
(al-mu’asyarah bi al-ma’ruf) atas dasar cinta dan kasih sayang diantara anggota
keluarga, terambil dari makna kata yang terkandung dalam kata al-‘Asyirah.
Pergaulan yang baik ini berupa komunikasi dan interaksi perbuatan maupun sikap
antaranggota keluarga merupakan perangkat vital dalam mewujudkan ketenteraman,
kedamaian dan kesejahteraan. Keempat, mempunyai kekuatan yang kokoh guna
melindungi anggota keluarga, dan menjadi tempat bersandar bagi mereka dan bagi
kekuatan masyarakat, terambil dari makna yang terkandung dalam kata raht, rukn
dan fashilah. Suasana yang nyaman di dalam lingkungan keluarga memungkinkan
tumbuh kembangnya generasi yang terdidik dan memiliki akhlak yang baik sebagai
penyangga kekuatan bangsa. Dengan demikian rumah tangga yang diharapkan adalah
rumah tangga yang digambarkan hadis nabi bagaikan surga “rumahku surgaku”.
Kelima, hubungan kekerabatan yang baik dengan
keluarga dekatnya, kerabatnya, terambil dari makna yang terkandung dalam kata
dzaway al-qurba atau dza al-qurba atau dza al-muqarabah atau dza al-qurba.
Keluarga tidak dapat hidup sendiri, maka jalinan yang baik harus diwujudkan
dengan keluarga dekat maupun lingkungan sosialnya (termasuk tetangga) sebagai
unsur eksternal di dalam mewujudkan ketenangan. Keenam, proses pembentukannya
melalui pernikahan yang sah mengikuti aturan agama, yakni memenuhi syarat dan
rukunnya, terambil dari makna yang terkandung dalam kata zauj dan nikah.
Menurut al-Quran keluarga harus dibangun melalui perkawinan atau pernikahan
sebagai aqad (perjanjian luhur) yang dengannya akan menimbulkan hak dan tanggung
jawab suami istri, orang tua-anak. Ketujuh, di dalam keluarga terdapat
pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan status dan fungsinya sebagai
anggota keluarga, yakni
sebagai suami, istri, orang tua dan anak. Masing-masing status di dalam keanggotaan
keluarga mempunyai konsekuensi fungsi dan tanggung jawab ini. Oleh karena itu
Al-Quran menyebutkan berbeda-beda yakni dengan kata ab, umm, dzurriyah, walad
dan bin
atau bint.
Dari makna yang terkandung dalam kata-kata ini pula berimplikasi terhadap anak
(kewajiban anak kepada orang tua), hak anak terhadap orang tua (kewajiban orang
tua kepada anak)
BKKBN menggunakan istilah
sejahtera untuk menyebut keluarga sakinah. Dalam hala ini BKKBN
mengklasifikasikan keluarga sejahtera (sakinah) kedalam beberapa tingkatan
yaitu:
1. Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS), yaitu keluarga-keluarga yang
belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) secara minimal, seperti
kebutuhan spiritual, pangan, sandang papan dan kesehatan.
2. Keluarga Sejahtera I (KS I), yaitu keluarga-keluarga yang telah
dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi
kebutuhan sosial psikologisnya (socio psychological needs), seperti kebutuhan
pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat
tinggal, dan transportasi.
3. Keluarga Sejahtera II (KS II), yaitu keluarga-keluarga yang
disamping telah dapat memenuhi kebutuhan sosial-psikologisnya, tetapi belum
dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya (developmental needs) seperti kebutuhan
untuk menabung dan memperoleh informasi.
4. Keluarga Sejahtera III (KS III), yaitu kelurga-keluarga yang
telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis dan pengembangan
keluarganya, tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang teratur bagi masyarakat,
seperti sumbangan materi, dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
5. Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus), yaitu
keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial
psikologis dan pengembangan serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur
dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.[11]
Dari klasifikasi dan keriteria
BKKBN dapat disimpulkan bahwa dalam peng-kategorian keluarga sejahtera atau
sakinah BKKBN lebih memprioritaskan aspek materi daripada aspek immateri. Hal
ini berbeda dengan konsep yang disampaikan oleh Nick Stinnet dan John Defrain,
Said Aqil Husin al-Munawwar dan Mantep Moharso yang lebih menekankan aspek
imateri. Menurut dalam hemat penulis, kedua aspek tersebut (materi dan imateri)
mempunyai kedudukan yang sama yaitu keduanya menduduki posisi yang pokok, dan
keduanya harus sama-sama dipenuhi demi terciptanya keluarga sakinah atau
sejahtera,
Sejauh apapun dan sedalam apapun
pengetahuan dan pemahaman kita tentang konsep keluarga sakinah tidak akan
menjadi jaminan bahwa kita akan dapat melaksanakannya dalam bahtera rumah
tangga. Karena kehidupan keluarga merupakan suatu yang eksperimental dan
empirik yang tidak hanya ada dalam dunia teori namun harus terjun langsung dan
mempraktekkannya yang terkadang pada kenyataannya jauh dari apa yang ada dalam
teori. Selain itu kehidupan keluarga berjalan secara dinamis mengikuti irama
denyut nadi perkembangan zaman dan faktor sosio-kultural dalam kehidupan
masyarakat sangat berpengaruh dalam perjalanan kehidupan keluarga.
III. Globalisasi: antara Ancaman dan
Tantangan
Kata globalisasi mulai sering
digunakan mulai tahun 1980-an. Pada masa itu kata globalisasi menyebar begitu
cepat menjadi kosa kata standar di segala bidang, di dunia akademik, dunia
jurnalistik, plolitik, bisnis, periklanan, dunia hiburan dan sebagainya.[12] Globalisasi
berasal dari kata Globalisme, yakni paham kebijakan nasional yang memperlakukan
seluruh dunia sebagai lingkungan yang pantas untuk pengaruh politik.[13] Selama
proses tersebut berjalan, tentunya penuh dinamika yang menuntut setiap negara
menata Rumah Tangganya seideal mungkin. Atas nama “tatanan dunia baru”[14] itulah
globalisasi dianggap menyatukan dunia dalam satu bingkai dan menghapuskan
batas-batas geografis yang memisahkan antara negara satu dengan lainnya.
Tentunya didukung adanya kebebasan mengakses informasi melalui berbagai media
informasi dan telekomunikasi, internet khususnya.
Menurut John Tom Linson dalam
sebuah tulisan “Cultural Globalization: Placing and Displacing the West”
sebagaimana dikutip oleh Amer Al-Roubaie mengintisarikan globalisasi sebagai
berikut:
“Proses hubungan yang rumit antarmasyarakat yang luas
dunia, antarbudaya, institusi dan individual. Globaliasai merupakan proses
sosial yang mempersingkat waktu dan jarak dari pengurungan waktu yang diambil
baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi dengan dipersingkatnya jarak
dan waktu, dunia dilihat seakan-akan semakin mengecil dalam beberapa aspek,
yang membuat hubungan manusia antara yang satu dengan yang lain semakin dekat.”[15]
Globalisasai terjadi pada setiap
negara, tidak ada satu organisai atau satu negara pun yang mampu
mengendalikannya. Simbol dari sistem global adalah luasnya jaringan.[16] Akbar
S. Ahmed dan Hastings
memberi batasan bahwa globalisasi “pada prinsipnya mengacu pada
perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi,
transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi
hal yang bisa dijangkau dengan mudah.[17]
Teori globalisasi menandai dan
menguji munculnya suatu sistem budaya global terjadi karena berbagai
perkembangan sosial dan budaya, seperti adanya sistem satelit dunia, penggalian
gaya hidup kosmopolitan, munculnya pola konsumsi dan konsumerisme global,
munculnya even-even olahraga internasional, penyebaran dunia pariwisata,
menurunnya kedaulatan negara bangsa, timbulnya sistem militer global (baik
dalam bentuk peace keeping force, pasukan multinasional maupun pakta pertahanan
regional dan lain-lain), pengakuan tentang terjadinya krisis-krisis lingkungan
dunia, berkembangnya problem-problem kesehatan berskala dunia (seperti AIDS),
munculnya lembaga-lembaga politik dunia (seperti PBB), munculnya
gerakan-gerakan politik global, perluasan konsep demokrasi dan hak-hak asasi
manusia dan interaksi rumit antara berbagai agama dunia.[18]
Bahkan lebih dari sekedar
proses-proses di atas, globalisasi menyangkut kesadaran bahwa dunia ini adalah
satu tempat milik bersama umat manusia. Karena itu, globalisasi yang
didefinisikan sebagai kesadaran yang tumbuh pada tingkat global bahwa dunia ini
adalah sebuah lingkungan yang terbangun secara berkelanjutan, atau sebagai
suatu proses sosial di mana hambatan-hambatan geografis berkaitan dengan
pengaturan-pengaturan sosial dan budaya semakin surut.[19]
Menurut Qodri Azizy, istilah ”globalisasi”
dapat berarti juga alat dan dapat pula berarti ideologi. Sebagai alat karena
merupakan wujud keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama sekali di
bidang komunikasi. Sebagai alat, globalisasi sangat netral. Ia berarti dan seklaigus
mengandung hal-hal posistif, ketika dimanfaatkan untuk tujuan yang baik.
Sebaliknya, ia berakibat negatif, ketika hanyut ke dalam hal-hal yang negatif.
Sedangkan sebagai ideologi sudah mempunyai arti tersendiri dan
netralitasnya sangat berkurang. Oleh karena itu, tidak aneh kalau kemudian
tidak sedikit yang menolaknya. Sebab tidak sedikit akan terjadi benturan nilai,
antara nilai yang dianggap sebagai sebuah ideologi globalisasi dan nilai-nilai
agama, termasuk agama Islam. Baik sebagai alat maupun sebagai ideologi,
globalisasi merupakan ancaman dan sekaligus tantangan.
Pertama, sebagai ancaman. Dengan
alat komunikasi seperti Hand Phone, TV, para bola, telepon, VCD, DVD dan
internet, kita dapat berhubungan dengan dunia luar. Dengan para bola atau
internet, kita dapat menyaksikan hiburan porno dari kamar tidur. Kita dapat
terpengaruh oleh segala macam bentuk iklan yang sangat konsumtif. Kedua,
tantangan. Di pihak lain, jika globalisasi itu memberi pengaruh hal-hal, nilai
dan praktik yang positif, maka seharusnya menjadi tantangan bagi umat manusia
untuk mampu menyerapnya, terutama sekali hal-hal yang tidak mengalami benturan
dengan budaya lokal atau nasional, terutama sekali nilai agama.
Dari gambaran di atas dapat
dipahami bahwa globalisasi bukanlah sekedar konsep sosiologi hubungan
internasional (International Relations) dalam pengertian tradisional, atau
interdepedensi ekonomi (Global economic interdepedence), atau konvergensi
negara-negara bangsa (convergence of nation states) menjadi suatu masyarakat industri,
melainkan proses strukturisasi dunia sebagai suatu keseluruhan (stucturation of
the world as whole) yang menghadirkan dua kecenderungan yang saling
bertentangan sekaligus, yaitu proses penyeragaman (homogenization) dan
pemberagaman (differenciation), sehingga membuat interaksi yang rumit antara
lokalisme dan globalisme.
Memang, Globalisasi merupakan
proses rumit yang melibatkan semua unsur dari kehidupan manusia seperti aspek
sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, bahasa dan teknologi. Hingga saat ini
globalisasi tetap proses rumit bukan hanya karena definisinya yang tidak jelas,
tetapi juga karena dampak yang ditimbulkannya. Seperti yang dikatakan Giddens:
“Globalisasi merupakan proses rumit dan merupakan proses tunggal. Proses-proses
rumit itu juga berlangsung dalam model berlainan dan berlawanan”[20]
Di era globalisasi ini, budaya
yang ada didominasi oleh budaya Barat, khususnya budaya Amerika yang sarat
dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme. Globalisasi yang melanda dunia
ditandai dengan hegemonisasi food (makanan), fun (hiburan), fashion (mode), dan
thoght (pemikiran). Budaya-budaya ini terkadang dipaksakan masuk ke dalam
budaya lain, sehingga tidak jarang terjadi “benturan-benturan” kebudayaan.
Pada kenyataannya, globalisasi semakin mengarah
kepada satu bentuk “imperialisme budaya” (culture imperialism) Barat terhadap
budaya-budaya lain. Dalam sebuah makalah yang berjudul Haritage, Culture and
Globalization Amer al-Roubaie, seorang pakar globalisasi di International
Institute of Islamic Thuoght and Civilization, International Islamic
University) Mlaysia (ISTAC-IIUM) mencatat:
“Telah dipahami secara luas bahwa gelombang trend budaya
global dewasa ini sebagian besar merupakan produk Barat, menyebar ke seluruh dunia
lewat keunggulan teknologi elektronik dan berbagai bentuk media dan sistem
komunikasi. Istilah-istilah seperti penjajahn budaya (culture imperialism), penggusuran
kultural (cultural cleansing), ketergantungan budaya (cultural
dependency), dan penjajahan elektronik (electronic colonialism) digunakan
untuk menjelaskan kebudayaan global baru serta berbagai akibatnya terhadap
masyarakat non-Barat”[21]
Rekayasa informasi global terus
berlangsung melalui media-media massa
global. Masyarakat global diberi ketidakberdayaan (disempowerment) dalam
berbagai hal menghadapi hegemoni informasi. Kepentingan-kepentingan Barat,
terutama Amerika dapat terwujud.
Memang benar adanya slogan
“Barang siapa yang mampu menguasai informasi dialah yang akan menguasai dunia,”
sehingga ia bisa membuat keputusan apapun. Seperti ungkapan salah seorang tokoh
globalisasi Amerika Serikat “Kalau perjanjian diperlukan, kami akan
melakukannya. Jika penyerahan di butuhkan, kami akan menyerahkannya, jika
informasi di butuhkan, kami akan memberikannya dan jika kekuatan di butuhkan
demi stabilitas keamanan kami, kekuatan akan kami gunakan”.[22]
Pada dasarnya konsep
globalisasi yang dirancang oleh Barat adalah upaya untuk mengkonsolidasikan
segala kekuatan; ekonomi, politik, militer dan pertahanan dalam satu sentral,
yaitu Amerika, Eropa, Jepang dan Cina.[23] Dan
jika ditelusuri lebih dalam, konsep globalisasi ini sebenarnya telah dirancang
dan berjalan cukup lama. Fenomena ini telah dimulai menjelang berakhirnya
Perang Dunia II di mana telah terjadi suatu titik balik dalam masalah-masalah
global. AS sebagai kekuatan yang dominan mempersiapkan dirinya untuk melangkah
pada suatu sistem internasional yang bertujuan membawa bangsa-bangsa di dunia
ke dalam suatu sistem dengan aturan-aturan dan norma-norma yang disepakati
bersama bagi keamanan bangsa collective scurity).[24]
Dengan berbagai kemajuan dan
kecanggihan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi, kita dapat
merasakan betapa era sekarang merupakan era kesejagatan yang tak mengenal batas
ruang. Sebuah buku yang berjudul One World Ready or Not: The Manic Logic of
Global Capitalism, karya William Greider tahun 1997 yang lalu telah
mengisyaratkan bahwa saat ini dunia sudah masuk pada masa di mana tidak ada
lagi tempat untuk bersembunyi dari yang lain (there is no place to hide from
the other), masa yang ditandai oleh semangat kapitalisme dengan meningkatnya
industrialisasi, informasi dan transformasi. Disamping itu zaman ini juga
memaksa kita untuk bertemu satu dengan lainnya dengan terjadinya cross cultural
context. Segala bentuk prilaku manusia dapat dengan mudah dinilai orang lain,
saling mempengaruhi dan bahkan saling bertukar posisi secara bergantian. Semua
aktifitas manusia mempunyai jaringan satu sama lain misalnya jaringan buruh,
perdagangan, pendidikan dan kebudayaan.
Adalah Richard Hibart, yang
mengatakan bahwa Globalisasi merupakan sesuatu yang sudah menjadi tradisi kita
atas dunia ketiga, dan untuk beberapa kurun waktu kita menamainya dengan
Imperialisme.[25] Era
ini juga ditandai oleh dua proses sosial yang paradoks yaitu proses
homologisasi dan proses paralogisasi dengan semakin menguatnya kesatuan
(increasing of unity) disatu pihak namun dipihak lain juga terjadinya penguatan
perbedaan (increasing of diversity). Hal itu akan berdampak pada kehidupan
keluarga agama dimana orientasi agama yang sebelumnya datang dari sumber yang
sangat terbatas, orang tua, keluarga dan lingkungan kita saja sekarang datang
dari beragam sumber yang tak terbatas melalui media telekomunikasi dan
transformasi yang semakin canggih. Dengan kecangihan sains dan teknologi,
manusia bahkan dapat menciptakan jalan kematiannya sendiri yang bisa dipilih.
Disamping itu manusia semakin dimanjakan dengan produk industrialisasi yang
bisa mengisolasikan dirinya dari orang lain karena segala kebutuhannya telah terpenuhi.
Manusia menjadi sangat konsumtif dan disetir oleh semagat kapitalisme pasar.
Ketergantungan terhadap produk baru sangat besar untuk hanya takut dikatakan
sebagi orang yang tidak gaul dan kuno. Semua kebutuhan materi telah tercukupi
oleh kemudahan-kemudahan yang ditawarkan globalisasi. Yang lebih parah,
terjadinya pergeseran ukuran kesuksesan yaitu hanya dinilai dengan kesuksesan
ekonomi dan kekuasaan.
Tentu saja pertemuan dengan berbagai macam
sumber dan informasi baik tentang politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan
bahkan sumber tentang agama akan mempengaruhi kehidupan dalam rumah tangga atau
keluarga. Orang beragama bisa saja menutup diri dari kebiasaan globalisasi
dengan mengisolasi diri dari orang lain, namun juga bisa membuka diri dan mengambil
keuntungan darinya. Agama yang merupakan salah satu pilar pokok yang menompang
kehidupan keluarga, yang pada mulanya sebagai satu-satunya sistem yang paling
tinggi kemudian berubah menjadi salah satu bagian dari sistem-sistem lain yang
ada. Pada mulanya sistem hukum yang ada misalnya diambil dari agama namun saat
ini dunia sekuler menawarkan sistem hukumnya sendiri disamping sistem-sistem
lainnya. Agama yang dulunya menjadi super-sistem kemudian menjadi sub-sistem,
sama dengan sistem-sistem yang lainnya.
IV. Dampak Globalisasi terhadap Kehidupan
Keluarga
Problem paling berat membangun
keluarga sakinah di era global ini adalah dalam menghadapi penyakit “manusia
modern”. Di era modern seperti sekarang ini tantangan berbagai godaan
menyelusup dan menyusup ke dalam kehidupan rumah tangga melalui teknologi
komunikasi dan informasi yang cukup canggih. Sejak kecil, anak-anak tanpa
disadari telah dijejali dengan berbagai kebudayaan yang menyimpang dari
norma-norma sosial dan agama melalui media ini. Hal ini menjadikan peran
pendidikan dalam keluarga tidak efektif lagi.
Menurut sebuah penelitian yang
dialakukan oleh Zakiah Drajat, perilaku manusia 83% dipengaruhi oleh apa yang
dilihat, 11% oleh apa yang didengar, dan 6 % sisanya oleh berbagai stimulus
campuran. Dilihat dari perspektif ini, nasihat orang tua yang hanya memiliki
efektivitas 11%, dan hanya contoh teladan orang tua saja yang memiliki
efektivitas tinggi.[26]
Berangkat dari sini maka bisa
dibayangkan, dengan kecanggihan alat komunikasi yang canggih sebagai produk
modern kebudayaan dari berbagai manca daerah dapat dengan mudah masuk ke dalam
aliran darah dan denyut nadi kebudayaan lokal yang tidak jarang akan menggeser
nilai-nilai moral dan agama yang telah tertanam di dalamnya. Budaya global yang
didominasi oleh budaya Barat akan diserap dengan mudah oleh masyarakat dunia.
Budaya dalam suatu masyarakat akan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter
keluarga. Pengaruh ini meliputi perilaku, gaya
hidup dan aspek-aspek lain. Budaya Barat sangat menjunjung tinggi kebebasan
pribadi untuk berekspresi, dan ini tentunya sangat berbeda dengan masyarakat
Timur yang masih menjunjung nilai-nilai moral.[27]
Bagaimana pun juga produk suatu budaya dengan
ciri “materialistiknya dapat menyebabkan pergolakan dan konflik sosial di
masyarakat” non-Barat, yang mempunyai warisan budaya dan kehidupan religius
yang berbeda-beda. Kemajuan di bidang komunikasi telah memungkinkan banyak ide-ide
baru, ideologi, seni, bahasa dan beragam ilmu pengetahuan untuk melintasi
seluruh penjuru dunia. Proses globalisasi juga terdiri dari faktor-faktor yang
menjadi ancaman bagi satu kebudayaan asli di berbagai tempat di dunia ini.
Dengan kata lain proses globalisasi juga menciptakan bentuk baru aliansi
kebudayaan unik yang terdapat pada suatu bangsa atau etnik tertentu.[28]
Globalisasi telah meminimalisir
perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi (swastanisasi)
pasar dan perdagangan luas di banyak negara berkembang. Distribusi luas produk
budaya barat seperti film, literatur, gaya
hidup, nilai-nilai baru melalui media elektronik, siaran satelit, internet,
koran-koran dan majalah telah mencemari budaya lokal. Bukan hanya itu, dengan
tayangan dalam media-media ini juga tidak menutup kemungkinan akan meningkatkan
jumlah kekerasan dalam rumah tangga, kenakalan remaja, diskriminasi sosial dan
broken home. Diskriminasi sosial inilah yang biasanya akan menimbulkan
kriminalitas dalam masyarakat.[29]
Kehidupan keluarga yang merupakan
bagian dari masyarakat tidak terlepas dari “serangan” budaya global melalui
media-media ini. Gaya
hidup, relasi-relasi terlebih pola pikir masyarakat yang juga anggota keluarga
sedikit-demi sedikit akan berubah mengikuti aneka kebudayaan yang masuk. Inilah
yang menjadi tantangan kehidupan keluarga sakinah di era globalisasi ini.
Setidaknya ada dua hal yang
sering terjadi akibat kehidupan modern di era global ini, yaitu, Pertama,
konsentrasi anggota keluarga, khususnya suami dan istri hanya terfokus untuk
mencari kesenangan dalam kehidupan perkawinan dari pada berpikir tentang
tanggung jawab. Beberapa pasangan menikah apabila mereka sepakat untuk mencari
kesenangan dan kenikmatan saja. Jadi apabila kehidupan perkawinan itu tidak
dapat lagi memberikan lagi apa mereka cari, maka mereka akan memilih jalan
mereka sendiri-sendiri. Hal ini menimbulkan erosi kesakralan lembaga
perkawinan, sehingga perceraian sebagai konsekuensinya menjadi suatu hal yang
biasa. Anak-anak siapa saja yang lahir dari pasangan seperti itu, yaitu
mengakhirinya dengan perceraian, hanya sedikit lebih beruntung dari pada
anak-anak yatim piatu, walaupun mereka masih memiliki orang tua.
Kedua, putusnya sistem keluarga besar yang
utuh. Hal ini dapat ditelusuri dari adanya gejala-gejala meningkatnya jumlah
orang tua bahkan kekek nenek lanjut usia yang dikirim ke panti jompo yang
terpisah dari kehidupan keluarga mereka sendiri. Padahal dalam sistem keluarga
besar, kekek nenek pasti ada untuk memperhatikan cucu-cucu mereka. Tetapi dalam
budaya masyarakat modern, terlebih di barat tempat mereka bukan lagi di tengah-tengah
keluarga.
Saat ini, fokus dari perhatian
orang tua tidak lagi tertuju pada rumah, walupun dengan alasan-alasan yang
berbeda. Dulu, seorang ibu senantiasa berada di rumah untuk dapat tetap
memperhatikan anak-anak. Tetapi sekarang, dengan kedua orang tua yang bekerja
di luar rumah, anak-anak hanya dapat menemui mereka di malam hari ketika
keduanya sudah sangat lelah untuk memberikan perhatian yang cukup kepada
mereka, ataupun mereka dapat bersama-sama kembali di penghujung minggu, di saat
mereka lebih memikirkan rekreasi.
Kalau kita menilik di
Negara-negara maju seperti di Barat, anak-anak sebenarnya telah kehilangan
sosok seorang ibu, karena seperti ayahnya, ibunya pun lebih memilih bekerja di
kantor, sama halnya di mana mereka harus kehilangan sosok kakek neneknya.
Karena mereka pun telah dikucilkan di panti-panti jompo. Anak-anak dari
keluarga seperti ini biasanya tidak memiliki emosi yang seimbang, sehingga
mereka bisa saja berpikir pada sampai pada satu titik tidak ada gunanya lagi
melanjutkan hidup.[30]
Selain merebaknya aksi bunuh diri
di kalangan anak-anak, kekerasan dalam rumah tangga merupakan praktik dan
pengalaman yang terus berkembang, baik penganiayaan fisik, psikis, seks maupun
yang bertujuan menunjukkan kekuatan dan mengendalikan orang lain.
Era global yang identik dengan
modernisasi dan industrialisasi memang membawa dampak yang cukup signifikan
terhadap cara hidup masyarakat, termasuk dalam kehidupan keluarga. menurut
Didin Hafiduddin, modernisasi dan indutrialisasi telah membawa perubahan-perubahan
nilai kehidupan yang dapat dari hal-hal sebagai berikut:
1. pola hidup masyarakat dari sosial religius cenderung ke arah
individu materialistik;
2. pola hidup sederhana dan produktif cenderung ke arah konsumtif.
Struktur keluarga extended family cenderung ke arah nuclear family, bahkan
sampai single parent family;
3. hubungan kekeluargaan (hubungan emosional ayah-ibu-anak) yang
semula erat dan ketat (family right), cenderung menjadi longgar (family loose);
4. nilai-nilai yang mendasar agama cenderung berubah ke arah
sekuler dan serba membolehkan (premisive society);
5. lembaga perkawinan (keluarga) mulai diragukan dan masyarakat
cenderung memilih hidup bersama tanpa nikah;
6. ambisi karir dan materi sedemikian rupa sehingga dapat
mengganggu interpersonal, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.[31]
Gaya
hidup Barat yang menggemborkan kesetaraan gender dan pembelaan hak-hak wanita
akan berpengaruh pada gaya
hidup kaum wanita sebagai ibu rumah tangga dengan mencoba berkarir ganda di
luar rumah. Bukan berarti karir ganda dilarang, namun tidak sedikit keluarga
karir ganda ini mengakibatkan ketegangan dan krisis dalam keluarga dan tidak
jarang yang berujung pada perceraian bahkan broken home.
Ambisi karir ini mendorong istri
untuk berkarir di luar yang akan mengakibatkan: pertama, suami sering mengeluh
bahwa sejak istri turut bekerja dan berpenghasilan, dirasakan wibawa dirinya
terhadap istri menurun karena istri telah belajar mandiri dan mengurangi
ketergantungannya kepada suami; kedua, bagi istri yang karir dan berpenghasilan
lebih tinggi dari pada penghasilan suami, dapat mengakibatkan rasa rendah diri
pada suami dan menimbulkan rasa cemburu, ketiga, peran sebagai kepala rumah
tangga dan sebagai pencari nafkah dapat berbalik manakala suami tidak bekerja.
Kondisi seperti ini akan mengakibatkan rasa rendah diri, harga diri menurun
wibawa menurun di dahadapan istri dan anak-anak berkurang, dan kendali
kepemimpinan keluarga berpindah kepada istri.[32]
Bukan hanya itu, pergaulan bebas,
seks bebas, aborsi, kenakalan remaja dan lain sebagainya akan dengan mudah
masuk ke dalam kehidupan keluarga dan akan mempengaruhi tradisi dan
ketenteraman serta keutuhan kehidupan rumah tangga. Dalam pandangan Barat,
untuk memenuhi kebutuhan seksual tidak harus melalui perkawinan. Bahkan di
Amerika banyak kaum cendikiawan modern menentang lembaga seksual dan perkawinan
menurut agama. Mereka mendukung model perkawinan percobaan (trial marriage)
diberitakan dalam majalah Time edisi 14 April 1967 hal. 10 dan 12, sebagaimana dikutip
Hammudah Abd al-‘Athi terdapat tiga bentuk perkawinan. Pertama, kawin percobaan
selama satu tahun. Kedua, kawin bersyarat (term marriage) yaitu kawin dikontrak
dalam jangka waktu tertentu. Sehabis jangka waktu itu, keduanya bisa menentukan
untuk hidup bebas kembali atau mengukuhkan perkawinan. Ketiga, hidup bersama
tanpa nikah (companionate marriage) dengan kesepakatan tanpa anak.[33]
Model perkawinan yang demikian menyebabkan
struktur keluarga yang dibangun menjadi tidak teratur dan tidak jelas. Masalah-masalah
kehidupan keluarga yang semakin kompleks banyak dihadapi oleh keluarga semacam
ini di akhir abad 20. Ketidakjelasan struktur keluarga dinyatakan pula oleh Graham Allan
dari University
of Southamton: “Di Barat, demografi keluarga tengah mengalami pergeseran.
Batasan keluarga dan kewajiban tiap anggotanya kian longgar. Bentuk ideal
keluarga dan hubungan-hubungan yang ada di dalamnya kian tidak jelas.[34]
Dengan kelonggaran kewajiban
terhadap keluarga memungkinkan rasa tanggung jawab pun longgar, dan jika
tanggung jawab longgar, maka keutuhan keluarga semakin rentan terhadap
permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
Kelonggaran dan lemahnya kaidah
hukum yang terkait dengan keluarga secara otomatis akan menjadikan keluarga
hanya sebagai tempat singgah. Menurut Graham, di Barat, satu-satunya elemen
yang masih bertahan mungkin hanya kedudukannya sebagai institusi privat.
Sehingga sekarang berkembang pesat teori-teori privatisasi keluarga yang sering
dikaitkan dengan industrialisasi.[35]
Dampak lain yang akan ditimbulkan
oleh modernisasi global adalah meregangnya relasi antaranggota keluarga dan
relasi keluarga dengan masyarakat. Anggota keluarga cenderung individualis.
Kerenggangan antaranggota keluarga ini diakibatkan kurangnya komunikasi di
antara mereka. Suatu penelitian di lakukan menunjukkan bahwa dalam belasan
tahun terakhir ini frekuensi percakapan dalam keluarga menurun seratus persen.[36] Hal
ini mengakibatkan tingginya angka perceraian dan broken home.
Bukan hanya itu, gaya hidup di era global
ini mengakibatkan mengikisnya kesakralan perkawinan sehingga perkawinan hanya
dilihat dari sisi relasi fungsional. Hal ini menimbulkan paham yang memandang
tidak pentingnya pernikahan dan memilih hidup bersama tanpa nikah. Robert H.
Lauer dan Jeantte C. Lauer dari Universitas San Diego, Amerika Srikat telah
melakukan penelitian terhadap pasangan-pasangan hidup bersama tanpa nikah.
Kesimpulan dari penelitiannya adalah sebagai berikut:
1. mereka lebih mementingkan diri sendiri daripada kebersamaan;
2. mereka tidak memandang perkawinan sebagai suatu hal yang suci
(sakral), andai katapun mereka melaksanakan perkawinan, hal itu dilakukan
semata formalitas;
3. mereka mengutamakan faktor seksual dan percintaan dari pada
faktor kejiwaan yang lebih mendasar, seperti kasih sayang, cinta dan mencintai,
rasa aman dan perlindungan (scurity feeling);
4. tidak mempunyai rasa tanggung jawab sosial;
5. lebih mengutamakan individu (hak-hak asasi) dan hidup dalam
masyarakat yang permisif;
6. pola hidup mereka lebih mengutamakan “rasionalisasi” alam pikir
dan logika (yang semu), yang didasari dorongan-dorongan instinktuil (naluri
dasar). Dengan demikian tingkat keberadaban manusia sebagai makhluk yang mulia
sudah kembali menurun;
7. kalaupun mereka ingin mengakhiri masa hidup bersama tanpa nikah
(sesudah berganti-ganti pasangan) dan hendak berumah tangga (nikah), biasanya
dilakukan pada masa usia menengah dan menjelang usia senja.[37]
Pola hidup demikian tidak sejalan
dengan aas-asas kesehatan jiwa, apalagi ditinjau dari segi agama, moral, dan etik.
Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mulia dan beradab, yang hidup dalam
keteraturan, keseimbangan dalam hubungan dengan Tuhan, sesama dan
lingkungannya. Namun, kemajuan yang dicapai manusia (modernisasi) mempunyai
dampak pula, bukannya meninggikan harkat manusia bahkan sebaliknya, hal ini
disebabkan karena manusia enggan dituntun agama, dan lebih menuruti
dorongan-dorongan instinktuilnya.
V. Alternatif Solusi
Selain sebagai tantangan,
globalisasi merupakan ancaman, sebagaimana yang diuraikan di atas. Untuk
menghadapi ancaman diperlukan sebuah landasan yang kokoh. Landasan ini adalah
ajaran agama. Dalam waktu bersamaan, untuk menghadapi tantangan, maka juga
perlu landasan motivasi, inspirasi dan akidah. Di sini perlu memperkuat dan
mempertegas landasan hidup agar mampu menghadapi ancaman dan terhindar darinya.
Dalam waktu bersamaan, agar mampu menjawab tantangan. Untuk itu, beberapa hal
di bawah ini perlu diperhatikan:
1. Menumbuhkan kesadaran kembali tentang tujuan hidup menurut
Agama. Dalam pandangan Islam, manusia baik sebagai hamba Allah maupun sebagai
khalifah Allah, tetap dalam konteks mengabdi kepada Allah dan berusaha untuk
memperoleh ridha-Nya serta keselamatan dunia dan akhirat. Di sini iman dan
taqwa menjadi sangat penting untuk dijadikan landasan hidup. Kita sadar bahwa
kepuasan lahiriah yang pernah dinikmati oleh manusia, hanyalah sementara.
Dengan kesadaran itu, maka kita akan sanggup mengatur diri kita. Dengan
demikian, ketika kita akan terbawa arus globalisasi, kita akan ingat kesadaran
keberagamaan kita yang mempunyai aturan main untuk di dunia dan akhirat;
2. Mempertanggungjawabkan apa yang diperbuat di dunia, baik
formalitas administratif sesuai ketentuan yang ada di dunia sendiri maupun
hakiki yang mempunyai konsekuensi akhirat kelak. Ketika kita akan menceburkan
diri dalam kehidupan globalisasi, maka kita juga selalu sadar akan tanggung
jawab kita sendiri terhadap apa yang kita perbuat.[38]
Sedangkan untuk dapat berperan
aktif dalam proses globalisasi dan proses kompetisi, salah satu hal yang harus
dilakukan adalah kajian ulang terhadap pemaknaan ulang terhadap ajaran agama
yang mencakup kajian manusia sebagai individu. Artinya bagaimana menjadikan
Islam sebagai ruh bagi setiap individu yang memeluknya untuk dapat mampu
bersaing menghadapi kompetisi globalisasi ini.[39]
Dalam kehidupam keluarga, Islam
juga telah meletakkan dasar-dasar yang cukup kokoh dan tangguh untuk membangun
sebuah keluarga yang tangguh dalam bingkai kehidupan sakinah. Ayat-ayat tentang
keluarga mendapatkan perhatian khusus di dalam Al-Quran dan dibahas secara
rinci.
Untuk menghadapi tantangan zaman
dan arus globalisasi, apabila nilai-nilai agama yang terkandung di dalam
teks-teks agama dijadikan dasar, maka niscaya kehidupan keluarga akan dapat
bertahan. Selain itu yang harus dilakukan adalah mempertahankan prinsip-prinsip
dan nilai moral yang ada dalam masyarakat. Apabila prinsip dan nilai ini hidup,
maka perubahan apapun yang terjadi tidak akan mampu mengendalikan masyarakat,
karena di dalam dirinya sudah tertanam prinsip dan nilai tadi.[40]
Apalagi Islam yang nota bene kaya dengan nilai-nilai moral yang sangat tinggi,
perubahan dan tantangan akan dapat diikuti tanpa keluar dari koridor dan
prinsipnya.
Islam telah menempatkan keluarga pada posisi
dan kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam pembinaan pribadi dan
masyarakat. Baik buruknya kepribadian seseorang sangat tergantung pada
pembinaan dalam keluarga.[41] Pembinaan
keluarga ditujukan untuk melahirkan jalinan cinta kasih (mawaddah war rahmah).[42] Jalinan
cinta kasih atas dasar agama merupakan sumber utama kebahagiaan keluarga,
sehingga memungkinkan setiap anggota keluarga mengembangkan kepribadiannya
secara baik dan utuh. Karena itu, dalam pandangan ajaran Islam, kesamaan agama
dan keyakinan suami istri merupakan hal yang mutlak.[43]
Keluarga dalam pandangan Islam
bukanlah sekedar tempat berkumpulnya orang-orang yang terikat karena perkawinan
maupun keturunan, akan tetapi mempunyai fungsi yang sedemikian luas. Oleh
karena itu untuk mempertahankan ekisistensi kehidupan keluarga sakinah salah
satu alternatif yang sangat mungkin adalah memperdalam dan meng-intensif-kan
penanaman dan pengamalan nilai-nilai ajaran agama dalam setiap anggota keluarga
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan memperdalam
pendidikan agama.
Pendidikan agama sesungguhnya
adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama
tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertian yang konvensional
dalam masyarakat. Meskipun pengertian pendidikan agama yang dikanal dalam
masyarakat itu tidaklah seluruhnya salah –jelas sebagian besar adalah baik dan
harus dipertahankan- namun tidak dapat dibantah lagi bahwa pengertian seperti
ini harus disempurnakan.[44]
Kalau kita pahami bahwa agama
akhirnya menuju kepada penyempurnaan berbagai keluhuran budi. Oleh karena itu
peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar
adalah amat penting. Dan di sini yang ditekankan adalah pendidikan, bukan
pengajaran. Sebagaian dari pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada
lembaga atau orang lain terutama hanyalah pengajaran agama, yang berupa latihan
dan pelajaran membaca bacaan-bacaan keagamaan, termasuk membaca Al-Quran dan
mengerjakan ritus-ritus.[45]
Pendidikan agama dalam rumah tangga tidak
cukup hanya berupa pengajaran agama kepada anak tentang segi-segi ritual dan
formal agama. Penagajaran ini, sebagaimana halnya yang ada di sekolah oleh guru
agama, dalam rumah tangga pun dapat diperankan oleh orang lain, yaitu guru
ngaji yang sekarang mulai populer dalam masyarakat kita. Meskipun guru ngaji
dapat bertindak sebagai pendidik agama, namun peran mereka tidak akan dapat
menggantikan peran orang tua secara sempurna atau sepenuhnya.
Alternatif lain yang dapat
digunakan menjaga kelangsungan kehidupan keluarga sakinah adalah dengan
mengadakan training-training kiat membangun keluarga sakinah. Hal ini sudah
banyak diterapkan pada masyarakat perkotaan. Dengan diadakan training seperti
ini diharapkan para anggota keluarga dapat membawa diri dan sekaligus
menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman dan lingkungan sosialnya. Karena mau
tidak mau institusi keluarga harus bergerak secara dinamis mengikuti irama
perkembangan zaman dan kondisi sosio-kultural.
Alternatif solusi di atas
sifatnya antisipatif. Jadi apabila dalam sebuah keluarga sudah terkena dampak
globalisasi dan tidak dapat menyesuaikan diri sehingga menghilangkan
keseimbangan dalam keluarga, maka alternatif lain yang mungkin dapat digunakan
untuk menyelesaikannya adalah dengan terapi keluarga, baik terapi marital
mauppun terapi parental. Terapi merupakan cara yang cukup signifikan untuk
membantu keluarga dalam menyelesaikan problem-problem keluarga.[46] Dalam
kerangka Islam, dengan munculnya istilah psikologi Islami, yang sudah berkiprah
dalam bidang terapi dan konseling diharapkan dapat membantu menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul dalam keluarga.
VI. Penutup
Institusi keluarga merupakan
fondasi bagi kehidupan masyarakat, oleh karena itu ia membutuhkan perhatian
yang serius agar selalu eksis. Eksistensi keluarga sangat tergantung pada
tingkat ketenangan dan kebahagiaan serta kesejahteraan anggotanya. Secara garis
besar, untuk menjamin kebahagiaan atau ke-sakinahan keluarga harus terpnuhinya
dua unsur pokok, yaitu materi dan imateri yaitu moral spiritual. Keduanya
mempunyai kedudukan yang sama dalam menjamin kelangsungan kebahagiaan oleh
karena itu harus sama-sama dipenuhi demi terciptanya keluarga sakinah atau
sejahtera.
Era globalisasi yang datang
seiring dengan bergulirnya waktu membawa dampak yang sangat signifikan dalam
kehidupan keluarga, baik dampak positif maupun negatif. Dampak positif seperti
mudahnya mendapatkan informasi baik tentang politik, ekonomi, pendidikan dan
kebudayaan bahkan sumber tentang agama serta mudahnya akses mobilitas. Dampak
negatif globalisasi antara lain pudarnya nilai-nilai kebudyaan lokal, dekadensi
moral, perubahan gaya
hidup (life style) yang mempengaruhi perilaku individu-individu
anggota keluarga dan bahkan menghilangkan kesakralan relasi antarsesama anggota
keluarga. Struktur keluarga extended family cenderung berubah ke arah nuclear
family, bahkan sampai single parent family; hubungan kekeluargaan (hubungan
emosional ayah-ibu-anak) yang semula erat dan ketat (family right), cenderung
menjadi longgar (family loose); nilai-nilai yang mendasar agama cenderung
berubah ke arah sekuler dan serba membolehkan (premisive society); lembaga
perkawinan (keluarga) mulai diragukan dan masyarakat cenderung memilih hidup
bersama tanpa nikah; ambisi karir dan materi sedemikian rupa sehingga dapat
mengganggu interpersonal, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Hampir semua pembahasan tenang
keluarga sakinah, baik dari konsep Barat, Al-Quran dan al-sunnah sepakat
memasukan unsur morla spiritual sebagai pilar utama untuk mempertahankan
keluarga sakinah. Begitu juga, untuk mempertahankan eksistensi keluarga sakinah
di era global ini, perlunya penanaman nilai-nilai moral spiritual agama kepada
setip anggota keluarga. Apabila nilai-nilai agama yang terkandung di dalam
teks-teks agama dijadikan dasar pendidikan keluarga, maka niscaya kehidupan
keluarga akan dapat bertahan. Selain itu yang harus dilakukan adalah
mempertahankan prinsip-prinsip dan nilai moral yang ada dalam masyarakat.
Karena niali-nilai lokal ini sebagai identitas kearifan lokal (local wisdom)
yang secara natural dapat diterapkan sesuai dengan kondisi sosio-kultural tanpa
bertabrakan atau bertentangan dengan norma agama dan tidak memaksa masyarakat
untuk merubah gaya
hidupnya secara radikal.
DAFTAR PUSTAKA
v Adian
Husaini. 2005.Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal. Jakarta:
Gema Innsani Press.
v Ahmad
Qodi Azizy. 2004. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
v Dadang
Hawari. 1997. Al-Quran: Ilmu Kesehatan Jiwa dan Jiwa. Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
v Elisabeth
Guthrie, M. D. dan Kathy Mathews. 2003. Anak Sempurna atau Anak Bahagia:
Dilema Orangtua Modern, alih bahasa Ida Sitompul. Bandung: Mizan.
v Ensiklopedia
Ilmu-ilmu Sosial. 2000. artikel, “Grajam Allan”, oleh Adam Kuper & Jessica
Kuper, alih bahasa Haris Munandar. Jakarta;
PT. Raja Grafindo Persada.
v Hammudah
Abd al-‘Athi. 1984. The Family Structure in Islam (Keluarga Muslim),
alih bahasa Anshari Thayyib. Surabaya:
PT. Bina Ilmu.
v Hasan
Habib. 2003. Peta Politik Internasional dan Pengaruhnya terhadap Konstalasi
Perpolitikan Indonesia”,
Paper disampaikan pada Munas Alim Ulama DPP PKB, 28 Mei 2003.
v Jalaluddin
Rahmat. 1998. Pengantar dalam: Murtadha Mutahari, Perspektif al-Quran
tentang Manusia dan Agama. Bandung:
Mizan.
v Jam’iah
Al-Islah Al-Ijtima’i. 2002. Globalisasi dalam Timbangan Islam. Solo:
Penerbit Era Intermedia.
v JJ.
Conger. 1973. Adolescence and Youth. London: Harper and Row.
v John
Baylis dan Steve Smith (editor). 2001. The Globalization of World Politics. New York: Oxford
University Press.
v Jurnal
Al-Insan No. 3 vol. 2, 2006. Jakarta:
Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan.
v Jurnal
al-Jami’ah al-Islamiyah, Vol 1, No. 2 April-Juni 1994. London: International Collegs of Islamic
Science.
v Jurnal
Islamiyah Tahun I No. 4/Januari-Maret 2005. Jakarta: Institute for Study of Islamic
Thought and Civilization [INSIST] dan Khoirul Bayan.
v Jurnal
Mukaddimah. No. 8 Tahun. V 1999. Yogyakarta:
Kopertais, 1999).
v Kamrani
Buseri. 1990. Pendidikan Keluarga Dalam Islam. Yogyakarta:
Bina Usaha.
v Louis
P. Pojman. 2003. Global Political Philosophy. New York: McGraw Hill.
v Nurcholish
Madjid. 2004. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam
Kehidupan Masyarkat. Jakarta:
Paramadian.
v Philip
Barker. 1986. Basic Family Therapy. London: Collins Professional and Technical
Books.
v Quraish
Shihab. 2000. Wawasan Al-Quran. Bandung:
Mizan.
v R.
H. Tawney, dalam Lynn H. Miller. 2006. Global Order: Values and Power in
International Politics, (Agenda Politik internasional) alih bahasa,
Daryanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
v Said
Husin al-Munawwar, et.al. 2003 Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar
Membangun Masyarakat Madani. Jakarta:
Pena Madani.
v Yandianto,
1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Bandung:
Penerbit M2S.
ZA. Maulani. 2002. “Dakwah
dalam Era Globalisasi” Makalah disampaikan dalam ASEAN Yuoth Camp, Jakarta, 1 Oktober 2002
[1] Kamrani
Buseri. 1990. Pendidikan Keluarga Dalam Islam. Yogyakarta:
Bina Usaha. hal. 16-17
[2] Said
Husin al-Munawwar. 2003. et.al, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar
Membangun Masyarakat Madani. Jakarta:
Pena Madani. hal 62.
[3] Quraish
Shihab. 2000. Wawasan Al-Quran. Bandung:
Mizan. hal. 192.
[4] Said
Husin al-Munawwar. et.al. Agenda …, hal 62
[5] Miftah
Faridl. 2006. "Merajut Benang Kaluarga Sakinah" dalam jurnal Al-Insan
No. 3 vol. 2, 2006 (Jakarta:
Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan). hal. 75
[6] Dadang
Hawari. 1997. Al-Quran: Ilmu Kesehatan Jiwa dan Jiwa. Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Prima Yasa. hal. 237-240.
[7] Mahabbah
adalah sejenis cinta membara, yang menggebu-gebu dan ‘menggemesi”. (Said Husin
al-Munawwar. et.al. Agenda …, hal. 63).
[8] Mawaddah
adalah jenis yang lebih melihat kualitas pribadi pasangan. (Said Husin
al-Munawwar. et.al. Agenda …, hal. 63)
[9] Rahmah
adalah jenis cinta yang lembut, siap berkorban dan siap memberi perlindungan
kepada yang dicintai. (Said Agil Husin al-Munawwar. et.al. Agenda …,
hal. 63).
[10] Said
Husin al-Munawwar. et.al. Agenda …, hal. 63
[11] http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=344
(diakses 22/06/2007)
[12] John
Baylis dan Steve Smith (editor). 2001. The Globalization of World Politics.
New York: Oxford University
Press. hal 14.
[13] Yandianto.
1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Bandung:
Penerbit M2S. hal. 148.
[14] Jam’iah
Al-Islah Al-Ijtima’i. 2002. Globalisasi dalam Timbangan Islam. Solo:
Penerbit Era Intermedia. hal. 13.
[15] Amer
Al-Roubaie. 2005. "Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam" dalam
jurnal Islamiyah Tahun I No. 4/Januari-Maret 2005. Jakarta: Institute for Study of Islamic
Thought and Civilization [INSIST] dan Khoirul Bayan. hal. 11.
[16] Louis
P. Pojman. 2003. Global Political Philosophy. New York: McGraw Hill. hal. 198.
[17] Ahmad
Qodi Azizy. 2004. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 19.
[18] M. Atho
Mudzhar. 1999. "Masyarakat Indonesia Baru dalam Perspektif Global"
dalam jurnal Mukaddimah, No. 8 Tahun. V 1999. Yogyakarta:
Kopertais. hal. 43.
[19] M.
ATho Mudzhar. Masyarakat ..., hal 43
[20] Giddens.
1999. sebagaimana dikutip oleh Amer al-Roubaie, Ibid, hal. 12
[21] Adian
Husaini. 2005. Wajah Peradaban Barat: dari Hegemmoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal.
Jakarta: Gema
Innsani Press. hal. 20.
[22] Jam’iah,
hal. 28
[23] ZA.
Maulani. 2002. “Dakwah dalam Era Globalisasi” Makalah disampaikan dalam ASEAN
Yuoth Camp. Jakarta,
1 Oktober 2002.
[24] Hasan
Habib. 2003. Peta Politik Internasional dan Pengaruhnya terhadap Konstalasi
Perpolitikan Indonesia”,
Paper disampaikan pada Munas Alim Ulama DPP PKB, 28 Mei 2003
[25] Jam’iah
Al-Islah Al-Ijtima’i. 2002. Globalisasi Dalam Timbangan Islam. Solo:
Penerbit Era Intermedia. hal. 15.
[26] Said Agil
Husin al-Munawwar. et.al. Agenda …, hal. 65-66.
[27] Muhammad
Bahrul Ulum. 1994. "Masyakil al-Usrah al-Muslimah fi al-Gharb" dalam
jurnal al-Jami’ah al-Islamiyah, Vol 1, No. 2 April-Juni 1994. London: International
Collegs of Islamic Science. hal. 119.
[28]
Nobutaka,”Globalization’s Challenge to Indiegenous Culture, in Institute for
Japanes Culture and Classic Globalization and Indegenous Culture, sebagaimana
dikutip oleh Amer al-Raoubaie, Globalisasi … hal. 15.
[29] JJ.
Conger. 1973. Adolescence and Youth. London: Harper and Row. hal. 593
[30] Maulana
Wahiduddin. 2006. sebagaimana dikutip oleh Elisabeth Diana Dewi, “Profil
Keluarga di Barat” dalam Jurnal Al-Insan, No. 3, Vol. 2 tahun 2006. Jakarta: Lembaga Kajian
dan Pengembangan al-Insan. hal. 12
[32] Dadang
Hawari,”Al-Quran ..., hal. 231.
[33] Hammudah
Abd al-‘Athi, 1984. “The Family Structure in Islam” (Keluarga Muslim), Alih
bahasa Anshari Thayyib. Surabaya:
PT. Bina Ilmu. hal. 63
[34]
Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial. 2000. artikel, “Grajam Allan”, oleh Adam Kuper
& Jessica Kuper, alih bahasa haris Munandar. Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada. hal.
38-39.
[35] Jalaluddin
Rahmat. 1998. Pengantar dalam Murtadha Mutahari, Perspektif al-Quran tentang
Manusia dan Agama. Bandung:
Mizan, 1998. hal. 39.
[36] Elisabeth
Guthrie, M. D. dan Kathy Mathews. 2003. Anak Sempurna atau Anak Bahagia:
Dilema Orangtua Modern. alih bahasa Ida Sitompul. Bandung: Mizan. hal. 115.
[37] Dadang
Hawari. Al-Quran ..., hal. 223
[39] Qodri
Azizy. Melawan …, hal. 34
[40] Lihat R. H. Tawney, dalam Lynn H. Miller. 2006. Global
Order: Values and Power in International Politics, (Agenda Politik
Internasional) alih bahasa Daryanto. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. hal. 155.
[41] Surat al-Tahrim ayat 6: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di
mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang
sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
[42] Surat al-Rum ayat 21: “Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
[43] Surat al-Baqarah ayat 221:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”
[44] Nurcholish
Madjid. 2004. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam
Kehidupan Masyarkat. Jakarta:
Paramadian. hal. 93.
[45] Nurcholish
Madjid. Masyarakat ..., hal. 94-95
[46] Philip
Barker. 1986. Basic Family Therapy. London: Collins Professional and Technical
Books. hal. 226-227.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar