|
Allah menciptakan isi alam semesta
ini terdiri dari dua hal yang berlawanan. Ada langit ada bumi, ada siang ada
malam, ada surga ada neraka, ada alam nyata ada alam gaib, ada raja ada rakyat
jelata, ada yang kaya dan ada yang miskin dst. Semuanya memiliki sifat, watak,
dan perannya masing-masing. Kita tidak bisa membayangkan bila alam ini hujan
terus menerus tanpa henti atau panas terus menerus sepanjang tahun tanpa putus tentu
terjadilah kekacauan dalam kehidupan ini.
Begitu halnya dengan fenomena
kaya-miskin dalam kehidupan ini. Kita sebagai umat beragama dituntut untuk
arif, obyektif dan adil dalam memandangnya. Kita tidak diperkenankan menghargai
seseorang karena kekayaannya atau menganggap remeh karena kemiskinannya. Islam yang
kita anut ini, telah datang dengan membawa prinsip persamaan, keadilan dan
persaudaraan. Sehingga mulia tidaknya seseorang di hadapan Allah SWT bukan
karena derajat, pangkat atau kekayaannya melainkan karena ketakwaannya.
Islam yang bersifat rahmatan lil ‘alamin, mengajarkan kita
untuk senantiasa berempati, dekat dan memperhatikan nasib kaum dhu’afa yang ada
di sekitar kita. Memandang remeh apalagi menyia-nyiakannya oleh Al Qur’an
dinyatakan sebagai pendusta agama. Karenanya Rasulullah SAW sepanjang hidupnya
selalu berpihak kepada golongan orang yang lemah ini. Tak heran bila suatu saat
Rasulullah terlihat sedang memperbaiki sandal anak yatim, lain kali beliau
terlihat menjahit baju seorang janda tua yang miskin, dan pernah pula beliau
makan dalam piring yang sama dengan hamba sahaya. Mengapa Rasulullah SAW
senantiasa dekat dengan orang-orang yang lemah?
Pertama,
kaum dhu’afa adalah golongan orang yang dicintai Allah. Anas bin Malik Ra
berkata: Suatu ketika para fuqara’ mengirim seorang wakilnya menghadap
Rasulullah SAW, ia berkata: Ya Rasulullah, kami atas nama wakil para fuqara’
menghadapmu. Lalu apa yang pertama kali diucapkan Rasulullah? Beliau menjawab:
“Selamat berjumpa denganmu dan mereka, engkau datang mewakili orang-orang yang
dicintai Allah.”
Ibnu Mas’ud, seorang sahabat yang
fakir, pernah bercerita tentang pengalamannya bersama Rasulullah Saw,
“Pembesar-pembesar Quraisy bermaksud menemui Rasulullah. Mereka mengutus Al
Aqra’ bin Habis at-Tamimi dan Uyainah bin Hushain. Mereka melihat di sekitar
Rasulullah sedang duduk Suhaib, Bilal, Khabab, Ammar, dan orang-orang seperti
mereka dari kalangan dhu’afa Muslimin. Mereka berkata: ‘Orang-orang terkemuka
Arab akan datang menemuimu dan kami malu. Mereka akan melihat kami duduk dengan
budak-budak yang hina ini. Apakah kau senang mempunyai pengikut seperti mereka?
Apakah kami harus ikut mereka? Apakah mereka orang yang diberi karunia oleh
Allah? Usirlah mereka dari sisimu. Jika engkau mengusir mereka, kami akan
menjadi pengikutmu.’ Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang
menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki
ridha-Nya.” (QS. Al An’am: 52)
Rasul yang mulia
tidak mengusir mereka. Bahkan sejak turun ayat ini , Nabi Saw makin sering
duduk bersanding beserta mereka.”
Kedua,
kaum dhu’afa bisa menjadi jembatan untuk masuk surga. Mengasihi orang lemah,
meringankan beban hidupnya dan berpihak kepadanya merupakan tanda-tanda orang
yang bertakwa. Perhatikanlah firman Allah dalam QS. Ali Imran: 134 perihal
sifat orang yang bertakwa, “(yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.” Karenanya, Rasulullah SAW selalu
berpesan kepada istrinya: “Wahai Aisyah,
cintailah orang miskin dan akrablah dengan mereka, supaya Allah pun akrab juga
dengan engkau pada Hari Kiamat.” (HR al Hakim). Kemudian kepada kita semua
beliau berwasiat: “Segala sesuatu ada kuncinya,
dan kunci surga ialah mencintai orang-orang miskin.” (HR ad Daruquthni dan
Ibnu Hibban).
Ketiga,
kaum dhu’afa merupakan penyangga kelangsungan hidup orang-orang kaya. Adalah
tidak adil apabila memandang sebelah mata terhadap keberadaan kaum dhu’afa atau
orang-orang kecil. Bila mau jujur, merekalah sejatinya penyangga utama
berlangsungnya kehidupan, utamanya bagi orang-orang kaya. Apa jadinya dunia ini
bila tidak ada pekerja kasar, pegawai rendahan, petugas kebersihan, pembantu
rumah tangga dan lainnya tentu tidak akan ada dinamika dalam kehidupan ini.
Tak heran bila ilmuwan sosial Herbert J. Gans dalam bukunya The Uses of Poverty menyatakan bahwa
orang-orang kecil memiliki andil yang besar dalam menjaga kelangsungan dan
kelestarian sebuah sistem. Karenanya, tidaklah pantas bila mereka dianggap
remeh apalagi diperlakukan sewenang-wenang. Sebab berkat keringat, kerja keras
dan peran merekalah para elite, pemilik modal, konglomerat, juragan, dan
golongan orang kaya dapat merasakan kenikmatan hidup. Perhatikanlah sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ashhabus Sunan: “Kamu ditolong dan diberi rizki karena bantuan orang-orang lemah di antara
kamu.”
Ramadhan telah datang menghampiri
kita. Marilah kita pergunakan bulan yang istimewa ini untuk senantiasa
meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah SWT. Di antara sifat takwa
adalah peduli terhadap sesama, memperhatikan nasib kaum dhu’afa, dan senantiasa
membesarkan
hati mereka. Mudah-mudahan kita diberi kekuatan untuk meneladani kebiasaan Rasulullah
tatkala tiba Bulan Ramadhan yaitu memperbanyak membaca Al Qur’an dan kegemaran
bersedekah. Allahumma Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar