Biografi
Imam Syafi’i
Nama Dan Nasabnya
Beliau adalah Muhammad
bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu
Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin
Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi
asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.
Al-Muththalib
adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek
Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan
Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga
Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama
Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan
Raasulullah SAW ketika masih muda.
Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah
SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah
tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya,
yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah
suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.” Sementara ibunya
berasal dari suku Azd, Yaman.
Gelarnya
Ia digelari sebagai
Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar
ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan
komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.
Kelahiran Dan Pertumbuhannya
Para sejarawan
sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat-
tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama
tidak ada yang memastikannya.
Tempat Kelahirannya
Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i.
Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza).
Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Imam al-Baihaqi
mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang
shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’
barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di
kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh
riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu
dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”
Ibn Hajar
mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada
pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau
‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka
maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki
usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk
negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku
Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir
nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di
samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari
keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik.
Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka
dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil
menamatkannya dalam usia 7 tahun.
Menurut pengakuan
asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak
mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa
menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian
dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis
semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak,
maka ia masukkan ke dalam karung.
Ia juga bercerita bahwa
ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah
seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang
bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena
kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke
perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk
mencatat.
Hasilnya, dalam usia 7
tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat
lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15
tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa
oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.
Semula beliau
begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku
Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun.
Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam
Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga
membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai
disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa,
terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai
suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang
Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga
menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas keilmuannya
dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa
‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail
kepadanya.Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan
al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan
pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin
menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju
pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah
mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an,
orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila
melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
Di Mekkah, setelah
dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid
az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk
menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama
16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia
belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan
ulama-ulama selain mereka.
Sepeninggal Imam
Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana.
Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri
dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid.
Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau
berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan
sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak
beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’
atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).
Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan
Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca
kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali
lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk
menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut
ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama
saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.
Kemudian beliau
kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang
dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari
berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya
untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab
lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang
‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan
al-Karaabiisy.
Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal
di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju
Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal
sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.
Beliau tiba di
Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di
sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di
antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy.
Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang
merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di
Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya,
yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan
terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.
Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini
dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan
meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan
madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang
beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih
yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku
monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.
Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya
Mengenai hal ini,
Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan
bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang
merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang
dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah,
kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui
kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat
dan qiyasnya.
Bila kembali ke abad 2 M,
kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama
di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan
perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama
eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud
yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan
mereka kemudian menyebarkannya.
Dalam hal ini, Ibn
Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang
kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat
nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid
Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad
bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly.
Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan
Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa
tanding.
Di tangannya muncul beberapa orang
murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya
sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang
begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di
antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan
sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang
menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang
diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut
ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia,
yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan
ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode
perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.
Sedangkan perguruan Ahli Hadits
berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan
‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari
kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut
perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah
bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d
dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal
keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak
mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu,
timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai
memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas,
berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.
Saat imam
asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit,
maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil
melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat
kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut
mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan
Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli
Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan
murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.
Imam asy-Syafi’i
menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan
kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih
yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam
fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi
dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut
dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil,
kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam
menggalinya.
Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan
hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang
mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia
merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang
diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat
dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan
kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf
sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada
as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum
dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang
menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada
al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.
Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan
bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih
menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak
bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana
yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan
periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.
Selama masa
hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah,
menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya
inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di
sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah
(Pembela as-Sunnah).
Barangkali faktor utama
kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu
Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah
karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak
menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi
hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya
tidak demikian.
Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah,
asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada
yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat
asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak
seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.
Aqidahnya
Di sini dikatakan
bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama
Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa
yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil
(penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan;
bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian
asma dan sifat Allah).
Beliau, misalnya,
mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan
Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk
Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya
dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh
periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa
yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia
kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah
atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya
sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau
pun pemikiran.
Beliau juga mengimani
bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas
‘arasy-Nya dan sebagainya. Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan
keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib
asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya
Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih
judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])
Sya’ir-Sya’irnya
Imam asy-Syafi’i
dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang
tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat
menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat
dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan
suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari
semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan
bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh
sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Imam Ahmad berkata,
“asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan
bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah
berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di
pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa
dari asy-Syafi’i.”
Hampir semua isi
sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan
karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan
perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.
Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud
- Sya’ir Zuhud
Hendaknya engkau
bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
- Sya’ir Akhaq
Kala mema’afkan,
aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang
Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya
Imam asy-Syafi’i
terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada
kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya
dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para
ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas
keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian
martabatnya.Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat,
amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin
dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah
ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan
aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau
lisanku.”Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad
kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya
tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?”
ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat
kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada
penggantinya.?”
Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak
akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat
mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada
shalat sunnat.”Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya
meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam
satu kali khatam al-Qur’an.Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa`
meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i
membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk
shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga
pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab
niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu
membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan
keselamatan.Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama
yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin),
yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu
banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.
Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi
dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga
beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.Alangkah indah isi
bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang
dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar