BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar –belakang Masalah
Ketika sepasang pengantin sepakat
mengikrarkan janji, menyatu dalam sebuah ikatan yang bernama pernikahan yang
ada dalam benak mereka tak lain adalah mewujudkan impian tentang keluarga yang
bahagia, sejahtera, lahir dan batin. Dalam bahasa agama keluarga idaman semacam
itu sering disebut dengan istilah keluarga sakinah,
mawaddah wa rahmah. [1]
Begitupun saat mereka menetapkan
hati memilih pasangan hidup, dalam lubuk hati yang paling dalam tentu
menginginkan kebersamaan dalam waktu yang panjang atau bahkan sebisa mungkin abadi.
Aneh rasanya kalau ada seseorang menikah sedari awal sudah meniatkan untuk
sementara waktu saja. Kisah-kisah tentang keabadian cinta, kesetiaan dan
indahnya membangun kebersamaan telah banyak mengisi lembar-lembar sejarah
peradaban manusia dan tampaknya hal itu merupakan salah satu sumber inspirasi
bagi banyak manusia saat menjalani kehidupan rumah-tangganya.[2]
Persoalannya tidak semua yang
memiliki impian indah tentang keluarga bahagia, harmonis, sakinah, mawaddah wa rahmah bisa mewujudkannya dalam kenyataan. Ada
banyak hal yang bisa menyebabkan terjadinya kesenjangan antara impian dan
kenyataan. Pernikahan bukanlah sebuah kondisi yang monolitik. Pernikahan
merupakan sebuah kondisi yang dinamis dan penuh warna. Sedinamis dan seberagam
warna hidup dan kehidupan itu sendiri. Maka bagi siapa saja yang tidak memiliki
kesiapan yang cukup dalam memasuki jenjang pernikahan, tidak heran bila dia
gagal mewujudkan impian-impiannya.
Pernikahan dalam usia dini sering
disebut sebagai salah satu hal yang menghalangi pasangan pengantin mewujudkan
impain-impian indahnya. Mengapa demikian? Karena menikah dalam usia dini
biasanya tidak dibarengi dengan kematangan ekonomi, kematangan mental dan
bahkan dalam hal-hal tertentu kematangan fisik. Kondisi demikian tentu cukup rentan
konflik dan mudah terjebak dalam disharmoni. Harus diakui bahwa pernikahan
sesungguhnya adalah urusan orang-orang dewasa. Hanya orang-orang yang dewasa
dan matang – khususnya secara mental, yang siap mengarungi kehidupan
berumah-tangga, mengingat sebuah rumah tangga seringkali berhadapan dengan problematika termasuk
problem-problem besar. Bila mentalnya masih labil – tipikal mentalitas
anak-anak – tentu cukup sulit menyesuaikan diri dengan kehidupan berumah-tangga
khususnya saat mereka dihadapkan pada persoalan-persoalan yang membutuhkan
penyelesaian secara dewasa.
Pernikahan usia dini sekalipun dilarang oleh Undang-Undang ternyata masih banyak terjadi di
masyarakat. Sebagian masyarakat masih memiliki persepsi bahwa perempuan makin
cepat menikah makin baik. Pada saat lamaran dari seorang laki-laki telah datang,
maka tak ada alasan bagi pihak keluarga
perempuan untuk menolaknya. Datangnya jodoh adalah anugerah yang tidak boleh
ditolak, karena kalau ditolak mereka khawatir anak perempuannya menjadi
“perawan tua”. Tanpa perlu mempertimbangkan berapa usia anak perempuannya.
Mereka tidak terlalu berpikir apakah
dengan usia muda, anak-anaknya bisa menjalani rumah tangga dengan benar atau
tidak. Apakah dengan usia muda, dengan pengetahuan dan pengalaman yang teramat
minim dalam urusan rumah tangga anaknya bisa mewujudkan kebahagiaan atau tidak.
Bagi mereka hidup dan juga pernikahan adalah sesuatu yang sederhana. Mereka
pikir segala sesuatu akan berjalan secara alamiah, kebahagiaan akan turun dengan sendirinya karena mereka dulu juga mengalami
seperti itu. Mereka lupa bahwa kebahagiaan
perkawinan perlu diusahakan
secara terus menerus antara
suami istri, karena
perceraian yang terjadi
sering diakibatkan tidak adanya persiapan diantara kedua belah
pihak.[3]
Pernikahan, di samping masuk dalam masalah sosial (hubungan antar
manusia) juga memiliki nilai ibadah bagi yang menjalankannya. Sebagaimana
tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal
1, perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[4] Agar
mampu
menjaga kerukunan, harmonis dan mampu
mengelola persoalan-persoalan yang dihadapinya pasangan suami istri harus memiliki kedewasaan dalam berpikir dan
bertindak. Oleh karenanya pernikahan harus dipandang dan disikapi sebagai
sesuatu yang serius dan penting.
Usia pada saat menikah berkait erat dengan pola rumah tangga yang akan
dijalankan oleh pasangan suami istri. Perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang belum matang atau belum semestinya dari sisi
usia dan seseorang yang telah matang, tentu sangat berbeda.
Kematangan usia secara umum berkait pula dengan kematangan secara mental dan
pengalaman. Kematangan usia biasanya juga
berkait dengan kematangan ekonomi. Kematangan ekonomi ini erat kaitannya dengan
kemampuan mencari nafkah, khususnya bagi suami yang memang memiliki kewajiban
untuk menafkahi keluarga. Apa yang bisa diharapkan dari pasangan pengantin yang
dari segi pengalaman bekerja masih minim dan belum terbiasa memikul tanggung-jawab
keluarga.
Kesiapan psikis (mental) baik bagi laki-laki
maupun perempuan tidak kalah penting dibanding kematangan fisik. Mengingat
kehidupan keluarga tidak selamanya mulus dan ramah. Akan selalu ada problem dan
kesulitan baik itu yang sifatnya internal maupun eksternal. Terlebih bagi
laki-laki yang menjadi suami dan sekaligus sebagai imam rumah tangga, tentu dibutuhkan kematangan dan kedewasaan yang lebih, agar upaya
membimbing dan memimpin keluarga bisa berjalan dengan sukses dan selamat,
lebih-lebih saat keluarga menghadapi banyak ujian.[5]
Pernikahan di
usia muda juga memiliki implikasi
bagi kesejahteraan keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Proses
pemberdayaan kepada anak-anak tentu tidak bisa optimal. Bagaimana proses
pemberdayaan anak-anak bisa berjalan baik, bila orag tua yang tentunya memegang
peranan penting dalam proses pemberdayaan tersebut, dalam beberapa hal
mengalami ketidak-berdayaan sendiri.
Dampak berikutnya keluarga semacam ini sering menjadi beban untuk
anggota masyarakat yang lain.
Hukum Islam
tidak memberikan batasan
usia bagi seseorang
yang ingin melaksanakan
pernikahan. Akan tetapi
lebih mengarah kepada
tanda-tanda fisik seperti
pubertas biologis, atau
dengan kata lain
telah mencapai usia baligh, yaitu seperti
yang terjadi pada
laki-laki dengan keluarnya mani dan
bagi perempuan telah mengalami menstruasi.
Namun pada kenyataannya, dewasa ini pada usia tersebut biasanya belum
mencapai kematangan,
baik emosi, ekonomi, sosial dan lain
sebagainya.
Oleh karena itu, dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 7 ayat 1 memberikan batasan usia bagi laki- laki
dan perempuan yang
ingin melangsungkan pernikahan.
Pernikahan, bagi laki-laki
sekurang-kurangnya telah mencapai
19 tahun dan
bagi perempuan sekurang-kurangnya
telah mencapai 16 tahun. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mendapatkan kualitas
rumah tangga
dan keturunan yang baik.[6]
Persoalan
lain yang berkaitan dengan persoalan pernikahan dini atau
pernikahan usia muda, disamping sebagaimana dijelaskan di atas seperti ekonomi, kekurang-matangan secara pengetahuan dan kematangan emosional,
plus karena hamil pranikah adalah adanya tradisi yang diyakini secara turun
temurun bahwa pernikahan dini adalah tradisi peninggalan nenek moyang yang
“layak” dan bahkan dalam komunitas tertentu “harus” dilestarikan. Inilah yang terjadi di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang.
Di tengah gencarnya wacana tentang emansipasi perempuan, keseteraan gender,
dekonstruksi budaya patriarkhi,[7]
dan banyak yang lain, ternyata masih ada sebuah komunitas yang berjalan dengan
narasinya sendiri, teguh dengan tradisi perkawinan
usia dini yang berumur ratusan tahun peninggalan nenek moyang dan meyakini yang mereka lakukan sebagai bentuk kesetiaan pada leluhur. Di
desa ini sebagian masyarakatnya masih percaya bila seorang gadis berusia 18-20 tahun belum menikah dianggap sebagai “perawan tua” yang tak laku. Juga
keyakinan-keyakinan lain yang intinya senafas tentang perlu dan pentingnya
pernikahan para gadis pada usia muda. Bahkan dalam kasus tertentu demi taat
pada tradisi ini para orang tua melakukan pemaksaan pada anak gadisnya.
Fenomena di atas menggerakkan hati penulis, untuk mencoba merefleksikan
praktek nikah atau kawin ala “Siti Nurbaya” [8]
yang tampaknya tak lagi senafas dengan kemauan sebagian masyarakat desa
Tegaldowo sendiri. Zaman telah
berubah dan sesungguhnya mulai terbit kesadaran di sebagian kalangan masyarakat
desa Tegaldowo sendiri untuk “berubah”. Hanya denyut perubahan tersebut
nampaknya masih membutuhkan proses yang panjang untuk menemukan momentum dan
menjadi kesadaran bersama. Hal ini tentu saja wajar. Ketika wacana besar (grand-discourse)
banyak menggelontor ruang publik, tentang emansipasi perempuan, keseteraan
gender, pentingnya keluarga sakinah, dan
beberapa hal baru yang lain, maka paling tidak ada dua kemungkinan yang akan
terjadi.
Pertama, wacana, narasi, atau apapun istilahnya itu meluncur mulus menuju obyek
sasaran dan perubahan sebagai target segera terjadi. Tentu demi mencapai hal
tersebut mengandaikan prasyarat tertentu. Yang utama adalah terbangunnya kesadaran
atau pola pikir (mind-set) masyarakat yang pro terhadap perubahan.
Terbangunnya kesadaran atau pola pikir demikian hanya mungkin bila segenap
pranata dalam masyarakat pun bersikap sama. Pranata, entah dalam wujud
adat-istiadat, hukum-hukum, kebiasaan, cita-cita, maupun dalam bentuk seperti
nilai-nilai agama, ilmu pengetahuan dan tehnologi yang berkembang dalam
masyarakat tertentu, memberi ruang yang memadai bagi tumbuh berkembangnya
semangat perubahan.
Kedua, munculnya resistensi dari masyarakat dan bahkan dalam bentuknya yang
ekstrem, melawan. Ini terjadi ketika wacana atau narasi baru dianggap tidak
sesuai atau bertentangan dengan wacana atau narasi yang berkembang di
masyarakat. Apalagi dalam masyarakat yang kesadaran dan pola pikirnya belum mengalami
“pencerahan”. Mereka cenderung bersikap tertutup atas hal-hal baru. Pedoman
mereka dalam menjalani hidup adalah adat-istiadat peninggalan nenek-moyang yang
berlaku turun temurun. Di dalam masyarakat demikian dibutuhkan perjuangan yang
lebih agar semangat perubahan bisa mendapat sambutan.
Dan apa yang terjadi di masyarakat desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang menggambarkan pertarungan antar wacana
tersebut. Pertarungan wacana atau narasi dalam masyarakat pedesaan yang hidup
dalam tuntunan adat-istiadat berumur ratusan tahun menghadapi perguliran dan
tuntutan zaman yang “mengharuskan” perubahan. Masyarakat yang menjadikan
perkawinan usia dini dan dalam banyak kasus disertai dengan kawin paksa sebagai
tuntunan adat yang dalam kenyataannya menimbulkan banyak korban, khusususnya
bagi para perempuan kecil itu, menghadapi nilai-nilai baru tentang persamaan,
modernisasi dan ide-ide pembangunan yang lain.
Semoga apa yang penulis susun memberi arti bagi perkembangan kesadaran
masyarakat luas. Sebagai wahana reflesi bersama, melongok sebuah dunia yang
mungkin dianggap sebagai “dunia lain” yang sesungguhnya tak berjarak dengan kita. Mungkin
kegandrungan pada narasi-narasi baru membuat kita kurang menyadari bahwa masih
banyak dalam ceruk-ceruk wilayah negara Indonesia yang amat luas ini, komunitas yang
menjalankan narasinya sendiri dan butuh untuk disapa.
Publik terkaget kaget saat seorang Pujiono Cahyo
Widianto atau lebih dikenal dengan sebutan Syeh Puji mengawini Lutviana Ulfah,
gadis bau kencur berusia 12 tahun, yang akhirnya menjadi berita nasional itu. Begitupun saat Aceng Fikri menjalani “pernikahan kilat” dengan
gadis bau kencur yang bernama Fany Oktora. Tapi
sesunguhnya apa yang menimpa Ulfah
maupun Fany Oktora dialami oleh banyak gadis-gadis lain dan berlangsung sekian lama nyaris
tanpa “gugatan” dan publikasi. Setidaknya banyak para gadis kecil di desa
Tegaldowo mengalami “tragedi” itu. Sebagaimana secara lebih dalam akan
kami bahas dalam tulisan ini.
B. Rumusan
Masalah
Dalam tulisan ini penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran sepintas-kilas desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang?
2. Apa sajakah faktor-faktor yang melatar-belakangi terjadinya praktek
kawin usia dini di desa Tegaldowo
Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang?
3. Apa dampak negatif dari praktek kawin usia
dini di desa Tegaldowo Kecamatan
Gunem Kabupaten Rembang?
4. Apa yang bisa dilakukan Kantor Urusan Agama dalam meminimalisir
praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang?
C.
Tujuan dan
Manfaat Penulisan
1.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah:
a.
Untuk mengetahui
gambaran sepintas kilas desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang
b.
Untuk
mengetahui faktor-faktor yang melatar-belakangi terjadinya pratek kawin usia
dini di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang
c.
Untuk
mengetahui dampak negatif dari praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo
Kecamatan Gunem kabupaten Rembang
d.
Untuk
mengetahui apa yang bisa dilakukan Kantor Urusan Agama dalam meminimalisir
praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo Kabupaten Rembang
2.
Manfaat
Penelitian
Penulisan
ini diharapkan bisa memberi manfaat :
a. Manfaat secara teoritis
Membantu pengembangan dan khazanah keilmuan, khususnya
dari sisi teoritis pada bidang-bidang ilmu seputar pernikahan, budaya
masyarakat dan pendidikan islam
b. Manfaat secara praktis
Menjadi bahan bagi segenap pihak, termasuk para pemangku kebijakan untuk
menyusun langkah terbaik agar persoalan
pelestarian tradisi tidak dimaknai secara dangkal. Juga bahan renungan
para orang tua, calon pengantin dan masyarakat, khususnya yang berdomisili di
Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang.
D.
Sistematika
Pembahasan
Secara
garis besar tulisan ini terdiri dari sistematika sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN, berisi
tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah,
tujuan dan kegunaan
hasil penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : KAJIAN
TEORI DAN METODE PENELITIAN, membahas tentang pegertian perkawinan atau pernikahan , pengertian perkawinan usia dini dan metode penelitian
BAB III: TRADISI PERKAWINAN USIA DINI DI DESA
TEGADOWO KECAMATAN GUNEM KABUPATEN REMBANG, meliputi profil desa Tegaldowo, adat
istiadat yang berlaku di desa Tegaldowo, praktek pernikahan usia muda di desa
Tegaldowo, beberapa akibat yang muncul karena perkawinan usia dini
BAB IV
: KESIMPULAN, memuat kesimpulan dan saran-saran
BAB II
KERANGKA TEORITIS DAN METODOLOGI
PENELITIAN
A. Kajian Teori
1. Pengertian perkawinan
Perkawinan menurut hukum
Islam adalah sama dengan pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, dan
melalui perkawinan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.[9]
Menurut bahasa Indonesia pernikahan adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali di bedakan
antara ''nikah" dengan "kawin",[10] akan tetapi pada prinsipnya antara pernikahan
dan perkawinan adalah sama. Nikah yang menurut bahasa berarti penggabungan dan
pencampuran. Sedangkan menurut istilah nikah berarti akad antara pihak
laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.[11]
Pernikahan, berasal dari kata “nikah” yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).
Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus),
juga untuk arti akad nikah. Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama
fikih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Menurut istilah
hukum Islam, terdapat beberapa definisi. Perkawinan menurut syara’ yaitu akad
yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki
dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan
laki-laki ”.[12]
Definisi lain yang diberikan oleh beberapa mazhab, antara lain : Menurut
Hanafiah, nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara
sengaja, artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan
seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan
tersebut secara syar’i. Menurut Hanabilah nikah adalah akad yang
menggunakan lafaz inkah yang bermakna tazwij dengan maksud
mengambil manfaat untuk bersenang-senang.[13]
Golongan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti
akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki), berarti juga untuk hubungan kelamin,
namun dalam arti sebenarnya (arti majazi). Penggunaan kata untuk bukan arti
sebenarnya itu memerlukan penjelasan di luar dari kata itu sendiri. Dikalangan
ulama Syafi’iyah rumusan yang biasa dipakai adalah: Akad atau perjanjian yang
mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafad na-ka-ha
atau za-wa-ja. Ulama golongan Syafi’iyah ini memberikan definisi
sebagaimana disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila
dihubungkan dengan kehidupan suami isteri yang berlaku sesudahnya yaitu boleh
bergaul, sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak
boleh bergaul.[14]
Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah,
mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya
melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling
tolong-menolong, serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.[15] Dengan
redaksi yang berbeda, Imam Taqiyyudin di dalam Kifayat al-Akhyar
mendefinisikan nikah sebagai, Ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri
dari rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah al-wath’
(bersetubuh).[16]
Definisi yang diberikan oleh ulama-ulama fikih di atas bernuansa
biologis. Nikah dilihat hanya sebagai akad yang menyebabkan kehalalan melakukan
persetubuhan. Hal ini semakin tegas karena menurut al-Azhari makna asal kata
nikah bagi orang Arab adalah al-wat’ (persetubuhan).[17] Pengertian
para ahli fiqh tentang hal ini bermacam-macam, tetapi mereka semuanya
sependapat, bahwa perkawinan, nikah atau zawaj adalah suatu akad atau
perjanjian yang mengandung ke-sah-an hubungan kelamin.
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara’. Sebagaimana
ditegaskan dalam firman Allah SWT :
Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka
kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat
orang, dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, cukup satu orang (Q.S.
An Nisaa’ : 3).[18]
Dan begitu pula Allah telah menjelaskan dalam surat Az-Zariyat ayat
49:
Dan
segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah .[19]
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua
makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan
merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk
beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing
pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan
perkawinan.
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan. Demi
menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum
sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan
diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara
ijab kabul sebagai lambang adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri
dengan para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu
telah saling terikat.
2. Pengertian Perkawinan Usia Dini
Perkawinan atau
pernikahan dini adalah akad nikah yang dilangsungkan pada usia di bawah
kesesuaian aturan yang berlaku. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam memuat asas penting yang harus dipenuhi dalam pernikahan,
diantaranya adalah asas kematangan atau kedewasaan calon mempelai. Asas ini
juga diterapkan oleh sekitar 17 (tujuh belas) negara muslim, dengan batas
minimal usia pernikahan yang berbeda-beda.[20]
Ketentuan usia
calon mempelai diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 yang berbunyi:
1)
Untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
2)
Bagi calon
mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang No. 1 Tahun 1974.[21]
Kompilasi hukum
Islam dalam hal ini memang tidak memberikan aturan yang berbeda dari
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, akan tetapi ia menjelaskan pertimbangan hukum
yang digunakan di dalam menetapkan peraturan ini, yaitu sebagai upaya
kemaslahatan yang tidak diterangkan di dalam Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun
1974.
Menurut
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 di dalam pasal 7, terdapat
persyaratan-persyaratan yang lebih rinci. Berkenaan dengan calon mempelai pria
dan wanita, undang-undang mensyaratkan batas minimum umur calon suami
sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon isteri sekurang kurangnya berumur 16
tahun.
Selanjutnya
dalam hal adanya penyimpangan terhadap pasal 7, dapat dilakukan dengan meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pihak pria maupun pihak wanita. Semua ketentuan sebagaimana diterangkan
dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berlaku sepanjang hukum masing-masing
agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan tidak menentukan lain, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 6 ayat (6).
Batasan umur
yang termuat dalam Undang-undang Perkawinan sebenarnya masih belum terlalu
tinggi dibanding dengan beberapa negara lainnya di dunia. Al-Jazair misalnya
membatasi umur untuk melangsungkan pernikahan itu, laki-lakinya 21 tahun dan
perempuan 18 tahun. Demikian juga dengan Bangladesh 21 tahun untuk laki-laki
dan 18 tahun untuk perempuan. Memang ada juga beberapa negara yang mematok umur
tersebut sangat rendah. Yaman Utara misalnya membatasi usia perkawinan tersebut
pada umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Malaysia membatasi usia
perkawinannya, laki-laki berumur 18 tahun dan yang perempuan 16 tahun. Dan
rata-rata negara di dunia membatasi usia perkawinan itu laki-laki 18 tahun dan
wanitanya berkisar 15 dan 16 tahun.
Yang jelas
dengan dicantumkannya secara eksplisit batasan umur, menunjukkan apa yang
disebut oleh Yahya Harahap di dalam buku Hukum Perkawinan Nasional, exepressip verbis atau langkah
penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang dijumpai di dalam masyarakat
Indonesia. Di dalam masyarakat adat jawa misalnya sering kali dijumpai
perkawinan anak perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan Jawa dan Aceh
seringkali dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun, walaupun
mereka belum diperkenankan hidup bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya
ini disebut dengan kawin gantung.
Agak berbeda dengan paparan di atas adalah
apa yang termaktub dalam konvensi hak-hak anak yang dikeluarkan oleh Majlis
Umum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pasal 1 bahwa anak didefinisikan sebagai
mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Konvensi ini diperkuat dengan UU Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mana dalam pasal 1 mengatakan
bahwa:”anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.[22]
Dalam tinjauan fiqh pernikahan/perkawinan dini biasa disebut dengan
nikah al-shaghir/alshaghirah, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh
seseorang laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Dalam perspektif fiqih,
usia baligh seseorang dicirikan dengan ihtilam (mimpi basah) bagi
seorang laki-laki dan keluarnya darah haid bagi seorang perempuan. Dari sisi
usia, menurut Abu Hanifah bagi laki-laki adalah 18 tahun dan perempuan 17
tahun. Sementara menurut Syafi’i usia baligh adalah 15 tahun baik laki-laki
ataupun perempuan. Hukum pernikahan dini menurut mayoritas ulama adalah sah
apabila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang telah ditentukan yaitu
sighat (ijab-qabul), calon mempelai (suami-isteri), wali bagi perempuan dan dua
saksi. Namun ada juga ulama yang tidak membolehkan pernikahan dini dengan
beberapa argumentasi dan dalil.
Ulama yang mensahkan pernikahan dini mengemukakan dalil dan
argumentasi sebagai berikut:
a.
Terdapat dalam
surat Ath-Thalaaq ayat 4:
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa iddah (masa tunggu) bagi
wanita yang belum haid dan wanita yang sudah monopouse adalah 3 bulan. Adanya
iddah bagi wanita yang belum haid menunjukkan kebolehan menikahnya karena iddah
tidak mungkin terjadi tanpa didahului pernikahan dan perceraian.
b.
Terdapat dalam
surat An-Nur ayat 32:
“Dan nikahkanlah wanita-wanita yang belum
bersuami di antara kalian”.
Perintah
dalam ayat ini menggunakan kata wanita-wanita yang bermakna ‘am (umum)
yang mencakup semua perempuan baik yang sudah baligh ataupun belum. Mengenai
lafadz ‘am para ulama ushul sepakat bahwa semua kata yang bersifat umum dapat
mencakup semua makna yang tercakup di dalamnya apabila tidak ada dalil yang
mentakhsisnya.
c. Pernikahan Nabi dengan Siti ‘Aisyah, sebagaimana tertulis dalam
beberapa hadis.
“Nabi menikahiku ketika aku berusia 6 tahun
dan hidup bersama denganku ketika aku berusia 9 tahun” .[23]
d. Riwayat dan atsar dari para sahabat yang menikahkan
kerabat mereka yang masih kecil. Seperti ali ibn Abi Thalib yang mengakadkan
pernikahan Ummi Kultsum dengan ‘Urwah ibn Zubair, dan ‘Abdullah ibn al-Hasan
ibn ‘Ali dengan wanita yang masih kecil. Sahabat-sahabat lain seperti Ibn
al-Musayyab dan ‘Abdullah ibn Mas’ud juga membolehkan pernikahan di bawah umur.[24]
e. Sahnya pernikahan dini juga didasarkan kepada kemaslahatan yang
terkandung dalam menikahkan anak kecil, seperti telah ditemukannya calon yang
ideal (sekufu) bagi si wanita.
f. Sahnya pernikahan ini juga didasarkan pada prinsip bahwa baligh
bukanlah merupakan syarat sahnya pernikahan.[25]
Sedangkan Ulama yang tidak membolehkan pernikahan seseorang yang
belum baligh seperti Ibn Syubrumah, Abu Bakr al-A’sham dan Usman al-Batti
berpedoman kepada dalil yang terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 6 :
“Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”
Meskipun secara eksplisit tidak menerangkan tentang kondisi baligh
sebagai salah satu syarat pernikahan, ayat ini mengandung makna bahwa kelayakan
seseorang untuk menikah dibatasi oleh usia baligh dan rusyd (kepandaian)
seseorang dalam mengurus harta. Menurut Ibn Hazm jika anak-anak masih kecil
dibolehkan menikah maka esensi ayat ini akan terabaikan.[26]
Orang-orang yang belum baligh dipandang belum mengerti esensi dan
tujuan menikah sehingga pernikahan dini justru akan menyebabkan madharat mengingat begitu beratnya beban
tanggung jawab di dalam kehidupan pernikahan
B.
Metode
Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengunakan
pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan bahwa metodologi
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat di
amati.[27]
Adapun sifat penelitian tersebut adalah
penelitian deskriptif. Menurut Moh. Nazir penelitian deskriptif adalah suatu
metode dalam meneliti status kelompok manusia, obyek, suatu set kondisi, suatu
sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.[28]
Dalam penelitian ini penulis berupaya mengumpulkan ferbagai
informasi seputar desa Tegaldowo, seputar perkawinan usia dini, dampak-dampak
dari perkawinan usia dini berbagai info yang terkait dengan harapan mampu
mengamati, meneliti, mendeskripsikan data dan
fakta seputar masalah tersebut secara akurat dan bisa dipertanggug-jawabkan.
2. Tempat Penelitian
Penelitian mengambil tempat di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang Propinsi Jawa Tengah
3. Populasi Sample dan Sampling
Setelah merumuskan permasalahan, tujuan,
dan rancangan penelitian dengan tepat dan benar. Maka tahap selanjutnya adalah
menentukan obyek penelitian dengan tepat dan benar, dari mana data dikumpulkan.
Pada umumnya dalam penelitian hanya menggunakan sebagian saja dari keseluruhan
jumlah populasi yang diteliti yang disebut sampel. Teknik pengambilan
sampel untuk penelitian disebut sampling. Sampling merupakan salah satu
langkah yang penting dalam penelitian, dalam arti menentukan seberapa besar
atau sejauh mana keberlakuan generalisasi hasil penelitian tersebut. Kesalahan
dalam sampling akan menyebabkan kesalahan dalam kesimpulan, ramalan atau tindakan
yang berkaitan dengan hasil penelitian.[29]
Sampel adalah sebagian atau wakil dari
populasi yang diteliti.[30] Dalam
suatu penelitian sampel haruslah representatif, untuk itu dalam penelitian ini
teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sample dengan
cara purposive sampling atau sampel bertujuan,[31]
yaitu pemilihan sekelompok subyek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang
dipandang mempunyai keterkaitan yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
Berdasarkan pada metode sampling yang
digunakan dalam penelitian ini, sampel yang peneliti pilih beberapa orang tua yang anaknya menjalani perkawinan usia dini da
tentu saja para pelaku kawin usia dini
sendiri.
4. Sumber Data
Sumber data adalah salah satu yang paling vital dalam penelitian. Kesalahan dalam
menggunakan dan memahami serta memilih sumber data, maka data yang akan
diperoleh juga akan meleset dari yang diharapkan. Oleh karenanya, peneliti harus
mampu memahami sumber data mana yang mesti digunakan dalam penelitiannya itu.[32]
Ada dua jenis sumber data yang biasanya digunakan dalam penelitian dan yang
digunakan dalam skripsi ini adalah:
a. Sumber Data Primer
Data Primer yaitu data-data yang diperoleh
dari sumber pertama.[33]
Dalam hal ini data primer di peroleh langsung dari wawancara dengan beberapa perempuan yang mengalami praktek kawin usia dini dan
beberapa tokoh yang memahami persoalan ini..
Wawancara
berikutnya penulis lakukan kepada beberapa personil KUA Kecamatan Gunem. Hal ini
penulis lakukan dalam rangka menggali informasi tentang Desa Tegaldowo
khususnya yang berkait dengan praktek kawin usia dini.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan,
diolah dan disajikan oleh pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti
dan subyek penelitian. Data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen
resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.[34]
Adapun data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku,
dokumen-dokumen, literature yang sesuai dengan pembahasan penelitian.
Menurut Soerjono Soekanto sumber data
dibagi menjadi tiga yaitu: sumber data primer, sumber data sekunder dan sumber
data tersier. Sumber Data tersier adalah data-data penunjang, yakni bahan-bahan
yang member petunjuk dan penjelasan terhadap data primer dan sumber data
sekunder, diantaranya kamus dan ensiklopedia.[35]
5. Metode Pengumpulan Data
Kualitas data sangat ditentukan oleh
kualitas alat atau metode pengumpulannya. Untuk memperoleh data yang valid,
maka dalam pengumpulannya, digunakan tiga metode sebagai berikut:
1. Metode interview (wawancara)
Wawancara adalah bentuk
komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh
informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
berdasarkan tujuan tertentu.[36]
Adapun mengenai pelaksanaan wawancara peneliti memilih jenis interview bebas
terpimpin. Interview bebas terpimpin yaitu pewawancara membawa pedoman yang
hanya merupakan garis besar tentang hal-hal dapat di tanyakan kepada para informan.
Dalam wawancara ini informan yang dimaksud adalah beberapa pelaku kawin usia dini, para orang tua yang anaknya melakukan
kawin usia dini dan beberapa tokoh yang penulis anggap menguasai permasalahan
ini
2. Metode Observasi (pengamatan)
Observasi adalah suatu teknik pengumpulan
data dengan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala subjek
yang diselidiki, baik pengamatan itu dilakukan dalam situasi yang sebenarnya
maupun dalam situasi yang direkayasa.Pengamatan atau observasi sering dipakai
sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian yang bermaksud mengkaji
tingkah laku.[37]
Metode ini digunakan untuk memperoleh data
tentang perilaku masyarakat, keadaan dan kondisi Observasi dapat dilakukan
dengan dua cara, yang kemudian digunakan untuk menyebut jenis observasi, yaitu:
a.
Observasi sistematis, yang dilakukan oleh
pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrumen pengamatan.
b.
Observasi non sistematis, yang dilakukan oleh
pengamat dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan.[38]
Berdasarkan pengertian dan macam pengamatan
observasi diatas peneliti menggunakan obeservasi non sistematis,
pemilihan jenis pengamatan tersebut dengan alasan data yang diperoleh dari
teknik tersebut berupa kondisi objektif masyarakat yang dapat diamati secara
langsung. Dan agar dapat diketahui secara langsung tentang praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo.
3.
Metode dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data megenai
hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,
majalah, agenda, dan lain-lain.[39]
Dalam metode ini peneliti menggunakan untuk memperoleh data atau informasi yang
berasal dari data-data Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem, buku-buku dan dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan obyek penelitian.
6.
Metode analisa Data
Menurut Bogdan dan Taylor, analisa data adalah proses merinci usaha secara
formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh
data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide itu.[40]
Sedangkan menurut Saifullah, dalam sebuah
penelitian ada beberapa alternatif analisis data yang dapat dipergunakan yaitu
antara lain: deskriptif kualitatif, deskriptif komparatif, kualitatif atau non
hipotesis, deduktif atau induktif, induktif kualitatif, contents analysis (kajian
isi), kuantitatif dan uji statistik.[41]
Setelah data-data diperoleh dan dikumpulkan
peneliti, maka langkah selanjutnya adalah analisa data, sesuai dengan
pembahasan tulisan ini. Literatur-literatur yang diperoleh
dalam penelitian, data-data kepustakaan dan lapangan tersebut dikumpulkan.
Kemudian peneliti melakukan penyusunan data, menguraikan data, dan
mensistematisasi data yang telah terkumpul untuk dikaji dengan metode
deskriptif kualitatif yaitu analisis yang menggambarkan keadaan atau status
fenomena dalam kata-kata atau kalimat, kemudian di pisahkan menurut kategori
untuk memperoleh kesimpulan.[42]
Dengan tujuan memberikan gambaran secara tepat sifat-sifat individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekwensi atau penyebaran,
suatu gejala adanya hubungan tertentu antara suatu gajala dengan gejala lain
dalam masyarakat.
BAB III
TRADISI PERKAWINAN USIA DINI DI DESA
TEGALDOWO KECAMATAN GUNEM KABUPATEN REMBANG
A. Pintas Kilas Potret Desa Tegaldowo
Tegaldowo adalah salah satu desa di wilayah
Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang. Merupakan desa terluas diantara desa-desa
lain di wilayah Kecamatan tersebut. Di sebelah utara desa Suntri dan sebelah
baratnya desa Timbrangan. Untuk sebelah selatan dan timur berbatasan dengan
areal hutan. Berpenghuni 1 326 Kepala Keluarga (KK), terdiri dari 2 461 laki-laki dan 2 486 perempuan.
Mata pencaharian masyarakat mayoritas
petani. Sisanya pedagang, PNS dan yang lain.
Secara prosentase petani mencapai + 95%. Dari jumlah ini 70%
adalah petani persil yakni petani yang menggarap lahan hutan milik perhutani.
Jenjang pendidikan, sesuai data statistik yang disampaikan suprapto,[43]
salah seorang perangkat desa, dari 4 947 jumlah penduduk hanya 7 orang yang
mendapat gelar sarjana strata satu (S1), 9 orang bergelar D2 dan D3, 71 orang
SLTA, 200 orang luus SLTP, + 2000 orang lulus SD, sisanya tidak sempat
lulus SD.
Sebagai gambaran penulis paparkan beberapa
hal seputar kebiasaan, adat-istiadat, maupun hal-hal lain yang ikut andil bagi
kehidupan dan corak budaya yang dipilih oleh masyarakat desa Tegaldowo, antara
lain:
1. Kehidupan Persil
Mayoritas sumber kehidupan masyarakat
Tegaldowo adalah petani persil. Persil merupakan istilah lahan tanah milik
Perhutani yang belum ditanami atau hutan jati yang baru ditebang dan dibiarkan
kosong. Tercatat dalam data statistik ada + 70% dari 1 326 Kepala Keluarga
memilih hidupnya di persil. Bila persilnya dekat dari desa mereka berangkat
pagi pulang sore hari. Bila persilnya jauh mereka menginap di lahan persilnya.
Ada yang satu hari, dua hari, satu miggu bahkan ada yang satu bulan. Tidak
hanya kaum laki-laki yang melakukan ini. Kaum perempuan pun banyak yag
mendampingi suaminya tinggal di persil.
Kondisi demikian tentu berpengaruh pada
perhatian orang tua kepada anak-anaknya. Pendampingan belajar, kepedulian pada
perkembangan dan kebutuhan anak kurang terurus.
2. Praktek Keagamaan
Dalam masalah agama, berdasarkan statistik 100%
masyarakat Tegaldowo beragama Islam. Akan
tetapi baru sebagian kecil dari mereka yang mengamalkan ajaran islam secara
benar. Lebih banyak dari mereka yang sekedar “mengaku” islam dalam tataran
administratif. Misalnya untuk dicantumkan dalam KTP, Kutipan Akte Nikah, ijasah
sekolah atau untuk kepentingan dokumentasi yang lain.
Memang masjid, langgar, banyak berdiri.
Madrasah Diniyyah juga sudah ada. Namun kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan
lembaga-lembaga pendidikan keagamaan tersebut masih minim. Jama’ah shalat
maktubah – shalat lima waktu - tak
banyak pengikutnya. Termasuk jamaah shalat jum’at.
Abdul Ghoni, Kepala KUA Kecamatan Gunem, menuturkan saat
menghadiri majlis akad nikah rata-rata
Calon Pengantin (Catin) maupun
wali mesti dituntun untuk mengucapkan kalimat “syahadat”. Warna lain dari corak
keagamaan masyarakat adalah kentalnya nuansa kejawen.[44]
3. Penyakit Masyarakat
Banyak yang salah duga saat membayangkan
desa Tegaldowo sebagai wilayah di pegunungan, dengan latar-belakang budaya
agraris, tentu cenderung tenang dan jauh dari hal-hal negatif, sebagaimana
masyarakat perkotaan yang heterogen. Kesan demikian segera pudar saat dengan
mudah bisa dijumpai orang berjudi di tempat-tempat yang cenderung terbuka.
Orang-orang desa yang lugu itu tanpa canggung menenggak minuman keras.
Main kartu, dadu, bilyard – permainan yang mulanya sebagai olah
raga – mulai beberapa tahun lalu hampir menjadi permainan rakyat untuk mencari
peruntungan. Main kartu dan dadu mudah dijumpai di warung-warung kopi atau
tempat yang digunakan mangkal banyak orang. Apalagi bila ada acara ketoprak ataupun
tayub di tempat mereka yang menggelar syukuran perkawinan atau khitan.
Begitupun minuman keras. Acara tayub adalah ajang menggelar pesta minuman
beralkohol. Biasanya minuman keras disediakan tuan rumah.
Kesenian tayub, sering digelar untuk acara
perkawinan. Bagi mempelai laki-laki yang membawa seekor kerbau pada memperlai
wanita, maka seolah “wajib” hukumnya bagi pihak mempelai wanita menggelar
kesenian tayub pada pesta perkawinannya. Di masyarakat Tegaldowo, tayub menjadi
kesenian idola. Walaupun untuk mendatangkan rombongan kesenian ini butuh biaya
besar dari mulai jutaan bahkan bisa di atas sepuluh juta, tergantung terkenal
atau tidaknya ledek-nya (penari). Menurut Suwandi, masyarakat begitu obral
untuk membayar kesenian tayub tapi tidak untuk membiayai pendidikan
anak-naknya.[45]
Saat digelar kesenian ini, kerumunan
masyarakat, baik yang sekedar nonton maupun yang ikut menari mendampingi ledek,
disuguhi hal-hal erotik. Bagaimana tidak erotik, bila penari perempuan yang berjumlah
2 sampai 4 orang dikelilingi banyak lelaki yang ikut menari dengan tak jarang
tangan si lelaki mengelus pipi, bahu dan bahkan anggota tubuh lain yang
mestinya tak layak disentuh di tempat umum. Dibalut udara pegunungan yang
dingin dan dihangatkan dengan minuman beralkohol yang disediakan tuan rumah,
suasana makin panas dan sensual. Seringnya pemandangan seperti ini di
masyarakat, secara langsung atau tidak membentuk masyarakat untuk permisif
terhadap beberapa hal tentang seks.
4. Budaya Ngemblok
Kekayaan budaya masyarakat pegunungan –
Tegaldowo dan sekitarnya, yang tak banyak dijumpai ditempat lain adalah adanya
budaya ngemblok. Sebelum ke jenjang perkawinan, pihak pria mendatangi
keluarga pihak wanita dan menyatakan keinginannya untuk mempersunting anak
gadisnya. Pihak wanita, tanpa mengikut-sertakan sang anak – biasanya masih
duduk di bangku SD ataupun SLTP – menerima kedatangan pihak pria, namun tidak
langsung menjawab maksud si pria. Setelah kurang lebih sebulan, datang
rombongan pihak wanita ke keluarga pria dengan membawa aneka makanan khas desa
sebagai jawaban. Inilah yang dimaksud ngemblok.
Sebelum ngemblok biasanya didahului
sebuah fase yang bernama “ndhedheki”. Yakni ketertarikan seorang pria
kepada seorang wanita ditandai dengan semacam pengumuman kepada khalayak bahwa
wanita tersebut telah ditaksirnya. Dengan pengumuman ini dengan sendirinya
diharap pria-pria yang mungkin naksir pada wanita tersebut mengurungkan
niatnya.
B. Tradisi Kawin Usia Dini
Sebagaimana penulis paparkan di atas
tentang kebiasaan dan adat-istiadat yang berlaku di masyarakat tegaldowo :
pertanian persil, corak keagamaan yang kental dengan nuansa sinkretistis dengan
tradisi kejawen, kebiasaan berjudi, menenggak minum keras dan kesenian tayub
yang diidolakan serta adanya budaya ngemblok, dalam batas-batas tertentu
menggambarkan betapa masyarakat tegaldowo adalah masyarakat yang
berpola pikir tradisonal. Yang masih belum siap menapaki kehidupan modern yang
dinamis, sering bersikap irrasional dan kurang siap menerima sesuatu yang baru
yang menuntun kearah perbaikan serta kurang bersemangat menyongsong kemajuan.
Hal lain yang memprihatinkan adalah adanya
praktek kawin usia dini yang dalam banyak kasus disertai adanya unsur
pemaksaan. Tradisi kawin usia dini dan kawin paksa – yang dalam cerita sering
dinisbatkan dengan kisah Siti Nurbaya, dapat dijumpai pada masyarakat desa
Tegaldowo. Atas nama adat, mereka melestarikan praktek yang telah berlaku turun
temurun itu tanpa peduli bahwa zaman sebenarnya telah berubah. Anak-anak
perempuan yang sedang asyik mengukir masa depan tiba-tiba mesti dipaksa
bersanding di pelaminan. Mungkin tidak ada perlawanan frontal dari para gadis
bau kencur itu. Namun bukan berarti pula mereka menerima nasib itu dengan
gembira.
Mereka mesti rela menerima paket jodoh yang
disodorkan orang tua. Bahkan andai mereka tidak mengenal apalagi mencintai
calon suaminya. Dalam beberapa kasus mereka disodori berita tentang
perkawinannya tatkala mereka mereka belum banyak tahu tentang apa itu kawin,
apa itu menikah. Tentu saja berita tersebut membuat kaget atau bahkan menjadi
hal biasa-biasa saja karena mereka tidak memiliki gambaran yang cukup bagaimana
mereka menjalani kehidupannya kelak. Mereka cenderung pasrah menerima dan
menjalani nasib. Menyerahkan masa depannya dalam belenggu tradisi.
Seperti yang dialami Bunga (bukan nama
sebenarnya). Bertepatan dengan acara perpisahan siswa kelas 3 SMP Gunem 2, pada
hari itu dia mesti menjalani hari “bersejarah” dalam hidupnya. Bunga yang
mestinya bisa bersenang-senang karena baru saja melaksanakan ujian tingkat SLTP
mesti melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang telah meminangnya saat
masih duduk dibangku kelas 2. Pada mulanya dia melakukan penolakan kepada orang
tuanya agar mau menunda perkawinan selepas dia lulus SLTA. Namun keputusan
orang tuanya tetap kukuh: dia harus menikah selepas lulus SMP.
Bela, teman sekelas bunga juga mengalami
nasib tragis. Dia mesti mengurungkan cita-citanya sekolah SMA karena orang
tuanya telah menerima lamaran laki-laki yang siap menyuntingnya menjadi istri.
Lebih tragis lagi, Bela mesti menikah dengan duda yang umurnya terpaut puluhan
tahun dengannya. Dalam hal ini Bunga masih lebih beruntung karena suaminya
seorang perangkat desa berijasah STM dan berumur 25 tahun.
Nasib lebih parah menimpa Sita. Dia mesti
dikawinkan dalam usia begitu muda. Dia baru saja lulus SD namun pria yang
meminangnya sudah tak sabar untuk menunggunya beranjak besar. Jadilah gadis
kecil ini mesti menyandang gelar sebagai seorang istri saat dia sebenarnya
belum paham sepenuhnya apa itu itu istri, apa itu kawin, apa itu berumah-tangga
dan semacamnya.[46]
Beberapa kejadian tersebut tentu amat ironis. Dalam Undang Undang nomor 1 Tahun
1974 pasal 6 ayat 1 disebutkan: “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai”. Dalam pasal penjelasan disebutkan :”oleh karena
perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga kekal
dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia. Maka perkawinan harus
disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa
ada paksaan dari pihak manapun”. Tindakan memaksa anak untuk menikah
sesungguhnya bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) dan
sebagai bentuk kekerasan terhadap anak.
Sementara itu perkawinan bisa dikategorikan sebagai
perkawinan dini bila dilakukan pada umur yang belum selayaknya. Mengacu pada
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 menyebut: “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahu”. Pada ayat 2 pasal
yang sama dikatakan bahwa “ Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.[47]
Agak berbeda dengan paparan di atas adalah
apa yang termaktub dalam konvensi hak-hak anak yang dikeluarkan oleh Majlis
Umum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pasal 1 bahwa anak didefinisikan sebagai
mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Konvensi ini diperkuat dengan UU Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mana dalam pasal 1 mengatakan
bahwa:”anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.[48]
Dengan demikian dalam perspektif ini
perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah 18 tahun bisa dikategorikan
sebagai perkawinan usia dini. Perkawinan selayaknya dilakukan oleh manusia
dewasa. Menurut M Fauzil Adhim, mengutip hasil penelitian professor psikologi
Amerika diane E papalia dan sally wendkos O mengatakan: “Usia terbaik untuk menikah
bagi perempuan adalah 19 sampai 25 tahun. Sedangkan bagi laki-laki 20 sampai 25
tahun”.[49]
Dari sini bisa ditarik benang merah bahwa
apa yang dilakukan sebagian masyarakat desa Tgaldowo dengan praktek ala Siti Nurbaya
merupakan tindakan yang tidak senafas dengan UU sekaligus secara psikologis
amat merugikan bagi masa depan perempuan.
C.
Faktor-faktor
Penyebab Terjadinya Kawin Usia Dini
Ada beberapa hal yang menyebabkan praktek
kawin usia dini yang sering juga disertai pemaksaan - kawin paksa - seolah tetap lestari dalam
masyarakat desa Tegaldowo. Hal-hal tersebut berkaitan dengan persepsi,
pemahaman, keyakinan atau apapun istilahnya yang masih mengakar kuat di
sebagian besar masyarakat. Persepsi, keyakinan, pemahaman itu antara lain:
1. Ketakutan disebut sebagai Perawan Tua yang
Tak Laku
Ketakutan anaknya disebut sebagai perawan
tua sering membuat sebagian orang tua di Tegaldowo tak
berpikir panjang dalam menerima pinangan laki-laki. Untuk keluarga yang kurang
mampu secara ekonomi cenderung menerima begitu saja saat datang pinangan.
Mereka tidak banyak pertimbangan dan menetapkan kriteria tertentu bagi
pendamping anak gadisnya.
Mereka tidak berpikir apakah anak gadisnya
cocok atau tidak dengan calon suaminya. Mereka tidak menganggap penting hal
demikian dan percaya dengan berlalunya waktu mereka akan cocok dengan
sendirinya setelah jadi suami istri. Mereka berkaca dari apa yang mereka alami
dulu bahwa waktu menikah tidak perlu saling kenal, toh nanti akan kenal sendiri
dan cocok sendiri. Perkawinan menurut mereka begitu sederhana.
Bagi mereka usia 20 tahun sudah masuk
kategori usia yang dihindari. Usia 20 tahun dan belum menikah sudah dianggap
perawan tua dan itu aib bagi keluarga. Terkadang demi menutupi rasa malu, gadis
yang sudah 20 tahun dan belum kawin ditawar-tawarkan agar ada laki-laki yang
mengawininya.[50]
Berikut data pengelompokan umur Calon
Pengantin desa Tegaldowo Tahun 2000 – 2004 yang penulis peroleh dari KUA
kecamatan Gunem.
No
|
Tahun
|
Jumlah N
|
Usia
<19 Th
|
Persen (%)
|
Usia
19 – 25 Th
|
Persen (%)
|
Usia
> 25 Th
|
Persen
(%)
|
1.
|
2000
|
82
|
33
|
40,2
|
32
|
39
|
17
|
20,8
|
2.
|
2001
|
72
|
37
|
61,7
|
21
|
35
|
2
|
3,3
|
3.
|
2002
|
62
|
20
|
36,4
|
23
|
41,8
|
12
|
21,8
|
4.
|
2003
|
85
|
42
|
58,4
|
23
|
31,9
|
7
|
9,7
|
5.
|
2004
|
78
|
56
|
72,8
|
15
|
19,4
|
6
|
7,8
|
Berdasarkan penelusuran di lapangan, penulis menemukan beberapa kasus
terjadinya ketidak-sesuaian umur antara yang terdata di KUA dengan yang tertera
di ijasah. Ketidak-sesuaian ini banyak terjadi pada catin yang usianya tercatat
16 dan 17 tahun. Setelah penulis teliti tahun kelahiran berdasar ijasah atau
data yang dkeluarkan pihak sekolah banyak dari mereka yang berusia di bawah 16
tahun.
Tentu saja kesenjangan ini menimbulkan banyak dugaan. Namun berdasarkan
keterangan yang penulis peroleh dari Drs
Abdul Ghoni, MSI, selaku Kepala KUA Kecamatan Gunem, perbedaan tersebut disebabkan
sumber referensi dalam penentuan umur yang berbeda. KUA meggunakan Akte
Kelahiran yang dikeluarkan pihak Catatan sipil. Sementara catatan sipil tidak
mensyaratkan ijasah sebagai syarat pengurusan Akte Kelahiran.[51]
Berdasarkan
data dari KUA Gunem sejak tahun 2011 hingga Mei 2013 terdapat 11 calon pegantin
yang menikah pada usia dini. Pelaksanaan pernikahan mereka dilaksanakan setelah
Pengadilan Agama Kabupaten Rembang mengeluarkan dispensasi nikah. Menurut Mardi
angka ini bukanlah angka riil pelaku kawin usia di desa Tegaldowo. Menurutya
angka yang sebenarnya jauh lebih tinggi. Pengadilan Agama semenjak mencuatya
kasus Syeh Puji tidak terlalu “obral” dalam meluluskan permohonan dispensasi
nikah di bawah umur. Maka bagi calon pengantin yang berdasar pengalaman kecil
peluangnya untuk mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama biasanya mereka
melakukan perkawinan di bawah tangan.[52]
Fakta ini dibenarkan oleh Listyowati, yang berprofesi sebagai “rias manten”.
Menurutnya dia biasa diminta merias pengantin yang usianya masih sangat muda
dan perkawinannya dilakukan di bawah tangan.[53]
2. Lebih Baik Jadi Janda Muda
Perceraian dalam masyarakat desa Tegaldowo
bukanlah hal yang ditabukan. Biarlah anak menjadi janda muda karena itu lebih
baik daripada menanggung aib sebagai perawan tua yang tak laku. Dalam beberapa
kasus, karena perkawinan lebih diniatkan agar tak jadi perawan tua, mahligai
rumah tangga hanya seumur jagung. Hanya berlangsung dalam hitungan miggu, hari
bahkan jam. Menurut Muslih, pernah terjadi malam akad nikah, paginya salah satu
pengantin telah kembali ke orang tuanya.
Dalam catatan KUA Gunem dalam setiap tahun
selalu terdapat janda yag menikah lagi di desa Tegaldowo. Rata-rata mereka juga
masih berusia muda. Berikut data yang penulis ambil dari tahun 2000 – 2004.
DATA USIA JANDA DESA TEGALDOWO
TAHUN 2000 – 2004
TAHUN
|
JUMLAH JANDA
|
< 20 Tahun
|
20-25 TAHUN
|
26 – 30 TAHUN
|
>31 TAHUN
|
2000
|
32
|
-
|
20
|
4
|
8
|
2001
|
9
|
2
|
6
|
-
|
1
|
2002
|
22
|
9
|
8
|
3
|
2
|
2003
|
22
|
5
|
12
|
1
|
4
|
2004
|
39
|
14
|
22
|
2
|
1
|
Data di atas diperoleh dari kelengkapan nikah para Catin. Ada asumsi
lain yang menyatakan bahwa kenyataan di lapangan jumlah janda dan usia yang
lebih muda sebenarnya jauh lebih banyak ketimbang apa yang tertulis di KUA. Asumsi
ini didukung oleh penemuan penulis ketika menilik lebih dalam pada status
kejandaan seseorang. Kebanyakan dalam berkas ditemukan orang-orang yang
berstatus janda itu mengurus percerainnya ketika akan menikah kembali. Ini
berarti para perempuan yang punya problem keluarga termasuk mereka yang tak
lagi serumah dengan suami tidak mengurus perceraian pada saat belum menemukan
calon suami baru. Jadi status mereka ini janda bukan, istripun seolah bukan.
3. Anak Gadis sekolah Mau Jadi Apa?
Anak gadis sekolah tinggi-tinggi mau jadi
apa? Toh nanti kerjanya Cuma di belakang. Buat apa buang biaya mahal bila kelak
hanya bergelut dengan dapur, sumur dan kasur? Lebih baik dikawinkan saja.
Demikian ungkapan yang diterima Suparman dari para tetangga saat hendak
menyekolahkan anaknya selepas lulus SMP. Apa yang dialami Suparman banyak
menimpa orang tua lain yang hendak menyekolahkan anak gadisnya selepas SMP.
Mau jadi apa! Itulah ungkapan yang berulang
kali muncul bila melihat anak perempuan yang melanjutkan jenjang pendidikan.
Anehnya hal demikian tak terjadi pada anak laki-laki. Padahal melihat fakta,
khususnya yang ada di desa Tegaldowo, baik laki-laki maupun perempuan nyaris
bernaib sama selepas lulus sekolah. Sama-sama tak bisa mengandalkan ijasah untuk
mendapat pekerjaan.
Apa yang menimpa Suparman dan para orang
tua yang lain menjadi penegasan atas rendahnya kesadaran masyarakat untuk
menyekolahkan anak, khususnya bagi anak perempuan. Tempat perempuan adalah di
rumah. Setinggi tinggi dia terbang, sejauh jauhnya dia pergi akan kembali ke
rumah juga. Menurut H Asy’ari, seorang guru di salah satu SD di desa Tegaldowo,
sebenarnya banyak anak perempuan yang dari segi intelektualitas tak kalah
dengan anak laki-laki. Namun persepsi keliru masyarakat akhirnya memupus impian anak-anak perempuan
yang cerdas itu untuk terus mengembangkan diri. Cita-cita untuk menjadi Polwan
dari Kiswati, putri Suparman dan kiswati-kiwati yang lain mesti kandas di altar
tradisi.[54]
D.
Dampak Negatif
Kawin Usia Dini
Adat istiadat kawin usia dini yang sering disertai pemaksaan (kawin
paksa) dari kalangan orang tua di desa Tegaldowo telah berlangsung lama,
berlaku turun temurun. Kalau boleh disebut dampak positif dari adat-istiadat
ini amatlah sedikit. Tak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkannya.
Baik secara sosial, ekonomi, hukum maupun kemanusiaan. Dampak negatif itu antara lain:
1. Melanggar Perundang-undangan yang Berlaku
Praktek kawin usia dini jelas bertentangan
dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Khususnya UUP Nomor 1 1974
pasal 7 ayat 1 yang membahas tentang batasan umur minimal bagi calon pengantin
dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam bab penjelasan tentang Pasal 7 UUP
nomor 1 1974 menyebut bahwa perkaawinan terkait erat dengan masalah
kependudukan. Ternyata batas usia kawin yang lebih rendah berpotensi
meningkatkan laju pertumbuhan penduduk. Dengan menjalani pernikahan yang lebih
lama, ditunjang dengan emosi yang belum stabil serta tingginya libido seksual
paada masa muda, memungkinkan terjadinya kontak seksual yang lebih tinggi.
Walau tingginya kontak seksual belum tentu bisa dimaknai makin sering punya
anak, karena telah banyak alat kontrasepsi yang ditawarkan ke masyarakat, namun
dari segi kemungkinan tentu hal tersebut
cukup masuk akal.
Persoalannya sanksi atas pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat 1 UUP
Nomor 1 Tahun 1974 tidak begitu jelas. Bahkan tidak ada penjelasan secara rinci
dan tersurat sanksi apa yang yang dikenakan atas pelanggaran tersebut. UUP
memberi solusi atas pelanggaran atas pasal 7 ayat 1 dengan upaya meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain sebagaimana tertera dalam ayat
2. Sama sekali tidak dijelaskan kalau misalnya praktek perkawinan di bawah umur
tetap dilaksanakan walau tanpa dispensasi dari Pengadilan.
Berbeda
dengan UUP Nomor 1 Tahun 1974, dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak mengatur sanksi secara tegas. Dalam Pasal 81 dan
Pasal 82 mengatur tentang sanksi pidana bagi mereka yang terlibat dalam tindak
kekerasan kepada anak termasuk bagi mereka yang melakukan ancaman kepada
anak-anak untuk melakukan persetubuhan. Pasal-pasal tersebut secara lebih rinci
berbunyi:
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
(2)
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Untuk Pasal 82 berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
2. Rawan Perceraian
Karena perkawinan demi memenuhi keinginan
orang tua atau lebih didorong gengsi agar laku, ikatan perkawinan terkadang
begitu rapuh. Hanya disulut pertengkaran kecil misalnya, ikatan perkawinan bisa
saja berakhir. Mugkin mereka tidak langsung mengajukan permohonan bercerai ke
Pengadian Agama. Namun salah satu pasangan kembali ke rumah orang tua atau
pergi jauh tanpa mengirimkan kabar.
Secara umum kasus perceraian di desa
Tegaldowo berdasarkan data yang penulis peroleh dari KUA Kecamatan Gunem, lebih
dari 50% perceraian disebabkan ketidak-mampuan secara ekonomi. Mereka
mengajukan alasan “perselisihan yang tidak bisa didamaikan” dan pemicunya
adalah kondisi ekonomi keluarga yang sulit. Ini bisa dipahami ketika pasangan
suami istri tidak dibekali kematangan yang cukup baik kematangan ekonomi –
mereka rata-rata kurang dibekali ketrampilan yang memadai dan bekerja
serabutan, maupun kematangan mental-emosional-spiritual maka cukup sulit bagi
mereka bersiakap arif dan dewasa mengahadapi problem rumah tangganya. Dan
perceraian sering dipilih untuk keluar dari problem itu.
Di bawah ini penulis tampilkan tingkat cerai talak di desa Tegaldowo dari tahun 2000 –
2004
TAHUN
|
JUMLAH PERISTIWA
|
|
NIKAH
|
TALAK-CERAI
|
|
2000
|
82
|
13
|
2001
|
72
|
9
|
2002
|
62
|
5
|
2003
|
85
|
14
|
2004
|
78
|
11
|
Data di atas adalah peristiwa perceraian
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya putusan Pengadilan Agama
telah jatuh. Sementara di masyarakat banyak kasus pasangan suami istri yang tidak
bersama lagi namun belum diajukan ke pengadilan. Menurut Drs. Abdul Ghoni, MSI, Kepala KUA Kecamatan Gunem, data tersebut
kurang akurat di samping karena keterbatasan personil KUA dan sistem
pengarsipan dokumen yang belum optimal, lebih penting lagi dalam masalah
talak-cerai KUA hanya menerima tembusan dari Pengadilan agama.[55]
Penulis menduga angka perceraian yang
sebenarnya lebih tinggi. Menurut pengakuan Mardi P3N desa Tegaldowo yang sering
mendampingi mereka yang berperkara di PA, dalam setiap bulan walau fluktuatif
selalu ada orang yang mengajukan talak-cerai antara 1 – 2 orang. Bahkan dalam
bulan-bulan tertentu angkanya cukup tinggi.[56]
Sebenarnya dampak negatif lain
masih banyak seperti nikah sebagai penghambat cita-cita seperti yang dialami
Bunga, Bela dan Sita sebagaimana penulis kemukakan di muka. Dengan nikah usia
dini banyak juga yang harus drop out
dari bangku sekolah. Belum lagi mereka harus menghadapi problem-problem rumah
tangga, yang mestinya diperuntukkan bagi orang dewasa sebelum waktunya.
E.
Upaya KUA untuk
Meminimalisir Perkawinan Usia Dini
Seharusnya masalah perkawinan usia
dini mendapat perhatian yang besar dari segenap pihak, agar hal demikian tidak
terus terjadi. Harus ada keberanian untuk memutus mata rantai yang telah
berlangsung sekian lama itu karena korban telah banyak berjatuhan. Bahkan
andaikata hanya ada satu korban sekalipun praktek semacam ini harus dikritisi.
Tidak ada toleransi bagi praktek-praktek apapun walau mengatas-namakan tradisi
sekalipun kalau harus mengorbankan “nasib” hidup dan kehidupan seseorang.
KUA sebagai pihak yang berkepetingan
dengan urusan pencatatan perkawinan harus proaktif melakukan upaya-upaya serius
agar praktek kawin usia dini dapat diminimalisir dari waktu ke waktu. Beberapa
upaya yang bisa dilakukan antara lain:
1.
Bersama anggota
masyarakat / Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak-pihak lain dalam pemerintahan
melakukan sinergi untuk membuka cakrawala masyarakat agar pola pikir masyarakat
makin terbuka dan “tercerahkan”. Penyuluhan, sosialisasi, orientasi, atau apapun
istilahnya mesti diintensifkan agar informasi seputar dampak negatif praktek
kawin usia dini makin dimengerti masyarakat. Tidak bisa disanggah bahwa upaya
perubahan pola pikir lebih efektif dilakukan melalui jalur pendidikan. Baik itu
jalur pendidikan formal, informal maupun non formal harus diberdayakan untuk
membantu penyebaran informasi tentang masalah tersebut. Khusus untuk desa
Tegaldowo pemerintah telah mendirikan satu lembaga pendidikan baru setingkat
SLTA yakni Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang harapannya bisa menarik dan
menampung minat belajar para remaja di daerah tersebut. Begitupun beberapa
kalangan yang peduli pendidikan di daerah Tegaldowo khususnnya dan Kecamatan
Gunem pada umumnya dua tahun yang lalu telah mendirikan Maadrasah Tsanawiyah
(MTs). Dengan makin bertambahnya jumlah da jenjang pendidikan diharapkan akan
makin banyak anak-anak di daerah tersebut yang “tercerah”-kan pola pikirnya
amelalui jalur pendidikan.
2.
Mengaktifkan
dan mengintensifkan program Gerakan Keluarga Sakinah secara lebih luas agar
semangat membangun keluarga sakinah mampu menjangkau semua kalangan termasuk
mereka yang selama ini masih terbelenggu oleh tradisi-tradisi yang pro terhadap
praktek kawin usia dini. Perekrutan kader-kader keluarga sakinah bisa dilakukan
dengan berbagai ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, PERSIS, Muslimat,
Fatayat, maupun ormas-ormas kepemudaan
dan kemahasiswaan seperti KNPI, HMI, PMII, GMNI dan sebagainya. Tak lupa
dilibatkan pula organisasi seperti PKK, majlis-majlis ta’lim dan yang lain
3.
Penyebaran
informasi tentang perilaku seksual yang sehat dan benar, khususnya di kalangan
remaja. Karena ada indikasi pada perkembangan terakhir angka perkawinan usia
dini yang disebabkan salahnya pergaulan di kalangan remaja makin meningkat.
Perkawinan yang disebabkan karena kehamilan pra nikah makin sering terjadi.
Pendek kata upaya meminimalisir perkawinan usia dini harus
dilakukan baik melalui pendekatan struktural dengan berbagai produk
perundang-undangan dan semacamnya maupun melalui pendekatan kultural melalui
berbagai kegiatan yang mampu mengantarkan para remaja, para orang tua dan
pihak-pihak yang rentan terhadap perilaku ini menjadi lebih luas pemahaman dan
pengetahuannya. Dan KUA serta Kementerian agama secara lebih luas harus berada
di garda terdepan.
BAB V
PENUTUP / KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Dari paparan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan
seagai berikut:
1. Desa Tegaldowo merupakan desa yang secara
geografis berada di sekitar pegunungan dengan mayoritas profesi masyarakatnya
sebagai petani, dengan tingkat pendidikan yang cenderung rendah sehingga dari
sisi pola pikir pun masih tradisional. Corak keagaamaan masyarakat walau 100%
muslim namun cenderung sinkretis dengan tradisi kejawen bahkan mayoritas adalah
“islam KTP”. Ada beberapa hal yang agak spesifik berlangsung di desa ini
seperti petani persil, maraknya kesenia tayub yang lekat dengan miras, tradisi
ngemblok, maupun tradisi kawin usia dini yang dalam banyak kasus disertai dengan
pemaksaan dari para orang tua. Khususnya kepada para anak gadisnya
2. Faktor-faktor yang menyebabkan tetap
lestarinya tradisi kawin usia dini di desa Tegaldowo adalah adanya persepsi,
pemahaman atau keyakinan yag tetap dipegang kuat oleh sebagian besar masyarakatnya
antara lain: ketakutan disebut perawan tidak laku saat anak gadis ada di usia +
20 tahun, lebih baik jadi janda muda, anak gadis sekolah mau jadi apa.
3. Dampak negatif yang muncul akibat adanya
tradisi kawin usia dini, yang dalam banyak kasus disertai pemaksaan ini antara
lain: terjadinya pelanggaran terhadap perundang-undanan yang berlaku khususnya
UUP Nomor 1 tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak Nomor 23 tahun Tahun 2002. Juga
rawan terjadinya perceraian.
4. Upaya yang dilakukan KUA dalam meminimalisir perkawinan usia dini
antara lain, pertama, bersinergi
dengan berbagai kalangan baik masyarakat maupun instansi pemerintah untuk
membuka cakrawala masyarakat agar pola pikir mereka makin terbuka dan
“tercerahkan”. Kedua, Mengaktifkan
dan mengintensifkan program Gerakan Keluarga Sakinah secara lebih luas agar
semangat membangun keluarga sakinah mampu menjangkau semua kalangan termasuk
mereka yang selama ini masih terbelenggu oleh tradisi-tradisi yang pro terhadap
praktek kawin usia dini. Ketiga,
Penyebaran informasi tentang perilaku seksual yang sehat dan benar, khususnya
di kalangan remaja. Karena ada indikasi pada perkembangan terakhir angka
perkawinan usia dini yang disebabkan salahnya pergaulan di kalangan remaja
makin meningkat.
B.
Saran-saran
Berkait dengan masih banyak terjadinya praktek kawin usia dini,
baik karena alasan tradisi, ekonomi, maupun salah pergaulan dikalangan remaja
penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1.
Untuk
Pemerintah Desa Tegaldowo diharapkan menyusun sebuah regulasi yang diputuskan
melalui Musyawarah Desa (Musdes) dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur tentang langkah dan
tindakan Pemerintah Desa bagi anggota masyarakat yang akan melakukan perkawinan
usia dini. Misalnya tentang tahapan-tahapan yang dilakukan Pemerintah Desa
seperti edukasi, sosialisasi dan pembekalan sehingga diharapkan mereka akan
menunda hajatnya dan menunggu hingga umur calon pengantin memenuhi ketentuan
perundang-undangan. Kalaupun mereka tidak berkenan menunda hajatnya diwajibkan
mengajukan dispensasi kepada Pengadilan Agama dan mengikuti ketentuan khusus
misalnya harus siap mengikuti pendampingan dan pembekalan yang dilakukan oleh
tokoh agama tertentu dan oleh lembaga yang dipercaya desa misalnya PKK agar
mereka memiliki kesiapan yang cukup khususnya dari mental dan kedewasaan.
2.
KUA dan
Kementerian Agama secara lebih luas perlu melakukan revitalisasi berbagai
kegiatan yang selama ini sangat baik pada tataran konsep namun masih lemah pada
tataran implementasi. Gerakan Keluarga Sakinah, Kursus Calon Pengantin
(Suscatin) misalnya dalam pelaksanaan sering menghadapi kendala baik karena
persoalan anggaran maupun SDM (Sumber Daya Manusia)
3.
Untuk tokoh
agama dan tokoh masyarakat khususnya di daerah-daerah yang masih rawan dengan
praktek kawin usia dini, seperti desa Tegaldowo, bersikap pro aktif melakukan
pemberdayaan masyarakat agar masyaraakat lebih maju pola pikirnya. Jangan malah
“mendiamkan” atau bahkan “memfasilitasi” keinginan sebagian masyarakat untuk
melakukan kawin usia dini baik itu misalnya dalam bentuk menikahkan di bawah
tangan maupun membantu upaya rekayasa administrasi agar secara legal-formal
sudah memenuhi syarat secara perundang-undangan.
4.
Untuk agama,
tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh pemerintahan desa Tegaldowo bekerja sama
dengan berbagai pihak yang peduli dengan masalah perkawinan usia dini
memunculkan semacam “budaya tandingan” (counter-cultur)
yang intinya “melawan” berbagai persepsi lama masyarakat seperti “anak
perempuan menikah mau jadi apa” dengan persepsi dan budaya baru seperti
“perempuan pintar kehidupan lancar” atau yang semacam dengan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
Al-Jaziri, Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah (t.tp : Dar Ihya al Turas
al-Arabi, 1986) juz IV
Amin Suma, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang- Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007),
Amiruddin, Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004).
Amiur Nuruddin
dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI (Jakarta:
Prenada Media Group, 2006),
Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan (BP4), Buku Pintar Keluarga Muslim, Semarang, 2001
Bambang Sunggono, , Metode Penelitian Hukum (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial;
Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif (Surabaya: Airlangga Press, 2001)
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002).
Depag, Al-Qur’an
dan Terjemahannya (Bandung: CV. Penerbit J-ART, 2005)
Departemen
Agama, Pedoman akad Nikah, (Jakarta:
Direktorat Uurusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2008)
Didik
Komaidi, B love & D love Cinta Luhur Dan Cinta Nista (Jogjakarta:
Palem, 2005).
J.B.A.F. Maijor Polak, Sosiologi Suatu Buku
Pengantar, Jakarta, PT Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1985
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung,
PT. Remaja Rosdakarya, 1993).
Moh. Nazir, Metode
Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003).
Mohammad Fauzil Adhim, Kado Pernikahan untuk
Istriku, Yogyakarta, Mitra Pustaka, 1998
Muhammad
Abu Zahrah, al-ahwal al-syakhsiyyah (Qohirah: Dar al-fikr al-‘arabi,
1957),
Muhammad ibn
‘Ali al-Syaukani, Nahl al-Authar jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 2000),
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan,
Yogyakarta,LkiS, 2003
Plan Indonesia – PU Rembang, Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia, Rembang, 2005
Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan
Wakaf, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu pegawai Pencatat Nikah,
Jakarta, 1996
Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktoral Jendral
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Pedoman
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta 2004,
Rahman Ghazaly, Fiqh
Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006),
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung:
CV Pustaka Setia),
Saifullah, Buku Panduan Metodologi penelitian. (Malang:
Fakultas Syari’ah-UIN, 2006),
Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1983),
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta:
UI Pres, 1986),
Suhadi Ibnu,
dkk., Dasar-Dasar Metodologi Penelitian (Malang: Universitas Negeri
Malang: 2003).
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta,
andi offset, 1997
Syaikh
Hasan Ayyub, Diterjemahkan M. Abdul Ghoffar, Fikih Keluarga (Jakarta:
Pustaka al Kautsar, 2001).
Taqiyyudi Abu
Bakr bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar Juz II (Jakarta: Dar
Al-Kutub Al- Islamiyah, 2004),
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008),
.
.
[4]Departemen
Agama, Pedoman akad Nikah, (Jakarta:
Direktorat Uurusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2008), hal. 70.
[6] Departemen Agama, Ibid, hal. 74
[7] Gugatan atas dominasi budaya patriarkhi banyak disuarakan oleh kalangan feminis.
Termasuk gugatan atas tafsir keagamaan
yang bias gender ini. Misalnya bisa dilihat dalam, Dr Nurjannah Ismail, Perempuan
dalam Pasungan, Yogyakarta,LKIS, 2003.
[10] Penggunaan kata nikah dikonotasikan dengan
"prosesinya", sedangkan kawin dikonotasikan dengan dengan hubungan
kelamin, sehingga ada perkataan "nikahlah anda sebelum anda
kawin".dengan kata lain bermakna, bahwa seseorang telah terikat dalam
ikatan pernikahan yang tidak boleh dinikahi oleh orang lain. Sedangkan
penggunaan kata kawin mengandung arti orang tersebut telah halal melakukan
hubungan badan. Meskipun demikian pada hakikatnya kedua kata tersebut mempunyai
makna yang sama, hanya kalau dengan "nikah" diadopsi dari bahasa Arab
sedangkan arti bahasa Indonesianya adalah kawin
[12] Rahman
Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 7-8.
[13]
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah (t.tp : Dar Ihya al
Turas al-Arabi, 1986) juz IV, hal. 3
[14]
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang- Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 37
[15] Muhammad
Abu Zahrah, al-ahwal al-syakhsiyyah (Qohirah: Dar al-fikr al-‘arabi,
1957), 19.
[16]
Taqiyyudi Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar Juz II
(Jakarta: Dar Al-Kutub Al- Islamiyah, 2004), hal. 35
[17]
Amiur Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI
(Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hal. 39-40.
[18]
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: CV. Penerbit J-ART, 2005), hal.
78
[19]
Ibid., hal. 523.
[20]
Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hal. 183
[21]
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), hal. 55
[23]
Lihat Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukani, Nahl al-Authar jilid III (Beirut:
Dar al-Fikr, 2000), hal. 232
[24]
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillah, Juz 1x, hal. 6683.
[25]
Lihar Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal.
115
[26]
Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, hal. 6682.
[32]
Burhan Bungin, Metodologi
Penelitian Sosial; Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif (Surabaya: Airlangga Press, 2001), hal. 29.
[33]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 114
[47]Lihat Proyek Peningkatan Tenaga
Keagamaan Direktoral Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan
Haji Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah,
Jakarta 2004, hal. 222
Tidak ada komentar:
Posting Komentar