Pribadi yang
Berkualitas
Bulan Ramadhan telah berlalu. Di
bulan mulia yang penuh berkah dan ampunan itu setiap pribadi muslim dididik dan
digembleng untuk menjadi insan yang bertakwa. Pertanda ketakwaan seseorang adalah
kesanggupannya untuk mengendalikan diri dalam menjalani hidup. Selama sebulan
penuh Allah SWT melatih hamba-Nya agar menjadi orang yang gemar berbuat kebajikan,
mengekang hawa nafsu, dan menghiasi hidupnya dengan hal-hal yang bermanfaat.
Di bulan Ramadhan setiap muslim
dituntut untuk sanggup mengendalikan tingkah laku dan sepak terjangnya dari
perbuatan maksiat dan hal-hal yang membatalkan pahala puasa. Ketidakmampuannya
menjaga tingkah laku dan sepak terjangnya berakibat fatal karena ia tidak
memperoleh apa-apa dari puasa yang ia jalani kecuali lapar dan dahaga. Secara
syari’at puasanya sah, kewajibannya telah gugur tetapi secara hakikat ia gagal
naik ke derajat takwa.
Di bulan Ramadhan setiap muslim dituntut
untuk pandai-pandai mengelola panca indera,
anggota tubuh, dan hatinya agar fokus pada kebaikan dan hal-hal positif.
Kedua mata yang kita miliki agar dimanfaatkan untuk membaca dan mengkaji Kitab
Suci-Nya, kedua telinga yang kita miliki agar dimanfaatkan untuk mendengarkan
nasehat dan perkataan yang akan menuntun
kita ke jalan yang benar, kedua tangan digunakan untuk gemar bersedekah dan
membantu antarsesama, kedua kaki digunakan untuk gemar bersilaturahmi dan
mendatangi majlis-majlis ilmu, lidah agar dijaga dari perkataan-perkataan yang
kotor atau menyakitkan, dan hati agar dijaga dari sifat sombong, rakus, riya’ apalagi
iri dan dengki.
Sehubungan dengan puasa itu
merupakan ibadah yang melibatkan aspek fisik dan mental secara bersamaan dan
sifatnya yang sangat pribadi maka besaran pahala berpuasa adalah rahasia Allah dan
hanya Allah yang tahu. Dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman: “Semua
kebaikan yang dilakukan manusia akan dilipatgandakan pahalanya antara sepuluh
sampai tujuhratus kali kecuali puasa, maka sesungguhnya puasa itu adalah hak-Ku
dan Aku akan memberinya pahala menurut kehendak-Ku.”
Saat ini kita berada di bulan
Syawal, arti Syawal sebagaimana yang sering kita dengar adalah peningkatan.
Yang menjadi pertanyaan, sanggupkah kita menjaga ruh Ramadhan untuk mengarungi
hidup selama 11 bulan dari Syawal hingga Sya’ban, sanggupkah kita
mempertahankan prestasi ibadah ketika kita ditinggalkan Ramadhan, sanggupkah
kita memfokuskan hidup kita untuk sesuatu yang bermanfaat baik untuk diri
pribadi maupun orang lain, dan sanggupkah kita menghindarkan diri dari perbuatan
maksiat dan munkar? Itulah beberapa pertanyaan yang harus kita renungi manakala
kita memasuki bulan Syawal.
Pada prinsipnya, Islam yang rahmatan lil ‘alamin ini senantiasa
mendorong umatnya agar menjadi pribadi yang prestasi dan kualitas hidupnya
terus meningkat dari waktu ke waktu sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
“Barangsiapa yang keadaannya hari ini lebih baik dari kemaren maka ia
beruntung, barangsiapa yang keadaannya hari ini sama dengan kemaren maka ia
telah rugi, dan barangsiapa yang keadaannya hari ini lebih jelek dari kemaren
maka ia telah bangkrut.”
Kita tentu berharap agar hidup
kita sukses, beruntung, dan terhindar dari kebangkrutan. Kita sebagai umat Islam
dituntut untuk secara kontinyu meningkatkan kualitas dalam 3 (tiga) hal:
1.
Kualitas Iman
Rasulullah SAW bersabda :
Artinya: “Perbaharuilah imanmu dengan Laa ilaaha illallah.”
Iman adalah fondasi hidup, bila hidup ingin kokoh, tenang, dan
tenteram maka iman kepada Sang Pencipta agar senantiasa dipupuk agar tidak
layu. Rasulullah mengajarkan agar kita terus menerus memperbarui iman dengan
membaca, memahami, menghayati, dan memaknai kalimah
tayyibah di atas. Kata “Ilah” di samping berarti tuhan juga berarti ma’bud
(yang disembah), mahbub (yang dicintai), mutha’ (yang ditaati) dll. Karenanya
ketika lisan kita melafalkan Laa ilaaha
illallah hati dan pikiran kita juga bersaksi Tidak ada sesuatu yang patut
dipertuhankan, disembah, dicintai dan ditaati kecuali Allah SWT. Menuhankan
selain Allah sangat berbahaya dan fatal akibatnya sebab yang terjadi adalah
watak menghalalkan segala cara, tidak taat asas, dan mengabaikan etika dalam
menjalani hidup.
2.
Kualitas Ilmu
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
“Barangsiapa menghendaki kesuksesan hidup di dunia hendaknya ia berilmu,
barangsiapa menghendaki kebahagiaan hidup di akherat hendaknya ia berilmu, dan
barangsiapa menghendaki keberhasilan hidup dua-duanya hendaknya ia berilmu.”
Ilmu adalah cahaya, karenanya selama hayat di kandung badan setiap
muslim dituntut untuk mencari ilmu terutama ilmu syariat demi kemajuan dan
kemudahan hidupnya. Dengan ilmu seseorang akan dapat membedakan mana yang
manfaat dan madharat, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang haq dan
mana yang batil, mana yang halal dan mana yang haram. Tak heran bila Prof Dr HA
Mukti Ali pernah mengatakan: “Dengan ilmu hidup menjadi mudah, dengan agama
hidup menjadi terarah, dengan seni hidup menjadi indah.”
3.
Kualitas Amal
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan tiada diperintahkan mereka melainkan supaya mereka
beribadah kepada Allah seraya mengikhlaskan taatnya kepada Allah lagi condong
kepada kebenaran.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Islam adalah agama rasional. Tatkala kita ingin berbuat, berkarya,
dan berkreasi kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat,
positif, dan berdaya guna. Selanjutnya, agar amal kebajikan yang kita lakukan
itu bernilai di hadapan Allah maka perlu dilandasi niat yang tulus karena
mengharap ridha Allah semata atau ikhlas. Dan ikhlas itulah ruh sebuah amal dan
merupakan syarat diterimanya di sisi Allah SWT.
Ikhlas menurut Huzaifah al Mar’asyi adalah:
“Ikhlas ialah jika perbuatan-perbuatan seorang hamba itu sama antara
lahiriah dan batiniahnya.” (Muhyiddin an-Nawawi, Al Azkar, hal 7)
Sementara menurut Sayyid Abu
Muhammad Sahl bin Abdullah al Tusturi adalah:
“Jika
gerak dan diamnya baik dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan diniatkan
karena Allah semata, tidak tercampuri oleh kepentingan, hawa nafsu maupun
tujuan duniawi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar