DARAH
KEBIASAAN WANITA
PASAL 1
MAKNA
HAID DAN HIKMAHNYA
1. Makna
Haid
Menurut
bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara' ialah
darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada
waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu
penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal,
maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan
dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.
2. Hikmah
Haid
Adapun
hikmahnya, bahwa karena janin yang ada di dalam kandungan ibu tidak dapat
memakan sebagaimana yang dimakan oleh anak yang berada di luar kandungan, dan
tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka
Allah Ta'ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah
yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu
dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, di mana
darah tersebut merasuk melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia
Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.
Inilah
hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil
tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang
menyusui sedikit haid, terutama pada awal masa penyusuan.
PASAL 2
USIA
DAN MASA HAID
1. Usia Haid
Usia haid
biasanya antara 12 sampai dengan 50 tahun Dan kemungkinan seorang wanita
sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid
sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim
yang mempengaruhinya.
Para
ulama, rahimahullah, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi
usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah
usia tersebut?
Ad-Darimi,
setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan: "Hal
ini semua, menurut saya, keliru. Sebab, yang
menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam
kondisi bagaimana pun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi
sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu. (Al-Majmu' Syarhul
Muhadzdzab, Juz 1, hal 486)
Pendapat
Ad-Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Jadi, kapan pun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun
usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab, Allah dan
Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak
memberikan batasan usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada
keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan
padahal tidak ada satupun dalil yangmenunjukkan hal tersebut .
2. Masa Haid
Para ulama
berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau
tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu
Al-Mundzir mengatakan: "Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid
tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya''. Pendapat ini seperti
pendapat Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur'an, Sunnah dan logika.
Dalil
pertama:
Firman
Allah Ta 'ala.
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu suatu kotoran".
Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid; dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci" (Al-Baqarah :222).
Dalam ayat
ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan
berlalunya sehari-semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini
menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada atau tidaknya.
Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci(tidakhaid)
tidakberlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua:
Diriwayatkan
dalam Shahih Muslim bahwa Nabi bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid
ketika dalam keadaan ihram untuk umrah:
"Lakukanlah apa
yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di ka'bah
sebelum kamu suci".
Kata Aisyah: "Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci".
Dalam Shahih Al Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam
bersabda kepada Aisyah:
"Tunggulah. Jika
kamu suci, maka keluarlah ke Tan'im"
Dalam
hadits ini, yang dijadikan Nabi sebagai batas akhir larangan adalah kesucian,
bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan
dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil
ketiga:
Bahwa
pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak
terdapat dalam Al Qur'an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasalam ;
padahal ini perlu, bahkan amat mendesak untuk
dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian
tersebut termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan
dalam beribadah kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh
Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang
diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan
dan hukum lainnya.
Sebagaimana
AUah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya,
waktu-waktunya, ruku' dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya,
persentasenya dan siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa: waktu dan
masanya; tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan,
minum, tidur, jima' (hubungan suami-isteri), duduk, masuk dan keluar
rumah, buang hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat,
dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan
kelengkapan agama dan kesempumaan nikmat yang dikaruniakanAllah kepada kaum
Mu'minin.
Oleh
karena pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan
Sunnah Nabi SAW maka nyatalah bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan.
Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang
telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara' menurut ada atau tidaknya.
Dalil ini
- yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan
Sunnah - berguna bagi Anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama
lainnya, karena hukum-hukum syar'i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan
dalil syar'i dari Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma' yang
diketahui, atau qiyas yang shahih.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan:
"Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam
Kitab dan Sunnah, yaitu sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan
maksimalnya, ataupun masa suci diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya
dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasa pun tidak membedakan
antara satu batasan dengan batasan lainnya.
Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia telah
menyalahi Kitab dan Sunnah.
Dalil keempat:
Logika
atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan 'illat
(alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun
ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari
keempat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari keenam belas
dengan hari kelima belas, atau antara hari kedelapanbelas dengan hari ketujuh
belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut
terdapat 'illat yang sama. Jika demikian. Bagaimana mungkin dibedakan dalam
hukum di antara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam 'illat? Bukankah
hal inibertentangandengan qiyas yang benar? Bukankah menurut qiyas yang
benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam
'illat?
Dalil
kelima:
Adanya
perbedaan dan silang pendapat dikalangan ulama yang memberikan batasan,
menunjukkanbahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan
patokan. Namun, semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan
bisa juga benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti daripada
lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al
Qur'an dan Sunnah.
Jika
ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid
adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap
kali wanita melihat darah alami, bukan disebabkan luka atau
lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau
usia. Kecuali apabila keluamya darah itu terus menerus tanpa henti atau
berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah
tersebut adalah darah istihadhah.
Dan akan
dijelaskan, Insya Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar
dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu
istihadhah."
Kata
beliau pula: "Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui
sebagai darah penyakit atau karena luka."
Pendapat
ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan
pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan
dan diterapkan daripada pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan
demikian,pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan
semangat dan kaidah agama Islam, yaitu: mudah dan gampang.
Finman
Allah Ta 'ala:
"Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. " (Al Hajj : 78 )
Sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wasalam :
"Sungguh agama (Islam) itu mudah. Dan tidakseorang pun mempersulit
(berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka
berlakulah lurus, sederhana (tidak melampaui batas)
dan sebarkan kabar gembira. "
(Hadits riwayat Al Bukhari).
Dan di
antara akhlak Nabi shallallahu alaihi wasalam bahwajika
beliau diminta memilih antara dua perkara, maka
dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan
perbuatan dosa.
Haid
Wanita Hamil
Pada umumnya,
seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan
berhenti haid (menstruasi). Kata Imam
Ahmad, rahimahullah, " Kaumwanita dapat mengetahui
adanya kehamilan dengan berhentinya haid".
Apabila
wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum
kelahiran (dua atau tiga hari) dengan
disertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah
darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari
sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai
rasa sakit, maka darah itu bukan darah
nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk
darah haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum
haid atau disebut darah kotor yang hukumnya
tidak seperti hukum-hukum haid? Ada perbedaan
pendapat di antara para ulama dalam masalah
ini.
Dan pendapat
yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid
apabila terjadi pada wanita menurut kebiasaan
waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah
yang terjadi pada wanita adalah darah haid
selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai
darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al
Qur'an maupun Sunnah yang menolak
kemungkinan tejadinya haid pada wanita hamil.
Inilah madzhab
Imam Malik dan Asy-Syafi'i, juga menjadi pilihan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam
kitab Al Ikhtiyarat (hal. 30): "Dan dinyatakan
oleh Al-Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai
pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa
Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat ini".
Dengan demikian,
berlakulah pada haid wanita hamil apa yang
juga berlaku pada haid wanita tidak hamil,
kecuali dalam dua masalah:
1. Talak.
Diharamkan
mentalak wanitatidakhamildalam keadaan haid, tetapi
tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab,
talak dalam keadaan haid terhadap wanita
tidak hamil menyalahi firman Allah Ta 'ala:
"...
apabila kamu menceraikan isteri-isterimu
maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar)..."(Ath-Thalaaq: 1)
Adapun mentalak
wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman
Allah. Sebab, siapa yang mentalak wanita hamil
berarti ia mentalaknya pada saat dapat menghadapi
masa iddahnya, baik dalam keadaan haid ataupun
suci, karena masa iddahnya dengan kehamilan.
Untuk itu, tidak diharamkan mentalak wanita hamil
sekalipun setelah melakukan jima' (senggama), dan
berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.
Iddah.
Bagi wanita
hamil iddahnya berakhir dengan melahirkan, meski
pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan
firman Allah Ta 'ala:
PASAL 3
HAL-HAL
DI LUAR KEBIASAAN HAID
Ada
beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan
haid:
- Bertambah atau berkurangnya masa haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid
selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya
berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya,
biasanya haid selama tujuh hari, tetapi
tiba-tiba suci dalam masa enam hari.
- Maju atau mundur waktu datangnya haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid
pada akhir bulan lain tiba-tiba pada awal
bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan
lain tiba-tiba haid pada akhir bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi
kedua hal di atas. Namun, pendapat yang
benar bahwa searang wanita jika mendapatkan
darah haid maka dia berada dalam keadaan
haid dan jika tidak mendapatkannya berarti
dia dalam keadaan suci, meskipun masa
haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya
serta maju atau mundur dari waktu kebiasaannya.
Dan telah disebutkan pads pasal terdahulu
dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu
bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum
haid dengan keberadaan haid.
Pendapat tersebut merupakan madzhab ImamAsy-Syafi'I
dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.
Pengarang kitab Al Mughni pun ikut menguatkan
pendapat ini dan membelanya, katanya: "Andaikata
adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan
menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya dan tidak akan
ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak
mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada
saat dibutuhkan. Isteri-isteri beliau dan kaum
wanita lainnya pun membutuhkan penjelasan itu pada
setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan
hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat
yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam pernah menyebutkan tentang adat
kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang
berkenaan denganwanita yang istihadhah saja."
- Darah berwarna kuning atau keruh.
Yakni seorang wanita mendapatkan
darahnya berwarna kuning seperti nanah atau keruh
antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman.
Jika hal ini tejadi pada saat haid atau
bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu
adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum
haid. Namun, jika terjadi sesudah masa suci,
maka itu bukan darah haid.
Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Ummu
Athiyah Radhiyallahu 'Anha:
"Kami tidak menganggap, apa-apa darah yang berwarna
kuning atau keruh sesudah masa suci"
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan
sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari
tanpa kalimat "sesudah masa suci ",
tetapi beliau sebutkan dalam "Bab
Darah Warna Kuning Atau Keruh Di Luar
Masa Haid".
Dan dalam Fathul Baari dijelaskan: "Itu
merupakan isyarat Al-Bukhari untuk memadukan
antara hadits Aisyah yang menyatakan, "sebelum
kamu melihat lendir putih " dan hadits
Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini,
bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita
mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh
pada masa haid. Adapun di luar masa
haid, maka menurut apa yang disampaikan
Ummu Athiyah".
Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits
yang disebutkan oleh Al-Bukhari pada bab sebelumnya
bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya
sehelai kain berisi kapas (yang digunakan
wanita untuk mengetahui apakah masih ada
sisa noda haid) yang masih terdapat
padanya darah berwarna kuning. Maka Aisyah berkata:
"Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat
lendir putih ': maksudnya cairan putih yang
keluar dari rahim pada saat habis masa
haid.
- Darah haid keluar secara terputus-putus.
Yakni sehari keluar darah dan
sehari lagi tidak keluar.
Dalam hal ini terdapat 2 kondisi :
1. Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang
wanita setiap waktu, maka darah itu adalah
darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum
istihadhah.
2. Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada
seorang wanita tetapi kadangkala saja datang dan
dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para
ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi`
ketika tidak keluar darah.
Apakah hal ini merupakan masa suci atau
ternasuk dalam hukum haid?
Madzhab Imam Asy-Syafi'i, menurut salah satu
pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal
ini masih termasuk dalam hukum haid. Pendapat
ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dan pengarang kitab AI-Faiq, juga merupakan madzhab
Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti
ini tidak didapatkan lendir putih; kalaupun diljadikan
sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah
haid dan yang sesudahnya pun haid, dan
tak ada seorangpun yang menyatakan
demikian, karena jika demikian niscaya masa
iddah dengan perhitutungan quru' (haid atau suci)
akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitu
pula jika dijadikan sebagai keadaan suci,
niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena
harus mandi dan lain sebagainya setiap dua
hari; padahal tidaklah syari'at itu
menyulitkan. Walhamdulillah.
Adapun yang masyhur menurut madzhab pengikut
Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar
berarti haid dan jika berhenti berarti suci;
kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah
maksimal masa haid, maka darah yang melampaui
itu adalah istihadhah.
Dikatakan dalam kitab Al-Mughni: "Jika
berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya
tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan
riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan
nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang
dari sehari takperlu diperhatikan. Dan inilah
yang shahih, Insya Allah. Sebab, dalam keadaan
keluarya darah yang terputus-putus (sekali keluar
sekalitidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita
pada setiap saat terhenti keluarnya darah
tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah
Ta 'ala berfinnan:
Atas dasar ini, berhentinya darah yang
kurang dari sehari bukan merupakan keadaan
suci kecuali jika si wanita mendapatkan
bukti yang menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya,
berhentinya darah tersebut: pada akhir
masa kebiasaannya atau ia melihat lendir
putih."
Dengan demikian, apa yang disampaikan pengarang
kitab Al-Mughni merupakan pendapat moderat antara
dua pendapat di atas. Dan Allah Maha
Mengetahui yang benar.
- Terjadi pengeringan darah.
Yakni, si wanita tidak mendapatkan
selain merasa lembab atau basah (pada kemaluannya).
Jika hal ini terjadi pada saat masa
haid atau bersambung dengan haid sebelum
masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi
jika terjadi setelah masa suci, maka
tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti
ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan
darah berwarna kuning atau keruh.
PASAL 4
HUKUM-HUKUM
HAID
Terdapat
banyak hukum haid, ada lebih dari dua
puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum
yang kami anggap banyak diperlukan, antara lain:
- Shalat.
Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan
shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak
sah shalatnya. Jugatidak wajib baginya mengerjakan
shalat, kecuali jika ia
mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak
satu rakaat sempuma, baik pada awal atau akhir
waktunya.
Contoh pada awal waktu: seorang wanita
haid setelah matahari terbenam tetapi ia
sempat mendapatkan sebanyak satu rakaat dari
waktunya. Maka wajib baginya, setelah suci,
mengqadha' shalat maghrib tersebut karena
ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya
yang cukup untuk satu rakaat sebelum kedatangan
haid.
Adapun contoh pada akhir waktu, seorang
wanita suci dari haid sebelum matahari
terbit dan masih sempat mendapatkan satu
rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya,
setelah bersuci, mengqadha' shalat Subuh tersebut
karena ia masih sempat mendapatkan sebagian
dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat.
Namun, jika wanita yang haid mendapatkan
sebagian dari waktu shalat yang tidak cukup
untuk satu rakaat sempuma; seperti: kedatangan haid
- pada contoh pertama - sesaat setelah
matahari terbenam, atau suci dari haid
- pada contoh kedua - sesaat sebelum matahari
terbit, maka shalat tersebut tidak wajib
baginya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam :
"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah
mendapatkan shalat itu. (Hadits Muttafaq 'alaih).
Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang
dari satu rakaat berarti tidak mendapatkan
shalat tersebut.
Jika seorang wanita haid mendapatkan satu
rakaat dari waktu Asar, apakah wajib baginya
mengerjakan shalat dzuhur bersama Ashar, atau
mendapatkan satu rakaat dari waktu Isya'
apakah wajib baginya mengerjakan shalat
Maghrib bersama Isya'?
Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama dalam
masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak
wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan
sebagian waktunya saja, yaitu shalat Ashar
dan Isya'. Karena sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam :
"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum
matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalatAshav itu ': (Hadits
muttafaq 'alaih).
Nabi tidak menyatakan "maka ia telah mendapatkan shalat Zuhur dan
Ashar", juga tidak menyebutkan kewajiban
shalat Zhuhur baginya. Dan menurut kaidah,
seseorang itu pada prinsipnya bebas dari
tanggungan. Inilah madzhab Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan
dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab. 9 (Syarh Al-Muhadzdzab,
Juz 3, hal. 70.)
Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid
dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan
lainnya, membaca hadits, fiqh, do'a dan
aminnya, serta mendengarkan Al Qur'an, maka tidak
diharamkanbagi wanita haid. Hal ini
berdasarkan hadits dalam Shahih Al Bukhari - Muslim dan kitab lainnya
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pemah bersandar di kamar
Aisyah Radhiyallahu 'anha yang ketika itu sedang haid, lain beliau membaca
Al Qur'an.
Diriwayatkan pula dalam Shahih At Bukhari - Muslim dari Ummu 'Athiyah
Radhiyallahu 'anha bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
"Agar keluar para gadis, perawan dan
wanita haid - yakni ke shalat Idul
Fitri dan Adha - serta supaya mereka
ikut menyaksikan kebaikan dan doa orang-orang
yang beriman.
Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat.
Sedangkan membaca Al Qur'an bagi wanita
haid itu sendiri, jika dengan mata atau
dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan
maka tidak apa-apa hukumnya. Misalnya,
mushaf atau lembaran Al Qur'an diletakkaan
lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca.
Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh AlMuhadzdzab
hal ini boleh, tanpa ada perbedaan pendapat.
Adapun jika wanita haid itu membaca Al
Qur'an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya
dan tidak membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu
JarirAt-Thabari dan Ibnul Mundzir membolehkannya.
Juga boleh membaca ayat Al-Qur'an bagi wanita
haid, menurut Malik dan Asy-Syafi'i dalam
pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana disebutkan
dalam kitab Fathul Bari ",serta
menurut Ibrahim An-Nakha'i sebagaimana diriwayatkan
Al-Bukhari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Al-Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan: "Pada dasarnya, tidak ada
hadits yang melarang wanita haid membaca Al Qur'an.
Sedangkan pemyataan "Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca
ayat Al qur 'an " adalah hadits dhaif menurut kesepakatan para
ahli hadits. Seandainya wanita haid dilarang membaca Al Qur'an, seperti
halnya shalat, padahal pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
kaum wanita pun mengalami haid, tentu hal ini termasuk yang
dijelaskan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya,
diketahui para isteri beliau sebagai ibu-ibu kaum mu'minin, serta
disampaikan para sahabat kepada orang-orang. Namun, tidak ada seorangpun
yang menyampaikan bahwa ada larangan dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dalam masalah ini. Karena itu, tidak
boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa
Nabi tidak melarangnya. Jika Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam tidak melarangnya, padahal banyak pula wanita haid pada
zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya."
Setelah mengetahui perbedaan pendapat di antara
para ulama, seyogyanya kita katakan, lebih utama
bagi wanita haid tidak membaca Al Qur'an
secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya,
seorang guru wanita yang perlu mengajarkan
membaca Al Qur'an kepada siswi-siswinya,
atau seorang siswi yang pada waktu ujian
perlu diuji dalam membaca Al Qur'an, dan
lain sebagainya.
- Puasa
Diharamkan bagi wanita haid berpuasa,
baik puasa wajib maupun sunat, dan tidak
sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi
ia berkewajiban mengqadha' puasa yang wajib,
berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha:
"Ketika kami mengalami haid, diperintahkan
kepada kami mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan
mengqadha' shalat". (Hadits muttafaq 'alaih).
Jika seorang wanita kedatangan haid ketika
sedang berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun
hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib,
dan wajib baginya mengqadha' puasa hari
itu jika puasa wajib. Namun, jika ia merasakan
tanda-tanda akan datangnya haid sebelum
maghrib, tetapi baru keluar darah setelah
maghrib, maka menurut pendapat yang shahih
bahwa puasanya itu sempuma dan tidak batal.
Alasannya, darah yang masih berada di
dalam rahim belum ada hukumnya. Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam ketika ditanya tentang
wanita yang bermimpi dalam tidur seperti
mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi?
Beliau pun menjawab: " Ya, jika wanita
itu melihat adanya air mani"
Dalam hadits ini Nabi mengaitkan hukum
dengan melihat air mani, bukan dengan tanda-tanda
akan keluarnya. Demikian pula masalah haid,
tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan
melihat adanya darah keluar, bukan dengan
tanda-tanda akan keluarnya.
Juga jika pada saat terbitnya fajar seorang
wanita masih dalam keadaan haid maka tidak
sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia
suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika
suci menjelang fajar, maka sah puasanya
sekalipun ia baru mandi setelah terbit fajar.
Seperti halnya orang dalam keadaan junub,
jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan
junub dan belum sempat mandi kecuali
setelah terbit fajar, maka sah puasanya.
Dasarya, hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, katanya:
"pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dalam keadaan junub karena jima', bukan karena mimpi, lalu beliau
berpuasa". (Hadits muttafaq 'alaih).
- Tawaf
Diharamkan bagi wanita haid
melakukan thawaf di Ka'bah, baik yang wajib
maupun sunat, dan tidak sah thawafnya. Berdasarkan
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Aisyah:
"Lakukanlah apayang dilakukanjemaah haji, hanya
saja jangan melakukan rhavaf di Ka'bah sebelum
kamu suci.
Adapun kewajiban lainnya, seperti sa'i antara
Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, bermalam
di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah
dan amalan haji serta umrah selain itu,
tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika
seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan
suci, kemudian keluar haid langsung setelah
thawaf, atau di tengah-tengah melakukan sa'i, maka
tidak apa-apa hukumnya.
- Thawaf Wada'
Jika seorang wanita telah mengejakan
seluruh manasik haji dan umrah, lain
datang haid sebelum keluar untuk kembali
ke negerinya dan haid ini terus berlangsung
sampai ia keluar, maka ia boleh berangkat
tanpa thawaf wada'. Dasarya, hadits Ibnu
Abbas Radhiyallahu 'anhuma:
"Diperintahkan kepada jemaah haji agar
saat-saat terakhir bagi mereka berada di
Baitullah (melakukan thawaf wada'), hanya
saja hal itu tidak dibebankan kepada
wanita haid. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dan tidak disunatkan bagi wanita haid
ketika hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil
Haram dan berdo'a. Karena hal ini tidak
ada dasar ajarannya dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam , sedangkan seluruh ibadah
harus berdasarkan pada ajaran (sunnah) Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam . Bahkan, menurut ajaran
(sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah sebaliknya.
Sebagaimana disebutkan dalam kisah Shafiyah, Radhiyallahu
'anha, ketika dalam keadaan haid setelah
thawaf ifadhah Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda kepadanya: "Kalau demikian,
hendaklah ia berangkat" (Hadits Muttafaq
'Alaih).
Dalam hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya
mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal
itu disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap
wajib bagi wanita haid, dan dilakukan
setelah suci.
- Berdiam dalam Masjid
Diharamkan bagi wanita haid berdiam
dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya
berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkanhadits
Ummu Athiyah Radhiallahu bahwa ia mendengar Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Agar keluar para gadis, perawan dan
wanita haid...Tetapi wanita haid menjauhi
tempat shalat." (Hadits Muttafaq 'Alaih).
- Jima' (senggama)
Diharamkan bagi
sang suami melakukan jima'dengan isterinya yang
sedang haid, dan diharamkan bagi sang
isteri memberi kesempatan kepada suaminya melakukan
hal tersebut. Dalilnya, firman Allah Ta 'ala:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran':
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktuu haid dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka besuci…." (Al-Baqarah:
222)
Yangdimaksud dengan ….. dalam ayat di atas
adalah waktu haid atau tempat keluamya yaitu
farji (vagina).Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam : "Lakukan apa saja, kecuali nikah (yakni:
bersenggama)." (Hadits riwayat Muslim).
Umat Islam juga telah berijma' (sepakat) atas
dilarangnya suami melakukan jima ' dengan isterinya
yang sedang haid dalam farjinya.
Oleh karena itu, tidak halal bagi orang
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian
melakukan perbuatan mungkar ini, yang telah dilarang
oleh Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya shallallahu
'alaihi wasallam dan ijma' ummat Islam. Maka
siapa yang melanggar larangan ini, berarti
ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta
mengikuti selain jalan orang-orang yang
beriman.
An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' Syarh AlMuhadzdzab
mengatakan: "Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang
yang melakukan hal itu telah berbuat dosa
besar. Dan menurut para sahabat kami serta
yang lainnya, orang yang menghalallkan senggama
dengan isteri yang haid hukumnya kafir."
Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan
melakukan selain jima' (senggama), seperti: berciuman,
berpelukan dan bersebadan pada selain daerah
farji (vagina).
Namun, sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah
antara pusat dan lutut kecuali jika sang
isteri mengenakan kain penutup. Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiallahu 'anha:
74.
"Pemah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkain, lalu
beliau menggauliku sedang aku dalam keadaan haid."
(Hadits muttafaq 'alaih).
- Talak
Diharamkan bagi seorang suami mentalak
isterinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah Ta
'ala:
"Hai Nabi, apabila Kamu menceraikan isteri-terimu
maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada
waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)
... "(Ath-Thalaq: 1)
Maksudnya, isteri-isteri itu ditalak dalam keadaan
dapat menghadapi iddah yang jelas. Berarti,
mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil
atau suci sebelum digauli.
Sebab, jika seorang isteri ditalak dalam
keadaan haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya
karena haid yang sedang dialami pada saat
jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk
iddah.
Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci
setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya
tidakjelas karena tidak dapat diketahui apakah
ia hamil karena digauli tersebut atau tidak. Jika
hamil, maka iddahnya dengan kehamilan; danjika
tidak, maka iddahnya dengan haid. Karena
belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka
diharamkan bagi sang suami mentalak
isterinya sehingga jelas permasalahan tersebut.
Jadi, mentalak isteri yang sedang haid haram
hukumnya. Berdasarkan ayat di atas dan hadits
dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam Shahih
Al-Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya,
bahwa ia telah menceraikan isterinya dalam
keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan
hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam .
Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun marah
dan bersabda:
"Suruh ia merujuk isterinya kemudian mempertahankannya
sampai ia suci, lalu haid lalu suci
lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat
mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli. Karena
itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam
mentalak isteri."
Dengan demikian,berdosalah seorang suami andai kata
mentalak isterinya yang sedang haid. Ia
harus bertaubat kepada Allah dan merujuk
isterinya untuk kemudian mentalaknya secara syar'i
sesuai dengan perintah Allah dan
Rasul-Nya. Yakni, setelah merujuk isterinya
hendaklah ia membiarkannya' sampai suci dari haid
yang dialaminya ketika ditalak, kemudian haid
lagi, setelah itu jika ia menghendaki dapat
mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya mentalak isteri yang
sedang haid ada tiga masalah yang dikecualikan:
1. Jika talak terjadi sebelum berkumpul dengan
isteri atau sebelum menggaulinya (dalam keadaan
pengantin baru misalnya, pent.), maka boleh
mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab, dalam kasus
demikian, si isteri tidak terkena iddah, maka talak
tersebut pun tidak menyalahi firman :
"….Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (
menghadapi) iddahnya (yang wajar)…" (Ath-Thalaq : 1)
2. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana
telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.
3. Jika talak tersebut atas dasar 'iwadh(penggantian),
maka boleh bagi suami menceraikan isterinya yang
sedang haid.
Misalnya, terjadi percekcokan dan hubungan yang
tidak harmonis lagi antara suami-isteri. Lalu
si isteri meminta suami agar mentalaknya
dan suami memperoleh ganti rugi karenanya, maka hal
itu boleh sekalipun isteri dalam keadaan
haid. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhuma:
" Bahwa isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata : "Ya Rasulullah,
sungguh aku tidak mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku
takut akan kekafiran dalam Islam." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bertanya : "Maukah kamu mengembalikan kepadanya?" Wanita itu
menjawab: "Ya" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun
bersabda (kepada suaminya): "Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia"
(Hadits riwayat Al-Bukhari).
Dalam hadits tadi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya
apakah si isteri sedang haid atau suci. Dan karena talak ini dibayar oleh
pihak isteri dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam keadaan
bagaimanapun, jika memang diperlukan Dalam kitab Al-Mughni disebutkan
tentang alasan bolehnya khulu' (cerai atas permintaan pihak isteri dengan
membayar tebusan) dalam keadaanhaid: "Dilarangnya talak dalam keadaan
haid adalah adanya madhmat (bahaya) bagi si isteri dengan menunggu
lamanya masa 'iddah. Sedang khulu ' adalah untuk
menghilangkan madhmat bagi si isteri disebabkan
hubungan yang tidak harmonis dan sudah tidak tahan tinggal
bersama suami yang dibenci dan tidak disenanginya. Hal ini
tentu lebih besar madharatnya bagi si isteri daripada
menunggu lamanya masa 'iddah, maka diperbolehkan
menghindari madharat yang lebih besar dengan menjalani sesuatu
yang lebih ringan madharatnya.
Karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya kepada wanita
yang meminta Khulu' tentang keadaannya."
Dan dibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang haid, karena
hal itu pada dasamya adalah halal, dan tidak ada dalil yang melarangnya.
Namun, perlu dipertimbangkan bila suami diperkenankan
berkumpul dengan isteri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak
dikhawatirkan akan menggauli isterinya yang sedang haid tidak apa-apa.
Sebaliknya, jika dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul
dengannya sebelum suci untuk menghindari hal-hal yang dilarang.
- Iddah talak dihitung
dengan haid.
Jika seorang suami menceraikan isteri yang telah digauli
atau berkumpul dengannya,maka si isteri harus beriddah selama tiga kali
haid secara sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan
tidak hamil. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'…" (Al-Baqarah : 28).
Tiga kali guru' artinya tiga kali haid. Tetapi jika si isteri dalam
keadaan hamil, maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya
itu lama maupun sebentar.
Berdasarkan firman Allah:
"….Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq: 4)
Jika si isteri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan belum
mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah operasi
pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat haid
kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah:
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq:4)
Jika si isteri termasuk wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti
haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia
tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali
mendapati haid dan ber-iddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah
tidak ada,seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui
sementara haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu tahun penuh
terhitung mulai dari tidak adanya sebab tersebut. Inilah pendapat yang
shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar'iyah Dengan alasan, jika
sebab itu sudah tidak ada sementara haid tak kunjung datang maka wanita
tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti haidnya karena sebab yang
tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya karena sebab yang tidakjelas, maka
iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan perhitungan: sembilan bulan
sebagai sikap hati-hati untuk kemungkinan hamil(karena masa
kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan untuk iddahnya.
Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang suami belum
mencampuri dan menggauli isterinya, maka dalam hal ini tidak ada iddah
sama sekali, baik dengan haid maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah :
"Hai orang-orangyang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib iddah yang
kamu minta menyempurnakannya.. " (Al-Ahzaab: 49 )
- Keputusan bebasnya
rahim.
Yakni keputusan bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini
diperlukan selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini
berkaitan dengan beberapa masalah.
Antara lain, apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita (isteri) yang
kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita
setelah itu bersuami lagi.
Maka suaminya yang barn itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau
jelas kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya, maka kita
hukumi bahwa janin yang dikandungnya mendapatkan hak warisan
karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati.
Namun, jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang
pertama), maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan
hak warisan karena kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari
kehamilan dengan adanya haid.
- Kewajiban mandi.
Wanita haid jika telah suci wajib mandi dengan
membersihkan seluruh badannya. Berdasarkan sabda Nabi kepada Fatimah binti
Abu Hubaisy:
"Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah
suci mandilah dan kerjakan shalat." (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membersihkan seluruh anggota badan
sampai bagian kulit yang ada di bawah rambut. `Yang afdhal (lebih utama),
adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl tentang mandi haid,
beliau bersabda:
"Hendaklah seseorang diantara kamu mengambil air dan daun bidara lalu
berwudhu sempurna, kemudian menguyurkan air diatas kepala dan
menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga merata keseluruh kepalanya,
selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya. Setelah itu mengambil
sehelai kain putih yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. 'Asma bertanya:
"Bagaimana bersuci dengannya?" Nabi menjawab:
"Subhanallah." Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata:
"Ikutilah bekas-bekas darah." (HR. Muslim )
Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikhawatirkan
air tidak sampai kedasar rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang
tersebut dalam Shahih Muslim Mtrslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha
bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
"Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku melepaskannya
untuk mandi janabat?" Menurut riwayat lain "untuk (mandi) haid
danJanabat?" Nabi bersabda :"Tidak. Cukup kamu siram kepalamu
tiga kali siraman (dengan tanganmu), lalu kamu guyurkan air ke seluruh
tubuhmu, maka kamupun menjadi suci."
Apabila wanita haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, ia harus
segera mandi agar dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia sedang
dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tetapi takut membahayakan
dirinya dengan menggunakan air, atau sakit dan berbahaya baginya air, maka
ia boleh bertayammum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang
menghalanginya itu tidak ada lagi, kemudian mandi.
Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi
menunda mandi ke waktu lain, dalihnya:
''Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini." Akan
tetapi ini bukan alasan ataupun halangan karena boleh baginya mandi
sekedar untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya.
Apabila kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan
sempurna.
PASAL 5
ISTIHADHAH DAN HUKUM-HUKUMNYA
1.Makna
Istihadah
Istihadhah
ialah keluamya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali
atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.
Dalil
kondisi pertama, yakni keluamya darah terus-menerus tanpa henti sama sekali,
hadits riwayat Al- Bukhari dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti
Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
:
"Ya Rasulullah, sungguh aku ini tak pemah suci "
Dalam riwayat lain· "Aku mengalami istihadhah maka tak pemah suci. "
Dalil
kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali sebentar, hadits dari Hamnah
binti Jahsy ketika datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata:
"Ya
Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali. "
(Hadits riwayat Ahmad,AbuDawud dan At-Tirmidi dengan menyatakan shahih.
Disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad shahih, sedang menurut
Al-Bukhari hasan.
Kondisi wanita
mustahadhah
Ada
tiga kondisi bagi wanita mustahadhah:
- Sebelum
mengalami istihadhah, ia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi
ini, hendaklah ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui
sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya
hukum-hukum haid.
Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya
hukum-hukum istihadhah.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari pada
setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah
dan darahnya keluar terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari
pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah.
Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti Abi
Hubaisy bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
"Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah maka tidak pernah
suci, apakah aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: Tidak, itu adalah
darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu
haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat. " (Hadits
riwayat Al-Bukhari).
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda kepada Ummu Habibah binti Jahsy:
"Diamlah selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan
lakukan shalat. "
Dengan demikian,wanita mustahadhah yang haidnya sudah jelas waktunya
menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan shalat, biar pun
darah pada saat itu masih keluar.
- Tidak
mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami istihadhah, karena
istihadhah tersebut terus-menerus terjadi padanya mulai dari saat pertama
kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan
tamyiz (pembedaan); seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental,.
atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum
haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan
berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Misalnya, seorang wanita pada saat pertama kali mendapati
darah dan darah itu keluar terus menerus; akan tetapi ia dapati
selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya berwama hitam kemudian setelah
itu berwama merah, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan
darahnya kental kemudian setelah itu encer, atau ia dapati selama sepuluh
hari dalam sebulan berbau darah haid tetapi setelah itu tidak berbau maka
haidnya yaitu darah yang berwama hitam (pada kasuspertama), darah kental
(pada kasus kedua) dan darah yang berbau (padakasus ketiga). Sedangkan
selain hal tersebut, dianggap sebagai darah istihadhah.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah
binti Abu Hubaisy:
Darah haid yaitu apabila berwarna hitam yang dapat diketahui. Jika
demikian maka tinggalkan shalat. Tetapi jika selainnya maka berwudhulah
dan lakukan shalat karena itu darah penyakit. (Hadits riwayat Abu Dawud,
An-Nasa'I dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya,
telah diamalkan oleh para ulama' rahimahumullah. Dan hal itu lebih utama
daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
- Tidak
mempunyai haid yangjelas waktunya dan tidak bisa dibedakan secara tepat
darahnya. Seperti: jika istihadhah yang dialaminya terjadi terus-menerus
mulai dari saat pertama kali melihat darah sementara darahnya
menurut satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap
sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan
kaum wanita pada umumnya.
Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan
dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah Sedang
selebihnya merupakan istihadhah.
Misalnya, seorang wanita saat pertama kali melihat darah pada
tanggal 5 dan darah itu keluar terus-menerus tanpa dapat
dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui wama ataupun
dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama
enam atau tujuh hari dimulai dari tanggal tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy Radhiyallahu 'anha
bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
"Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami istihadah yang deras
sekali. Lalu bagaimana pendapatmu tentangnya karena ia telah menghalangiku
shalat dan berpuasa? Beliau bersabda: "Aku beritahukan kepadamu
(untuk menggunakan) kapas dengan melekatkannya pada farji, karena hal itu
dapat menyerap darah". Hamnah berkata: "Darahnya lebih banyak
dari itu". Nabipun bersabda: "Ini hanyalah salah satu usikan
syetan. Maka hitunglah haidmu 6 atau 7 hari menurut ilmu Allah Ta'ala lalu
mandilah sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah
selama 24 atau 3 hari, dan puasalah." (Hadits riwayat Ahmad,Abu
Dawud dan At-Tirmidzi. Menurut Ahmad dan At-Tirmidzi hadits ini shahih,
sedang menurut Al-Bukhari hasan).
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : 6 atau 7 hari tersebut bukan
untuk memberikan pilihan, tapi agar si wanita berijtihad dengan cara
memperhatikan mana yang lebih mendekati kondisinya dari wanita lain
yang lebih mirip kondisi fisiknya, lebih dekat usia dan hubungan
kekeluargaannya serta memperhatikan mana yang lebih mendekati haid dari
keadaan darahnya dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Jika kondisi yang lebih mendekati selama 6 hari, maka dia hitung masa
haidnya 6hari; tetapi jika kondisi yang lebih mendekati selama 7
hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.
3.
Hal Wanita Yang Mirip Mustahadhah
Kadangkala
seorang wanita, karena sesuatu sebab, mengalami pendarahan pada farjinya,
seperti karena operasi pada rahim atau sekitarnya. Hal ini ada dua macam:
- Diketahui
bahwa si wanita tidak mungkin haid lagi setelah operasi, seperti operasi
pengangkatan atau penutupan rahim yang mengakibatkan darah tidak
bisa keluar lagi darinya, maka tidak berlaku baginya
hukum-hukum mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita yang mendapati
cairan kuning, atau keruh, atau basah setelah masa suci. Karena itu ia
tidak boleh meninggallkan shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib
baginya mandi karena keluarnya darah,tapi ia harus membersihkan darah
tersebut ketika hendak shalat dan supaya melekatkan kain atau semisalnya
(seperti pembalut wanita) pada farjiya untuk menahan keluarnya darah,
kemudian berwudhu untuk shalat. Janganlah ia berwudhu untuk shalat kecuali
telah masuk waktunya,jika shalat itu telah tertentu waktunya seperti
shalat lima waktu; jika tidak tertentu waktunya maka ia berwudhu ketika
hendak mengerjakannya seperti shalat sunat yang mutlak.
- Tidak
diketahui bahwa siwanita tidak bisa haid setelah operasi, tetapi
diperkirakan bisa haid lagi. Maka berlaku baginya hukum mustahadhah. Hal
ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada
Fatimah binti Abi Hubaisy:
" Itu hanyalah darah penyakit, bukan haid. Jika datang haid, maka
tinggalkan shalat."
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Jika datang haid..."
menunjukkan bahwa hukum mustahadhah berlaku bagi wanita yang
berkemungkinan haid, yang bisa datang atau berhenti.
Adapun wanita yang tidak berkemungkinan haid maka darah yang keluar pada
prinsipnya, dihukumi sebagai darah penyakit.
4.
Hukum-Hukum Istihadhah
Dari
penjelasan terdahulu, dapat kita mengerti kapan darah itu sebagai darah haid
dan kapan sebagai darah istihadhah.
Jika
yang terjadi adalah darah haid maka berlaku baginya hukum-hukum haid,
sedangkan jika yang terjadi darah istihadhah maka yang berlalku pun hukum-hukum
istihadhah.
Hukum-hukum
haid yang penting telah dijelaskan di muka. Adapun hukum-hukum istihadhah
seperti,halnya hukum-hukum tuhr (keadaan suci). Tidak ada perbedaan antara
wanita mustahdhah dan wanita suci, kecuali dalam hal berikut ini:
- Wanita
mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat. Berdasarkan sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
" Kemudian berwudhulah kamu setiap kali hendak shalat" (Hadits
riwayat Al-Bukhari dalam Bab Membersihkan Darah).
Hal itu memberikan pemahaman bahwa wanita
mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya
kecuali jika telah masuk waktunya.
Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia bervudhu pada saat
hendak melakukannya
- Ketika
hendak berwudhu, membersihkan sisa-sisa darah dan melekatkan kain dengan
kapas (atau pembalut wanita) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Hamnah:
"Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, karena hal itu
dapat menyerap darah". Hamnah berkata: 'Darahnya lebih banyak dari
itu". Beliau bersabda: "gunakan kain!". Kata Hamnah:
"Darahnya masih banyak pula". Nabipun bersabda: "Maka
pakailah penahan!"
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak
apa-apa hukumnya. Karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
"Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian
mandilah dan berwudhulah untuk setiap kali
shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes
di atas alas. " Hadits riwayat Ahmad
dan Ibnu Majah).
- Jima'
(senggama). Para ulama berbeda pendapat
tentang kebolehannya pada kondisi bila
ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina.
Yang benar adalah boleh secara mutlak Karena
ada banyak wanita,mencapai sepuluh atau lebih,
mengalami istihadhah pada zaman Nabi shallallahu
'alaihi wasallam ,sementara Allah dan Rasul-Nya tidak melarang
jima' dengan mereka. Firman Allah Ta 'ala:
... hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haid ... "
(Al-Baqarah: 222)
Ayat ini menunjukkan bahwa di luar
keadaan haid, suami tidak wajib menjauhkan
diri dari isteri. Kalaupun shalat saja
boleh dilakukan wanita mustahadhah, maka jima
'pun tentu lebih boleh Dan tidak benar
jima' wanita mustahadhah dikiaskan dengan jima
'wanita haid,karena keduanya tidak sama, bahkan
menurut pendapat para ulama yang menyatakan haram.
Sebab, mengkiaskan sesuatu dengan hal yang
babeda adalah tidak sah.
PASAL 6
NIFAS DAN HUKUM-HUKUMNYA
- Makna Nifas
Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan
kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya
( 2
atau 3 hari)
yang disertai dengan rasa sakit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang
wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas." Beliau tidak
memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian
disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas
minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya
tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at, halaman
37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang
wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka
itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan
bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu
merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut
kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak
tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu
sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama
itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa
haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti
setelah masa (40hari) itu, maka hendaklah hal tersebut
dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada
masa mendatang.
Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal
ini,hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah
dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan
berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari.
Untuk itu hendaklah ia mandi
,
shalat, berpuasa dan boleh digauli
oleh suaminya.Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari
satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam
kitab Al-Mughni.
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecualijika si wanita melahirkan bayi yang
sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya
belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah
nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku
baginya adalah hukum wanita mustahadhah.
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari
mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu
Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna':
"Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit
sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas).
Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian,
apabila sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia
segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak teryata demikian,
tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak pedu kembali
mengerjakan kewajiban"
- Hukum-hukum Nifas
Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan
hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:
- Iddah.
dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak
jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena melahirkan
bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan,
maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.
- Masa
ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa nifas tidak.
Ila' yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya
selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah
demikian dan si isteri menuntut suami menggaulinya, maka
suami diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa
tersebut, suami diharuskan menggauli isterinya, atau menceraikan atas
permintaan isteri. Dalam masa ila' selama empat bulan bila si wanita
mengalami nifas, tidak dihitung terhadap
sang suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa
nifas.
Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
- Baligh.
Masa baligh terjadi denganhaid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita
tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka masabaligh seorang wanita
terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.
- Darah
haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya,
maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita yang
biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti
selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan;
maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah
haid.
Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian
keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu
wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada
waktunya dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid,
kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha' apa
yang diperbuatnya selama keluarya darah yang diragukan, yaitu yang wajib
diqadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para fuqaha '
dari Madzhab Hanbali.
Yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan
masih sebagai nifas maka termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid.
Kecuali jika darah itu keluar terus menerus maka merupakan
istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab
AI-Mughni' bahwa Imam Malik mengatakan:
"Apabila
seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak
berhentinya,maka itu termasuk nifas.
Jika tidak, berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah.
Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda
dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal
Al-Qur'an dan Sunnah berisi penjelasan atas segala sesuatu.
Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali,
kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat
diatasi kecuali dengan mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat
mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya maka ia telah terbebas
dari tanggungannya. Sebagaimana firman Allah:
"Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan..
"(Al-Baqarah: 286).
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ...
"(At-Taghabun : 16)
- Dalam
haid,jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan
tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum
empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang
masyhur dalam madzhab Hanbali.
Yang benar,menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang
menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan bahwa hal itu
dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu
Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia
berkata: "Jangan kau dekati aku !".
Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli
isterinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman,
yaknik hawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat
mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya.
Wallahu a 'lam.
PASAL 7
PENGGU'NAAN
ALAT PFNCEGAH ATAU PERANGSANG HAID,
PENCEGAH KEHAMILAN DAN PENGGUGUR KANDUNGAN
- Pencegah Haid
Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah
haid, tapi dengan dua syarat:
- Tidak
dikhawatirkan membahayakan dirinya. Bila dikhawatirkan membahayakan
dirinya karena menggunakan alat tersebut, maka hukumnya tidak boleh.
Berdasarkan firman Allah Ta 'ala:
"... Dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,... ( Al-Baqarah : 195).
"… Dan janganlah
kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang
kepadamu."(An Nisa': 29).
- Dengan
seizin suami, apabila penggunaan alat tersebut mempunyai kaitan denganya.
Contohnya, si isteri dalam keadaan beriddah dari suami yang masih
berkewajiban memberi makan kepadanya, menggunakan alat pencegah haid
supaya lebih lama masa iddahnya dan bertambah nafkah yang diberikannya.
Hukumya, tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat pencegah haid saat
itu kecuali dengan izin suami.
Demikian pula jika terbukti bahwa pencegahan haid dapat mencegah
kehamilan,maka harus dengan seizin suami.
Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak menggunakan alat
pencegah haid kecuali jika dianggap perlu.
Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya
kesehatan dan keselamatan.
- Perangsang Haid
Diperbolehkan juga penggunaan alat perangsang haid,
dengan dua syarat:
- Tidak
menggunakan alat tersebut dengan tujuan menghindarkan diri dari suatu
kewajiban. Misalnya, seorangwanita menggunakan alat perangsang haid pada
saat menjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak berpuasa, atau tidak
shalat, dan tujuan negatif lainnya.
- Dengan
seizin suami karena terjadinya haid akan mengurangi kenikmatan hubungan
suami isteri. Maka tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat yang dapat
menghalangi hak sang suami kecuali dengan restunya. Dan jika si isteri
dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan mempercepat gugurya hak
rujuk bagi sang suami jika ia masih boleh rujuk
- Pencegah Kehamilan
Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:
- Penggunaan
alat yang dapat mencegah kehamilan untuk selamanya. Ini tidak boleh
hukumnya, sebab dapat menghentikan kehamilan yang mengakibatkan
berkurangnya j~rmlah ketunaan Dan hal ini bertentangan dengan anjuran
Nabi shallallahu alaihi wasalam agar memperbanyakjumlah umat Islam,
selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia
sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.
- Penggunaan
alat yang dapat mencegah kehamilan sementara. Contohnya, seorang wanita
yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia ingin
mengaturjarak kehamilannya menjadi dua tahunsekali. Maka penggunaan alat
ini diperbolehkan dengan syarat: seizin suami, dan alat tersebut tidak
membahayakan dirinya Dalilnya,bahwa para sahabat pernah melakukan 'azl
terhadap isteri mereka pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasalam
untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu alaihi wasalam
tidak melarangnya. 'Azl yaitu tindakan - pada saat bersenggama - dengan
menumpahkan sperma diluar farji (vagina) si isteri.
- Penggugur Kandungan
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan, ada dua
macam:
- Penggunaan
alat penggugur'kandungan yang bertujuan membinasakan janin. Jika janin
sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak syak lagi adalah haram,
karena termasuk membunuh jiwayang dihormati tanpa dasar yang benar.
Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya menurut Al Qur'an, Sunnah dan
ijma' kaum Muslimin. Namun, jika janin belum mendapatkan ruh, maka para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama membolehkan,
sebagian lagi melarang. Ada pula yang mengatakan boleh sebelum
berbentuk darah,artinya sebelum benrmur 40 hari. Ada pula yang
membolehkan jika janin belum berbentuk manusia.
Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak boleh melakukan tindakan
menggugurkan kandungan, kecuali jika ada kepentingan
Misalnya, seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi
mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini,
ia boleh menggugurkan kandungannya, kecuali jika janin tersebut
diperkirakan telah berbentuk manusia maka tidak boleh. Wallallahu A
'lam..
- Penggunaan
alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan membinasakan janin.
Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada wanita hamil
yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan. Maka
hal ini boleh hukumnya, dengan syarat: tidak membahayakan bagi si ibu
maupun anaknya dan tidak memerlukan operasi. Kalaupun memerlukan operasi,
maka dalam masalah ini ada empat hal:
- Jika
ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh
dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti: sulit bagi si
ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi. Hal itu demikian, karena
tubuh adalah amanat Allah yang dititipkan kepada manusia, maka dia
tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali
untuk maslahat yang amat besar. Selain itu dikiranya bahwa mungkin tidak
berbahaya operasi ini, tapi temyata membawa bahaya.
- Jika
ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh
dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan
sia-sia.
- Jika
si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka
boleh dilakukan operasi untuk mengluarkan bayinya, kecuali jika
dikhawatirkan membahayakan si ibu. Sebab, menurut pengalaman-Wallallahu
a'lam - bayi yang meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat
dikeluarkan kecuali dengan operasi. Kalapun dibiarkan terus dalam
kandungan, dapat mencegah kehamilan si ibu pada masa mendatang dan
merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tak bersuami jika
ia dalamkeadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.
- Jika
si ibu meninggal, sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi
ini,jika bayi yang dikandung diperkirakan tak ada harapan untuk hidup,
maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun, jika ada harapan untuk hidup,
seperti sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan pembedahan
terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut. Tetapi,jika
sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar,maka ada yang berpendapat
bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu untuk
mengeluarkan bayi yang dikandungnya,karena hal itu merupakan tindakan
penyiksaan.
Yang benar, boleh dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk
mengeluarkan bayinya jika tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang
menjadi pilihan Ibnu Hubairah. Dikatakan dalam kitab Al Inshaf,
"Pendapat ini yang lebih utama".
Apalagi pada zaman sekarang ini,operasi bukanlah merupakan tindakan
penyiksaan Karena, setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan
kehormatan orang yang masih hidup lebih besar daripada orang yang sudah
meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari
kehancuran adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia
yang terpelihara, maka wajib menyelamatkannya.
Wallahu a'lam.
Perhatian:
Dalam
hal diperbolehkannya menggunakan alat penggugur kandungan sebagaimana di atas
(untuk mempercepat proses kelahiran), harus ada izin dari pihak pemilik
kandungan, yaitu suami.
PENUTUP
Sampai
di sinilah apa yang ingin kami tulis dalam judul segala cabang dan bagian
masalah serta apa yang terjadi pada wanita dalam permasalahan ini bagai
samudera tak bertepi.
Namun,
orang yang mengerti tentu dapat mengembalikan cabang dan bagian permasalahan
kepada pokok dan kaidah umumnya serta dapat mengkiaskan segala sesuatu dengan
yang semisalnya.
Perlu
diketahui oleh mufti (pemberi fatwa), bahwa dirinya adalah penghubung antara
Allah dan para hamba-Nya dalam menyampaikan ajaran yang dibawa RasuI-Nya dan
menjelaskannya kepada mereka. Dia akan ditanya tentang kandungan Al Qur'an dan
Sunnah, yang keduanya merupakan sumber hukum yang diperintahkan untuk dipahami
dan diamalkan. Setiap yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Sunnah adalah
salah, dan wajib ditolak siapapun orang yang mengucapkannya serta tidak boleh
diamalkan, sekalipun orang yang mengatakannya mungkin dimaafkan karena
berijtihad dan mendapat pahala atas ijtihadnya, tetapi orang lain yang mengetahui
kesalahannya tidak boleh menerima ucapannya.
Seorang
mufti wajib memurnikan niatnya, semata-mata karena Allah Ta'ala, selalu memohon
ma'unah-Nya dalam segala kondisi yang dihadapi, meminta ke hadirat-Nya
ketetapan hati dan petunjuk kepada kebenaran.
Al-Qur'an
dan Sunnah wajib menjadi pusat perhatiannya. Dia mengamati dan meneliti
keduanya atau menggunakan pendapat para ulama untuk memahami keduanya.
Sering
terjadi suatu permasalahan, ketika jawabannya dicari pada pendapat para ulama
tak didapati ketenangan atau kepuasan dalam keputusan hukumnya, bahkan mungkin
tidak diketemukan jawabannya sama sekali. Akan tetapi setelah kembali kepada
Al-Qur'an dan Sunnah tampak baginya hukum permasalahan itu dengan mudah dan
gamblang.Hal itu sesuai dengan keikhlasan, keilmuan dan pemahamannya.
Wajib
bagi mufti bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan hukum
manakala mendapatkan sesuatu yang rumit. Betapa banyak hukum yang diputuskan
secara tergesa-gesa, kemudian setelah diteliti ternyata salah. Akhirnya hanya
bisa menyesali dan mungkin fatwa yang terlanjur disampaikan tidak bisa
diluruskan.
Seorang
mufti jika diketahui bersikap hati-hati dan teliti, ucapanmya akan dipercaya
dan diperhatikan. Tetapi jika dikenal ceroboh yang seringali membuat
kekeliruan, niscaya fatwanya tidak akan dipercaya orang. Maka dengan
kecerobohan dan kekeliruannya dia telah menjauhkan dirinya dan orang lain
dari ilmu dan kebenaran yang diperolehnya.
Semoga
Allah Ta'ala menunjukkan kita dan kaum Muslimin kepada jalan-Nya yang lurus,
melimpahkan inayah-Nya dan menjaga kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan.
Sungguh,
Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Salawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad,
juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Puji bagi Allah, dengan
nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan