Kamis, 24 April 2014

KHUTBAH JUM'AT




 
Kedudukan dan Jasa Orang Miskin

            Allah menciptakan isi alam semesta ini terdiri dari dua hal yang berlawanan. Ada langit ada bumi, ada siang ada malam, ada surga ada neraka, ada alam nyata ada alam gaib, ada raja ada rakyat jelata, ada yang kaya dan ada yang miskin dst. Semuanya memiliki sifat, watak, dan perannya masing-masing. Kita tidak bisa membayangkan bila alam ini hujan terus menerus tanpa henti atau panas terus menerus sepanjang tahun tanpa putus tentu terjadilah kekacauan dalam kehidupan ini.
            Begitu halnya dengan fenomena kaya-miskin dalam kehidupan ini. Kita sebagai umat beragama dituntut untuk arif, obyektif dan adil dalam memandangnya. Kita tidak diperkenankan menghargai seseorang karena kekayaannya atau menganggap remeh karena kemiskinannya. Islam yang kita anut ini, telah datang dengan membawa prinsip persamaan, keadilan dan persaudaraan. Sehingga mulia tidaknya seseorang di hadapan Allah SWT bukan karena derajat, pangkat atau kekayaannya melainkan karena ketakwaannya.
            Islam yang bersifat rahmatan lil ‘alamin, mengajarkan kita untuk senantiasa berempati, dekat dan memperhatikan nasib kaum dhu’afa yang ada di sekitar kita. Memandang remeh apalagi menyia-nyiakannya oleh Al Qur’an dinyatakan sebagai pendusta agama. Karenanya Rasulullah SAW sepanjang hidupnya selalu berpihak kepada golongan orang yang lemah ini. Tak heran bila suatu saat Rasulullah terlihat sedang memperbaiki sandal anak yatim, lain kali beliau terlihat menjahit baju seorang janda tua yang miskin, dan pernah pula beliau makan dalam piring yang sama dengan hamba sahaya. Mengapa Rasulullah SAW senantiasa dekat dengan orang-orang yang lemah?
             Pertama, kaum dhu’afa adalah golongan orang yang dicintai Allah. Anas bin Malik Ra berkata: Suatu ketika para fuqara’ mengirim seorang wakilnya menghadap Rasulullah SAW, ia berkata: Ya Rasulullah, kami atas nama wakil para fuqara’ menghadapmu. Lalu apa yang pertama kali diucapkan Rasulullah? Beliau menjawab: “Selamat berjumpa denganmu dan mereka, engkau datang mewakili orang-orang yang dicintai Allah.”
            Ibnu Mas’ud, seorang sahabat yang fakir, pernah bercerita tentang pengalamannya bersama Rasulullah Saw, “Pembesar-pembesar Quraisy bermaksud menemui Rasulullah. Mereka mengutus Al Aqra’ bin Habis at-Tamimi dan Uyainah bin Hushain. Mereka melihat di sekitar Rasulullah sedang duduk Suhaib, Bilal, Khabab, Ammar, dan orang-orang seperti mereka dari kalangan dhu’afa Muslimin. Mereka berkata: ‘Orang-orang terkemuka Arab akan datang menemuimu dan kami malu. Mereka akan melihat kami duduk dengan budak-budak yang hina ini. Apakah kau senang mempunyai pengikut seperti mereka? Apakah kami harus ikut mereka? Apakah mereka orang yang diberi karunia oleh Allah? Usirlah mereka dari sisimu. Jika engkau mengusir mereka, kami akan menjadi pengikutmu.’ Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat:


Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki ridha-Nya.” (QS. Al An’am: 52)
Rasul yang mulia tidak mengusir mereka. Bahkan sejak turun ayat ini , Nabi Saw makin sering duduk bersanding beserta mereka.”
            Kedua, kaum dhu’afa bisa menjadi jembatan untuk masuk surga. Mengasihi orang lemah, meringankan beban hidupnya dan berpihak kepadanya merupakan tanda-tanda orang yang bertakwa. Perhatikanlah firman Allah dalam QS. Ali Imran: 134 perihal sifat orang yang bertakwa, “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” Karenanya, Rasulullah SAW selalu berpesan kepada istrinya: “Wahai Aisyah, cintailah orang miskin dan akrablah dengan mereka, supaya Allah pun akrab juga dengan engkau pada Hari Kiamat.” (HR al Hakim). Kemudian kepada kita semua beliau berwasiat: “Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga ialah mencintai orang-orang miskin.” (HR ad Daruquthni dan Ibnu Hibban).
            Ketiga, kaum dhu’afa merupakan penyangga kelangsungan hidup orang-orang kaya. Adalah tidak adil apabila memandang sebelah mata terhadap keberadaan kaum dhu’afa atau orang-orang kecil. Bila mau jujur, merekalah sejatinya penyangga utama berlangsungnya kehidupan, utamanya bagi orang-orang kaya. Apa jadinya dunia ini bila tidak ada pekerja kasar, pegawai rendahan, petugas kebersihan, pembantu rumah tangga dan lainnya tentu tidak akan ada dinamika dalam kehidupan ini.
            Tak heran bila ilmuwan sosial Herbert J. Gans dalam bukunya The Uses of Poverty menyatakan bahwa orang-orang kecil memiliki andil yang besar dalam menjaga kelangsungan dan kelestarian sebuah sistem. Karenanya, tidaklah pantas bila mereka dianggap remeh apalagi diperlakukan sewenang-wenang. Sebab berkat keringat, kerja keras dan peran merekalah para elite, pemilik modal, konglomerat, juragan, dan golongan orang kaya dapat merasakan kenikmatan hidup. Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ashhabus Sunan: “Kamu ditolong dan diberi rizki karena bantuan orang-orang lemah di antara kamu.”
            Ramadhan telah datang menghampiri kita. Marilah kita pergunakan bulan yang istimewa ini untuk senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah SWT. Di antara sifat takwa adalah peduli terhadap sesama, memperhatikan nasib kaum dhu’afa, dan senantiasa membesarkan hati mereka. Mudah-mudahan kita diberi kekuatan untuk meneladani kebiasaan Rasulullah tatkala tiba Bulan Ramadhan yaitu memperbanyak membaca Al Qur’an dan kegemaran bersedekah. Allahumma Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar