PERKAWINAN USIA DINI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia
dalam proses perkembangannya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan
keturunan untuk meneruskan jenisnya. Perkawinan sebagai jalan yang bisa
ditempuh oleh manusia untuk membentuk suatu keluarga atau rumah tangga bahagia
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan bahwa perkawinan
itu dilaksanakan sekali seumur hidup dan tidak berakhir begitu saja.
Perkawinan
bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan perkawinan seseorang
akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara psikologis, sosial, maupun
sosial biologis. Seseorang yang melangsungkan perkawinan, maka dengan
sendirinya semua kebutuhan biologisnya bisa terpenuhi.
Kematangan
emosi merupakan aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan
perkawinan. Keberhasilan suatu rumah tangga banyak ditentukan oleh kematangan
emosi baik suami maupun istri. Dengan dilangsungkannya suatu perkawinan, maka
status sosialnya diakui dalam kehidupan bermasyarakat dan sah secara hukum.
Perkawinan
pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang profesi, suku
bangsa, kaya atau miskin, dan sebagainya. Namun tidak sedikit manusia yang
sudah mempunyai kemampuan baik dari segi fisik maupun mental akan mencari
pasangan hidup sesuai kriteria yang diinginkannya. Dalam kehidupan manusia,
perkawinan seharusnya menjadi sesuatu yang bersifat seumuru hidup. Tetapi tidak
semua orang bisa memahami hakikat dan tujuan perkawinan yang seutuhnya yaitu
mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam kehidupan berumah tangga.
Batas usia
dalam melaksanakan perkawinan sangatlah penting karena didalam perkawinan
menghendaki kematangan psikologis.
Usia
perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian
karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah
tangga. Perkawinan yang sukses sering ditandai dengan kesiapan memikul tanggung
jawab.
B. Identifikasi Masalah
1. Faktor-faktor apakah yang mendorong terjadinya perkawinan usia dini?
2. Apa dampak yang dialami mereka yang melangsungkan perkawinan pada usia
muda?
3. Bagaimana bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda?
C. Maksud dan Tujuan
Berdasarkan permasalahan
diatas maka maksud dan tujuan makalah ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya perkawinan
usia
dini.
2. Untuk mendeskripsikan dampak yang timbul dari mereka yang melangsungkan
perkawinan usia dini.
3.
Untuk mendeskripsikan bentuk pola asuh keluarga
pasangan usia muda.
BAB II
TEORI-TEORI
TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan[1][1] adalah
pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan,
demikian menurut pasal 26 KUHPerdata[2][2].
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan menurut agama Islam,[3][3] Perkawinan
adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah
pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan
dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang
sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan hukum islam memandang bahwa perkawinan itu tudak hanya dilihat
dari aspek formal semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial.
Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal
adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA dan catatan
sipil.
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu: (1)
berlangsung seumur hidup, (2) cerai diperlukan syarat-syaratyang ketat dan
merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-istri membantu untuk mengembangkan
diri. Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok,
yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah,
seperti papan, sandang, pangan, kesehatan dan pendidikan, sedangkan esensi
kebutuhan rohaniah, contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah
daging mereka sendiri.
Yang dimaksud dengan syarat[6][6] adalah
segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum Islam sebagai norma untuk
menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan. Syarat-syarat yang perlu
dipenuhi oleh seseorang sebelum melangsungkan perkawinan itu ada enam, yaitu
sebagai berikut :
a.
Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan
Calon suami istri mempunyai
dorongan (motivasi) yang sama untuk membentuk suatu kehidupan keluarga.
Motivasi mereka itu sebagai persetujuan masing-masing yang diperoleh dengan
adanya saling mengerti dan berkeinginan lanjut berpartisipasi dalam membentuk satu
keluarga. Dan keinginan itu sebagai persetujuan kedua belah pihak yang tidak
dapat dipaksakan oleh pihak lain naik orang tua maupun orang yang dituakan
dalam keluarga masing-masing.
Ukuran kedewasaan seseorang tidak
dilihat dari usia melainkan dari kedewasaan fisik dan psikis yang
sekurang-kurangnya ada tanda-tanda kematangan diri. Hal ini ditentukan dari
mulai bekerjanya kelenjar kelamin seseorang. Dan tanda-tanda itu bagi seorang
pria sejak pertama kali mengasilkan sperma (baliqh) dan bagi seorang wanita
sejak menstruasi pertama. Tetapi ukuran itu tidak mutlak, karena yang dimaksud
dengan kedewasaan fisik yang ditempuh oleh hukum Islam sesuai ilmu kesehatan
bagi setiap bangsa yang mungkin ada perbedaanya. Sedangkan kedewasaan psikis dimaksudkan
bahwa bagi para pihak telah memiliki kesehatan mental yang baik, mempunyai rasa
tanggung jawab sebagai suami istri terutama dalam mendidik anak-anaknya dengan
wajar dan terhormat.
c.
Kesamaan agama Islam
Kedua belah pihak pemeluk agama islam
yang sama. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam memelihara keturunan yang sah tidak
ada pertentangan memperebutkan atau mengalahnya salah satu pihak untuk
terwujudnya keagamaan keturunan mereka itu. Bagi seorang wanita Islam dilarang
melakukan perkawinan dengan seorang pria lain agama dan hukumnya haram.
Larangan itu dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara keturunan yang sah sesuai
dengan ajaran Islam. Sedangkan bagi seorang pria Islam yang kuat imannya
diperkenankan melakukan perkawinan dengan seorang wanita lain agama, asalkan
bukan wanita penyembah berhala kecuali bertobat dan bersedia memeluk agama
Islam.
d.
Tidak dalam hubungan nasab
Yang dimaksud dengan hubungan
nasab,[8][8] adalah
hubungan keluarga dekat baik dari pihak ibu maupun bapak. Syarat ini diperlukan
karena hubungan darah yang dekat baik secara vertical maupun horizontal tidak
dikehendaki, sebab perkawinan dalam keturunan satu darah masih merupakan satu
keluarga besar. Dan kalau dilihat dari dunia kedokteran banyak terjadi
kemungkinan-kemungkinan kelainan perkembangan kesehatan dari keturunan itu,
sedangkan dari segi psikologis banyak terlihat adanya kelainan psikis dan
mental kalau sampai dilangsungkan perkawinan dalam satu hubungan darah.
e.
Tidak ada hubungan rodhoah
Rodhoah adalah sepersusuan,
maksudnya bahwa antara pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan itu
pernah mendapat air susu satu ibu ketika masih bayi walaupun keduanya orang
lain. Antara pria dan wanita itu haram hukumnya kalau melangsungkan perkawinan.
Dalam hubungan rodhoah ini haram juga hukumnya kalau yang menikah
saudara-saudara, suami, paman, bibi dan keponakan dari ibu, yang akan menikah
dengan anak sepersusuannya.
Artinya
kedua calon suami-istri tidak mempunyai hubungan perkawinan seperti antara
bapak/ibu, dan menantu, anak dan bapak/ibu tiri, anak bawaan dalam perkawinan
ibu/bapak.
Yang dimaksud dengan rukun[11][11] adalah
segala sesuatu yang ditentukan menurut hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat
perkawinan dilangsungkan. Maksudnya bahwa kalau syarat-syarat perkawinannya
telah dipenuhi, maka sebelum melangsungkan perkawinan saat-saat untuk sahnya
harus ada rukun-rukun yang perlu dipenuhi. Adapun rukun perkawinan mewajibkan
adanya :
a.
Calon pengantin pria dan wanita
Untuk
melangsungkan suatu perkawinan diperlukan kehadiran kedua calon suami-istri.
Dan kedudukannya sebagai calon suami-istri baru, disebut juga calon pengantin.
Mereka sebagai calon pengantin diwajibkan hadir, karena untuk pengukuhannya
dalam membentuk keluarga baru. Tetapi dalam keadaan berhalangan yang tidak
mungkin kehadirannya saat itu seperti karena sakit keras mendadak, berada di
luar negeri atau tempat lain tanpa dapat meninggalkan tugas dan tidak dapat
hadir dengan alasan-alasan yang meyakinkan, maka dapat diwakilkan untuk
sementara itu kepada seseorang lain yang memenuhi syarat-syarat perkawinannya.
b.
Wali
Wali adalah orang yang berhak
menikahkan anak perempuan dengan pria pilihannya. Syarat-syarat yang wajib
dipenuhi untuk ,enjadi seorang wali adalah :
1)
Islam,
2)
Dewasa,
3)
Berpikiran sehat,
4)
Jujur,
5)
Baik tingkah lakunya,
6)
Mengetahui asas-asas dan tujuan perkawinan, dan
7)
Mengetahuin dengan jelas asal-usul calon
suami-istri sebagai pengantin.
Di dalam hukum Islam walaupun seseorang telah memenuhi syarat-syarat
menjadi wali, tetapi belum tentu dapat menjadi wali perkawinan kalau tidak
termasuk pada macam-macam wali. Ada 3 macam wali dalam perkawinan Islam adalah
:
1)
Wali Nasab
Wali nasab
adalah wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin wanita baik
vertical maupun horizontal.
2)
Wali Hakim
Wali hakim adalah wali yang
ditugaskan oleh kepala negara[12][12] yang
beragama Islam untuk menikahkan seorang wanita dengan seorang laki-laki
pilihannya.
3)
Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang
ditunjuk dan dipercayakan oleh kedua belah pihak (calon suami-istri) untuk
menikahkan di tempat itu asal memenuhi syarat.
Saksi
terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan mendengarkan ijab[14][14] kabul[15][15]. Tugasnya
dalam perkawinan hanya memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-benar
dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan tegas tidaknya ijab
kabul diucapkan.
d.
Akad Nikah
Akad nikah
adalah pengukuhan janji perkawinan (pernikahan) sebagai suatu ikatan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan secara sah yang diucapkan dengan jelas,
meyakinkan dan tidak meragukan. Akad nikah itu dilaksanakan dalam suasana
hening dengan pihak wali menyatakan (ijab) dan dijawab oleh calon suami secara
tegas dan jelas dengan menerima (kabul).
Ijab kabul itu sifatnya langsung
(tidak ditunda-tunda) dan tidak meragukan para saksi. Sedangkan jarak waktu
antara ijab ke kabul sekitar 1-2 detik. Kalau jarak waktu itu tidak dipenuhi
atau calon pengantin pria diam, merenung atau masih memikir-mikir, akibatnya
akad nikah itu harus diulang. Pengulangan dapat juga terjadi kalau kabul tidak
sama bunyinya dengan ijab, pengantin pria gemetar, gugup dan bergetar sebelum
mengucapkan kabul. Dan untuk pengulangannya calon pengantin pria harus
ditenangkan dahulu supaya kabulnya diucapkan dengan mantap dan meyakinkan.
BAB III
PERKAWINAN USIA DINI
A. Perkawinan Usia Dini Dalam Perspektif Psikologi
Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya
persoalan-persoalan psikis[16][16] dan sosial telah dijawab dengan logis dan ilmiah oleh
M. Fauzil Adhim[17][17] dalam bukunya “Indahnya Pernikahan Dini”, juga oleh
Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya “Children Development Through”: bahwa
pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang
untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk
menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa menjadi
solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak
terkendali.
Di kedua buku itu (dan juga di sekitar kita) ada
banyak bukti empiris dan tidak perlu dipaparkan disini bahwa menikah di usia
dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa menjadi motivasi untuk meraih
puncak prestasi yang lebih cemerlang (seperti tertera sederet nama orang sukses
yang melakukan pernikahan dini). Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan hanya
sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan
emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang
puncak. Bahkan menurut Abraham M. Maslow,[18][18] yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di
usia dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih
sempurna dibanding dengan mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan
yang sebenarnya, menurut Abraham M. Maslow, dimulai dari saat menikah.
Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari
kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan
manusia, mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan.
Bagaimana dengan hasil penelitian di salah satu kota
di Yogya bahwa angka perceraian meningkat signifikan karena pernikahan dini?
Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah
pernikahan yang diakibatkan “kecelakaan” (yang disengaja). Hal ini bisa
dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan
kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat. Adapun urgensi
pernikahan terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja barangkali tidak bisa
dibantah. Ngeri rasanya ketika kita mendengar hasil sebuah penelitian bahwa 90%
mahasiswi di salah satu kota besar di negara muslim ini sudah tidak perawan
lagi. Pergaulan bebas atau free sex sama sekali bukan nama yang asing di
telinga kaum remaja saat ini. Akhirnya, kata Fauzil Adhim, kita akan
menyaksikan kehancuran yang berlangsung pelan-pelan, tapi sangat mengerikan,
para gadis (yang sudah tidak gadis lagi) hamil di luar nikah. Na ‘udzubillah!
Untuk menanggulangi musibah kaum remaja ini hanya satu jawabnya: nikah.
B. Perkawinan Usia Dini Dalam Perspektif Agama
Jika
menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25,
maka bagaimana dengan agama? Rasulullah SAW. bersabda,
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).
Hadits
di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu?
Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah
mencap aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh
bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita)
atau telah mencapai usia lima belas tahun. Ada apa dengan syabab?
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Rasulullah SAW, “perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad danAbu Dawud).
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Rasulullah SAW, “perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad danAbu Dawud).
Pesan
Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan
sebuah isyarat bahwa pada usia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki
potensi menuju kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Rasulullah SAW, 19 abad
yang silam. Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi
(baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum
remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan
oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat
Abdullah bin Mas’ud ra, selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda
yang masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang
shalihah. Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut
melangkah adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai
hamba yang beriman, sebenarnya, Kita tak perlu risih dengan yang urusan yang
begitu krusial dalam sebuah rumah tangga ini. Bukankah Allah telah menjamin rezeki
hamba-Nya yang mau menikah, seperti yang tersirat dalam suratal-Nur ayat 32
yang artinya, “dan jika mereka miskin maka Allah akan membuatnya kaya dengan
karunia-Nya”. Bukankah Rasul-Nya juga menjamin kita dengan sabdanya, “Barang
siapa yang ingin kaya, maka kawinlah”.
C. Perkawinan Usia Dini Dipandang dari Berbagai Sisi
Menurut
Undang-Undang perkawinan, seorang laki-laki boleh menikah kalau sudah mencapai
usia minimal 19 tahun, sementara pihak perempuan minimal 16
tahun. Kebijakan yang diatur negara ini sudah melewati banyak
pertimbangan sebelum disahkan. Secara fisik dan psikologis, usia-usia itu
adalah batas minimal seseorang bisa memikul sebuah tanggung jawab yang lebih
besar.
Sementara
pertimbangan dari sisi medis, pernikahan usia dini bisa merugikan pihak
perempuan. Kondisi rahim perempuan usia dini masih belum cukup kuat untuk
melahirkan anak. Sementara menurut pakar sosiologi, pernikahan usia dini bisa
lebih memicu konflik keluarga. Ini disebabkan usia pasangan suami istri
yang masih labil, belum matang secara pikiran, dan penuh emosi.
Dalam praktiknya,
banyak ditemui praktik pernikahan dini di pedesaan, dan kondisi mereka
baik-baik saja. Para sosiolog berpendapat, itu karena masalah kultur yang
tertanam kuat dalam masyarakat desa, dan belum tentu terjadi
pada masyarakat perkotaan yang punya kultur berbeda.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Menurut RT.
Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda
adalah:
a. Keinginan untuk segera
mendapatkan tambahan anggota keluarga.
b. Tidak adanya pengertian
mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi
mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat.
Kebanyakan orang
desa mengatakan bahwa mereka
itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena
mengikuti adat kebiasaan saja.
2. Terjadinya perkawinan usia
muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:
a. Masalah
ekonomi keluarga
b. Orang tua dari gadis
meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau
mengawinkan anak gadisnya.
c. Bahwa dengan adanya
perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan
berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan,
pakaian,
pendidikan,
dan sebagainya) (Soekanto, 1992 : 65). Selain menurut para ahli di atas, ada
beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering
dijumpai di
lingkungan masyarakat kita yaitu :
1) Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi
karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban
orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
2) Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan
maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya
kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
3) Faktor orang
tua
Orang tua khawatir kena aib
karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket
sehingga segera mengawinkan anaknya.
4) Media massa
Gencarnya ekspose seks di
media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.
5) Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi
karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera
dikawinkan.
Dampak perkawinan usia muda
akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, baik dalam
hubungannya dengan mereka sendiri, terhadap anak-anak, maupun terhadap keluarga
mereka masing-masing.
1. Dampak terhadap suami istri
Tidak bisa dipungkiri bahwa
pada pasangan suami istrti yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda
tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami
istri. Hal tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental
mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi.
2. Dampak terhadap
anak-anaknya
Masyarakat yang telah
melangsungkan perkawinan pada usia muda atau di bawah umur akan membawa dampak.
Selain berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia muda,
perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena bagi wanita yang
melangsungkan perkawinan di bawah usia 20 tahun, bila hamil akan mengalami
gangguan-gangguan pada kandungannya dan banyak juga dari mereka yang melahirkan
anak.
3. Dampak terhadap
masing-masing keluarga.
Selain berdampak pada pasangan
suami-istri dan anak-anaknya perkawinan di usia muda juga akan membawa dampak
terhadap masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan diantara anak-anak
mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya
masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak
bahagia dan akhirnya yang terjadi adalah perceraian. Hal ini akan mengakibatkan
bertambahnya biaya hidup mereka dan yang paling parah lagi akan memutuskan tali
kekeluargaan diantara kedua belah-pihak.
1. Pengertian pola asuh
Pola asuh yaitu cara-cara atau
bentuk pengasuhan anak menurut Chabib Thoha (1997:109), bahwa pola asuh
merupakan suatu cara yang terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik
anak sebagai perwujudan dan rasa tanggung jawab kepada anak.
Khan dan Sulaieman (1997:116)
menyatakan pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan
anaknya, sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi antara lain cara orang tua
memberikan peraturan kepada anak, cara memberikan hadiah, dan hukuman dan cara
orang tua.
Pola asuh adalah kemampuan
keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan
terhadapa anak agar dapat tum buh kembang sebaik-baiknya secara fisik, mental
dan sosial (Soekirman, 2000).
Anak akan mengalami
pertumbuhan secara alamiah dalam kehidupannya, walaupun demikian anak masih
sangat tergantung pada keberadaan orang dewasa. Pola asuh akan sangat
berpengaruh pada proses tumbuh kembangnya anak yang hidup dalam keluarga yang
penuh dengan kasih sayang dan yang selalu di bawah tekanan akan berada dalam
perkembangannya.
Pola pengasuhan anak dalam hal
sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak
memberikan makanan, merawat kebersihan, semuanya itu berhubungan dengan keadaan
ibu dalam hal kesehatan (fisik mental) status gizi, pendidikan umum keluarga
dan masyarakat untuk pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam
keluarga atau di masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan
keluarga dan masyarakat membagi kasih sayang dan sebagainya seibu atau
pengasuhan anak.
2. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pola asuh
a.
Pendidikan Ibu
Pendidikan merupakan alat di masyarakat untuk memperbaharui dirinya dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha
untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang
berlangsung seumur hidupnya (Suharjo, 1999).
b. Pengetahuan Ibu
Pengetahuan ibu tentang
kesehatan dan gizi mempunyai hubungan erat dengan pendidikan. Anak dan ibu
dengan latar belakang pendidikan yang tinggi akan memungkinkan akan mendapat
kesempatan untuk hadir dan tumbuh dengan baik (Kardyati dkk, 1987).
Membesarkan anak yang sehat
tidak cukup dengan naluri kasih sayang belaka, namun ibu perlu pengetahuan dan
ketrampilan yang baik. Peningkatan pengetahuan serta kemampuan dalam mengasuh
anak merupakan hal yang sangat penting dan harus diusahakan oleh para ibu dalam
rangka membesarkan anak-anaknya (Nadesul, 1996).
Pengetahuan tidak mutlak
diperoleh melalui pendidkan formal, namun juga informasi dimedia massa atau
hasil dari pengalaman orang lain (Alex Sobur, 1981).
c. Aktivitas ibu
Kebutuhan
wanita terhadap tugas dan di luar tugas sebagai ibu adalah berbeda-beda. Ada
beberapa wanita yang merasa bahagia dengan peran khususnya sebagai ibu rumah
tangga. Baginya tidak ada hal yang menyenangkan dari pada masa-masa kecil dan
remaja yang penuh kebahagiaan kepada anak-anaknya (Alex Sobur, 1991).
Dewasa ini mungkin banyaknya
ibu berperan ganda selain sebagai ibu rumah tangga juga sebagai wanita karier.
Semua kitu guna menciptakan keadaan ekonomi keluarga yang lebih mapan tapi juga
menimbulkan pengaruh terhadap hubungan dengan anggota keluarga terutama
anaknya. Pada mulanya ibu bisa membagi waktu, namun lama kelamaan tugas makin
menantang sehingga menantang sang ayah untuk ikut terjun mengasuh anaknya
(Soelaeman, 1994). Apabila seorang ibu mendapat pekerjaan baik penuh atau paruh
waktu maka orang yang paling cocok untuk menggantikan tugasnya adalah orang
yang mengetahui kenbutuhan makan anaknya, mencintai dan harus sanggup dalam
memeliharan dan mengasuhnya. Ibu yang tidak bekerja dapat mengasuh anak-anaknya
dengan baik dan mencurahkan semua kasih sayangnya, macam dan menu makanan juga
lebih diperhatikan sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kurang gizi pada
anaknya (Nita Lestari, 1996).
d. Status Sosial Ekonomi
Status ekonomi dalam
pengasuhan anak dipengaruhi pola oleh gaya dan pengalaman yang dimiliki serta
pengetahuan yang diterimanya.
Status ekonomi keluarga
pasangan muda dikalangan menengah dan bawah ibu lebih condong melakukan
pengetahuan dengan yang lebih cocok menurut dirinya yaitu cenderung demokratis.
3. Bentuk-bentuk pola asuh
keluarga
Menurut Danny. I Yatin
(1986:96) dalam membina anak kita mengenal empat model pola asuh:
a. Pola asuh demokrasi
Pada pola asuh keluarga ini
orang tua mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya. Hubungan antara
orang tua dengan anak terlihat hangat dan orang tua sering melakukan kegiatan
bersama-sama dengan anak-anak. Dalam mengarahkan tingkah laku anak, orang tua
tidak menekankan bahwa anak harus patuh dan tidak boleh menentang orang tuanya,
melainkan dengan memberikan pengertian dan penjelasan yang logis tentang suatu
hal pada anaknya.
Oleh sebab itu dalam membuat
peraturan, orang tua selalu mengajak anak-anaknya untuk terlibat langsung.
Orang tua selalu mengarahkan agar anak-anaknya bertindak sesuai dengan
norma-norma yang berlaku dalam lingkungan. (Danny I. Yatin, 1986:98).
b. Pola pengasuhan penyabar
atau pemanja
Segala sesuatu yang berpusat
pada kepentingan anak. Orang tua tidak mengendalikan perilaku anak sesuai
dengan kebutuhan perkembangan kepribadian anak. Orang tua tidak penar menegur
atau di luar kewajaran, hal itu terkesan jangan sampai mengecewakan anak atau
yang penting anak jangan sampai menangis. Anak-anak dengan pola pengasuhan ini
cenderung lebih energik dan renponsif namun mereka cenderung manja, impulsif,
mementingkan diri sendiri dan kurang percaya diri, cengeng, agresif.
c. Pola asuh
otoriter
Antara orang tua dengan anak
pada pola asu ini mempunyai hubungan yang kurang hangat, artinya orang tua
jarang melakukan kegiatan bersama dengan anak-anaknya dan orang tua sangat
menuntut kepatuhan dari anak-anaknya. Orang tua biasanya menerapkan disiplin
kepada anak-anaknya dilakukan secara ketat dan apabila anak melakukan kesalahan
atau melanggar peraturan, maka orang tua pada pola asuh keluarga ini tidak
segan-segan memberikan hukuman.
d. Pola asuh pemberian hadiah
Pola asuh pemberian hadiah
atau penghargaan memiliki ciri orang tua senantiasa memberikan hadiah yang
menyenangkan, setelah melakukan perbuatan yang menyenangkan itu bisa berwujud
benda yang nyata seperti makanan, uang dan mainan. Tidak nyata berupa pujian,
perhatian maupun penghargaan. (Danny I. Yatin, 1986:97).
Namun dalam pemberian hadiah
tersebut menjadi rangsangan buat anak untuk berbuat, bukan maksud dan tujuan
mengapa tindakan itu di lakukan.
Pemberian hadiah atau
penghargaan dapat merangsang anak bertingkah laku yang baik dan memuaskan.
Penghargaan menjadikan anak lebih percaya diri bahwa yang dilakukannya mendapat
dukungan. Namun pemberian hadiah yang tidak bijaksana justru kurang mendukung
jiwa anak, anak nanti melakukan perbuatan atas dasar agar dapat hadiah.
Berdasarkan penelitian yang
diperoleh dari observasi dan wawancara dengan inporman pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua yang menikah pada usia muda adalah pola asuh
demokrasi yang berarti bahwa dalam membimbing dan mendidik anak mereka
memberikan kebebasan kepada anak untuk mengungkapkan pendapat, keinginan dan
perasaannya serta adanya keterbukaan orang tua dan anak, adanya
peraturan-peraturan yang dibuat bersama dan disepakati bersama. Orang tua hanya
bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan serta arahan terhadap
aktifitas anak.
Pola asuh yang demokratis yang
diterapkan oleh orang tua yang melakukan perkawinan usia muda, dalam
mengembangkan disiplin anak umumnya berdasar pada nilai-nilai moral dasar yaitu
agama.
Ini terbukti bahwa peran orang
tua selain menyekolahkan anaknya pada sekolah umum, mereka juga menyekolahkan
ke sekolah agama yaitu di madrasah dan TPQ.
Jadi jelaslah bahwa dari
masing-masing pola asuh orang tua di atas akan mempunyai dampak yang
berbeda-beda apabila diterapkan kepada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Syakur, Abdus. 2009. Undang-Undang
Dasar 1945 Lengkap. Surabaya: Indah Surabaya.
HS. Salim, 2001. Pengantar Hukum
Perdata Tertulis (BW). Yogyakarta: Sinar Grafika.
Subekti R., 1994. Pokok-pokok Hukum
Perdata. Jakarta: PT Intermasa.
Djamali, Abdul. 1992. Hukum Islam.
Bandung: Mandar Maju.
Subekti R., 2008. Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[1] Subekti R., 1994, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT
Intermasa, hlm. 23.
[2] Subekti R., 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jakarta: PT Pradnya Paramita, hlm. 8.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia
mangartikan ‘Islam’ adalah agama yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dengan
berpedoman kepada kitab suci Alquran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu
Allah SWT.
[6][6] Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan ‘syarat’ adalah janji (sebagai tuntutan atau permintaan yang harus dipenuhi).
[7][7] Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan ‘dewasa’ adalah sampai umur; akil balig (bukan kanak-kanak atau
remaja lagi).
[8][8] Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan ‘nasab’ adalah keturunan (terutama dari pihak bapak); pertalian
keluarga.
[9][9] Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan ‘semenda’ adalah hubungan kekeluargaan karena ikatan perkawinan.
[11][11] Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan ‘rukun’ adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
pekerjaan.
[12][12] Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan ‘kepala negara’ adalah orang yang mengepalai suatu Negara
(kerajaan).
[13][13] Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan ‘saksi’ adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu
peristiwa (kejadian).
[14][14] Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan ‘ijab’ adalah kata-kata yang diucapkan oleh mempelai perempuan pada
waktu menikahkan mempelai perempuan.
[15][15] Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan ‘qabul’ adalah ucapan tanda setuju (terima) dari pihak yang
menerima suatu akad perjanjian atau kontrak.
[16][16] Kamus Besar Bahasa Indonesia
menartikan ‘psikis’ adalah sesuatu yang berhubungan dengan jiwa.
[17][17] Nama lengkapnya Muhammad Fauzil
Adhim. Seorang penulis yang menulis buku dengan judul ‘indahnya Pernikahan
Dini’ pada tahun 2002.
[18][18] Nama lengkapnya Abraham Harold
Maslow. Lahir di Brooklyn, New York pada tanggal 1 April 1908. Seorang Pendiri Psikologi Humanistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar