Kamis, 24 April 2014

MATERI MUNAKAHAT: NIKAH USIA DINI; SEBUAH PENELITIAN

 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar –belakang Masalah
Ketika sepasang pengantin sepakat mengikrarkan janji, menyatu dalam sebuah ikatan yang bernama pernikahan yang ada dalam benak mereka tak lain adalah mewujudkan impian tentang keluarga yang bahagia, sejahtera, lahir dan batin. Dalam bahasa agama keluarga idaman semacam itu sering disebut dengan istilah keluarga  sakinah, mawaddah wa rahmah. [1]
Begitupun saat mereka menetapkan hati memilih pasangan hidup, dalam lubuk hati yang paling dalam tentu menginginkan kebersamaan dalam waktu  yang panjang atau bahkan sebisa mungkin abadi. Aneh rasanya kalau ada seseorang menikah sedari awal sudah meniatkan untuk sementara waktu saja. Kisah-kisah tentang keabadian cinta, kesetiaan dan indahnya membangun kebersamaan telah banyak mengisi lembar-lembar sejarah peradaban manusia dan tampaknya hal itu merupakan salah satu sumber inspirasi bagi banyak manusia saat menjalani kehidupan rumah-tangganya.[2]
Persoalannya tidak semua yang memiliki impian indah tentang keluarga bahagia, harmonis, sakinah, mawaddah wa rahmah bisa mewujudkannya dalam kenyataan. Ada banyak hal yang bisa menyebabkan terjadinya kesenjangan antara impian dan kenyataan. Pernikahan bukanlah sebuah kondisi yang monolitik. Pernikahan merupakan sebuah kondisi yang dinamis dan penuh warna. Sedinamis dan seberagam warna hidup dan kehidupan itu sendiri. Maka bagi siapa saja yang tidak memiliki kesiapan yang cukup dalam memasuki jenjang pernikahan, tidak heran bila dia gagal mewujudkan impian-impiannya.
Pernikahan dalam usia dini sering disebut sebagai salah satu hal yang menghalangi pasangan pengantin mewujudkan impain-impian indahnya. Mengapa demikian? Karena menikah dalam usia dini biasanya tidak dibarengi dengan kematangan ekonomi, kematangan mental dan bahkan dalam hal-hal tertentu kematangan fisik. Kondisi demikian tentu cukup rentan konflik dan mudah terjebak dalam disharmoni. Harus diakui bahwa pernikahan sesungguhnya adalah urusan orang-orang dewasa. Hanya orang-orang yang dewasa dan matang – khususnya secara mental, yang siap mengarungi kehidupan berumah-tangga, mengingat sebuah rumah tangga seringkali  berhadapan dengan problematika termasuk problem-problem besar. Bila mentalnya masih labil – tipikal mentalitas anak-anak – tentu cukup sulit menyesuaikan diri dengan kehidupan berumah-tangga khususnya saat mereka dihadapkan pada persoalan-persoalan yang membutuhkan penyelesaian secara dewasa.   
Pernikahan usia dini  sekalipun  dilarang oleh Undang-Undang ternyata masih banyak terjadi di masyarakat. Sebagian masyarakat masih memiliki persepsi bahwa perempuan makin cepat menikah makin baik. Pada saat lamaran dari seorang laki-laki telah datang,  maka tak ada alasan bagi pihak keluarga perempuan untuk menolaknya. Datangnya jodoh adalah anugerah yang tidak boleh ditolak, karena kalau ditolak mereka khawatir anak perempuannya menjadi “perawan tua”. Tanpa perlu mempertimbangkan berapa usia anak perempuannya.
Mereka tidak terlalu berpikir apakah dengan usia muda, anak-anaknya bisa menjalani rumah tangga dengan benar atau tidak. Apakah dengan usia muda, dengan pengetahuan dan pengalaman yang teramat minim dalam urusan rumah tangga anaknya bisa mewujudkan kebahagiaan atau tidak. Bagi mereka hidup dan juga pernikahan adalah sesuatu yang sederhana. Mereka pikir  segala  sesuatu akan berjalan  secara alamiah, kebahagiaan  akan turun dengan sendirinya karena mereka dulu juga mengalami seperti itu.  Mereka lupa bahwa  kebahagiaan  perkawinan  perlu  diusahakan  secara  terus menerus  antara  suami  istri,  karena  perceraian  yang  terjadi  sering  diakibatkan  tidak adanya persiapan diantara kedua belah pihak.[3]
Pernikahan, di samping masuk dalam masalah sosial (hubungan antar manusia) juga memiliki nilai ibadah bagi yang menjalankannya. Sebagaimana tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[4] Agar mampu menjaga kerukunan, harmonis dan mampu mengelola persoalan-persoalan yang dihadapinya pasangan suami istri harus memiliki kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Oleh karenanya pernikahan harus dipandang dan disikapi sebagai sesuatu yang serius dan penting.
Usia pada saat menikah berkait erat dengan pola rumah tangga yang akan dijalankan oleh pasangan suami istri. Perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang belum matang atau belum semestinya dari sisi usia dan seseorang yang telah matang, tentu sangat berbeda. Kematangan usia secara umum berkait pula dengan kematangan secara mental dan pengalaman. Kematangan usia biasanya juga berkait dengan kematangan ekonomi. Kematangan ekonomi ini erat kaitannya dengan kemampuan mencari nafkah, khususnya bagi suami yang memang memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarga. Apa yang bisa diharapkan dari pasangan pengantin yang dari segi pengalaman bekerja masih minim dan belum terbiasa memikul tanggung-jawab keluarga.
Kesiapan psikis (mental) baik bagi laki-laki maupun perempuan tidak kalah penting dibanding kematangan fisik. Mengingat kehidupan keluarga tidak selamanya mulus dan ramah. Akan selalu ada problem dan kesulitan baik itu yang sifatnya internal maupun eksternal. Terlebih bagi laki-laki yang menjadi suami dan sekaligus sebagai imam rumah tangga, tentu dibutuhkan kematangan dan kedewasaan yang lebih, agar upaya membimbing dan memimpin keluarga bisa berjalan dengan sukses dan selamat, lebih-lebih saat keluarga menghadapi banyak ujian.[5]
Pernikahan  di  usia muda  juga memiliki  implikasi  bagi  kesejahteraan  keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Proses pemberdayaan kepada anak-anak tentu tidak bisa optimal. Bagaimana proses pemberdayaan anak-anak bisa berjalan baik, bila orag tua yang tentunya memegang peranan penting dalam proses pemberdayaan tersebut, dalam beberapa hal mengalami ketidak-berdayaan sendiri.   Dampak berikutnya keluarga semacam ini sering menjadi beban untuk anggota masyarakat yang lain.
Hukum  Islam  tidak  memberikan  batasan  usia  bagi  seseorang  yang  ingin  melaksanakan  pernikahan.  Akan  tetapi  lebih  mengarah  kepada  tanda-tanda  fisik  seperti  pubertas  biologis,  atau  dengan  kata  lain  telah mencapai  usia  baligh, yaitu  seperti  yang  terjadi  pada  laki-laki  dengan  keluarnya mani  dan  bagi  perempuan  telah mengalami  menstruasi.  Namun pada kenyataannya, dewasa ini pada usia tersebut biasanya belum mencapai  kematangan, baik  emosi, ekonomi, sosial dan  lain  sebagainya.
Oleh karena  itu, dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat 1 memberikan batasan usia bagi  laki- laki  dan  perempuan  yang  ingin  melangsungkan pernikahan. Pernikahan,  bagi  laki-laki  sekurang-kurangnya  telah  mencapai  19  tahun  dan  bagi perempuan sekurang-kurangnya  telah mencapai  16  tahun. Ketentuan  ini  dimaksudkan  untuk mendapatkan  kualitas  rumah  tangga dan keturunan yang baik.[6]
Persoalan lain yang berkaitan dengan persoalan pernikahan dini atau pernikahan usia muda, disamping sebagaimana dijelaskan di atas seperti ekonomi, kekurang-matangan secara pengetahuan dan kematangan emosional, plus karena hamil pranikah adalah adanya tradisi yang diyakini secara turun temurun bahwa pernikahan dini adalah tradisi peninggalan nenek moyang yang “layak” dan bahkan dalam komunitas tertentu “harus” dilestarikan. Inilah yang terjadi di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang. Di tengah gencarnya wacana tentang emansipasi perempuan, keseteraan gender, dekonstruksi budaya patriarkhi,[7] dan banyak yang lain, ternyata masih ada sebuah komunitas yang berjalan dengan narasinya sendiri, teguh dengan tradisi perkawinan usia dini yang berumur ratusan tahun peninggalan nenek moyang dan meyakini yang mereka lakukan sebagai bentuk kesetiaan pada leluhur. Di desa ini sebagian masyarakatnya masih percaya bila seorang gadis berusia 18-20 tahun belum menikah dianggap sebagai “perawan tua” yang tak laku. Juga keyakinan-keyakinan lain yang intinya senafas tentang perlu dan pentingnya pernikahan para gadis pada usia muda. Bahkan dalam kasus tertentu demi taat pada tradisi ini para orang tua melakukan pemaksaan pada anak gadisnya.
Fenomena di atas menggerakkan hati penulis, untuk mencoba merefleksikan praktek nikah atau kawin ala “Siti Nurbaya” [8] yang tampaknya tak lagi senafas dengan kemauan sebagian masyarakat desa Tegaldowo sendiri. Zaman telah berubah dan sesungguhnya mulai terbit kesadaran di sebagian kalangan masyarakat desa Tegaldowo sendiri untuk “berubah”. Hanya denyut perubahan tersebut nampaknya masih membutuhkan proses yang panjang untuk menemukan momentum dan menjadi kesadaran bersama. Hal ini tentu saja wajar. Ketika wacana besar (grand-discourse) banyak menggelontor ruang publik, tentang emansipasi perempuan, keseteraan gender, pentingnya keluarga sakinah, dan beberapa hal baru yang lain, maka paling tidak ada dua kemungkinan yang akan terjadi.
Pertama, wacana, narasi, atau apapun istilahnya itu meluncur mulus menuju obyek sasaran dan perubahan sebagai target segera terjadi. Tentu demi mencapai hal tersebut mengandaikan prasyarat tertentu. Yang utama adalah terbangunnya kesadaran atau pola pikir (mind-set) masyarakat yang pro terhadap perubahan. Terbangunnya kesadaran atau pola pikir demikian hanya mungkin bila segenap pranata dalam masyarakat pun bersikap sama. Pranata, entah dalam wujud adat-istiadat, hukum-hukum, kebiasaan, cita-cita, maupun dalam bentuk seperti nilai-nilai agama, ilmu pengetahuan dan tehnologi yang berkembang dalam masyarakat tertentu, memberi ruang yang memadai bagi tumbuh berkembangnya semangat perubahan.
Kedua, munculnya resistensi dari masyarakat dan bahkan dalam bentuknya yang ekstrem, melawan. Ini terjadi ketika wacana atau narasi baru dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan wacana atau narasi yang berkembang di masyarakat. Apalagi dalam masyarakat yang kesadaran dan pola pikirnya belum mengalami “pencerahan”. Mereka cenderung bersikap tertutup atas hal-hal baru. Pedoman mereka dalam menjalani hidup adalah adat-istiadat peninggalan nenek-moyang yang berlaku turun temurun. Di dalam masyarakat demikian dibutuhkan perjuangan yang lebih agar semangat perubahan bisa mendapat sambutan.
Dan apa yang terjadi di masyarakat desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang menggambarkan pertarungan antar wacana tersebut. Pertarungan wacana atau narasi dalam masyarakat pedesaan yang hidup dalam tuntunan adat-istiadat berumur ratusan tahun menghadapi perguliran dan tuntutan zaman yang “mengharuskan” perubahan. Masyarakat yang menjadikan perkawinan usia dini dan dalam banyak kasus disertai dengan kawin paksa sebagai tuntunan adat yang dalam kenyataannya menimbulkan banyak korban, khusususnya bagi para perempuan kecil itu, menghadapi nilai-nilai baru tentang persamaan, modernisasi dan ide-ide pembangunan yang lain.
Semoga apa yang penulis susun memberi arti bagi perkembangan kesadaran masyarakat luas. Sebagai wahana reflesi bersama, melongok sebuah dunia yang mungkin dianggap sebagai “dunia lain” yang sesungguhnya tak berjarak dengan kita. Mungkin kegandrungan pada narasi-narasi baru membuat kita kurang menyadari bahwa masih banyak dalam ceruk-ceruk wilayah negara Indonesia yang amat luas ini, komunitas yang menjalankan narasinya sendiri dan butuh untuk  disapa.
Publik terkaget kaget saat seorang Pujiono Cahyo Widianto atau lebih dikenal dengan sebutan Syeh Puji mengawini Lutviana Ulfah, gadis bau kencur berusia 12 tahun, yang akhirnya menjadi berita nasional itu. Begitupun saat Aceng Fikri menjalani “pernikahan kilat” dengan gadis bau kencur yang bernama Fany Oktora.  Tapi sesunguhnya apa yang menimpa Ulfah maupun Fany Oktora dialami oleh banyak gadis-gadis lain dan berlangsung sekian lama nyaris tanpa “gugatan” dan publikasi. Setidaknya banyak para gadis kecil di desa Tegaldowo mengalami tragedi” itu. Sebagaimana secara lebih dalam akan kami bahas dalam tulisan ini.
B.     Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana  gambaran sepintas-kilas  desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang?
2.      Apa sajakah faktor-faktor yang melatar-belakangi terjadinya praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang?
3.      Apa dampak negatif dari praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang?
4.      Apa yang bisa dilakukan Kantor Urusan Agama dalam meminimalisir praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang?
C.    Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.      Tujuan Penulisan
 Adapun tujuan dalam  penulisan ini adalah:
a.    Untuk mengetahui gambaran sepintas kilas desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang
b.    Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar-belakangi terjadinya pratek kawin usia dini di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang
c.    Untuk mengetahui dampak negatif dari praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem kabupaten Rembang
d.   Untuk mengetahui apa yang bisa dilakukan Kantor Urusan Agama dalam meminimalisir praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo Kabupaten Rembang
2.         Manfaat Penelitian
       Penulisan  ini diharapkan bisa memberi manfaat :
a.       Manfaat secara teoritis
Membantu pengembangan dan khazanah keilmuan, khususnya dari sisi teoritis pada bidang-bidang ilmu seputar pernikahan, budaya masyarakat dan pendidikan islam
b.    Manfaat secara praktis
Menjadi bahan bagi segenap pihak, termasuk para pemangku kebijakan untuk menyusun langkah terbaik agar persoalan  pelestarian tradisi tidak dimaknai secara dangkal. Juga bahan renungan para orang tua, calon pengantin dan masyarakat, khususnya yang berdomisili di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang.

D.    Sistematika Pembahasan
Secara garis besar tulisan ini terdiri dari sistematika sebagai berikut:
BAB  I  :  PENDAHULUAN,  berisi  tentang  latar  belakang  masalah,  perumusan  masalah,  tujuan  dan  kegunaan  hasil  penulisan dan  sistematika penulisan.   
BAB II : KAJIAN TEORI DAN METODE PENELITIAN,  membahas tentang pegertian perkawinan atau pernikahan  , pengertian perkawinan usia dini dan  metode penelitian
 BAB III: TRADISI PERKAWINAN USIA DINI DI DESA TEGADOWO KECAMATAN GUNEM KABUPATEN REMBANG, meliputi profil desa Tegaldowo, adat istiadat yang berlaku di desa Tegaldowo, praktek pernikahan usia muda di desa Tegaldowo, beberapa akibat yang muncul karena perkawinan usia dini
BAB    IV            : KESIMPULAN, memuat kesimpulan dan saran-saran       


BAB II
KERANGKA TEORITIS DAN METODOLOGI PENELITIAN

A.      Kajian Teori
1.    Pengertian perkawinan
Perkawinan menurut hukum Islam adalah sama dengan pernikahan, yaitu  akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, dan melalui perkawinan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.[9] Menurut bahasa Indonesia pernikahan adalah perkawinan. Dewasa ini kerap  kali di bedakan antara ''nikah" dengan "kawin",[10]  akan tetapi pada prinsipnya antara pernikahan dan perkawinan adalah sama. Nikah yang menurut bahasa berarti penggabungan dan pencampuran. Sedangkan menurut istilah nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.[11]
Pernikahan, berasal dari kata “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah. Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fikih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi. Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki ”.[12]
Definisi lain yang diberikan oleh beberapa mazhab, antara lain : Menurut Hanafiah, nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja, artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i. Menurut Hanabilah nikah adalah akad yang menggunakan lafaz inkah yang bermakna tazwij dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.[13]
Golongan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki), berarti juga untuk hubungan kelamin, namun dalam arti sebenarnya (arti majazi). Penggunaan kata untuk bukan arti sebenarnya itu memerlukan penjelasan di luar dari kata itu sendiri. Dikalangan ulama Syafi’iyah rumusan yang biasa dipakai adalah: Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafad na-ka-ha atau za-wa-ja. Ulama golongan Syafi’iyah ini memberikan definisi sebagaimana disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami isteri yang berlaku sesudahnya yaitu boleh bergaul, sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.[14]
Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong-menolong, serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.[15] Dengan redaksi yang berbeda, Imam Taqiyyudin di dalam Kifayat al-Akhyar mendefinisikan nikah sebagai, Ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah al-wath’ (bersetubuh).[16]
Definisi yang diberikan oleh ulama-ulama fikih di atas bernuansa biologis. Nikah dilihat hanya sebagai akad yang menyebabkan kehalalan melakukan persetubuhan. Hal ini semakin tegas karena menurut al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang Arab adalah al-wat’ (persetubuhan).[17] Pengertian para ahli fiqh tentang hal ini bermacam-macam, tetapi mereka semuanya sependapat, bahwa perkawinan, nikah atau zawaj adalah suatu akad atau perjanjian yang mengandung ke-sah-an hubungan kelamin.
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara’. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, cukup satu orang (Q.S. An Nisaa’ : 3).[18]

Dan begitu pula Allah telah menjelaskan dalam surat Az-Zariyat ayat 49:
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah .[19]

Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri dengan para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.
2.    Pengertian Perkawinan Usia Dini
Perkawinan atau pernikahan dini adalah akad nikah yang dilangsungkan pada usia di bawah kesesuaian aturan yang berlaku. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam memuat asas penting yang harus dipenuhi dalam pernikahan, diantaranya adalah asas kematangan atau kedewasaan calon mempelai. Asas ini juga diterapkan oleh sekitar 17 (tujuh belas) negara muslim, dengan batas minimal usia pernikahan yang berbeda-beda.[20]
Ketentuan usia calon mempelai diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 yang berbunyi:
1)        Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
2)        Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang No. 1 Tahun 1974.[21]
Kompilasi hukum Islam dalam hal ini memang tidak memberikan aturan yang berbeda dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974, akan tetapi ia menjelaskan pertimbangan hukum yang digunakan di dalam menetapkan peraturan ini, yaitu sebagai upaya kemaslahatan yang tidak diterangkan di dalam Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 di dalam pasal 7, terdapat persyaratan-persyaratan yang lebih rinci. Berkenaan dengan calon mempelai pria dan wanita, undang-undang mensyaratkan batas minimum umur calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon isteri sekurang kurangnya berumur 16 tahun.
Selanjutnya dalam hal adanya penyimpangan terhadap pasal 7, dapat dilakukan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Semua ketentuan sebagaimana diterangkan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan tidak menentukan lain, sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (6).
Batasan umur yang termuat dalam Undang-undang Perkawinan sebenarnya masih belum terlalu tinggi dibanding dengan beberapa negara lainnya di dunia. Al-Jazair misalnya membatasi umur untuk melangsungkan pernikahan itu, laki-lakinya 21 tahun dan perempuan 18 tahun. Demikian juga dengan Bangladesh 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk perempuan. Memang ada juga beberapa negara yang mematok umur tersebut sangat rendah. Yaman Utara misalnya membatasi usia perkawinan tersebut pada umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Malaysia membatasi usia perkawinannya, laki-laki berumur 18 tahun dan yang perempuan 16 tahun. Dan rata-rata negara di dunia membatasi usia perkawinan itu laki-laki 18 tahun dan wanitanya berkisar 15 dan 16 tahun.
Yang jelas dengan dicantumkannya secara eksplisit batasan umur, menunjukkan apa yang disebut oleh Yahya Harahap di dalam buku Hukum Perkawinan Nasional, exepressip verbis atau langkah penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Di dalam masyarakat adat jawa misalnya sering kali dijumpai perkawinan anak perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan Jawa dan Aceh seringkali dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun, walaupun mereka belum diperkenankan hidup bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut dengan kawin gantung.
Agak berbeda dengan paparan di atas adalah apa yang termaktub dalam konvensi hak-hak anak yang dikeluarkan oleh Majlis Umum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pasal 1 bahwa anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Konvensi ini diperkuat dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mana dalam pasal 1 mengatakan bahwa:”anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.[22]
Dalam tinjauan fiqh pernikahan/perkawinan dini biasa disebut dengan nikah al-shaghir/alshaghirah, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh seseorang laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Dalam perspektif fiqih, usia baligh seseorang dicirikan dengan ihtilam (mimpi basah) bagi seorang laki-laki dan keluarnya darah haid bagi seorang perempuan. Dari sisi usia, menurut Abu Hanifah bagi laki-laki adalah 18 tahun dan perempuan 17 tahun. Sementara menurut Syafi’i usia baligh adalah 15 tahun baik laki-laki ataupun perempuan. Hukum pernikahan dini menurut mayoritas ulama adalah sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang telah ditentukan yaitu sighat (ijab-qabul), calon mempelai (suami-isteri), wali bagi perempuan dan dua saksi. Namun ada juga ulama yang tidak membolehkan pernikahan dini dengan beberapa argumentasi dan dalil.
Ulama yang mensahkan pernikahan dini mengemukakan dalil dan argumentasi sebagai berikut:
a.         Terdapat dalam surat Ath-Thalaaq ayat 4:
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa iddah (masa tunggu) bagi wanita yang belum haid dan wanita yang sudah monopouse adalah 3 bulan. Adanya iddah bagi wanita yang belum haid menunjukkan kebolehan menikahnya karena iddah tidak mungkin terjadi tanpa didahului pernikahan dan perceraian.
b.    Terdapat dalam surat An-Nur ayat 32:
 “Dan nikahkanlah wanita-wanita yang belum bersuami di antara kalian”.
Perintah dalam ayat ini menggunakan kata wanita-wanita yang bermakna ‘am (umum) yang mencakup semua perempuan baik yang sudah baligh ataupun belum. Mengenai lafadz ‘am para ulama ushul sepakat bahwa semua kata yang bersifat umum dapat mencakup semua makna yang tercakup di dalamnya apabila tidak ada dalil yang mentakhsisnya.
c. Pernikahan Nabi dengan Siti ‘Aisyah, sebagaimana tertulis dalam beberapa hadis.
     “Nabi menikahiku ketika aku berusia 6 tahun dan hidup bersama denganku ketika aku berusia 9 tahun” .[23]
d. Riwayat dan atsar dari para sahabat yang menikahkan kerabat mereka yang masih kecil. Seperti ali ibn Abi Thalib yang mengakadkan pernikahan Ummi Kultsum dengan ‘Urwah ibn Zubair, dan ‘Abdullah ibn al-Hasan ibn ‘Ali dengan wanita yang masih kecil. Sahabat-sahabat lain seperti Ibn al-Musayyab dan ‘Abdullah ibn Mas’ud juga membolehkan pernikahan di bawah umur.[24]
e. Sahnya pernikahan dini juga didasarkan kepada kemaslahatan yang terkandung dalam menikahkan anak kecil, seperti telah ditemukannya calon yang ideal (sekufu) bagi si wanita.
f. Sahnya pernikahan ini juga didasarkan pada prinsip bahwa baligh bukanlah merupakan syarat sahnya pernikahan.[25]
Sedangkan Ulama yang tidak membolehkan pernikahan seseorang yang belum baligh seperti Ibn Syubrumah, Abu Bakr al-A’sham dan Usman al-Batti berpedoman kepada dalil yang terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 6 :
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”

Meskipun secara eksplisit tidak menerangkan tentang kondisi baligh sebagai salah satu syarat pernikahan, ayat ini mengandung makna bahwa kelayakan seseorang untuk menikah dibatasi oleh usia baligh dan rusyd (kepandaian) seseorang dalam mengurus harta. Menurut Ibn Hazm jika anak-anak masih kecil dibolehkan menikah maka esensi ayat ini akan terabaikan.[26]
Orang-orang yang belum baligh dipandang belum mengerti esensi dan tujuan menikah sehingga pernikahan dini justru akan menyebabkan madharat mengingat begitu beratnya beban tanggung jawab di dalam kehidupan pernikahan

B.       Metode Penelitian
1.    Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat di amati.[27]
Adapun sifat penelitian tersebut adalah penelitian deskriptif. Menurut Moh. Nazir penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.[28]
Dalam penelitian ini penulis berupaya mengumpulkan ferbagai informasi seputar desa Tegaldowo, seputar perkawinan usia dini, dampak-dampak dari perkawinan usia dini berbagai info yang terkait dengan harapan mampu mengamati, meneliti, mendeskripsikan data dan  fakta seputar masalah tersebut secara akurat dan bisa dipertanggug-jawabkan.
2.      Tempat Penelitian
Penelitian mengambil tempat di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang Propinsi Jawa Tengah
3.      Populasi Sample dan Sampling
Setelah merumuskan permasalahan, tujuan, dan rancangan penelitian dengan tepat dan benar. Maka tahap selanjutnya adalah menentukan obyek penelitian dengan tepat dan benar, dari mana data dikumpulkan. Pada umumnya dalam penelitian hanya menggunakan sebagian saja dari keseluruhan jumlah populasi yang diteliti yang disebut sampel. Teknik pengambilan sampel untuk penelitian disebut sampling. Sampling merupakan salah satu langkah yang penting dalam penelitian, dalam arti menentukan seberapa besar atau sejauh mana keberlakuan generalisasi hasil penelitian tersebut. Kesalahan dalam sampling akan menyebabkan kesalahan dalam kesimpulan, ramalan atau tindakan yang berkaitan dengan hasil penelitian.[29]
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti.[30] Dalam suatu penelitian sampel haruslah representatif, untuk itu dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sample dengan cara purposive sampling atau sampel bertujuan,[31] yaitu pemilihan sekelompok subyek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai keterkaitan yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
Berdasarkan pada metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini, sampel yang peneliti pilih beberapa orang tua yang anaknya menjalani perkawinan usia dini da tentu saja  para pelaku kawin usia dini sendiri.
4.      Sumber Data
Sumber data adalah salah satu yang paling vital dalam penelitian. Kesalahan dalam menggunakan dan memahami serta memilih sumber data, maka data yang akan diperoleh juga akan meleset dari yang diharapkan. Oleh karenanya, peneliti harus mampu memahami sumber data mana yang mesti digunakan dalam penelitiannya itu.[32] Ada dua jenis sumber data yang biasanya digunakan dalam penelitian dan yang digunakan dalam skripsi ini adalah:
a. Sumber Data Primer
Data Primer yaitu data-data yang diperoleh dari sumber pertama.[33] Dalam hal ini data primer di peroleh langsung dari wawancara dengan beberapa perempuan yang mengalami praktek kawin usia dini dan beberapa tokoh yang memahami persoalan ini..
Wawancara berikutnya penulis lakukan kepada beberapa personil KUA Kecamatan Gunem. Hal ini penulis lakukan dalam rangka menggali informasi tentang Desa Tegaldowo khususnya yang berkait dengan praktek kawin usia dini.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan oleh pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dan subyek penelitian. Data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.[34] Adapun data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen, literature yang sesuai dengan pembahasan penelitian.
Menurut Soerjono Soekanto sumber data dibagi menjadi tiga yaitu: sumber data primer, sumber data sekunder dan sumber data tersier. Sumber Data tersier adalah data-data penunjang, yakni bahan-bahan yang member petunjuk dan penjelasan terhadap data primer dan sumber data sekunder, diantaranya kamus dan ensiklopedia.[35]
5.    Metode Pengumpulan Data
Kualitas data sangat ditentukan oleh kualitas alat atau metode pengumpulannya. Untuk memperoleh data yang valid, maka dalam pengumpulannya, digunakan tiga metode sebagai berikut:
1. Metode interview (wawancara)
      Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu.[36] Adapun mengenai pelaksanaan wawancara peneliti memilih jenis interview bebas terpimpin. Interview bebas terpimpin yaitu pewawancara membawa pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang hal-hal dapat di tanyakan kepada para informan. Dalam wawancara ini informan yang dimaksud adalah beberapa pelaku kawin usia dini, para orang tua yang anaknya melakukan kawin usia dini dan beberapa tokoh yang penulis anggap menguasai permasalahan ini
2.    Metode Observasi (pengamatan)
Observasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala subjek yang diselidiki, baik pengamatan itu dilakukan dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi yang direkayasa.Pengamatan atau observasi sering dipakai sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian yang bermaksud mengkaji tingkah laku.[37]
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang perilaku masyarakat, keadaan dan kondisi Observasi dapat dilakukan dengan dua cara, yang kemudian digunakan untuk menyebut jenis observasi, yaitu:
a.             Observasi sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrumen pengamatan.
b.            Observasi non sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan.[38]
Berdasarkan pengertian dan macam pengamatan observasi diatas peneliti menggunakan obeservasi non sistematis, pemilihan jenis pengamatan tersebut dengan alasan data yang diperoleh dari teknik tersebut berupa kondisi objektif masyarakat yang dapat diamati secara langsung. Dan agar dapat diketahui secara langsung tentang praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo.
3.  Metode dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data megenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, agenda, dan lain-lain.[39] Dalam metode ini peneliti menggunakan untuk memperoleh data atau informasi yang berasal dari data-data Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem, buku-buku dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan obyek penelitian.
6.        Metode analisa Data
Menurut Bogdan dan Taylor, analisa data adalah proses merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide itu.[40]
Sedangkan menurut Saifullah, dalam sebuah penelitian ada beberapa alternatif analisis data yang dapat dipergunakan yaitu antara lain: deskriptif kualitatif, deskriptif komparatif, kualitatif atau non hipotesis, deduktif atau induktif, induktif kualitatif, contents analysis (kajian isi), kuantitatif dan uji statistik.[41]
Setelah data-data diperoleh dan dikumpulkan peneliti, maka langkah selanjutnya adalah analisa data, sesuai dengan pembahasan tulisan ini. Literatur-literatur yang diperoleh dalam penelitian, data-data kepustakaan dan lapangan tersebut dikumpulkan. Kemudian peneliti melakukan penyusunan data, menguraikan data, dan mensistematisasi data yang telah terkumpul untuk dikaji dengan metode deskriptif kualitatif yaitu analisis yang menggambarkan keadaan atau status fenomena dalam kata-kata atau kalimat, kemudian di pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.[42] Dengan tujuan memberikan gambaran secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekwensi atau penyebaran, suatu gejala adanya hubungan tertentu antara suatu gajala dengan gejala lain dalam masyarakat.

























BAB III
TRADISI PERKAWINAN USIA DINI DI DESA TEGALDOWO KECAMATAN GUNEM KABUPATEN REMBANG

A.    Pintas Kilas Potret Desa Tegaldowo
Tegaldowo adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang. Merupakan desa terluas diantara desa-desa lain di wilayah Kecamatan tersebut. Di sebelah utara desa Suntri dan sebelah baratnya desa Timbrangan. Untuk sebelah selatan dan timur berbatasan dengan areal hutan. Berpenghuni 1 326 Kepala Keluarga (KK), terdiri dari 2 461  laki-laki dan   2 486  perempuan.
Mata pencaharian masyarakat mayoritas petani. Sisanya pedagang, PNS dan yang lain.  Secara prosentase petani mencapai + 95%. Dari jumlah ini 70% adalah petani persil yakni petani yang menggarap lahan hutan milik perhutani. Jenjang pendidikan, sesuai data statistik yang disampaikan suprapto,[43] salah seorang perangkat desa, dari 4 947 jumlah penduduk hanya 7 orang yang mendapat gelar sarjana strata satu (S1), 9 orang bergelar D2 dan D3, 71 orang SLTA, 200 orang luus SLTP, + 2000 orang lulus SD, sisanya tidak sempat lulus SD.
Sebagai gambaran penulis paparkan beberapa hal seputar kebiasaan, adat-istiadat, maupun hal-hal lain yang ikut andil bagi kehidupan dan corak budaya yang dipilih oleh masyarakat desa Tegaldowo, antara lain:
1.      Kehidupan Persil
Mayoritas sumber kehidupan masyarakat Tegaldowo adalah petani persil. Persil merupakan istilah lahan tanah milik Perhutani yang belum ditanami atau hutan jati yang baru ditebang dan dibiarkan kosong. Tercatat dalam data statistik ada  + 70% dari 1 326 Kepala Keluarga memilih hidupnya di persil. Bila persilnya dekat dari desa mereka berangkat pagi pulang sore hari. Bila persilnya jauh mereka menginap di lahan persilnya. Ada yang satu hari, dua hari, satu miggu bahkan ada yang satu bulan. Tidak hanya kaum laki-laki yang melakukan ini. Kaum perempuan pun banyak yag mendampingi suaminya tinggal di persil.
      Kondisi demikian tentu berpengaruh pada perhatian orang tua kepada anak-anaknya. Pendampingan belajar, kepedulian pada perkembangan dan kebutuhan anak kurang terurus.
2.      Praktek Keagamaan
Dalam masalah agama, berdasarkan statistik 100% masyarakat  Tegaldowo beragama Islam.   Akan tetapi baru sebagian kecil dari mereka yang mengamalkan ajaran islam secara benar. Lebih banyak dari mereka yang sekedar “mengaku” islam dalam tataran administratif. Misalnya untuk dicantumkan dalam KTP, Kutipan Akte Nikah, ijasah sekolah atau untuk kepentingan dokumentasi yang lain.
Memang masjid, langgar, banyak berdiri. Madrasah Diniyyah juga sudah ada. Namun kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan tersebut masih minim. Jama’ah shalat maktubah – shalat lima waktu -  tak banyak pengikutnya. Termasuk jamaah shalat jum’at.
Abdul Ghoni, Kepala KUA Kecamatan Gunem, menuturkan saat menghadiri majlis akad nikah rata-rata  Calon Pengantin (Catin)  maupun wali mesti dituntun untuk mengucapkan kalimat “syahadat”. Warna lain dari corak keagamaan masyarakat adalah kentalnya nuansa kejawen.[44]
3.      Penyakit Masyarakat
Banyak yang salah duga saat membayangkan desa Tegaldowo sebagai wilayah di pegunungan, dengan latar-belakang budaya agraris, tentu cenderung tenang dan jauh dari hal-hal negatif, sebagaimana masyarakat perkotaan yang heterogen. Kesan demikian segera pudar saat dengan mudah bisa dijumpai orang berjudi di tempat-tempat yang cenderung terbuka. Orang-orang desa yang lugu itu tanpa canggung menenggak minuman keras.
Main kartu, dadu,  bilyard – permainan yang mulanya sebagai olah raga – mulai beberapa tahun lalu hampir menjadi permainan rakyat untuk mencari peruntungan. Main kartu dan dadu mudah dijumpai di warung-warung kopi atau tempat yang digunakan mangkal banyak orang. Apalagi bila ada acara ketoprak ataupun tayub di tempat mereka yang menggelar syukuran perkawinan atau khitan. Begitupun minuman keras. Acara tayub adalah ajang menggelar pesta minuman beralkohol. Biasanya minuman keras disediakan tuan rumah.
Kesenian tayub, sering digelar untuk acara perkawinan. Bagi mempelai laki-laki yang membawa seekor kerbau pada memperlai wanita, maka seolah “wajib” hukumnya bagi pihak mempelai wanita menggelar kesenian tayub pada pesta perkawinannya. Di masyarakat Tegaldowo, tayub menjadi kesenian idola. Walaupun untuk mendatangkan rombongan kesenian ini butuh biaya besar dari mulai jutaan bahkan bisa di atas sepuluh juta, tergantung terkenal atau tidaknya ledek-nya (penari). Menurut Suwandi, masyarakat begitu obral untuk membayar kesenian tayub tapi tidak untuk membiayai pendidikan anak-naknya.[45]
Saat digelar kesenian ini, kerumunan masyarakat, baik yang sekedar nonton maupun yang ikut menari mendampingi ledek, disuguhi hal-hal erotik. Bagaimana tidak erotik, bila penari perempuan yang berjumlah 2 sampai 4 orang dikelilingi banyak lelaki yang ikut menari dengan tak jarang tangan si lelaki mengelus pipi, bahu dan bahkan anggota tubuh lain yang mestinya tak layak disentuh di tempat umum. Dibalut udara pegunungan yang dingin dan dihangatkan dengan minuman beralkohol yang disediakan tuan rumah, suasana makin panas dan sensual. Seringnya pemandangan seperti ini di masyarakat, secara langsung atau tidak membentuk masyarakat untuk permisif terhadap beberapa hal tentang seks.
4.      Budaya Ngemblok
Kekayaan budaya masyarakat pegunungan – Tegaldowo dan sekitarnya, yang tak banyak dijumpai ditempat lain adalah adanya budaya ngemblok. Sebelum ke jenjang perkawinan, pihak pria mendatangi keluarga pihak wanita dan menyatakan keinginannya untuk mempersunting anak gadisnya. Pihak wanita, tanpa mengikut-sertakan sang anak – biasanya masih duduk di bangku SD ataupun SLTP – menerima kedatangan pihak pria, namun tidak langsung menjawab maksud si pria. Setelah kurang lebih sebulan, datang rombongan pihak wanita ke keluarga pria dengan membawa aneka makanan khas desa sebagai jawaban. Inilah yang dimaksud ngemblok.
Sebelum ngemblok biasanya didahului sebuah fase yang bernama “ndhedheki”. Yakni ketertarikan seorang pria kepada seorang wanita ditandai dengan semacam pengumuman kepada khalayak bahwa wanita tersebut telah ditaksirnya. Dengan pengumuman ini dengan sendirinya diharap pria-pria yang mungkin naksir pada wanita tersebut mengurungkan niatnya.

B.     Tradisi Kawin Usia Dini
Sebagaimana penulis paparkan di atas tentang kebiasaan dan adat-istiadat yang berlaku di masyarakat tegaldowo : pertanian persil, corak keagamaan yang kental dengan nuansa sinkretistis dengan tradisi kejawen, kebiasaan berjudi, menenggak minum keras dan kesenian tayub yang diidolakan serta adanya budaya ngemblok, dalam batas-batas tertentu menggambarkan betapa masyarakat tegaldowo adalah masyarakat yang berpola pikir tradisonal. Yang masih belum siap menapaki kehidupan modern yang dinamis, sering bersikap irrasional dan kurang siap menerima sesuatu yang baru yang menuntun kearah perbaikan serta kurang bersemangat menyongsong kemajuan.
Hal lain yang memprihatinkan adalah adanya praktek kawin usia dini yang dalam banyak kasus disertai adanya unsur pemaksaan. Tradisi kawin usia dini dan kawin paksa – yang dalam cerita sering dinisbatkan dengan kisah Siti Nurbaya, dapat dijumpai pada masyarakat desa Tegaldowo. Atas nama adat, mereka melestarikan praktek yang telah berlaku turun temurun itu tanpa peduli bahwa zaman sebenarnya telah berubah. Anak-anak perempuan yang sedang asyik mengukir masa depan tiba-tiba mesti dipaksa bersanding di pelaminan. Mungkin tidak ada perlawanan frontal dari para gadis bau kencur itu. Namun bukan berarti pula mereka menerima nasib itu dengan gembira.
Mereka mesti rela menerima paket jodoh yang disodorkan orang tua. Bahkan andai mereka tidak mengenal apalagi mencintai calon suaminya. Dalam beberapa kasus mereka disodori berita tentang perkawinannya tatkala mereka mereka belum banyak tahu tentang apa itu kawin, apa itu menikah. Tentu saja berita tersebut membuat kaget atau bahkan menjadi hal biasa-biasa saja karena mereka tidak memiliki gambaran yang cukup bagaimana mereka menjalani kehidupannya kelak. Mereka cenderung pasrah menerima dan menjalani nasib. Menyerahkan masa depannya dalam belenggu tradisi.
Seperti yang dialami Bunga (bukan nama sebenarnya). Bertepatan dengan acara perpisahan siswa kelas 3 SMP Gunem 2, pada hari itu dia mesti menjalani hari “bersejarah” dalam hidupnya. Bunga yang mestinya bisa bersenang-senang karena baru saja melaksanakan ujian tingkat SLTP mesti melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang telah meminangnya saat masih duduk dibangku kelas 2. Pada mulanya dia melakukan penolakan kepada orang tuanya agar mau menunda perkawinan selepas dia lulus SLTA. Namun keputusan orang tuanya tetap kukuh: dia harus menikah selepas lulus SMP.
Bela, teman sekelas bunga juga mengalami nasib tragis. Dia mesti mengurungkan cita-citanya sekolah SMA karena orang tuanya telah menerima lamaran laki-laki yang siap menyuntingnya menjadi istri. Lebih tragis lagi, Bela mesti menikah dengan duda yang umurnya terpaut puluhan tahun dengannya. Dalam hal ini Bunga masih lebih beruntung karena suaminya seorang perangkat desa berijasah STM dan berumur 25 tahun.
Nasib lebih parah menimpa Sita. Dia mesti dikawinkan dalam usia begitu muda. Dia baru saja lulus SD namun pria yang meminangnya sudah tak sabar untuk menunggunya beranjak besar. Jadilah gadis kecil ini mesti menyandang gelar sebagai seorang istri saat dia sebenarnya belum paham sepenuhnya apa itu itu istri, apa itu kawin, apa itu berumah-tangga dan semacamnya.[46]
Beberapa kejadian tersebut tentu  amat ironis. Dalam Undang Undang nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1 disebutkan: “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. Dalam pasal penjelasan disebutkan :”oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia. Maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun”. Tindakan memaksa anak untuk menikah sesungguhnya bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) dan sebagai bentuk kekerasan terhadap anak.
Sementara itu  perkawinan bisa dikategorikan sebagai perkawinan dini bila dilakukan pada umur yang belum selayaknya. Mengacu pada Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 menyebut: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahu”. Pada ayat 2 pasal yang sama dikatakan bahwa “ Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.[47]
Agak berbeda dengan paparan di atas adalah apa yang termaktub dalam konvensi hak-hak anak yang dikeluarkan oleh Majlis Umum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pasal 1 bahwa anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Konvensi ini diperkuat dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mana dalam pasal 1 mengatakan bahwa:”anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.[48]
Dengan demikian dalam perspektif ini perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah 18 tahun bisa dikategorikan sebagai perkawinan usia dini. Perkawinan selayaknya dilakukan oleh manusia dewasa. Menurut M Fauzil Adhim, mengutip hasil penelitian professor psikologi Amerika diane E papalia dan sally wendkos O mengatakan: “Usia terbaik untuk menikah bagi perempuan adalah 19 sampai 25 tahun. Sedangkan bagi laki-laki 20 sampai 25 tahun”.[49]
Dari sini bisa ditarik benang merah bahwa apa yang dilakukan sebagian masyarakat desa Tgaldowo dengan praktek ala Siti Nurbaya merupakan tindakan yang tidak senafas dengan UU sekaligus secara psikologis amat merugikan bagi masa depan perempuan.

C.     Faktor-faktor Penyebab Terjadinya  Kawin Usia Dini
     Ada beberapa hal yang menyebabkan praktek kawin usia dini yang sering juga disertai pemaksaan -  kawin paksa - seolah tetap lestari dalam masyarakat desa Tegaldowo. Hal-hal tersebut berkaitan dengan persepsi, pemahaman, keyakinan atau apapun istilahnya yang masih mengakar kuat di sebagian besar masyarakat. Persepsi, keyakinan, pemahaman itu antara lain:
1.      Ketakutan disebut sebagai Perawan Tua yang Tak Laku
Ketakutan anaknya disebut sebagai perawan tua sering membuat sebagian orang tua di Tegaldowo tak berpikir panjang dalam menerima pinangan laki-laki. Untuk keluarga yang kurang mampu secara ekonomi cenderung menerima begitu saja saat datang pinangan. Mereka tidak banyak pertimbangan dan menetapkan kriteria tertentu bagi pendamping anak gadisnya.
Mereka tidak berpikir apakah anak gadisnya cocok atau tidak dengan calon suaminya. Mereka tidak menganggap penting hal demikian dan percaya dengan berlalunya waktu mereka akan cocok dengan sendirinya setelah jadi suami istri. Mereka berkaca dari apa yang mereka alami dulu bahwa waktu menikah tidak perlu saling kenal, toh nanti akan kenal sendiri dan cocok sendiri. Perkawinan menurut mereka begitu sederhana.
Bagi mereka usia 20 tahun sudah masuk kategori usia yang dihindari. Usia 20 tahun dan belum menikah sudah dianggap perawan tua dan itu aib bagi keluarga. Terkadang demi menutupi rasa malu, gadis yang sudah 20 tahun dan belum kawin ditawar-tawarkan agar ada laki-laki yang mengawininya.[50]
 Berikut data pengelompokan umur Calon Pengantin desa Tegaldowo Tahun 2000 – 2004 yang penulis peroleh dari KUA kecamatan Gunem.


No

Tahun
Jumlah N
Usia
<19 Th
Persen (%)
Usia
19 – 25 Th
Persen (%)
Usia
> 25 Th
Persen
(%)
1.
2000
82
33
40,2
32
39
17
20,8
2.
2001
72
37
61,7
21
35
2
3,3
3.
2002
62
20
36,4
23
41,8
12
21,8
4.
2003
85
42
58,4
23
31,9
7
9,7
5.
2004
78
56
72,8
15
19,4
6
7,8

Berdasarkan penelusuran di lapangan, penulis menemukan beberapa kasus terjadinya ketidak-sesuaian umur antara yang terdata di KUA dengan yang tertera di ijasah. Ketidak-sesuaian ini banyak terjadi pada catin yang usianya tercatat 16 dan 17 tahun. Setelah penulis teliti tahun kelahiran berdasar ijasah atau data yang dkeluarkan pihak sekolah banyak dari mereka yang berusia di bawah 16 tahun.
Tentu saja kesenjangan ini menimbulkan banyak dugaan. Namun berdasarkan keterangan yang penulis peroleh dari Drs Abdul Ghoni, MSI, selaku Kepala KUA Kecamatan Gunem, perbedaan tersebut disebabkan sumber referensi dalam penentuan umur yang berbeda. KUA meggunakan Akte Kelahiran yang dikeluarkan pihak Catatan sipil. Sementara catatan sipil tidak mensyaratkan ijasah sebagai syarat pengurusan Akte Kelahiran.[51]
Berdasarkan data dari KUA Gunem sejak tahun 2011 hingga Mei 2013 terdapat 11 calon pegantin yang menikah pada usia dini. Pelaksanaan pernikahan mereka dilaksanakan setelah Pengadilan Agama Kabupaten Rembang mengeluarkan dispensasi nikah. Menurut Mardi angka ini bukanlah angka riil pelaku kawin usia di desa Tegaldowo. Menurutya angka yang sebenarnya jauh lebih tinggi. Pengadilan Agama semenjak mencuatya kasus Syeh Puji tidak terlalu “obral” dalam meluluskan permohonan dispensasi nikah di bawah umur. Maka bagi calon pengantin yang berdasar pengalaman kecil peluangnya untuk mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama biasanya mereka melakukan perkawinan di bawah tangan.[52] Fakta ini dibenarkan oleh Listyowati, yang berprofesi sebagai “rias manten”. Menurutnya dia biasa diminta merias pengantin yang usianya masih sangat muda dan perkawinannya dilakukan di bawah tangan.[53]
2.      Lebih Baik Jadi Janda Muda
Perceraian dalam masyarakat desa Tegaldowo bukanlah hal yang ditabukan. Biarlah anak menjadi janda muda karena itu lebih baik daripada menanggung aib sebagai perawan tua yang tak laku. Dalam beberapa kasus, karena perkawinan lebih diniatkan agar tak jadi perawan tua, mahligai rumah tangga hanya seumur jagung. Hanya berlangsung dalam hitungan miggu, hari bahkan jam. Menurut Muslih, pernah terjadi malam akad nikah, paginya salah satu pengantin telah kembali ke orang tuanya.
Dalam catatan KUA Gunem dalam setiap tahun selalu terdapat janda yag menikah lagi di desa Tegaldowo. Rata-rata mereka juga masih berusia muda. Berikut data yang penulis ambil dari tahun 2000 – 2004.

DATA USIA JANDA DESA TEGALDOWO
TAHUN 2000 – 2004
TAHUN

JUMLAH JANDA
< 20 Tahun

20-25 TAHUN
26 – 30 TAHUN
>31 TAHUN
2000
32
-
20
4
8
2001
9
2
6
-
1
2002
22
9
8
3
2
2003
22
5
12
1
4
2004
39
14
22
2
1

Data di atas diperoleh dari kelengkapan nikah para Catin. Ada asumsi lain yang menyatakan bahwa kenyataan di lapangan jumlah janda dan usia yang lebih muda sebenarnya jauh lebih banyak ketimbang apa yang tertulis di KUA. Asumsi ini didukung oleh penemuan penulis ketika menilik lebih dalam pada status kejandaan seseorang. Kebanyakan dalam berkas ditemukan orang-orang yang berstatus janda itu mengurus percerainnya ketika akan menikah kembali. Ini berarti para perempuan yang punya problem keluarga termasuk mereka yang tak lagi serumah dengan suami tidak mengurus perceraian pada saat belum menemukan calon suami baru. Jadi status mereka ini janda bukan, istripun seolah bukan.

3.      Anak Gadis sekolah Mau Jadi Apa?
Anak gadis sekolah tinggi-tinggi mau jadi apa? Toh nanti kerjanya Cuma di belakang. Buat apa buang biaya mahal bila kelak hanya bergelut dengan dapur, sumur dan kasur? Lebih baik dikawinkan saja. Demikian ungkapan yang diterima Suparman dari para tetangga saat hendak menyekolahkan anaknya selepas lulus SMP. Apa yang dialami Suparman banyak menimpa orang tua lain yang hendak menyekolahkan anak gadisnya selepas SMP.
Mau jadi apa! Itulah ungkapan yang berulang kali muncul bila melihat anak perempuan yang melanjutkan jenjang pendidikan. Anehnya hal demikian tak terjadi pada anak laki-laki. Padahal melihat fakta, khususnya yang ada di desa Tegaldowo, baik laki-laki maupun perempuan nyaris bernaib sama selepas lulus sekolah. Sama-sama tak bisa mengandalkan ijasah untuk mendapat pekerjaan.
Apa yang menimpa Suparman dan para orang tua yang lain menjadi penegasan atas rendahnya kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak, khususnya bagi anak perempuan. Tempat perempuan adalah di rumah. Setinggi tinggi dia terbang, sejauh jauhnya dia pergi akan kembali ke rumah juga. Menurut H Asy’ari, seorang guru di salah satu SD di desa Tegaldowo, sebenarnya banyak anak perempuan yang dari segi intelektualitas tak kalah dengan anak laki-laki. Namun persepsi keliru masyarakat  akhirnya memupus impian anak-anak perempuan yang cerdas itu untuk terus mengembangkan diri. Cita-cita untuk menjadi Polwan dari Kiswati, putri Suparman dan kiswati-kiwati yang lain mesti kandas di altar tradisi.[54]

D.    Dampak Negatif Kawin Usia Dini
Adat istiadat kawin usia dini yang sering disertai pemaksaan (kawin paksa) dari kalangan orang tua di desa Tegaldowo telah berlangsung lama, berlaku turun temurun. Kalau boleh disebut dampak positif dari adat-istiadat ini amatlah sedikit. Tak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkannya. Baik secara sosial, ekonomi, hukum maupun kemanusiaan. Dampak negatif  itu antara lain:
1.      Melanggar Perundang-undangan yang Berlaku
Praktek kawin usia dini jelas bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Khususnya UUP Nomor 1 1974 pasal 7 ayat 1 yang membahas tentang batasan umur minimal bagi calon pengantin dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam bab penjelasan tentang Pasal 7 UUP nomor 1 1974 menyebut bahwa perkaawinan terkait erat dengan masalah kependudukan. Ternyata batas usia kawin yang lebih rendah berpotensi meningkatkan laju pertumbuhan penduduk. Dengan menjalani pernikahan yang lebih lama, ditunjang dengan emosi yang belum stabil serta tingginya libido seksual paada masa muda, memungkinkan terjadinya kontak seksual yang lebih tinggi. Walau tingginya kontak seksual belum tentu bisa dimaknai makin sering punya anak, karena telah banyak alat kontrasepsi yang ditawarkan ke masyarakat, namun dari segi kemungkinan tentu  hal tersebut cukup masuk akal.
Persoalannya sanksi atas pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat 1 UUP Nomor 1 Tahun 1974 tidak begitu jelas. Bahkan tidak ada penjelasan secara rinci dan tersurat sanksi apa yang yang dikenakan atas pelanggaran tersebut. UUP memberi solusi atas pelanggaran atas pasal 7 ayat 1 dengan upaya meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain sebagaimana tertera dalam ayat 2. Sama sekali tidak dijelaskan kalau misalnya praktek perkawinan di bawah umur tetap dilaksanakan walau tanpa dispensasi dari Pengadilan.
Berbeda dengan UUP Nomor 1 Tahun 1974, dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur sanksi secara tegas.  Dalam Pasal 81 dan Pasal 82 mengatur tentang sanksi pidana bagi mereka yang terlibat dalam tindak kekerasan kepada anak termasuk bagi mereka yang melakukan ancaman kepada anak-anak untuk melakukan persetubuhan. Pasal-pasal tersebut secara lebih rinci berbunyi:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa  anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang  dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Untuk Pasal 82  berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau  membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)

2.      Rawan Perceraian
Karena perkawinan demi memenuhi keinginan orang tua atau lebih didorong gengsi agar laku, ikatan perkawinan terkadang begitu rapuh. Hanya disulut pertengkaran kecil misalnya, ikatan perkawinan bisa saja berakhir. Mugkin mereka tidak langsung mengajukan permohonan bercerai ke Pengadian Agama. Namun salah satu pasangan kembali ke rumah orang tua atau pergi jauh tanpa mengirimkan kabar.
Secara umum kasus perceraian di desa Tegaldowo berdasarkan data yang penulis peroleh dari KUA Kecamatan Gunem, lebih dari 50% perceraian disebabkan ketidak-mampuan secara ekonomi. Mereka mengajukan alasan “perselisihan yang tidak bisa didamaikan” dan pemicunya adalah kondisi ekonomi keluarga yang sulit. Ini bisa dipahami ketika pasangan suami istri tidak dibekali kematangan yang cukup baik kematangan ekonomi – mereka rata-rata kurang dibekali ketrampilan yang memadai dan bekerja serabutan, maupun kematangan mental-emosional-spiritual maka cukup sulit bagi mereka bersiakap arif dan dewasa mengahadapi problem rumah tangganya. Dan perceraian sering dipilih untuk keluar dari problem itu.
Di bawah ini penulis tampilkan tingkat cerai talak di desa Tegaldowo dari tahun 2000 – 2004


TAHUN
JUMLAH PERISTIWA
NIKAH
TALAK-CERAI
2000
82
13
2001
72
9
 2002
62
5
2003
85
14
2004
78
11

Data di atas adalah peristiwa perceraian yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya putusan Pengadilan Agama telah jatuh. Sementara di masyarakat banyak kasus pasangan suami istri yang tidak bersama lagi namun belum diajukan ke pengadilan. Menurut Drs. Abdul Ghoni, MSI, Kepala KUA Kecamatan Gunem, data tersebut kurang akurat di samping karena keterbatasan personil KUA dan sistem pengarsipan dokumen yang belum optimal, lebih penting lagi dalam masalah talak-cerai KUA hanya menerima tembusan dari Pengadilan agama.[55]
Penulis menduga angka perceraian yang sebenarnya lebih tinggi. Menurut pengakuan Mardi P3N desa Tegaldowo yang sering mendampingi mereka yang berperkara di PA, dalam setiap bulan walau fluktuatif selalu ada orang yang mengajukan talak-cerai antara 1 – 2 orang. Bahkan dalam bulan-bulan tertentu angkanya cukup tinggi.[56]
Sebenarnya dampak negatif  lain masih banyak seperti nikah sebagai penghambat cita-cita seperti yang dialami Bunga, Bela dan Sita sebagaimana penulis kemukakan di muka. Dengan nikah usia dini banyak juga yang harus drop out dari bangku sekolah. Belum lagi mereka harus menghadapi problem-problem rumah tangga, yang mestinya diperuntukkan bagi orang dewasa sebelum waktunya.
E.       Upaya KUA untuk Meminimalisir Perkawinan Usia Dini
Seharusnya masalah perkawinan usia dini mendapat perhatian yang besar dari segenap pihak, agar hal demikian tidak terus terjadi. Harus ada keberanian untuk memutus mata rantai yang telah berlangsung sekian lama itu karena korban telah banyak berjatuhan. Bahkan andaikata hanya ada satu korban sekalipun praktek semacam ini harus dikritisi. Tidak ada toleransi bagi praktek-praktek apapun walau mengatas-namakan tradisi sekalipun kalau harus mengorbankan “nasib” hidup dan kehidupan seseorang.
KUA sebagai pihak yang berkepetingan dengan urusan pencatatan perkawinan harus proaktif melakukan upaya-upaya serius agar praktek kawin usia dini dapat diminimalisir dari waktu ke waktu. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain:
1.         Bersama anggota masyarakat / Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak-pihak lain dalam pemerintahan melakukan sinergi untuk membuka cakrawala masyarakat agar pola pikir masyarakat makin terbuka dan “tercerahkan”. Penyuluhan, sosialisasi, orientasi, atau apapun istilahnya mesti diintensifkan agar informasi seputar dampak negatif praktek kawin usia dini makin dimengerti masyarakat. Tidak bisa disanggah bahwa upaya perubahan pola pikir lebih efektif dilakukan melalui jalur pendidikan. Baik itu jalur pendidikan formal, informal maupun non formal harus diberdayakan untuk membantu penyebaran informasi tentang masalah tersebut. Khusus untuk desa Tegaldowo pemerintah telah mendirikan satu lembaga pendidikan baru setingkat SLTA yakni Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang harapannya bisa menarik dan menampung minat belajar para remaja di daerah tersebut. Begitupun beberapa kalangan yang peduli pendidikan di daerah Tegaldowo khususnnya dan Kecamatan Gunem pada umumnya dua tahun yang lalu telah mendirikan Maadrasah Tsanawiyah (MTs). Dengan makin bertambahnya jumlah da jenjang pendidikan diharapkan akan makin banyak anak-anak di daerah tersebut yang “tercerah”-kan pola pikirnya amelalui jalur pendidikan.
2.         Mengaktifkan dan mengintensifkan program Gerakan Keluarga Sakinah secara lebih luas agar semangat membangun keluarga sakinah mampu menjangkau semua kalangan termasuk mereka yang selama ini masih terbelenggu oleh tradisi-tradisi yang pro terhadap praktek kawin usia dini. Perekrutan kader-kader keluarga sakinah bisa dilakukan dengan berbagai ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, PERSIS, Muslimat, Fatayat,  maupun ormas-ormas kepemudaan dan kemahasiswaan seperti KNPI, HMI, PMII, GMNI dan sebagainya. Tak lupa dilibatkan pula organisasi seperti PKK, majlis-majlis ta’lim dan yang lain
3.         Penyebaran informasi tentang perilaku seksual yang sehat dan benar, khususnya di kalangan remaja. Karena ada indikasi pada perkembangan terakhir angka perkawinan usia dini yang disebabkan salahnya pergaulan di kalangan remaja makin meningkat. Perkawinan yang disebabkan karena kehamilan pra nikah makin sering terjadi.
Pendek kata upaya meminimalisir perkawinan usia dini harus dilakukan baik melalui pendekatan struktural dengan berbagai produk perundang-undangan dan semacamnya maupun melalui pendekatan kultural melalui berbagai kegiatan yang mampu mengantarkan para remaja, para orang tua dan pihak-pihak yang rentan terhadap perilaku ini menjadi lebih luas pemahaman dan pengetahuannya. Dan KUA serta Kementerian agama secara lebih luas harus berada di garda terdepan.

BAB V
PENUTUP / KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Dari paparan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan seagai berikut:
1.    Desa Tegaldowo merupakan desa yang secara geografis berada di sekitar pegunungan dengan mayoritas profesi masyarakatnya sebagai petani, dengan tingkat pendidikan yang cenderung rendah sehingga dari sisi pola pikir pun masih tradisional. Corak keagaamaan masyarakat walau 100% muslim namun cenderung sinkretis dengan tradisi kejawen bahkan mayoritas adalah “islam KTP”. Ada beberapa hal yang agak spesifik berlangsung di desa ini seperti petani persil, maraknya kesenia tayub yang lekat dengan miras, tradisi ngemblok, maupun tradisi kawin usia dini yang dalam banyak kasus disertai dengan pemaksaan dari para orang tua. Khususnya kepada para anak gadisnya
2.    Faktor-faktor yang menyebabkan tetap lestarinya tradisi kawin usia dini di desa Tegaldowo adalah adanya persepsi, pemahaman atau keyakinan yag tetap dipegang kuat oleh sebagian besar masyarakatnya antara lain: ketakutan disebut perawan tidak laku saat anak gadis ada di usia + 20 tahun, lebih baik jadi janda muda, anak gadis sekolah mau jadi apa.
3.    Dampak negatif yang muncul akibat adanya tradisi kawin usia dini, yang dalam banyak kasus disertai pemaksaan ini antara lain: terjadinya pelanggaran terhadap perundang-undanan yang berlaku khususnya UUP Nomor 1 tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak Nomor 23 tahun Tahun 2002. Juga rawan terjadinya perceraian.
4.    Upaya yang dilakukan KUA dalam meminimalisir perkawinan usia dini antara lain, pertama, bersinergi dengan berbagai kalangan baik masyarakat maupun instansi pemerintah untuk membuka cakrawala masyarakat agar pola pikir mereka makin terbuka dan “tercerahkan”. Kedua, Mengaktifkan dan mengintensifkan program Gerakan Keluarga Sakinah secara lebih luas agar semangat membangun keluarga sakinah mampu menjangkau semua kalangan termasuk mereka yang selama ini masih terbelenggu oleh tradisi-tradisi yang pro terhadap praktek kawin usia dini. Ketiga, Penyebaran informasi tentang perilaku seksual yang sehat dan benar, khususnya di kalangan remaja. Karena ada indikasi pada perkembangan terakhir angka perkawinan usia dini yang disebabkan salahnya pergaulan di kalangan remaja makin meningkat.
B.     Saran-saran
Berkait dengan masih banyak terjadinya praktek kawin usia dini, baik karena alasan tradisi, ekonomi, maupun salah pergaulan dikalangan remaja penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1.      Untuk Pemerintah Desa Tegaldowo diharapkan menyusun sebuah regulasi yang diputuskan melalui Musyawarah Desa (Musdes) dalam bentuk Peraturan Desa  (Perdes) yang mengatur tentang langkah dan tindakan Pemerintah Desa bagi anggota masyarakat yang akan melakukan perkawinan usia dini. Misalnya tentang tahapan-tahapan yang dilakukan Pemerintah Desa seperti edukasi, sosialisasi dan pembekalan sehingga diharapkan mereka akan menunda hajatnya dan menunggu hingga umur calon pengantin memenuhi ketentuan perundang-undangan. Kalaupun mereka tidak berkenan menunda hajatnya diwajibkan mengajukan dispensasi kepada Pengadilan Agama dan mengikuti ketentuan khusus misalnya harus siap mengikuti pendampingan dan pembekalan yang dilakukan oleh tokoh agama tertentu dan oleh lembaga yang dipercaya desa misalnya PKK agar mereka memiliki kesiapan yang cukup khususnya dari mental dan kedewasaan.
2.      KUA dan Kementerian Agama secara lebih luas perlu melakukan revitalisasi berbagai kegiatan yang selama ini sangat baik pada tataran konsep namun masih lemah pada tataran implementasi. Gerakan Keluarga Sakinah, Kursus Calon Pengantin (Suscatin) misalnya dalam pelaksanaan sering menghadapi kendala baik karena persoalan anggaran maupun SDM (Sumber Daya Manusia)
3.      Untuk tokoh agama dan tokoh masyarakat khususnya di daerah-daerah yang masih rawan dengan praktek kawin usia dini, seperti desa Tegaldowo, bersikap pro aktif melakukan pemberdayaan masyarakat agar masyaraakat lebih maju pola pikirnya. Jangan malah “mendiamkan” atau bahkan “memfasilitasi” keinginan sebagian masyarakat untuk melakukan kawin usia dini baik itu misalnya dalam bentuk menikahkan di bawah tangan maupun membantu upaya rekayasa administrasi agar secara legal-formal sudah memenuhi syarat secara perundang-undangan.
4.      Untuk agama, tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh pemerintahan desa Tegaldowo bekerja sama dengan berbagai pihak yang peduli dengan masalah perkawinan usia dini memunculkan semacam “budaya tandingan” (counter-cultur) yang intinya “melawan” berbagai persepsi lama masyarakat seperti “anak perempuan menikah mau jadi apa” dengan persepsi dan budaya baru seperti “perempuan pintar kehidupan lancar” atau yang semacam dengan itu.














DAFTAR PUSTAKA
      
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah (t.tp : Dar Ihya al Turas al-Arabi, 1986) juz IV

Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang- Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007),

Amiruddin, Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004).

Amiur Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI (Jakarta: Prenada Media Group, 2006),

Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Buku Pintar Keluarga Muslim, Semarang, 2001
Bambang Sunggono, , Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial; Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif (Surabaya: Airlangga Press, 2001)

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002).

Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: CV. Penerbit J-ART, 2005)

Departemen Agama, Pedoman akad Nikah, (Jakarta: Direktorat Uurusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2008)

Didik Komaidi, B love & D love Cinta Luhur Dan Cinta Nista (Jogjakarta: Palem, 2005).

J.B.A.F. Maijor Polak, Sosiologi Suatu Buku Pengantar, Jakarta, PT Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1985
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1993).

 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003).  
Mohammad Fauzil Adhim, Kado Pernikahan untuk Istriku, Yogyakarta, Mitra Pustaka, 1998
Muhammad Abu Zahrah, al-ahwal al-syakhsiyyah (Qohirah: Dar al-fikr al-‘arabi, 1957),

Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukani, Nahl al-Authar jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 2000),

Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, Yogyakarta,LkiS, 2003

Plan Indonesia – PU Rembang, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Rembang, 2005
Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu pegawai Pencatat Nikah, Jakarta, 1996
Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktoral Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta 2004,
Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006),

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia),

Saifullah, Buku Panduan Metodologi penelitian. (Malang: Fakultas Syari’ah-UIN, 2006), 

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1983),

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Pres, 1986),

 Suhadi Ibnu, dkk., Dasar-Dasar Metodologi Penelitian (Malang: Universitas Negeri Malang: 2003).

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta, andi offset, 1997
Syaikh Hasan Ayyub, Diterjemahkan M. Abdul Ghoffar, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2001).

Taqiyyudi Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar Juz II (Jakarta: Dar Al-Kutub Al- Islamiyah, 2004),

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008),  .
.
    


     [1]Istilah sakinah mawaddah wa rahmah bisa dilihat dalam al Qur’an Surat ar Ruum ayat 21. 
     [2]Dalam doa selepas akad nikah sering disebut beberapa nama  agar kedua mempelai diberi karunia oleh Allah  bisa menyerupai mereka seperti Nabi  Adam dan Hawwa, Nabi yusuf dan Zulaikha, Nabi Musa dan shafura, Nabi Muhammad dan Khadijah serta Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah az Zahra.
      [3]Wilson Nadaek, Perkawinan dan Keluarga, (Jakarta: BP4 no.313, 1998), hal. 51 
[4]Departemen Agama, Pedoman akad Nikah, (Jakarta: Direktorat Uurusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2008), hal. 70.
[5] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia), hal. 85
[6]  Departemen Agama, Ibid, hal. 74
[7] Gugatan atas dominasi budaya patriarkhi  banyak disuarakan oleh kalangan feminis. Termasuk  gugatan atas tafsir keagamaan yang bias gender ini. Misalnya bisa dilihat dalam, Dr Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, Yogyakarta,LKIS, 2003.
     [8] Siti Nurbaya adalah nama sebuah novel karangan Marah Rusli yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1920-an. Mengisahkan tradisi kawin paksa dan juga kawin usia dini yang cukup kuat pada masa itu. Orang sering menisbatkan tradisi kawin paksa dengan sebutan Siti Nurbaya
      [9]  Didik Komaidi, B love & D love Cinta Luhur Dan Cinta Nista (Jogjakarta: Palem, 2005). ham. 107
     [10] Penggunaan kata nikah dikonotasikan dengan "prosesinya", sedangkan kawin dikonotasikan dengan dengan hubungan kelamin, sehingga ada perkataan "nikahlah anda sebelum anda kawin".dengan kata lain bermakna, bahwa seseorang telah terikat dalam ikatan pernikahan yang tidak boleh dinikahi oleh orang lain. Sedangkan penggunaan kata kawin mengandung arti orang tersebut telah halal melakukan hubungan badan. Meskipun demikian pada hakikatnya kedua kata tersebut mempunyai makna yang sama, hanya kalau dengan "nikah" diadopsi dari bahasa Arab sedangkan arti bahasa Indonesianya adalah kawin
     [11] Syaikh Hasan Ayyub, Diterjemahkan M. Abdul Ghoffar, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2001). ham. 3
[12] Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 7-8.
[13] Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah (t.tp : Dar Ihya al Turas al-Arabi, 1986) juz IV, hal. 3
[14] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang- Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 37
[15] Muhammad Abu Zahrah, al-ahwal al-syakhsiyyah (Qohirah: Dar al-fikr al-‘arabi, 1957), 19.
[16] Taqiyyudi Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar Juz II (Jakarta: Dar Al-Kutub Al- Islamiyah, 2004), hal.  35
[17] Amiur Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hal. 39-40.
[18] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: CV. Penerbit J-ART, 2005), hal. 78
[19] Ibid., hal. 523.
[20] Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 183
[21] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), hal. 55
     [22] Plan Indonesia – PU Rembang, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Rembang, Plan Indonesia, 2005, hal. 14
[23] Lihat Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukani, Nahl al-Authar jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), hal. 232
[24] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillah, Juz 1x, hal. 6683.
[25] Lihar Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 115
[26] Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, hal. 6682.
     [27] Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 112
     [28] Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003).  hal.54
     [29] Bambang Sunggono, , Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 118
     [30] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Pres, 1986), hal. 109
    [31] Amiruddin, Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004). hal.  106
     [32] Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial; Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif (Surabaya: Airlangga Press, 2001), hal. 29.

     [33] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 114

     [34] Amiruddin, Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004). hal. 45
     [35] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Pres, 1986), hal. 12.
     [36] Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002).hal. 180
     [37] Suhadi Ibnu, dkk., Dasar-Dasar Metodologi Penelitian (Malang: Universitas Negeri Malang: 2003). hal. 93
     [38] Suharsimi, Op. Cit., hal. 133.
      [39] Suharsimi Arikunto, Ibid. hal.  200
      [40] Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1993). hal. 112
     [41] Saifullah, Buku Panduan Metodologi penelitian. (Malang: Fakultas Syari’ah-UIN, 2006),  hal. 59.
     [42] Suharsimi Arikunto, Op. Cit. hal. 245
      [43] Wawancara dengan Suparto , Kepala Dusun, hari Ahad tanggal 31 Maret 2013
     [44] Wawancara dengan Abdul Ghoni, MSI pada hari Ahad 07 April 2013
     [45] Wawancara dengan Suwandi, Kaur Kesra,  pada hari Ahad  31 Maret 2013
     [46]Nama-nama tersebut disampaikan oleh Nur Syamsi, mantan pengajar SMP 2 Gunem waktu wawancara dengan penulis pada hari Ahad 17 Maret 2013
     [47]Lihat Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktoral Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta 2004, hal. 222

     [48] Plan Indonesia – PU Rembang, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Rembang, Plan Indonesia, 2005, hal. 14
    [49] Lihat Mohammad Fauzil Adhim, Kado Pernikahan untuk Istriku, Yogyakarta, Mitra Pustaka, 1998
     [50]Wawancara dengan Subadi (Tokoh Masyarakat) pada tanggal 31 Maret 2013
     [51] Wawancara hari Ahad tanggal 7 Maret 2013
     [52] Wawancaara hari Ahad 31 Maret 2013
     [53] Wawancara hari Ahad 31 Maret 2013
     [54] Wawancara hari  Ahad  tanggal 31 Maret 2013
     [55] Wawancara hari Ahad tanggal 07 Maret 2013
     [56] Wawancara hari Ahad tanggal 31 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar