Membina Hubungan Menantu - Mertua
Bagi
sebagian pasangan, permasalahan hubungan antara menantu dengan mertua
seringkali menjadi pemicu timbulnya konflik antara suami dengan istri atau
sebaliknya. Meksipun di masa kini sudah banyak pasangan yang tidak lagi tinggal
serumah dengan mertua (pondok mertua indah), namun hal tersebut bukan berarti
bahwa masalah menantu -mertua tidak lagi terjadi. Hal ini mengingat bahwa sebagai anggota dari suatu keluarga
besar, maka mertua dan menantu pasti akan sering bertemu dan saling
berinteraksi, misalnya pada saat perayaan ulang tahun, hari raya atau ketika
menengok cucu (bagi sang mertua) atau menengok nenek (bagi sang cucu). Dalam
menyikapi masalah menantu dengan mertua, mungkin ada yang berkata: “Ah, gua
sich cuek aja!” atau “Enggak gua pikirin tuh!” atau sikap tidak peduli
lainnya. Awalnya sikap-sikap
tersebut mungkin bisa berhasil atau
mungkin dianggap sebagai hal yang biasa, tetapi jika tidak segera disadari dan
diambil tindakan nyata, maka cepat atau lambat permasalahan ini tentu akan
memiliki dampak yang tidak menyenangkan baik bagi mertua dan menantu maupun
bagi seluruh anggota keluarga besar.
Mengapa permasalahan seperti ini bisa
terjadi dan bagaimana cara menanganinya sehingga hubungan antara menantu dengan
mertua dapat berlangsung harmonis? Artikel ini ditulis untuk memberikan
gambaran mengapa masalah ini terjadi dan diakhiri dengan beberapa saran untuk
memperbaiki hubungan yang mungkin sudah terlanjur tidak harmonis.
Menantu Perempuan vs Mertua Perempuan
Sub
judul diatas amat menarik untuk dicermati. Biasanya pertanyaan yang muncul di
benak pembaca adalah mengapa yang menjadi sorotan hanya menantu perempuan dan
mertua perempuan. Jawabannya adalah karena kasus-kasus yang sering terdengar
biasanya lebih banyak melibatkan menantu perempuan dan mertua perempuan. namun
demikian, hal ini tentu tidak bisa diartikan bahwa menantu lelaki tidak pernah
menghadapi masalah dengan mertua lelaki maupun mertua perempuan atau antara
menantu perempuan dengan mertua lelaki.
Mengapa jarang terdengar (meskipun ada) masalah antara menantu lelaki
dengan mertua perempuan, atau menantu perempuan dengan mertua lelaki, atau
menantu lelaki dengan mertua lelaki? Pertanyaan ini mungkin dapat dijawab
dengan argumentasi klasik bahwa lelaki dan perempuan pada dasarnya memang
memiliki perbedaan. Menurut John Gray
dalam bukunya Men Are From Mars, Women Are From Venus, perbedaan mendasar
antara lelaki dengan perempuan dapat digambarkan sebagai berikut:
Lelaki
Perempuan
Sense of self dinilai dari prestasi
Lebih
berorientasi pada tugas
Mandiri
Minta bantuan
dapat diartikan sebagai lemah
Sense of self dinilai
dari kemampuan membina hubungan
Lebih berorientasi pada hubungan
Saling tergantung
Minta bantuan berart menghormati orang yang
dimintai bantuan
Fokus pada tujuan
Menikmati proses
Bersaing
Bekerjasama
Mengandalkan kemampuan analisis
Mengandalkan kemampuan intuisi
Cara pikir Linear: fokus pada satu hal
dalam satu waktu, dan terkotak-kotak
Multi-tasking: berkutat dengan hal-hal kecil
dalam satu waktu, dan sambung-menyambung (seperti gulungan benang)
Bertindak
Merasa lebih baik dengan menyelesaikan
masalahnya
Berbicara
Merasa lebih baik dengan membicarakan masalahnya
Saat stress: cenderung menyibukkan diri
dengan berbagai kegiatan atau
menarik diri.
Saat
stress: semakin terlibat dengan orang lain, lebih banyak berbicara agar dapat
didengarkan dan dimengerti
Kebutuhan utama: dihormati
(dipercaya, diterima, dihargai, dikagumi,
diteguhkan, didukung).
Kebutuhan utama: di-ayom-i
(diperhatikan secara lembut, dimengerti,
dihormati, dilindungi, diteguhkan, penghiburan).
Kata-kata digunakan untuk menyampaikan
fakta dan informasi
Kata-kata merupakan sesuatu yang alami, sama
halnya seperti bernafas
Dengan melihat beberapa perbedaan diatas,
tentunya dapat dimengerti mengapa masalah menantu–mertua kebanyakan terjadi
diantara kaum perempuan. Permasalahan yang terjadi seringkali cukup sulit diatasi, bahkan bagi mereka yang
terlalu larut didalam masalah ini hubungannya dengan suami bisa menjadi rusak
dan tidak mesra lagi. Apalagi jika suami
tidak bisa menjadi pendamai karena merasa terjepit ditengah-tengah istri dan
orangtua.
Apa yang Sebaiknya Anda Lakukan
Pada dasarnya penyelesaian suatu masalah pasti akan sangat tergantung
pada diri individu itu sendiri. Dialah yang bertanggungjawab untuk
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Jika harus menunggu pihak lain
maka tentu akan sulit mencari suatu penyelesaian. Bagi anda yang mungkin
mengalami masalah dengan mertua atau menantu, ada baiknya anda mempertimbangkan
beberapa saran berikut ini:
1.
Mulailah berdamai dengan diri sendiri
Berdamai dengan diri sendiri artinya menciptakan suasana tenang dalam
diri sendiri dan membuang berbagai pikiran negatif yang muncul. Adapun
cara-cara yang bisa dilakukan adalah:
Ambil jarak dengan cara mengurangi jumlah pertemuan atau bila perlu
tidak bertemu sama sekali untuk sementara waktu
Alihkan pikiran secara total pada hal-hal
lain yang lebih positif , misalnya urusan anak/cucu, suami, rumah, pekerjaan,
dan terutama ibadat (mendekatkan diri pada Tuhan).
2.
Interospeksi Diri
Setelah suasana hati menjadi lebih tenang dan dapat berpikir dengan
lebih jernih, mulailah memeriksa diri mengapa masing-masing (mertua dan
menantu) bersikap saling menyebalkan – terlepas dari apa yang dipermasalahkan.
Tanyakan pada diri anda sendiri apakah selama ini anda selalu mencari
pembenaran atas segala tindakan yang anda lakukan terhadap mertua/menantu
daripada melihat suatu masalah secara obyektif? Tidak adakah hal-hal positif
atau masa-masa indah yang telah dilalui bersama-sama? Apakah untung
ruginya jika terus-terusan bermasalah
dengan mertua/menantu?
Lakukan
introspeksi diri secara mendalam. Ingatlah bahwa setiap perselisihan pasti
melibatkan lebih dari satu orang dan dalam hal ini tidak ada yang tidak
bersalah. Oleh karena itu, jika sebelumnya anda cenderung memikirkan setiap hal
secara negatif dan selalu menyalahkan orang lain, cobalah sekarang belajar
sedikit demi sedikit melihat permasalahan secara obyektif. Mulailah dengan mengubah pola pikir anda. Ingatlah ungkapan yang mengatakan:
"change your thoughts and you change your world". Selain itu cobalah
belajar untuk tidak menghakimi atau menilai orang lain dengan nilai-nilai yang
ada dalam diri sendiri. Sebab jika cara
seperti itu yang anda gunakan maka akan sulit bagi anda untuk memulai inisiatif
penyelesaian masalah dengan mertua/menantu. Mother Teresa pernah mengatakan “If
you judge people, you have no time to love them”
3.
Mulailah belajar untuk memahami beberapa hal
seperti:
Setiap keluarga mempunyai budayanya sendiri-sendiri, begitu juga antara
menantu dan mertua memiliki budaya keluarga yang berbeda atau bertolak
belakang. Yang dimaksud dengan budaya
keluarga disini adalah aturan, didikan, kebiasaan-kebiasaan, dan nilai-nilai
yang berlaku dalam suatu keluarga. Semua
itu tentu saja membentuk karakter, sikap, dan pembawaan individu dalam
kesehariannya dan dalam menghadapi masalah. (lihat juga artikel: Pengaruh
Keluarga Asal Terhadap Perkawinan)
Meski dalam masyarakat kita ada pendapat
bahwa bila sudah menikah dengan anaknya maka seorang menantu dianggap sebagai
anak oleh sang mertua dan bila menikah dengan seseorang berarti menikah juga
dengan keluarganya, namun hal itu tidak boleh dilihat secara mutlak dan terjadi
secara instant. Dalam kenyataan, komunikasi antara menantu–mertua mungkin tidak
akan sebebas antara anak–orangtua. Artinya ada hal-hal yang harus tetap dijaga
oleh pihak menantu dalam berinteraksi dengan mertua dan sebaliknya. Dengan
demikian kedua pihak tidak boleh saling memaksakan kehendak untuk diakui
sebagai anak (bagi menantu) atau pun dianggap sebagai orangtua (bagi mertua).
Haruslah disadari bahwa untuk sampai pada tahap seperti itu pasti dibutuhkan
waktu untuk saling menyesuaikan diri dan saling memahami.
Sebagai individu yang tentu memiliki
berbagai kekurangan, maka seorang menantu atau mertua tentu pernah melakukan
kehilafan atau kesalahan dalam proses berinteraksi. Hal tersebut tentu tidak serta merta harus dilihat
sebagai suatu ancaman atau serangan. Tindakan atau sikap yang salah tersebut
jika ditelaah secara obyektif mungkin juga pernah ditunjukkan oleh orang tua
sendiri (bagi menantu) atau anak sendiri (bagi mertua). Oleh karena itu,
seorang menantu atau mertua harus mampu melihat dan memahami permasalahan
secara obyektif.
4. Jangan mudah terpancing dengan informasi atau
gosip yang diberikan oleh pihak ketiga.
Jika mendapat pengaduan dari pihak ketiga mengenai sang mertua/menantu –
terlepas dari kepentingan si pihak ketiga – ingatlah bahwa besar kemungkinan
ada kata-kata yang hilang atau ditambahkan yang menyebabkan sebuah informasi
jadi melenceng dari maksud aslinya. Dalam menyikapi hal seperti ini maka
alangkah baiknya jika informasi yang diterima langsung dikonfirmasikan ke pihak
yang bersangkutan.
5.
Jika
anda membutuhkan orang lain untuk "curhat", maka pastikan orang tersebut
benar-benar dapat dipercaya. Jangan sampai apa yang anda sampaikan pada orang
tersebut justru menyebar ke pihak lain. Jika memang anda tidak yakin untuk bisa
mempercayai kerabat atau pun teman anda, maka carilah orang-orang yang memang
memiliki kompetensi dalam membantu penyelesaian masalah anda. Orang-orang
tersebut misalnya konselor perkawinan, psikolog maupun psikiater. Dengan
melakukan curhat atau konsultasi pada orang-orang tersebut, maka semua rahasia
anda pasti akan terjaga dengan baik. Selain itu anda pun akan dibantu dalam
mencarikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi.
Akhir kata… "when it is impossible to change others, you must
change yourself" (Jika tidak mungkin mengubah orang lain, Anda harus
mengubah diri sendiri), tentu saja dalam konotasi positif. Namun perlu diingat bahwa dibutuhkan
kerendahan hati dan kesabaran untuk menyadari, mengakui, dan menerima
kekurangan-kekurangan diri sendiri, serta mengerti dan menerima kekurangan-kekurangan
orang lain. Yang pasti, semua proses ini
membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Semoga sukses. (jp)
______________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar