Kamis, 24 April 2014

AKHLAQ: KESALEHAN RITUAL DAN SOSIAL



 MATERI PENYULUHAN AGAMA ISLAM

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya…Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya” (QS. Al Mu’minun, 1-5, 8-9).
Abstraksi : Islam sebagai agama universal dan komprehensif belum dipahami secara integral dan utuh oleh sebagaian besar umat, pemahaman mereka masih parsial dan belum bisa mencerminkan pribadi muslim yang kaffah. Tarik menarik ajaran agama antara symbol (eksoterik) dan subtansi ( esoteris) telah melahirkan sikap dan prilaku keagamaan yang mengarah pada dua tipe, antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Makalah ini berusaha mengkritisi kedua tipologi keagamaan tersebut sebagai realitas yang berkembang di masyarakat untuk mendapatkan gambaran realitas umat untuk menyelesaikan persoalan tersebut, serta memahami lebih jauh bagaimana sebenarnya pesan moral ajaran agama.
Kata kunci : Kesalehan ritual, kesalehan sosial, prilaku keagamaan, moral agama.
PENDAHULUAN
            Mengawali pembahasan ini akan dikemukakan sebuah narasi yang ditulis oleh Mohamad Sobary (1993:43)  tentang tiga orang saleh yang berbeda sikap dan pandangan agamis serta jenis kesalehan mereka. Orang saleh pertama, disebut saleh semata karena namanya, orang menyukainya karena aktif siskamling meskipun bukan pada malam-malam gilirannya. Kesalehan tak terlihat dalam perilaku keagamaannya, karena predikat agama (Islam) yang ia peroleh hanya Islam KTP, ia aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial termasuk tahlilan tetapi tidak pernah melakukam shalat lima waktu.
            Saleh kedua, bernama Haji Saleh Andi Farid, disamping karena namanya dipanggil saleh juga karena perilaku keagamaannya, jenggotnya panjang, peci putihnya tidak pernah lepas begitu juga sarungnya, tutur katanya lembut dan suka memberi senyum kepada orang lain, alasannya “senyum itu sedekah”. Pak Haji Saleh ini betah berjam-jam di mesjid untuk berzikir, shalatnya sambung menyambung tanpa terputus kegiatan lain. Selesai magrib, ia tetap berzikir sambil kepalanya terangguk-angguk hingga isya’ tiba. Jauh malam ketika semua orang masih lelap dalam mimpi masing-masing, ia sudah mulai shalat malam, kemudian zikir panjang sampai subuh tiba. Selesai subuh, ia zikir lagi mengulang-ulang asmaul husna dan beberapa ayat pilihan sampai terbit matahari. Pendeknya ia adalah penghuni masjid. Tidurnya cuma sedikit, sehabis isya’ ia tidur hanya sekitar dua jam, kemudian selesai shalat dhuha ia tidur lagi satu jam, selebihnya zikir, zikir dan zikir. Karena perilakunya yang demikian itu, para tetangga dan masyarakat menaruh hormat kepadanya, banyak pula yang menjadikan beliau sebagai idola. Namun ia punya kekurangan, pertama, kalau dalam sholat jama’ah ia tidak ditunjuk jadi imam, ia akan tersinggung; kedua, kalau orang tidak sering “sowan” ke rumahnya, ia tidak suka karena menurutnya orang tersebut telah mengingkari eksistensi beliau sebagai orang yang ada di “depan”. Nasehatnya selalu berbau “ancaman”, misalnya: “untuk mendapatkan sedikit bagian dunia, kita rela menghabiskan waktu kita, tapi mengapa kemudian kita keberatan menggunakan beberapa jam sehari untuk hidup kita yang  kekal abadi di surga?, orang memang sibuk mengejar dunia, cari neraka saja mereka, bahwa orang harus shalat sebelum dishalatkan”.
            Orang saleh ketiga memiliki prilaku keagamaan yang berbeda dengan saleh-saleh sebelumnya. Nama saleh didapatkan setelah ia haji, nama aslinya Sabir, seorang pedagang kecil, petani kecil, dan imam di sebuah masjid kecil. Meskipun ibadahnya tak seperti haji Saleh (yang kedua), dapat kita jumpai kehangatan iman dalam dirinya. Kalau kita menanyakan mengapa shalatnya sebentar, dan do’anya begitu pendek, hanya lebih banyak istighfar, ia akan menjawab bahwa ia tidak ingin minta aneh-aneh, ia malu kepada Allah. Katanya ; “memang Allah menyuruh kita meminta, tetapi meminta atau tidak kondisi kita sudah dengan sendirinya memalukan, kita ini hanya sekeping jiwa yang telanjang, dari hari ke hari meminta berkah-Nya, tanpa pernah mau memberi. Allah memang Maha Pemberi, termasuk memberi kita rasa malu, kalau rizki-Nya kita makan kenapa rasa malu-Nya tidak kita gunakan?” Iapun melanjutkan : “perhatikan di masjid-masjid, jama’ah yang meminta kepada Allah kekayaan, tambahan rizki, naik gaji, naik pangkat. Mereka pikir Allah itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita. Allah kita puji-puji karena kita ingin meminta sesuatu. Kalau seperti ini, bukan ibadah namanya, tapi dagang, atau mungkin bahkan pemerasan yang tidak tahu malu. Allah kita sembah, lalu kita perah rezeki dan berkahnya, bukannya kita sembah karena kewajiban kita yang memang harus menyembah, seperti Tarekat Al Adawiyah itu.
            Ketika ditanya tentang kesalehan, pak Sabir alias pak Haji Saleh mengatakan bahwa orang saleh itu adalah orang yang menyeimbangkan antara “ushalli dan usaha”, keduanya harus diseimbangkan, tetapi jika harus memilih, maka harus dipilih yang kedua dulu yaitu usaha, alasannya sederhana karena kalau anak-anak lapar, kita harus memberi jawaban nyata yaitu beri makan, dan makanan itu diperoleh dari hasil usaha. Kesimpulannya, bahwa kesalehan itu terletak pada praktek bukan dalam do’a-do’a. Kesimpulan yang sama juga pernah dikemukakan seorang pastur muda, sehabis mengkhotbahi habis-habisan para “domba” ia mengatakan : “saya keliru, kongkret mereka itu butuh makan, tapi saya beri mereka cerita tentang surga, cinta kasih, dan Tuhan Bapa…”
            Dari narasi di atas dapat kita pahami corak dan prilaku keagamaan umat, paling tidak kesimpulan sementara umat terpetakan menjadi tiga tipe, pertama, kesalehan sosial tanpa kesalehan ritual; kedua, kesalehan ritual tanpa kesalehan sosial; dan ketiga keseimbangan antara kesalehan sosial dan kesalehan ritual. Realitas keagamaan ini barangkali hadir di hadapan dan di sekitar kita yang perlu dipahami lebih jauh landasan ideologis normatifnya dan bagaimana sebenarnya pesan moral ajaran agama yang terdapat dalam teks-teks suci.
KESALEHAN RITUAL DAN KESALEHAN SOSIAL
            Kedua istilah yang menjadi tema tulisan ini, yakni saleh ritual dan saleh sosial, dimunculkan untuk memberikan penamaan terhadap tipologi sikap dan prilaku keagamaan umat yang boleh dikatakan tidak utuh, parsial. Seperti narasi di atas, kesalehan ritual merupakan jenis kesalehan yang ukurannya ditentukan berdasarkan seberapa taat seseorang menjalankan shalat lima waktu, seberapa panjang zikir-zikir sesudah sholat, dan seberapa sering sholat sunnah ia lakukan. Pada prinsipnya kesalehan dalam jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba legal formal sebagaimana apa yang dituntun oleh ajaran agama. Dan biasanya, orang yang memiliki prilaku ini akan merasa memiliki otoritas (kewenangan) untuk menilai kredibilitas moral orang lain, ia menjadi semacam tim pemeriksa dan penilai keimanan orang lain.
            Sementara itu, kesalehan sosial merupakan bentuk kesalehan yang lebih ditentukan oleh kehidupan praksis seseorang, seberapa banyak kegiatan-kegiatan sosial yang ia lakukan, seberapa jauh rasa toleransinya, tingkat kepeduliaannya terhadap sesamanya, cinta kasih , harga-menghargai, dan prilaku lainnya yang berdimensi sosial. Kesalehan sosial memandang bahwa kesalehan tidak ditentukan oleh banyak dan panjangnya do’a, zikir-zikir, dan ritualitas keagamaan lainnya yang lebih mengesankan  sikap hidup egoistis, tetapi kesalehan itu ada pada perwujudan, manifestasi  dan apresiasi keimanan dalam praksis sosial. Dalam bentuknya yang lebih ekstrim, kesalehan sosial ini kadang menafikan keimanan dan legal formal agama tetapi mereka aktif dalam kegiatan kemanusiaan dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya, prilaku yang demikian itu diistilahkan oleh Nurcholis Madjid sebagai “kesalehan sosial tanpa iman” atau piety without faith.
KESALEHAN RITUAL
            Diantara kedua kesalehan yang telah kita bahas, kesalehan dalam bentuk yang pertama sering diapresiasikan  oleh sebagian besar umat sebagai sebuah prilaku keagamaan yang egoistic dan individualistic. Orang lebih bersemangat menjalankan sebagian ibadah-ibadah sunnah seperti zikir, shalat, puasa, dan lain-lain, daripada ibadah-ibadah sosial seperti mengurus kepentingan umum, bershilaturrahmi, membantu kesulitan tetangga dan menyelesaikan problem kemiskinan. Seseorang akan lebih merasa beragama dibanding orang lain jika telah memperhatikan aspek-aspek simbul (syiar) keagamaan, kuantitas dan masalah-masalah furu’ seperti memelihara jenggot dan atau membangun mesjid. Tetapi mereka nyaris tidak  peduli terhadap masalah atau persoalan yang substansial, esensial dan kualitas masyarakat. Kelompok ini lebih memprioritaskan ibadah haji thathawwu’ (haji kedua, dst) daripada membiayai anak tetangga bahkan keponakannya yang hampir putus kuliah/ sekolah karena tidak membayar SPP, atau mereka lebih suka meng-haji-kan orang miskin yang belum mempunyai tempat tinggal ataupun tempat tinggal yang layak daripada membantunya agar mempunyai rumah, dan seterusnya.
            Dalam sudut pandang syari’ah, Yusuf Qardlawi (1995) juga melihat praktek-praktek keagamaan di berbagai Negara muslim yang dinilai : (1) mementingkan hal-hal yang bersifat simbul (syiar) dariapada subtansial, (2) memperhatikan hal-hal yang bersifat kuantitatif dan artificial daripada yang bersifat kualitatif dan esensial; (3) mendahulukan pembentukan apa yang sering kita sebut sebagai “kesalehan individual” daripada “kesalehan sosial”; (4) memprioritaskan tuntutan-tuntutan subyektif, kelompok dan golongan daripada tuntutan-tuntutan obyektifitas, masyarakat, nasional, dan dunia Islam; (5) menonjolkan pemikiran-pemikiran keagamaan skolastik dan dialektik daripada pemikiran empiric dan praktis.
            Realitas keagamaan umat seperti ini, menunjukkan adanya kesalahpahaman umat dalam menangkap makna dan kehendak suatu ajaran.  Ajaran yang seharusnya membebaskan, memudahkan dan mensejahterakan hidup dan memiliki visi dan misi rahmatan li al-alamin dipahami secara sempit dengan dalih kesalehan dan penghambaan individual terhadap Allah, sehingga ia bersikap kaku dan tidak kreatif dalam menghadapi persoalan baru atau menurut Abudin Nata (1998) karena kesalahan memahami pesan simbolis keagamaan.
            Paradigma fiqh klasik, menurut Abudin Nata (1988) lebih menekankan aspek tertentu seperti aspek ibadah mahdlah, kesalehan individual, hak-hak hamba terhadap Tuhan daripada aspek-aspek  dan hak-hak sosial. Sehingga  eksistensi fiqh sedang mengalami crisis of relevance. Fiqh menurutnya hanya mengedepankan satu aspek ajaran saja, yaitu bagaimana seorang muslim “beribadah” kepada Allah dengan baik sesuai wajib dan rukunnya, seorang muslim merasa cukup beribadah kepada Allah dan mendapat jaminan surga hanya dengan melaksanakan shalat, puasa, zakat dan haji. Sementara itu, pasca shalat dan lain sebagainya tidak menjadi agenda pemikirannya. Keadaan tersebut diperparah dengan studi-studi terhadap fiqh yang masih mengedepankan aspek-aspek  ritual daripada membahas persoalan sosial yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat. Pada akhirnya, persoalan-persoalan ketimpangan sosial seperti kemiskinan, kesejahteraan buruh yang memprihatinkan, korupsi, kolusi, konglomerasi, dan lain-lain, tampaknya jauh sekali dari bidang kajian fiqh.
            Sebenarnya sudah ada beberapa pemikiran dan diskursus yang dilakukan sebagai anti tesis terhadap eksistensi fiqh yang mengalami crisis relevansi di atas. Gagasan tentang fiqh sosial, misalnya Prof. K. H. Ali Yafie dengan bukunya Menggagas Fiqh Sosial (1994), disusul K. H. Sahal Mahfudz dengan bukunya yang berjudul Nuansa Fiqh Sosial (1994). Buku lain yang berjudul Fiqh al-Aulawiyyah (1995)  yang diterjemahkan dengan judul Fiqh Prioritas karya Yusuf Qardlawi juga untuk memberikan paradigma yang baru tentang fiqh. Buku-buku tersebut menawarkan paradigm baru tentang fiqh dari paradigma lama yang lebih berorientasi pada permasalahan-permasalahan  ritual menuju pada keseimbangan (equality) di dalam melaksakan ibadah kepada Allah. Melalui fiqh sosial permasalahan tidak hanya didekati melalui pendekatan normatif (normative approach) tetapi juga mengembangkan pendekatan-pendekatan sosiologis. Melalui kedua pendekatan ini diharapkan permasalahan dapat dilihat lebih tajam dan mendalam, sistematis dan membumi (down to earth).
            Adapun melalui fiqh prioritas, Yusuf Qardlawi (1995) memberikan paradigma baru antara lain : (1) mengedepankan aspek-aspek kemanusiaan, bahwa fardlu ‘ain yang berhubungan dengan hak Allah semata, dapat ditolerir pelaksanaanya, sementara fardlu ‘ain yang berhubungan dengan sesama manusia harus segera dilaksanakan, bahwa hak-hak Allah dibangun atas dasar toleransi, sementara hak-hak manusia dibangun atas dasar kepastian; (2) menekankan kepentingan umum, fiqh prioritas tidak memberikan kesempatan pada sikap fanatisme dan subyektivitas kelompok atau mazhab, dalam sebuah hadis disebutkan : “Barangsiapa terbunuh di bawah bendera dengan maksud yang tidak jelas, yang menyeru kepada fanatisme golongan dan mendukung sikap ini, maka ia mati jahiliyah”; (3) memprioritaskan maqashid al-syariah dan motif serta tujuan suatu hukum. Dengan menangkap makna maqasid, orang tidak akan terjebak pada formalism, keterikatan serta bentuk-bentuk pelaksanan hukum yang kaku. Misalnya bila kita melihat motif shalat adalah mencegah kemungkaran, motif zakat adalah mensucikan diri, motif puasa adalah peningkatan ketaqwaan, dan lainnya. (4) memprioritaskan kualitas. Fiqh prioritas menekankan kualitas daripada kuantitas, bahwa Allah menyukai mukmin yang kuat dan tidak menyukai mukmin yang lemah meskipun jumlahnya banyak, seperti yang sering dibesar-besarkan umat Islam bahwa mempunyai anak banyak itu disunatkan tetapi mereka tidak memperhatikan kualitasnya. Fiqh prioritas lebih memilih amal yang sedikit tetapi dihayati dan melahirkan perubahan prilaku, daripada zikir yang dihafal dan beribu-ribu kali dilafalkan tapi tanpa ada penghayatan; (5) membangun kembali prinsip-prinsip fiqh komparatif. Fiqh prioritas berusaha membandingkan mana perintah-perintah yang harus didahulukan dan diakhirkan; mana larangan yang harus diprioritaskan dan dikemudiankan; dan mana diantara keduanya yang harus pula diperhatikan; meninggalkan larangan terlebih dahulu atau menjalankan perintah-perintah.
            Melalui kedua pandangan dari apliksi jenis fiqh tersebut diharapkan dapat memberikan pedoman kepada umat untuk kembali menata cara bersikap dan menjalankan agamanya yang bersifat individualistic, mistik, formalistic, simbolistik dan kuantitatif. Paradigma baru yang dibangun berusaha menawarkan kepada umat cara pandang baru terhadap persoalan fiqh dan bagaimana seharusnya umat memandang dunianya serta kebutuhan-kebutuhan pragmatis, persoalannya adalah bagaimana umat memiliki sensitifitas dan jiwa sosial, menjadi terbuka, maju, menghargai akal, menggandrungi ilmu, dan mengapresiasi kemajuan tanpa sedikitpun harus tercabut dari akar agamanya.
            Abudin Nata (1998) berpendapat bahwa prilaku keagamaan yang mengarah pada bentuk kesalehan ritual di atas disebabkan karena umat tidak dapat menangkap pesan ajaran agama. Pesan ajaran agama sebenarnya mengarah pada pembentukan keimanan dan ketaqwaan serta keadilan sosial.
            Pesan ajaran agama yang mengarah kepada permasalahan-permasalahan sosial juga dibuktikan oleh Jalaluddin Rahmat (1991 : 48-51), berdasarkan hasil penelitiannya terhadap Al-Qur’an ia menyimpulkan lima hal: pertama, dalam al-Qur’an dan kitab-kitab hadis, proporsi terbesar ditujukan pada urusan sosial misalnya dalam surat al-Mu’minun (ayat 1-9) tentang tanda-tanda orang beriman, surat Ali Imran ayat 133-135 tentang tanda-tanda orang bertakwa; kedua, dalam kenyataan bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan, misalnya dalam shalat dikenal adanya ruhsah (keringanan) berupa jama’, qhosor, dan shalat sambil duduk atau berbaring bagi orang sakit; ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat erseorangan, misalnya shalat yang dilakukan secara berjama’ah lebih tinggi nilainya dari shalat munfarid (sendirian); keempat bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar aturan tertentu, maka kafaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial misalnya, bila shaum tidak mampu dilakukan maka fidyah harus dibayarkan, bila suami isteri bercampur di siang hari bulan ramadhan maka tebusannya memberikan makan kepada orang miskin; kelima, melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah, misalnya disebutkan dalam hadis bahwa mencari ilmu satu saat lebih baik daripada salat satu malam dan mencari ilmu satu hari lebih baik daripada puasa tiga bulan.
            Gambaran ajaran Islam yang demikian ideal diatas sebenarnya pernah dibuktikan dalam sejarah terutama pada periode klasik, sekitar abad ke-7 sampai 11 masehi, dimana umat Islam dapat memberikan rahmat dalam bidang ilmu pengetahuan, peradaban dan lain sebagainya. Namun kenyataan umat Islam sekarang menampilkan keadaan yang jauh dari cita ideal tersebut, mereka tidak dapat menangkap pesan simbolis keagamaan, agama hanya dihayati penyelamatan individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara bersama, pesan spiritual agama menjadi mandek, terkristal dalam kumpulan mitos dan ungkapan simbolis tanpa makna.
            Seperti halnya penjelasan problem yang menyelimuti fiqh diatas yang memunculkan paradigma baru tentang fiqh sebagai alternatif dari persoalan yang ada, maka pada persoalan yang kedua ini juga dimunculkan alternative-alternatif antara lain; misalnya menurut Abuddin Nata (1998) perlu membuka wacana dan pemahaman umat tentang Islam sebagai agama yang utuh, konfrehensif dan integral. Bahwa al-Qur’an mengajak kita orang-orang yang beriman untuk masuk Islam secara kaffah, tidak setengah-setengah dan farsial.  Dalam mengupayakan pemahaman yang utuh dan komprehensif tersebut melalui bidang dan disiplin keilmuan yang multi dimensi.
KESALEHAN SOSIAL
            Kesalehan sosial muncul sebagai anti tesis dari kesalehan ritual. Kesalehan sosial dilandasi oleh upaya memberikan solusi atas permasalahan-permasalah sosial  yang muncul di masyarakat. Untuk menghadapi problem kemanusiaan itu maka para pemuka agama dan intelektualnya harus mampu menerjemahkan misi suci kebenaran agama sebagai agama kemanusiaan yang menawarkan dirinya sebagai rahmatan li al ‘aalamiin dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangan pemikiran dan dinamika zamannya. Bagi kalangan muslim sebagai pemeluk agama mayoritas di Indonesia, ajaran-ajaran agama hendaknya tidak begitu saja diterima (taqliq) tanpa adanya perubahan, pertumbuhan dan perkembangan. Memahami ajaran agama hanya dengan tekstualnya saja harus diganti dengan memahami secara kontekstual. Dari sinilah akan muncul harapan kita akan dapat menghindari pertikaian yang menyebabkan kita tidak lagi dapat berkembang membangun peradaban yang lebih maju.

MEMAHAMI PESAN MORAL AJARAN AGAMA
            Islam, sebagaimana yang sering diungkapkan, merupakan agama universal dan multi dimensi. Islam berbicara tentang dimensi keTuhanan dan juga dimensi kemanusiaan, tentang akhirat dan juga dunia, tentang ritual keagamaan dan juga sosial (muamalah), tetapi Islam tidak pernah mendikotomisasi dimensi-dimensi tersebut serta ajaran dan bentuk-bentuk peribadatan. Universalitas Islam tersebut justeru harus dihadirkan dalma diri setiap muslim secara integral, utuh dan kaffah, tidak setengah-setengahdan parsial (udkhulu fi al-silmi kaffah). Bahwa amaliyah ibadah yang beradapada wilayah ritual / ibadah mahdhah, harus memiliki implikasi sosial, demikian pula aktivitas-aktivitas sosial / muamalah yang dilakukan harus berada dalam kerangka peribadatan kepada Allah SWT. Shalat, misalnya harus berimplikasi pada pencegahan dari prilaku keji dan mungkar (tanha ‘an al-fahsya’ wa al munkar), tidak dilakukan untuk riya dan harus berimplikasi pada upaya  memberi bantuan pada orang yang memerlukan. Demikian pula aktivitas sosial harus dilandasi oleh keimanan dan niat ibadah kepada Allah. Melalui pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama secara utuh diharapkan dapat menumbuhkan kesalehan ritual dan kesalehan sosial dalam diri seorang muslim secara seimbang, sinergis dan korelatif.
            Berikut ini dikutip ayat dan hadis Nabi saw sebagai renungan dan refleksi untuk menumbuhkan sikap dan prilaku keagamaan kita sesuai pesan ajaran dan moral agama.
             
133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui (Q.S. Ali Imran : 133-135).
Dalam sebuah hadis pernah diceritakan bahwa : “Salah seorang sahabat pernah memuji keshalehan orang lain di depan Nabi SAW, kemudian Nabi SAW bertanya : “Mengapa ia engkau sebut sholeh ?”, sahabat tersebut menjawab : “Sebab, setiap saya masuk masjid ini ia saya lihat sudah sholat dengan khusyu’ dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyu’ berdo’a. Lalu Nabi SAW bertanya lagi : “Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum ?”, sahabat tersebut menjawab : “Kakaknya”. Kemudian Nabi SAW bersabda : “Kakaknya itulah yang layak disebut shaleh”.
KESIMPULAN
1.      Kita hidup dan beragama tidak cukup hanya dengan selalu mendahulukan kesalehan ritual, selalu mengedepankan ibadah ritual tetapi menafikan ibadah social
2.      Kita juga dalam hidup dan beragama tidak cukup hanya dengan mengerjakan kesalehan social, selalu menolong orang lain tetapi menafikan ibadah-ibadah ritual
3.      Keseimbangan pemahaman dan penghayatan terhadap ajaran agama yang kita anut adalah merupakan keniscayaan kalau kita ingin maju dan makin dihargai baik sebagai pribadi, keluarga maupun sebagai bangsa, sekaligus sebagai umat secara keseluruhan. Saleh ritualnya sekaligus saleh sosialnya


Daftar Pustaka

Yafie, Alie. 1994, Menggagas Fiqh Sosial.. Badung. Mizan  
Rahman, Budhy Munawar, 1993 Spiritualitas Agama di tengah pluralitas peradaban modern dalam dialog: kritik dan identitas agama. Seri dian I.
Sobary, Mohammad. 1993 Kang Sejo Melihat Tuhan. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Madjid, Nurcholis. 1998, Dialog Keterbukaan. Jakarta, Paramadina.
Mahfudz, Sahal. 1994,  Nuansa Fiqh Sosial.. Bandung. Mizan.
Qardlawi, Yusuf , 1995, Fiqh Prioritas,
Nata, Abuddin. 1998, Metodologi Studi Islam. Jakarta. PT. Persada Grafindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar