Kamis, 24 April 2014

HAJI UMRAH: MENGGAPAI HAJI MABRUR



MENGGAPAI HAJI MABRUR

Tidak ada balasan untuk haji mabrur kecuali surga (HR Muslim)

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah . Barangsiapa mengingkari , maka sesungguhnya Allah Maha Kaya  dari semesta alam” (QS Ali Imran : 97)
Haji adalah wajib, punya mobil tidak wajib!
Jadi, haji dulu atau beli mobil dulu? :)
Sahabat, renungkan firman Allah di atas dan sabda Rasulullah di bawah ini:
“Barangsiapa yang memiliki bekal dan kendaraan untuk membawanya ke Baitullah tetapi belum juga pergi haji, maka tidak berat atas orang itu bahwa matinya dia (dihukumi) sebagai orang Yahudi atau orang Nasrani.  Demikian itu sesungguhnya Allah berfirman di dalam kitab-Nya (Al-quran) “Dan Allah telah mewajibkan kepada manusia yang mampu di jalannya untuk pergi haji di Baitullah.” ( HR Tirmidzi).
Nah, bagi yang sudah punya mobil tapi belum haji, waspadalah! Sebab jika anda tidak SEGERA menunaikan ibadah haji padahal anda mampu, kematian anda dapat digolongkan sebagai Yahudi atau Nasrani sesuai sabda Nabi di atas.
Solusi : Jual mobil anda, tunaikan dulu kewajiban anda!
Yakinlah bahwa maksud ayat & hadits di atas adalah untuk kebaikan kita.

Dua hal penting untuk menggapai haji mabrur:
1. Persiapan Ilmu, Mental & Fisik
Siap Ilmu Tentang Haji
Ilmu terpenting yang harus dimiliki adalah tentang tata cara haji yang benar termasuk pengetahuan tentang rukun haji, wajib haji, sunnah haji dan larangan haji. Ilmu ini mutlak wajib dimiliki agar haji yang kita kerjakan syah (tidak batal) dan lebih sempurna. Selanjutnya, perlu juga ilmu tentang fadilah amalan yang dikerjakan selama beribadah haji agar haji lebih bermakna. Juga dapat memberikan motivasi dan energi untuk kita.
Tips : Ikuti manasik haji dengan sebaik-baiknya. Baca buku-buku dan artikel tentang haji, dll.
Siap Mental : Sabar, dan belajar mencintai masjid
Sabar dalam menghadapi segala situasi. Banyak tantangan yang benar-benar memerlukan kesabaran, misalnya: cuaca yang tidak bersahabat, antrian panjang, masalah dengan teman sekamar, fasilitas, pelayanan dll. Termasuk sabar untuk selalu menghadiri
shalat berjamaah 5 waktu di masjid, dan dapat berlama-lama di masjid. Sebab kedua masjid yang kita kunjungi adalah masjid-masjid yang paling luar biasa.
“Shalat di masjidku (Nabawi) lebih utama daripada 1000 sholat selain di masjidku kecuali shalat di Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat selain di Masjidil Haram” (HR Ibnu Majah).
Siap Fisik : Haji adalah ibadah fisik
Thawaf, syai, wuquf, lempar jumrah diperlukan kekuatan fisik yang baik. Latihan fisik dan bawa perlengkapan obat dan suplemen kesehatan sangat diperlukan.

2. Penghayatan
Haji adalah dzikrul maut, simulasi menuju
hari berbangkit

Ihram :  Memakai kain kafan
Saat memakai kain ihram, adalah saat yang baik untuk bertafakur bahwa semua orang pasti akan mati. Menuju kubur hanya berbalut kafan putih, seperti yang kita pakai saat ihram itu.
Pantangan paling penting selama ihram: Tidak berbuat rafats (yang membangkitkan birahi), tidak berbuat fasik (termasuk bicara buruk) dan tidak berbantah-bantahan (walaa rafatsa wala futsuqa walaa jidaala). Ini adalah pantangan non fisik yang paling susah dihindari. Berhati-hatilah!
Tips : Selama ihram, perbanyaklah itikaf di masjid. Carilah tempat yang orang-orangnya tidak anda kenal. Berbicaralah dengan orang seperlunya saja. Ini untuk menghindari bicara buruk dan berbantah-bantahan.
Pantangan fisiknya sangat mudah untuk dijauhi. Salah satu contohnya adalah tidak memakai wangi-wangian… sangat mudah dihindari, bukan? Kuncinya: hafalkan semua pantangan-pantangan fisik agar melekat di otak kita.
“Barangsiapa yang pergi haji karena Allah dan tidak melanggar (larangan ketika memakai pakaian ihrom) maka ia kembali sebagaimana ketika dia dilahirkan ibunya” (HR Bukhari).
Wuquf di padang Arofah : Gladiresik berkumpul di padang Mahsyar
Setelah mati, kelak akan dibangkitkan kembali dan berkumpul di padang Mahsyar.
Wuquf di Arafah, adalah sebuah gladiresik sebelum kita benar-benar dibangkitkan dan dikumpulkan di padang Mahsyar untuk menanti keputusan.
Mereka berkata: “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?. Inilah yang dijanjikan (Tuhan) yang Maha Pemurah dan benarlah rasul-rasulNya (QS Yaasin:52)”
Hikmah wuquf : Agar adanya hari kebangkitan lebih terasa.
Selama wuquf lakukan beberapa penyesalan, dan berrniatlah untuk memperbaiki diri, misalnya:
  • Ya Allah, mengapa aku selama ini tidak belajar shalat dengan benar
  • Ya Allah, mengapa aku selama ini malas shalat berjamaah di masjid
  • Ya Allah, mengapa aku selama ini tidak berusaha untuk shalat khusyu
  • dan beberapa penyesalan atas kelalaian dan kemalasan lainnya
  • Juga penyesalan-penyesalan atas dosa-dosa yang selama ini kita lakukan
Inilah fakta penyesalan yang pasti terjadi di hari berbangkit:
Dan jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya:  “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.” (QS AS Sajdah:12)
Dalam ayat tersebut, mereka (mungkin termasuk kita?) yang menyesal di hari berbangkit  minta dikembalikan ke dunia. Tapi Allah TIDAK memberikan kesempatan kedua!
Nah, bayangkanlah saat kita wuquf adalah padang Mahsyar yang sesungguhnya… Anggaplah kita sedang benar-benar menghadapi hari kebangkitan. Hadirkan rasa takut dan gentar seolah-olah sedang menghadapi hari perhitungan. Menyesallah se dalam-dalamnya di sana… temukan poin-poin yang ingin kita perbaiki. Istighfar, menangislah sekeras-kerasnya… dan mintalah kepada Allah untuk diberi kesempatan memperbaiki diri.
Kemudian bersyukurlah…. jika setelah wuquf kita masih hidup, dan bisa kembali ke tanah air. Anggaplah ini sebagai kesempatan kedua…
Perbaikilah amal kita, untuk menghadapi Mahsyar yang sebenarnya.
Semoga gladiresik menghadapi hari berbangkit saat wuquf di Arafah dapat membawa kita sebagai haji mabrur. Inilah rahasia di balik sabda Nabi “Al Hajju Arofah“, haji adalah Arofah…



MENYINGKAP HAKIKAT MAKNA HAJI

Ibadah haji, dalam rukun Islam, merupakan ibadah kelima setelah syahadat, salat, puasa dan zakat. Ibadah ini dilakukan pada hari-hari tertentu di bulan Dzulhijjah dengan urutan amalan-amalan tertentu. Setiap pelaku haji melakukan amalan-amalan tersebut pada tempat-tempat yang tertentu pula.
Di antaranya adalah Mekah, tempat para jamaah haji melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah), sa’i (lari-lari kecil), dan tahallul (memotong rambut). Kemudian, Arafah, suatu padang tandus tempat para jamaah haji melakukan perenungan dan berdoa sebanyak-banyaknya. Lalu, Mina, tempat para jamaah haji melontar tiga macam jumrah, dan seterusnya hingga ritual haji selesai. Pertanyaannya, apa rahasia yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji itu, apakah ia hanya sekadar ritual belaka, atau ada makna luhur di balik semua ritual tersebut?
Berdasarkan pemahaman itulah, Dr Ali Syariati, melalui buku ini, mengajak kita untuk menyelami ritual haji menuju makna sesungguhnya. Ia juga menggiring kita ke dalam lorong-lorong haji yang penuh hikmah. Karena, haji, dalam pemahamannya bukan sekadar ritual wisata yang hampa makna, haji merupakan sebuah langkah maju menuju ‘pembebasan diri’, bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati. Melalui buku ini, Dr Ali Syari’ati juga akan memberitahu kita tentang siapa saja kepalsuan yang ternyata menjadi sahabat, kekasih dan pembela kita, yang harus kita waspadai dan kita bongkar topeng-topeng kemunafikannya. Mulai dari penafsiran makna ritual miqat, Ka’bah, tawaf, sa’i, Arafah, Mina, hingga makna ritual kurban, Idul Adha, Ali Syari’ati, dengan bahasa yang khas memberikan pemahaman yang begitu komprehensif bagi kita tentang makna haji.
Memahami makna haji, dalam konteks ini membutuhkan pemahaman secara khusus dengan sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya, karena praktik-praktik ritual ibadah ini memiliki keterkaitan dengan pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim bersama keluarganya. Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan manusia yang memengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tapi, seperti ditulis al-Akkad, penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim merupakan penemuan manusia terbesar dan yang tak dapat diabaikan para ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapa pun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut.
Haji, dalam pemahaman Syari’ati, merupakan kepulangan manusia kepada Allah yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai dan fakta-fakta. Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk ‘berkembang’. Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan semuanya, pada akhirnya mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.
Semisal, dalam konteks niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram, haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pakaian ihram melambangkan pola, preferensi, status dan perbedaan-perbedaan tertentu. Tak dapat disangkal bahwa pakaian, pada kenyataannya dan juga menurut Al-Quran berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat Makany, di tempat di mana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan.

Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Di Miqat ini, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus di tinggalkan. Semua ditinggalkan ketika Miqat dan seorang haji berperan sebagai manusia yang sesungguhnya. Di Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. Ia akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ka’bah yang dikunjungi, dalam pemahaman Syari’ati, mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana, misalnya, ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Ka’bah ini pernah berada dalan pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang perempuan hitam, miskin, bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu. Namun demikian, budak perempuan ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah dan usahanya untuk menjadi Hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.
Selain itu, melalui buku setebal 260 halaman ini, Syari’ati juga mengupas makna pengorbanan Ismail yang hingga kini diabadikan umat muslim di seluruh penjuru dunia, makna Idul Adha, makna bermalam di Mina serta makna beberapa ritual lainnya. Syari’ati, melalui buku ini, hendak menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang ‘tampil beda’ (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya, dan ini adalah kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke Tanah Suci di musim haji, tidak lebih. Buku ini amat penting untuk dibaca oleh siapapun, sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran baru akan makna haji yang hakiki.


MAKNA HAJI

 Haji mabrur, menurut M. Quraish Shihab, ditandai dengan berbekasnya makna simbol-simbol amalan yang dilaksanakan di tanah suci, sehingga makna-makna tersebut terwujud dalam bentuk sikap dan tingkah laku sehari-hari. "Pakaian biasa" ditanggalkan dan "pakaian ihram" dikenakan. Menanggalkan pakaian biasa, kata Quraish Shihab, berarti menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan yang ditimbulkan oleh status sosial. Mengenakan pakaian ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya. Bukankah ibadah haji adalah kehadiran memenuhi panggilan Allah?
Kakbah merupakan lambang dari wujud dan Keesaan Allah. Bertawaf di sekelilingnya melambangkan aktivitas manusia yang tidak pernah terlepas dari-Nya. Kakbah bagaikan matahari yang menjadi pusat tata surya dan dikelilingi oleh planet-planetnya. Pertanyaannya, apakah setelah bertawaf, segala aktivitas masih terikat oleh daya tarik Tuhan Yang Maha Esa? Kalau tidak, maka poros haji Anda keluar dari orbitnya. Artinya hajinya belum mencapai maqam haji mabrur.

Sai adalah lambang dari usaha mencari kehidupan duniawi. Kita tahu, bukankah Hajar (ibu Ismail a.s.) mondar-mandir di sana mencari air untuk puteranya? Pertanyaannya, apakah sepulang dari menunaikan ibadah haji masih akan berpangku tangan menanti turunya "hujan" dari langit atau akan berusaha dengan segala kemampuan untuk melepaskan "dahaga" kehidupan?.

Kalau usahanya, ternyata masih berangkat dari kekotoran dan tidak bermuara pada penghargaan dan kemurahan hati, maka tentunya jauh panggang dari api terhadap nilai yang didapat dari ibadah haji tersebut.
Arafah berarti pengenalan. Yakni dimaksudkan agar para jemaah haji diharapkan mampu mengenal jati dirinya, menyadari kesalahan dan kekeliruannya, serta bertekad untuk tidak mengulanginya. Dan yang lebih penting lagi adalah menyadari akan kebesaran dan keagungan Sang Penciptanya.


Jangan Gagal Memahami Makna Haji
Haji merupakan ibadah yang sarat dengan pelbagai simbol dan aktivitas dalam rupa ritualitas. Namun sayang, umat Islam gagal memahami fungsi dan pengertian ritual di balik simbolik itu.

Hal ini diungkapkan Muhammad Ja'far, peneliti Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF).
Menurutnya, umat Islam saat ini sudah menempatkan haji sebagai ritual simbolik. Namun, kegagalan memahami fungsi dan pengertian ritual simbolik itu, menyebabkan umat Islam terjebak pada tatanan ritual tersebut.

Terlihat ketika seorang muslim melakukan ibadah haji, seakan tidak ada tanggung jawab konkret untuk mengimplementasikan nilai dan prinsip kepedulian serta solidaritas sosial, sebagaimana pesan simbolis di balik ritual tahunan itu, katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Jumat (27/11).

Dalam konteks Indonesia, lanjutnya, pemaknaan haji merupakan fenomena yang lebih kontradiktif. Ia pun mencontohkan bagaimana seorang pejabat melaksanakan ibadah haji dengan menggunakan dana hasil korupsi.

Bahkan, lebih parah lagi, ibadah haji itu sendiri dilaksanakan sebagai bagian dari praktik kolusi dan nepotisme. Seorang pengusaha, misalnya, untuk kepentingan bisnis kolusifnya, memberikan sogokan kepada pihak berwenang (pejabat) berupa paket ibadah haji atau umroh, keluhnya.

Padahal, lanjutnya, jika mengacu pada fungsi dasar sebuah ritual simbolik, ibadah haji justru merupakan awal dari tanggung jawab serta kewajiban untuk mengimplementasikan dalam tindakan sosial nyata.

Jafar menuturkan, di antara semua ibadah dalam Islam, haji adalah ritual paling simbolik yang mempunyai makna khusus. Baik ritual mengelilingi Kabah (tawaf), melempar jumrah, sa'i, dan lainnya. Misalkan saja jumrah aqobah yang mengandung ritual pelemparan batu-batu kecil ke sebuah tugu,

Menurutnya, ritual ini merupakan simbol yang diasumsikan sebagai pelemparan dan permusuhan terhadap setan dan iblis. Sedangkan secara substansial, ritual ini diinterpretasikan sebagai komitmen seorang muslim untuk mengekang segala bentuk pembudakan berdasarkan nafsu setaniahnya. Melempar jumrah dapat diartikan sebagai simbol komitmen pembebasan seorang muslim dari potensi orientasi kejahatan dalam dirinya, paparnya.

Lebih jauh Ja'far menuturkan, ritual haji diinterpretasikan sebagai simbol solidaritas sesama muslim (dan global). Ini berarti, meskipun pelaksanaan ibadah haji hanya simbolisasi, namun ada tanggung jawab besar untuk mengimplementasikan secara riil makna yang terkandung pada simbol-simbol ritual tersebut. Seorang muslim yang telah menunaikannya memiliki mandat untuk mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas itu,ujarnya.

Secara umum, makna ritual haji dapat dikategorisasikan pada dua orientasi yaitu spiritual dan sosial. Di satu sisi, ritual-ritual simbolik dalam ibadah haji cenderung pada penguatan prinsip serta komitmen spiritual seorang muslim. Hal ini kerap disebut rekomitmen atau pengikraran ulang keimanan (ketauhidan) seorang muslim kepada Tuhan,katanya.

Sedangkan di sisi lain, simbol-simbol dalam ritual haji secara ekspresif mengandung muatan sosial yang mendalam. Pasalnya, hampir semua ritual haji berpeluang ditafsirkan sebagai komitmen kepedulian serta solidaritas sosial seorang muslim.
Karena itu, tanpa memisahkan keterkaitan (kemenyatuan) antara spiritualitas dan orientasi sosial, bisa dinyatakan semakin tinggi tingkat spiritualitas seseorang, makin membumbung pula kepedulian sosialnya, ulasnya.

Sementara itu, Imam Besar Masjid Istiqlal KH Ali Mustafa Yaqub lebih menekankan pentingnya ibadah sosial dibanding individual sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ia pun menceritakan bahwa Rasulullah dalam hidupnya sebenarnya berkesempatan menjalani haji tiga kali dan umrah sunah ribuan kali.

Namun hingga akhir hayatnya Rasulullah hanya berhaji sekali dan berumrah sunah dua kali. Itu karena Rasulullah lebih mementingkan ibadah sosial dibanding individual. Rasulullah lebih banyak menyantuni anak yatim dan bersedekah pada kaum fakir miskin," ujarnya dalam khutbah wukuf yang disampaikan di perkemahan Misi Haji Indonesia, Arafah, Arab Saudi, Jumat (27/11). [ast]

HAJI MABRUR

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;”Umroh ke umroh berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya,dan tiada balasan bagi haji mabrur melainkan surge.”(HR. Bukhori: 1683, Muslim: 1349).
Haji mabrur memiliki beberapa kriteria:
Pertama: Iklash. Seseorang hanya berharap pahala Alloh, bukan untuk pamer,kebanggaan, atau agar di panggil “pak haji” atau “ibu haji” oleh masyarakatnya. Alloh Ta’ala berfirman: Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan…(QS. al-Bayyinah[98]5)
Kedua: Ittiba’ kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berhaji sesuai tata cara haji yang di praktekkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan menjauhi perkara-perkara bid’ah (perkara baru dalam  agama) dalam haji.beliau r sendiri bersabda:“Contohhlah cara manasik hajiku.” (HR. Muslim: 1297)
Ketiga: Harta untuk berangkat Hajinya adalah harta yang halal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Sesunggunya Alloh itu baik, dia tidak menerima kecuali dari yang baik” (HR. Muslim: 1015)
Keempat: Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan, dan penyimpangan. Alloh Azza wajalla  berfirman:…Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rofats [berkata-kata tak senonoh], berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (QS. al-Baqaroh [2]197)
Kelima: Berakhlak baik antar sesama, tawadhu’ (rendah hati) dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainya. Alangkah bagusnya ucapan Ibnu Abdil Barr rahimahullah dalam at-Tamhid (22/39):”Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya’(ingin dilihat),dan sum’ah (ingin di dengar) di dalamnya, tiada kefasikan,dan dari harta yang halal.” (Latho ‘iful Ma’arif Ibnu Rojab hal. 410-419, Masa’il Yaktsuru Su’al ‘Anha Abdulloh bin Sholih al-Fauzan: 12-13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar