Akhlak dalam
Perspektif Al-Qur'an
Segala
perbuatan yang dilakukan manusia tidak terlepas dari konsep akhlak. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup akhlak sangat luas. Kata akhlak
memiliki kemiripan makna dengan etika, moral, dan budi pekerti, sehingga makna
akhlak sering disamakan dengan etika, moral, dan budi pekerti.
Ruang lingkup
akhlak dalam pandangan syariat Islam sangat luas. Akhlak tidak hanya membahas
masalah etika pergaulan dan sopan santun saja, tetapi meliputi pola pikir,
selera, pandangan, sikap, perilaku, kecenderungan, dan keinginan yang ada pada
seseorang.
Ketika Aisyah
r.a. ditanya tentang akhlak Rasulullah saw., beliau menjawab bahwa akhlak
Rasulullah saw. adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup umat Islam
meliputi semua aspek kehidupan. Misalnya, muamalah, ibadah, hukum, dan sosial. Jadi, berdasarkan pernyataan Aisyah
r.a., bisa diambil kesimpulan bahwa ruang lingkup akhlak tidak terbatas, karena
semua sikap, tindakan, perilaku dan apa pun yang dikerjakan manusia, tidak bisa
lepas dari masalah akhlak.
Semua yang
dilakukan dan diajarkan oleh Rasulullah saw. menjadi teladan bagi umatnya.
Karena itulah, akhlak Rasulullah harus diteladani. Allah swt. dengan tegas
memerintahkan hal ini dalam Surah al-Ahzab [33]: 21: Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.
Dalam Islam,
akhlak mempunyai ruang lingkup yang lebih luas. Selain terkait dengan muamalah,
akhlak dalam Islam juga meliputi masalah ibadah, sosial, hukum, dan lain-lain.
Salah satu contohnya, yaitu akhlak terhadap Allah swt. Misalnya, adanya
kewajiban menjalankan rukun Islam dan rukun iman. Ketika sudah melaksanakan
syahadat, salat, dan puasa, berarti kita dikatakan berakhlak terhadap Allah
swt.
Suatu perbuatan
dikategorikan sebagai akhlak, jika bersifat alami dan dilakukan karena tidak
sengaja. Hadis riwayat Ibnu Majah berikut memberi gambaran kepada kita tentang
konsep akhlak: innallâha tajâwaza 'an ummatî al-khatha'a wa mâstakrihû
'alaihi (Bahwasanya Allah memaafkanku dan umatku yang berbuat salah, lupa, dan
dipaksa).
Begitu juga
hadis riwayat Ahmad berikut: rufi'a al-qalam 'an an-nâimi hattâ yastaiqidhu
wa 'an al-mubtalâ hattâ yabra'a wa 'an ash-shabiyyi hattâ ya'qila (Hukum
dibebaskan atas tiga golongan, yaitu orang gila hingga ia sembuh dari gilanya,
orang yang tidur hingga bangun dari
tidurnya, dan anak kecil hingga menjadi dewasa).
Hadis di atas
menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang gila, orang yang
tidur, anak kecil, orang yang lupa, dan orang yang dipaksa, tidak disebut
akhlak sebab tidak disertai kesadaran atau kemauan sendiri.
Definisi Akhlak
Akhlak berasal dari
bahasa Arab, al-akhlâq. Kata dasar (mufrad) adalah khulqu
berarti perangai (al-sajîyah), tabiat (ath-thabî’ah),
kebiasaan (al-‘âdat), dan adab yang baik (al-murû’ah). Kata akhlak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai kebiasaan, perangai atau watak. Dalam Bahasa Arab kata akhlak
(akhlâq) diartikan sebagai tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama.
Meskipun kata akhlak
berasal dari Bahasa Arab, tetapi kata akhlak tidak terdapat di dalam Al
Qur'an. Kebanyakan kata akhlak dijumpai dalam hadis. Satu-satunya kata yang
ditemukan semakna akhlak dalam al-Qur'an adalah bentuk tunggal, yaitu khuluq,
tercantum dalam surat al-Qalam [68] ayat 4: Wa innaka la'alâ khuluqin 'adzîm,
yang artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti
yang agung. Sedangkan hadis yang sangat populer menyebut akhlak adalah
hadis riwayat Malik, Innamâ bu'itstu liutammima makârima al-akhlâqi,
yang artinya: Bahwasanya aku (Muhammad) diutus menjadi Rasul tak lain adalah
untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Selain itu,
secara istilah, akhlak memiliki beberapa definisi. Menurut Ibnu Abbas, akhlak
berarti dîn yang agung (Islam). Ibnu Abbas mengartikan akhlak
berdasarkan tafsir Surah al-Qalam [68] ayat 4. Ibnul Atsir menerangkan
bahwa akhlak berasal dari kata al-khuluqu dan al-khulqu
berarti dîn, tabiat, dan sifat. Akhlak mencerminkan potret batin
manusia, yaitu jiwa dan kepribadian yang sebenarnya.
Akhlak
memiliki pengertian yang mencakup kebiasaan atau perangai yang baik maupun
buruk. Akhlak terbentuk dari kebiasaan yang sudah lama hingga mendarah daging
menjadi tabiat atau watak. Sikap atau perilaku yang disebut akhlak akan muncul
secara spontan (tidak dibuat-buat) dan terus-menerus. Sehingga seorang dapat
dikatakan berakhlak baik, jika memang memiliki kebiasaan atau tabiat yang baik
pula. Sebaliknya, kebiasaan atau tabiat yang buruk menjadi indikasi akhlak
buruk yang dimiliki seseorang.
Menurut Imam Gazali, akhlak adalah keadaan yang bersifat
batin dimana dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa dipikir dan tanpa
dihitung resikonya (al-khuluqu haiatun rasîkhotun tashduru 'anhâ al-af'âl bi
suhûlatin wa yusrin min ghoiri hâjatin 'an fikrin wa ruwiyyatin).
Sedangkan
ilmu akhlak adalah ilmu yang berbicara tentang baik dan buruk dari suatu
perbuatan. Dari definisi itu maka dapat difahami bahwa istilah akhlak
adalah netral. Artinya ada akhlak yang terpuji (al-akhlâq al-mahmûdah)
dan ada akhlak yang tercela (al-akhlâq al-mazmûmah). Ketika berbicara
tentang nilai baik buruk maka muncullah persoalan tentang konsep baik buruk.
Dari sinilah kemudian terjadi perbedaan konsep antara akhlak dengan etika.
Etika
(ethica) juga berbicara tentang baik buruk, tetapi konsep baik buruk
dalam etika bersumber kepada kebudayaan, sementara konsep baik buruk dalam
akhlak bertumpu kepada konsep wahyu, meskipun akal juga mempunyai kontribusi
dalam menentukannya. Dari segi ini maka dalam etika dikenal ada etika Barat, etika
Timur, dan sebagainya, sementara al-akhlâq al-karîmah tidak mengenal
konsep regional, meskipun perbedaan pendapat juga tak dapat dihindarkan. Etika
juga sering diartikan sebagai norma-norma kepantasan (etiket), yakni apa yang
dalam bahasa Arab disebut adab atau tatakrama.
Sedangkan kata moral
meski sering digunakan juga untuk menyebut akhlak, atau etika tetapi tekanannya
pada sikap seseorang terhadap nilai, sehingga moral sering dihubungkan dengan
kesusilaan atau perilaku susila. Jika etika itu masih ada dalam tataran konsep
maka moral sudah ada pada tataran terapan. Melihat akhlak, etika atau moral
seseorang, harus dibedakan antara perbuatan yang bersifat temperamental dengan
perbuatan yang bersumber dari karakter kepribadiannya. Temperamen merupakan
corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangsang yang berasal dari lingkungan
dan dari dalam diri sendiri. Temperamen berhubungan erat dengan kondisi
biopsikologi seseorang, oleh karena itu sulit untuk berubah. Sedangkan karakter
berkaitan erat dengan penilaian baik buruknya tingkahlaku seseorang didasari
oleh bermacam-macam tolok ukur yang dianut masyarakat. Karakter seseorang
terbentuk melalui perjalanan hidupnya, oleh karena itu ia bisa berubah.
Urgensitas Akhlâq al-Karîmah
Akhlak
dalam pergaulan yang baik apakah terhadap diri sendiri, sesama manusia dan
sesama makhluk Tuhan yang lain, menjadi ajaran fundamental dalam Islam dan
berinti pada berakhlak kepada Allah swt. Semua diajarkan berinti dan kembali
kepada kehidupan manusia di dunia yaitu untuk mencapai masyarakat yang mulia
dan kehidupan yang berkesimbangan. Dalam realitas kehidupan di dunia, Islam
mengajarkan bahwa manusia mempunyai kedudukan yang sama, karena ia berasal dari
nenek moyang yang sama (Q.S. an-Nisa' [4]: 1), kedudukan dan derajat yang
sesungguhnya ditentukan oleh takwa (Q.S. al-Hujurat [49]: 13). Perbedaan budaya
dan ras justru merupakan tanda kekuasaan Allah SWT (Q.S. ar-Rum [30]:22), yang
bermanfaat untuk menjadi identitas agar saling kenal-mengenal (Q.S. al-Hujurat
[49]: 13). Sifat mengagungkan keturunan, ras, suku, maupun golongan adalah
sikap-sikap jahiliah, yang sangat ditentang Islam. Islam sangat menjunjung
tinggi toleransi dan egaliterian.
Seorang
mukmin yang berakhlak mulia diumpamakan Allah sebagai sebuah pohon yang banyak
membawa manfaat bagi kehidupan. Sebuah ungkapan dengan perumpamaan yang sangat
indah Allah sampaikan dalam sebuah firman-Nya: Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (Q.S.
Ibrahim [14]: 24-25)
Berkaitan
erat dengan hal tersebut di atas Rasulullah saw juga menyampaikan ungkapan yang
indah pula. Beliau saw mengumpamakannya bagaikan satu tubuh, jika satu organ
saja mengalami rasa sakit maka yang lainpun merasakan itu. Berikut petikan
sabda Rasulullah saw. riwayat Bukhari dan Muslim: Dari Nukman bin Basyir r.a. ia mengatakan
bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,"Perumpaan orang mukmin dalam hal
cinta-mencintai, kasih sayang dan kelemah lembutan adalah bagaikan sebuah tubuh
yang bila salah satu organnya menderita, semua organ yang lain akan merasakan
kesakitan dan panasnya."
Jika kita selalu beramal
baik dan mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah akan "menyatu"
dalam diri kita. Rasululullah saw bersabda dalam sebuah hadits qudsi: Allah
swt berfirman: “Aku menurut dugaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama dia
apabila dia mengingat Aku. Apabila dia menyebut Aku dalam hatinya, niscaya Aku
menyebutnya pula sendiriKu. Dan kalau dia menyebutKu di hadapan orang banyak,
niscaya Aku menyebutnya pula di hadapan orang banyak yang lebih baik. Kalau dia
mendekatkan diri kepadaKu sejengkal, niscaya Aku mendeka kepadanya sehasta. Dan
kalau dia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, niscaya Aku mendekat kepadanya
sedepa. Dan jika dia datang kepada-Ku berjalan, niscaya Aku datang kepadanya
berlari”
Kedudukan Akhlak
Dalam tataran
praktis, akhlak menjelma dalam amal. Jika baik, maka berupa amal saleh.
Sebaliknya, jika buruk, maka berupa amal ghairu saleh. Dan, hal ini
sebenarnya menjadi tujuan hidup manusia sebagaimana tersirat dalam Surat
al-Muluk [67] ayat 2: Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Kata ‘amal
bentuk mashdar dari ‘amila-ya’malu –‘amalan. Bentuk jamaknya adalah a’mâl.
Di dalam al-Quran kata ‘amal dan kata lain yang seasal dengan itu
disebut 359 kali. Kata amal mengandung makna perbuatan. Baik buruknya
amal tidak hanya ditentukan oleh pelakunya, melainkan juga Allah SWT. Jadi
perbuatan itu baru dianggap baik jika dinilai baik oleh pelakukanya, orang lain
dan Allah. Demikian pula sebaliknya.
Secara
terminologi kata ‘amal berarti perbuatan atau aktivitas yang dilakukan
secara sadar dan sengaja, bersumber pada daya, fakir, fisik, dan kalbu.
Amal di bagi
menjadi 2 yaitu: amal shâlih (perbuatan baik) dan amal ghairu shâlih
(perbuatan yang tidak baik). Kata shâlih sendiri lawan dari kata fâsid
yang berarti rusak. Dengan demikian amal shâlih adalah perbuatan-perbuatan
yang dilakukan secara sadar untuk mendatangkan manfaat dan/atau menolak
kerusakan.
Di dalam
al-Qur’an kata shalaha disebut 180 kali di dalam berbagai bentuk. Satu
kali dikemukakan dalam bentuk transitif (memerlukan objek) dan berkategori kata
kerja dan di tempat lain dikemukakan dalam bentuk intransitive (tidak
memerlukan objek) dan berkategori kata sifat. Atas dasar pemaknaan ini sesuatu
yang dapat dikatakan saleh apabila objeknya telah memenuhi atau sesuai dengan
nilai-nilai yang telah ditentukan atau apabila objek tersebut diperbaiki karena
sebelumnya mengandung nilai-nilai yang
belum terpenuhi atau tidak sesuai dengan fungsi kodratnya. Jadi makin terpenuhi
nilai-nilai yang telah ditentukan atau makin sesuai dengan sifat dan kodratnya,
makin tinggi pula kualitasnya. Jika hal ini terwujud, Allah telah berjanji
tidak akan menyia-nyiakan amalan seseorang (Q.S. Ali Imran [3]: 195).
Di dalam
al-Quran amal saleh pada umumnya selalu dikaitkan dengan iman (antara lain
al-Baqarah ayat 25, dan Surat al-‘Ashar ayat 3 dan sebagainya). Hal ini
menunjukkan bahwa perbuatan baiik merupakan pancaran dari iman kepada Allah
SWT.
Al-Quran tidak
merinci tentang amal saleh. Hal ini menunjukkan lapangannya sangat luas baik
untuk kepentingan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Penekanannya terletak
pada keimanan. Walaupun amal saleh itu sebesar biji zarrah, pasti akan dibalas
oleh Allah dan di akhirat nanti balasan itu akan diberikan oleh Allah kepada
hamba-Nya (al-Zalzalah ayat 7-8, serta tidak akan disia-siakan-Nya (at-Taubah
ayat 105.)
Amal gairu
saleh sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran adalah perbuatan yang menyimpang
dari ketentuan Allah atau perbuatan yang tidak mengandung manfaat serta tidak
sesuai dengan fungsi, sifat, atau kodrat sesuatu sehingga tidak disukai oleh
Allah.Pelakunya memperoleh kehinaan dari masyarakat dan berdosa di sisi Allah
serta memperoleh siksaan di akhirat (al-Baqarah ayat 114).
Akhlak Vertikal
Akhlak
kepada Allah merupakan akhlak secara vertikal. Beberapa akhlak yang
dikategorikan akhlak kepada Allah adalah:
- Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukkan terhadap perintah Allah.
- Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati.
- Berdo’a kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan do’a dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan akal manusia. Oleh karena itu berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktifitas hidup setiap muslim.Orang yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong ; suatu perilaku yang tidak disukai Allah.
- Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan.
- Tawaduk kepada Allah, yaitu rendah hati di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah.
- Meneladani seluruh sifat dan perbuatan Nabi Muhammad (ash-shiddîq, at-tablîg, al-amânah, dan al-fathânah).
Realisasi Akhlak
- Akhlak kepada Orangtua
Akhlak kepada orang tua didasarkan pada surat al-Isra
ayat 23-24: Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah :’Wahai Rabbku, kasihilah
mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
Dari ayat di atas terlihat jelas bagaimana penting dan
besarnya arti diri orang tua di sisi Allah SWT. Jika beribadah kepada Allah
wajib maka berbakti kepada kedua orang tua juga wajib. Sebaliknya, kalau ingkar
kepada-Nya adalah dosa besar, begitu pula durhaka kepada orang tua. Dan berbuat
baik kepada orang tua bukan hanya semasa hidupnya akan tetapi sampai matipun
anak tetap wajib berbakti kepada mereka.
Sekiranya suatu saat usia mereka sudah diambang senja,
janganlah kita menghardik, mencaci, memukul, serta perbuatan-perbuatan keji
lainnya, mengucapkan kata “ah” saja terlarang sebagaiman dalam ayat diatas
apalagi perbuatan-perbuatan yang lebih daripada itu. Dan yang patut dilakukan
adalah berbicara kepada mereka dengan lemah lembut, sikap rendah diri, suara
tidak melebihi suara mereka, dan itu semua adalah ahlak utama seorang anak.
Abu Dawud meriwayat suatu hadis: "Bahwa seorang
laki-laki yang berasal dari Yaman hijrah ke Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa
Salam. Ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sekarang sudah hijrah!’
Beliau bertanya ‘Sudahkah mereka memberimu izin ?’ jawabnya : ‘Belum’ sabda
Beliau, ‘Pulanglah dan minta ijinlah kamu kepada mereka. Kalau sekiranya mereka
memberimu izin, silahkan berjuang. Tetapi kalau tidak, berbuat baiklah kamu
kepada mereka.”
Di sini agama Islam meletakkan keagungan orang tua
dihadapan anak-anaknya dalam rangka berbakti dan berjuang di jalan Allah. Bukan
semata-mata jihad kemudian orang tua ditinggalkan begitu saja tanpa dimintai
izin sama sekali. Bahakan berangkat ke medan peperangan dinomorduakan jika
memang belum memenuhi kebaktiannya kepada orang tua. Dalam sebuah riwayat Imam
Muslim disebutkan: “Rugilah, rugi sekali, rugi sekali, seseorang yang
mendapati salah seorang dari kedua orang tuanya atau kedua-duanya sewaktu
mereka sudah diambang senja, dan tidak memasukkan ia kedalam surga “
Sungguh sayang bahwa orang tua masih ada, apalagi sudah
tua yang seharusnya dapat memasukkan dia kedalam surga, tetapi ternyata tidak
dapat memasukkan dia ke dalam surga dikarenakan durhaka kepada mereka dan tidak
berbakti kepada mereka. Betapa banyak manusia-manusia yang sampai begitu tega
tidak menghormati orang tuanya bahkan memperlakukan mereka dengan perlakuan
yang kasar dan menganggap mereka bagaikan pembantu rumah tangga yang siap
melayani tuannya. Sungguh ironis sekali orang tua yang telah mendidik dan
mengasuh anaknya dengan sekuat tenaga, ternyata sesudah besar begitu saja balas
budinya.
Memperlakukan orang tua dengan baik termasuk amalan besar
dan yang paling dicintai oleh Allah. Dari Abdullah bin Mas’ud: “Aku pernah
bertanya kepada nabi Salallahu Alaihi Wa Salam: ‘Amal yang manakah yang paling
dicintai oleh Allah ?’ Jawab beliau :’Shalat pada waktunya’. Aku bertanya
lagi:’Kemudian amal apa ?’ Jawab beliau :’’Berbuat baik pada orang tua’. Aku
bertanya kagi:’Sesudah itu amal apa?’ Jawab beliau :’Jihad di jalan Alla”(HR
Bukhari Muslim).
Dalam hal berbuat kebaikan kepada orang tua, memang
sepantasnya ibu lebih banyak dicurahkan. Ini mengingat kerja payahnya semenjak
ia mengandung sampai melahirkan ditambah lagi memenuhi semua keperluannya tidak
pernah merasa bosan dan lelah. Dari Abu Hurairah: “Telah datang seorang
laki-laki menghadap Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam lalu bertanya :’Wahai
Rasulullah siapakah yang paling berhak aku pergauli dengan cara bagus ?’ Jawab
beliau :’Ibumu!’. Kemudian ia bertanya lagi ‘Sesudah itu siapa?’ Jawab beliau
:’Ibumu!’. ia bertanya lagi:’Sesudah itu siapa ?’ Jawab beliau :’Ibumu!’. Ia
bertanya lagi :’Sesudah itu siapa?’ Jawab beliau :’Bapakmu!”(HR Bukhari Muslim
Dan termasuk dosa besar bila seorang anak berbuat durhaka
kepada orang tuanya. Rasulullah bersabda: “Termasuk dosa besar ialah seorang
yang mencaci maki orang tuanya. Seseorang lalu bertanya:’Mungkinkah ada
seseorang mencaci maki orang tuanya?’ Jawab beliau :’Ada! Dia mencaci maki
bapak seseorang lalu orang itu membalas memaki bapaknya. Dia mencaci maki ibu
seseorang lalu orang itu membalas memaki ibunya”(HR Bukhari Muslim).
Namun bagaiman bila orang tua kita bermaksiat dan musyrik
kepada Allah, apakah kita tetap harus berbuat baik terhadap mereka? Islam
memang menganjurkan untuk berbuat baik kepada orang tua secara umum, tetapi
perlu diingat jika orang tua memaksakan kehendaknya untuk bermaksiat kepada
Allah, maka hendaknya ditolak dengan lemah lembut dan penuh kesopanan. Dalam
surat Luqman ayat 15 dijelaskan: “Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kamu kembali, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Nash Al-Qur'an tersebut diperkuat oleh hadis riwayat Imam
Muslim: “Mendengar dan mentaati itu wajib bagi seorang muslim, menyangkut
apa yang ia cintai maupun apa yang ia benci, selagi tidak disuruh untuk urusan
maksiat. Kalau diperintah untuk maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak
ada ketaatan”.
- Akhlak kepada Keluarga
Dalam menjaga ikatan
kekerabatan ini, Islam mengatur beberapa akhlak berikut:
1. Sering bersilaturahim ke kerabat
Tidak kurang banyaknya
dalil yang menganjurkan silaturahim kepada kerabat dekat baik dari al-Qur'an
ataupun hadis Rasulullah Saw. Allah berfirman: "Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri", (Q.S. an-Nisa': 36)
Sedangkan dalam hadis
Rasulullah Saw. dikatakan, "Barang siapa yang ingin dilapangkan
rizkinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaknya dia menyambung tali
silaturrahim." (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
Upaya menyambung tali
silaturahim ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang senantiasa akrab dan
sayang kita saja. Yang disebut silaturahim hakiki adalah kalau kita menyambung
tali silaturahim kepada orang yang memutus tali persaudaraan dengan kita.
Bahkan ikhtiar ini lebih mulia sifatnya. Karena ini merupakan upaya yang sangat
berat dan tidak sembarangan orang bisa melakukannya. Sebab sudah menjadi
kecenderungan manusia untuk membalas kebaikan dengan kebaikan dan membalas
kejahatan dengan kejahatan pula. Jarang sekali orang yang membalas kejahatan dengan
kebaikan.
Namun, memang di sinilah
keistimewaan dan keutamaan silaturahim kepada orang yang memutuskan tali
silaturahim. Tidaklah mengherankan bahwa nilai orang yang memperjuangkan
perbuatan ini akan berbeda dengan orang yang membalas kebaikan silaturahim
dengan setara. Karena, hanya dengan kuatnya tali silaturahim, maka rajutan tali
persaudaraan dan kekerabatan dapat dijaga agar tidak terkoyak.
Kita perlu mengoreksi
sampai sejauh mana nilai silaturahim kita. Kalau taraf silaturahim kita hanya
ditujukan kepada orang-orang yang lumrah bersilaturahim dan baik kepada kita,
sembari mengabaikan orang yang jahat dan berlaku dingin kepada kita, tentu kita
belum mencapai tingkatan silaturahim sejati. Tetapi, jika kita sudah berniat
dan berupaya untuk menggalang persaudaran kepada kerabat yang acuh kepada kita,
berarti kita telah menapaki puncak kemuliaan silaturahim.
2. Mengetahui silsilah atau nasab
kerabat
Pentingnya mengetahui dan
menelusuri jalur nasab ini, pernah ditegaskan oleh Rasulullah saw., "Pelajarilah
nasab agar kamu dapat mengeratkan tali persaudaraanmu. Sebab bersilaturahim
dapat menumbuhkan rasa cinta kasih dalam kekeluargaan, menambah kelapangan
rizki, dan memperpanjang umur" (H.R al-Tirmidzi)
Persoalan ini nampak
sangat sepele, padahal sangat penting. Sabda Rasulullah saw. di atas
menunjukkan betapa prinsip hal ini. Yang perlu diingat bersama, dengan
mengetahui nasab kita akan lebih bergairah untuk menjalin hubngan persaudaraan.
Pasalnya, kita sudah merasa cukup dengan bersilaturahim kepada kerabat dalam
ruang lingkup yang terbatas. Lain halnya jika wawasan nasab keluarga kita
begitu luas. Rute silaturahim kita pun semakin lebar dan panjang.
Harus diakui, seringkali
kita kurang mengabaikan penelusuran terhadap nasab ini. Kita juga malas untuk
memperkenalkan tali kekerabatan kepada anak-anak kita. Akibatnya, ketika kita
sudah wafat, anak kita pun tidak mengetahui siapa-siapa saja yang memliki
hubungan darah dengannya. Siapa-siapa saja yang mesti dikunjunginya untuk
mengikat tali persaudaraan. Ini sangat berbahaya. Sebab pada generasi keturunan
selanjutnya, antara satu kerabat dengan kerabat lainnya sudah tidak saling
mengenal. Mereka sudah seperti orang lain.
Sungguh tepat langkah
yang diambil oleh orang tua, kalau sejak dini memperkenalkan dan mendekatkan
anaknya dengan himpunan kerabat lainnya. Kebiasaan bersilaturahim membuahkan
cinta kasih yang mendalam. Biasanya upaya memperkenalkan dan merajut
kerenggangan ini dilakukan pada momen tertentu, seperti idul fitri. Setahun
sekali. Tidak masalah, karena minimal masih ada ajang untuk bersua dan
bercengkerama. Melalui ajang ini, kita sangat tertolong untuk mengenal,
merekatkan, dan memperkuat kembali hubungan persaudaraan.
Para sahabat Rasulullah
saw. adalah orang-orang yang gigih menelusuri tali kekerabatan. Dipelajarinya
silsilah yang ada dan disisirnya siapa saja yang belum pernah dikunjunginya.
Jika ketemu, mereka langsung mengakrabkan diri.
Selain menangguk pahala
dari Allah, apa lagi keistimewaan menyusuri nasab dan bersilaturahim ini? Ali
bin Abi thalib berwasiat, "Muliakanlah kerabatmu, karena mereka adalah
sayap yang dapat menerbangkanmu. Berkat mereka, kamu kuat dan berpengaruh.
Mereka ibarat senjata di kala gawat. Untuk itu, muliakan orang-orang yang
terhormat di kalangan mereka. Jenguklah yang sakit. Ajaklah mereka dalam
kegiatanmu. Dan, tolonglah orang-orang miskin di antara mereka".
3. Berbuat baik kepada kerabat
Menyinggung masalah
tersebut, Allah menegaskan demikian: "Mereka bertanya tentang apa yang
mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang
kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya" (QS al-Baqarah:
215)
Dalam Islam, berbuat baik
dan membantu kerabat sama halnya dengan berjuang di jalan Allah. Perhatian
terhadap kerabat harus lebih dikedepankan daripada orang lain selain kerabat.
Artinya, kalau mereka dalam kondisi kekurangan, kelemahan, dan ketertindasan,
mereka adalah golongan yang pertama kali harus dibantu karena mempunyai
kedekatan hubungan dengan kita. Walaupun tentu saja tanpa menafikan orang-orang
di luar lingkar sanak famili. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah pada
level skala prioritas.
Dalam ayat di atas, jelas
sekali urut-urutan orang yang harus dihormati dan diperhatikan. Posisi kerabat
didudukkan setelah kedua orangtua, baru kemudian menyusul kelompok-kelompok
orang lain. Dari sini jelas sekali kalau kerabat adalah orang yang berhak
mendapat perhatian kita secara langsung.
Sebab, lazimnya, dalam
satu ikatan keluarga besar, tidak seluruh kerabat bisa menjemput keberhasilan
secara financial. Ada yang berhasil ada pula yang gagal. Yang satu kaya, yang
lainnya miskin. Berbagai factor yang melatarbelakangi keberhasilan dan
kegagalan itu. Karena itulah, menelisik kondisi tersebut, setiap orang yang
memiliki kelebihan harta dihimbau untuk mengulurkan bantuan. Jika ada saudara
yang terlilit penderitaan, maka seluruh kerabat seolah ikut merasakan
penderitaan tersebut. Kepekaan yang terasah menggugah seluruh kerabat untuk
bergotong royong demi meringankan beban kerabat yang kesusahan.
3. Berlaku adil
Walaupun Islam
mengajarkan perhatian penuh dan berbuat baik kepada kerabat, tetapi sebagai
perimbangan, Islam juga menyerukan kepada kita untuk berlaku adil kepada
kerabat. Artinya, kalau memang kerabat kita berbuat salah sudah selayaknya kita
berlakukan hukum dengan semestinya. Bukan perbuatan yang benar kalau kita
membela mati matian kerabat dengan mencari kambing hitam kepada orang lain
karena kedekatan kita dengannya.
Allah menggariskan kepada
kita perlakuan adil, bahkan kepada orang terdekat sekalipun dalam ayat: "Dan
apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah
kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat" (Q.S. al-Anam: 152)
Perlakuan adil di sini
juga bisa dimaknai sebagai adil kepada semua kerabat tanpa terkecuali. Dalam
kategori kerabat yang dipaparkan di atas, kita berlaku adil kepada semuanya
tanpa membeda-bedakan. Kita membantu mereka sekuat tenaga tanpa diskriminasi
dan pilih kasih mana yang paling dekat dan paling baik dengan kita. Untuk skala
prioritas memang ada, yakni pada tingkat kebutuhan mereka atas uluran tangan
kita. Siapa yang lebih membutuhkan bantuan, itulah yang didahulukan.
Posisi kerabat yang dekat
dengan kita membuat kita mempunyai tanggung jawab penuh terhadap mereka.
Artinya, kita wajib mendidik dan memperingatkan mereka kalau berbuat salah.
Kita mengajari mereka tata cara hidup Islam yang benar dan jangan sampai
melalaikan ketentuan Allah yang sudah digariskan secara tegas. Karena tanggung
jawab itu, kita tidak bisa acuh tak acuh dengan segala macam penyelewengan dan
penyimpangan itu, nantinya akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat.
Kalau kita bersikap masa bodoh pada kemaksiatan mereka, umpamanya, berarti kita
telah mengabaikan amanat dari Allah itu sendiri.
Dalam kehidupan
sehari-hari sudah sepatutnya hubungan kita dengan kerabat semakin dipererat.
Sebuah hubungan yang didasarkan atas kasih sayang dan murni mencari rida Allah.
Ada dua keuntungan yang bisa kita petik dengan memberdayakan hubungan
berkerabat itu, keuntungan horizontal dan keuntungan vertical. Keuntungan
horizontal berarti kita akan menemukan kedamaian dan ketenteraman setiap kali
bisa mencukupi kebutuhan orang lain. Dengan rekatnya hubungan antar keluarga,
keharmonisan di tengah keluarga bisa utuh dan hidup. Segala bentuk kekacauan
dan ketegangan bisa ditepis jauh-jauh.
- Akhlak kepada Tetangga
Di antara akhlak
bertetangga adalah sebagaimana berikut:
1. Mengenal tetangga
Kita sebagai orang yang
hidup dalam sebuah komunitas masyarakat perkotaan akan dihadapkan pada
kenyataan kehidupan yang individualistik. Hidup sendiri-sendiri, tidak saling
mengenal. Dalam konteks seperti ini, tidak mengherankan bila kemudian
antartetangga tidak saling mengenal. Karena mereka sibuk dengan urusan
masing-masing.
Padahal masalah
bertetangga ini bagi seorang muslim sangatlah krusial. Tidak bisa dipandang
sebelah mata. Hadis Rasulullah saw. di atas yang menganalogikan hubungan
tetangga dengan hubungan saudara patut kita renungkan bersama. Karena itu,
sudah sepantasnya kita pun senantiasa bisa minimal mengenal tetangga dan
bersilaturahim padanya. Himbauan untuk saling mengenal ini termaktub secara
eksplisit dalam Al-Qur'an: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS al-Hujurat [49]:13)
Pepatah mengatakan, tak
kenal maka tak sayang. Dengan mengenal tetangga akan muncul saling sayang.
Sehingga tercipta hubungan yang mesra dan harmonis.
2. Berbuat baik kepada tetangga
Dalam hal ini, Rasulullah
Saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka
janganlah menyakiti tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari kiamat, hendaknya dia berkata benar atau diam saja." (H.R.
al-Bukhari)
Sabda Rasulullah saw. di
atas merupakan pelajaran berharga kepada kita semua. Salah satunya, perlakuan
kita terhadap tetangga akan mendatangkan tindakan serupa dari pihak tetangga.
Kalau kita memperlakukan tetangga dengan baik, maka mereka pun akan
memperlakukan kita dengan baik, dan bahkan bisa lebih baik lagi. Nyaris tidak
mungkin, bila kita menumpahkan kebaikan, namun mereka malah membalasnya dengan
keburukan. Akan tetapi, jika kita memperlakukan mereka dengan buruk dan jahat,
maka jangan harap mereka akan memperlakukan kita dengan baik. Artinya perbuatan
kita kepada mereka akan terefleksi pada perbuatan mereka kepada kita. Apa yang
kita tabur, maka itulah yang akan kita panen.
3. Menjaga hubungan baik dengan
tetangga
Perilaku ini juga
ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya, “Apakah kamu mengetahui hak
tetangga? Hak tetangga adalah jika dia meminta pertolongan kepadamu, maka kamu
menolongnya. Jika dia ingin meminjam sesuatu darimu, maka engkau pun
meminjaminya. Jika dia berhajat, kamu membantunya. Apabila dia sakit, kamu
menjenguknya. Apabila dia mati, kamu mengiring jenazahnya. Jika dia mendapatkan
karunia nikmat, kamu memberikan salam atau selamat kepadanya. Jika dia mendapat
bencana, kamu hibur batinnya. Jangan engkau meninggikan rumahmu melebihi
rumahnya, sehingga menghalanginya dari mendapatkan angin segar kecuali dengan
izinnya. Dan jika kamu membeli buah-buahan, maka hadiahkanlah kepadanya. Dan
kalau tidak bisa menghadiahkan, maka masukkan buah-buaban itu ke rumah dengan
sembunyi-sembunyi. Dan janganlah anak-anakmu itu membawa keluar buah-buahan itu
untuk memanaskan hati anak tetanggamu. Dan janganlah kamu menyakitinya dengan
bau periukmu, kecuali memberikan barang sedikit kepadanya." (HR.
al-Kharaiti)
Dari hadis yang panjang
lebar ini kita bisa memetik beberapa pelajaran berharga. Mari kita kupas satu
persatu:
a.
Jika
dia meminta pertolongan kepadamu, maka kamu menolongnya. Artinya, dalam
bertetangga kita dilatih untuk memiliki kepekaan social yang tinggi. Dengan kepekaan
tersebut kita bisa melihat bahwa tetangga sedang membutuhkan uluran tangan dari
kita. Ketika kita bisa membantu, maka curahan bantuan itu sangat bermakna
baginya, walaupun terlihat kurang berharga di sisi kita.
b.
Jika
dia ingin meminjam sesuatu darimu, maka engkau pun meminjaminya. Maksud
meminjam di sini bisa bermacam bentuknya, bisa meminjam uang, barang,
perabotan, alat transportasi dan lain sebagainya. Sebagai tetangga yang baik,
tentunya kita harus berusaha semaksimal mungkin meminjamkannya kepada tetangga
jika memang ia membutuhkan.
c.
Jika
dia berhajat, kamu membantunya. Maksud berhajat di situ bisa bermacam-macam.
Bisa saja ia memerlukan bantuan, atau mungkin ia menggelar acara hajatan dan
memerlukan bantuan dari orang lain. Tetapi intinya adalah, dibutuhkannya
bantuan dari tetangga lain. Bantuan itu bisa berupa bantuan pikiran, tenaga,
dan macam-macam. Dalam konteks ini pun kehidupan bertetangga akan terasa lebih
hangat bila seorang tetangga menggelar acara hajatan, maka tanpa diminta
tetangga lain turun tangan membantunya. Ringan sama dijinjing berat sama
dipikul menjadi motto antartetangga.
d.
Apabila
dia sakit, kamu menjenguknya. Dalam kehidupan bertetangga, kepekaan sangat
dibutuhkan termasuk dalam konteks apabila salah satu tetangga jatuh sakit.
Ketika jatuh sakit, maka tetangga lainnya bersegera menjenguk. Dalam hubungan
bertetangga ini tidak ada diskriminasi atas nama agama, ras, suku dan golongan.
Semuanya lebur dalam ikatan persatuan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa
ketika tetangga Yahudinya sakit, Rasulullah saw. segera menjenguknya.
e.
Apabila
dia mati, kamu mengiring jenazahnya. Sebagaimana ketika menjenguk tetangga yang
sakit, maka ketika ada tetangga yang meninggal pun, kita dianjurkan untuk
mengiring jenazahnya dan ikut mengebumikannya.
f.
Jika
dia mendapatkan karunia nikmat, kamu memberikan selamat kepadanya. Kehidupan
bertetangga memang sangatlah dekat. Karena antar rumah hanya dipisah tembok
pembatas saja. Oleh karena itu, setiap tetangga akan sangat mudah mengetahui
nikmat yang tercurah kepada tetangganya. Dari situ, ia harus bisa memberikan
selamat kepada tetangga yang bersangkutan. Ia tidak boleh merasa dengki dan
berambisi untuk merebut nikmat tersebut.
g.
Jika
dia mendapat bencana, kamu hibur batinnya. Ketika tetangga terjerat musibah,
maka kita harus bergegas menghiburnya. Misalnya saja, ada salah satu sanak
familinya yang meninggal, maka sebagai tetangga kita harus segera bertakziah ke
rumahnya.
h.
Jangan
engkau meninggikan rumahmu melebihi rumahnya, sehingga menghalanginya dari
mendapatkan angin segar kecuali dengan izinnya. Kondisi ini umumnya dialami
oleh kita yang hidup di perkotaan. Lahan yang sempit memang mengharuskan kita
melakukan pelbagai hal untuk menyulap rumahnya agar lebih nyaman. Termasuk
meninggikan tembok rumah. Tentu saja hal ini tidak dilarang. Akan tetapi akan
lebih terhormat jika sebelumnya kita meminta perkenaan dari tetangga. Karena
bisa jadi ia terganggu dengan agenda kita itu. Angin segar yang biasanya
dinikmatinya sekarang harus hilang, gara-gara rencana kita.
Termasuk
dalam konteks meminta izin kepada tetangga adalah seumpama kita memiliki
rencana untuk melakukan renovasi rumah sehingga menimbullkan aktivitas yang
berisik, tentu kita memerlukan kerelaan tetangga. Setelah mendapat ketulusan
mereka, langkah kita menjadi lebih ringan. Dalam pelbagai aktivitas yang kita
lakukan, jika memang mengganggu tetangga maka sebaiknya meminta izin terlebih
dahulu.
Masih
terkait dengan urusan ini adalah larangan atas kita untuk melanggar batas-batas
tanah milik tetangga. Karena siapa yang melanggar tanah milik tetangga berarti
ia telah menzaliminya.
i.
Dan
jika kamu membeli buah-buahan, maka hadiahkanlah kepadanya. Dan kalau tidak
bisa menghadiahkan, maka masukkan buah-buaban itu ke rumah dengan
sembunyi-sembunyi. Dan janganlah anak-anakmu itu membawa keluar buah-buahan itu
untuk memanaskan hati anak tetanggamu.
Sungguh luhur akhlak yang diajarkan
Rasulullah saw. kepada kita semua. Beliau menginginkan kehidupan yang penuh
kasih sayang, harmonis, guyub, mesra dan saling pengertian antartetangga. Salah
satunya adalah dengan sering berbagi hadiah. Karena dengan berbagi hadiah maka
akan tumbuh rasa sayang. Dalam sebuah hadis beliau pernah bersabda, “Berbagi
hadiahlah kalian, maka kalian akan saling menyayangi.” Karenanya dalam
konteks ini, bila kita membeli sesuatu, maka hendaknya ada jumlah lebih untuk
bisa dihadiahkan kepada tetangga. Jika memang kita tidak bisa membeli lebih,
usahakan jangan sampai tetangga tahu apa yang kita beli. Anak-anak pun harus
kita kendalikan agar jangan sampai memamerkannya di hadapan anak tetangga
sehingga menyakiti hati mereka.
j.
Janganlah
kamu menyakitinya dengan bau periukmu kecuali berbagi dengannya. Maksudnya
tentu saja adalah senantiasa berbagi apa pun yang kita miliki dengan tetangga.
Sehingga laksana saudara sendiri, tetangga senantiasa mendapat nikmat yang kita
rasakan.
Rasulullah saw. bersabda kepada Abu
Dzar, “Wahai Abu Dzar, apabila kamu memasak sayur (daging kuah),
maka perbanyaklah airnya dan berilah tetanggamu.” (H.R. Muslim).
4. Memberikan rasa aman kepada
tetangga
Hal ini juga ditandaskan
oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya, "Demi Allah, tidak Islam seorang
hamba sehingga selamat semua orang dan gangguan hati tangan dan lisannya. Dan
tidak beriman seorang hamba sehingga aman tetangganya dari gangguannya".
Sahabat bertanya, “Apakah gangguan-gangguan itu, wahai Rasulullah Saw?' Beliau
bersabda, "Tipuan dan aniaya." (H.R. Abu al-Laits as-Samarkandi)
Dalam hadis lain,
Rasulullah saw. juga mengecam keras siapa pun yang mengganggu tetangganya
sehingga tetangganya seolah tidak memiliki rasa aman dalam kehidupannya
sehari-hari, "Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, dan
demi Allah tidak beriman". Para sahabat bertanya, "Siapakah yang
tidak beriman itu, ya Rasulullah?' Beliau menjawab, "Dialah orang yang
para tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya" (HR. al-Bukhari
dan Muslim)
5. Bersabar terhadap perilaku tetangga yang kurang baik
Dalam
kehidupan bertetangga sepatutnya masing-masing tetangga bisa memosisikan
dirinya secara tepat dan baik. Seorang tetangga mestinya bisa berlaku baik
kepada tetangganya. Kebaikan dari seorang tetangga seharusnya dibalas dengan
kebaikan pula. Air susu dibalas air susu. Begitu pula, jika tetangga berwatak
tercela, mayoritas pembalasan dari tetangga pun juga tercela. Air tuba dibalas
air tuba. Akan tetapi alangkah paling baik kalau kita sebagai seorang muslim
bisa membalas air tuba dengan air susu.
Kita bisa
bertindak baik dan terpuji dalam menghadapi perilaku tercela dari sang
tetangga. Ini tingkatan yang paling mulia. Melalui kesabaran dan keluasan hati,
kita tidak merasa jengkel jika diperlakukan secara zalim oleh tetangga. Kita
berupaya, dan terus berupaya untuk membalas keburukan dengan kebaikan. Inilah
tingkatan tertinggi dalam kehidupan bertetangga. Rasulullah saw. bersabda
“Ada tiga kelompok manusia yang dicintai Allah.... –disebutkan di antaranya-:
Seseorang yang mempunyai tetangga, ia selalu disakiti (diganggu) oleh
tetangganya, namun ia sabar atas gangguannya itu hingga keduanya dipisah oleh
kematian atau keberangkatannya.” (H.R. Ahmad)
- Akhlak kepada Kawan
Kehadiran teman merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan kita dengan
teman sangatlah dekat, bahkan seringkali lebih dekat ketimbang saudara sendiri.
Kepadanya, kita sering berbagi cerita, mencurahkan segala macam persoalan yang
menghimpit, menjalani suka duka dan lain sebagainya. Pendek kata, dengan teman
kita lebih intim bergaul. Laksana satu kesatuan, yang tak terpisahkan.
Mengingat begitu lekatnya
teman dalam kehidupan, kita perlu memahami akhlak yang telah digariskan Islam
ihwal bagaimana laiknya berinteraksi dengan teman. Dengan memahami tuntunan
tersebut diharapkan hubungan kita dengan teman bisa lebih mesra dan pertemanan
tersebut bisa membimbing kita menggapai ridha Allah.
1. Mengasihi dan berbuat baik kepada
teman
Allah berfirman: “Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.” (Q.S. an-Nisa': 36)
Dalam ayat tersebut
tergambar dengan jelas kewajiban untuk berbuat baik kepada teman sejawat.
Kebaikan kepada teman sejawat dituturkan oleh Allah secara berurutan dengan
kebaikan kepada orang tua, anak yatim, orang miskin, dan kerabat.
Artinya, prioritas teman untuk mendapat kasih sayang dan kebaikan dari
kita terletak setelah beberapa golongan di atas.
Namun begitu, bukan
berarti posisi teman sangat rendah atau dalam posisi terakhir untuk mendapat
kasih sayang dan kebaikan kita. Sebab, secara tersirat ayat tersebut ingin
mendorong tergeraknya hati kita untuk senantiasa melimpahkan kasih sayang dan
kebaikan kepada setiap makhluk yang dekat dengan kita, termasuk teman. Tak ada
pilih kasih dalam hal ini. Rasulullah saw. adalah panutan kita dalam segala
hal, khususnya interaksi beliau dengan sahabatnya. Kisah di atas hanya
sepenggal limpahan kasih sayang dan kebaikan beliau kepada para sahabatnya.
Masih ada segunung kebaikan yang tertumpah dari beliau yang agung kepada para
sahabatnya, yang tak sanggup kita gambarkan.
Cukuplah sebagai
informasi bahwa saking sayang dan dekatnya beliau kepada para sahabatnya maka
para sahabat seolah-olah merasa diri mereka yang paling dekat dengan beliau.
Masing-masing individu mengklaim dirinyalah yang paling dicintai Rasulullah
saw. Tak ada yang merasa dinomorduakan beliau. Semua merasa dinomorsatukan.
Memang, beliau menumpahkan kasih sayangnya secara merata, tak pilih kasih.
Semuanya mendapatkan jatah sendiri-sendiri, tak kurang tak lebih. Walhasil,
nampaknya tak berlebihan jika dikatakan bahwa inilah cermin puncak kasih sayang
beliau kepada sahabatnya sehingga semua orang merasa dikasihi dan disayangi.
Semua orang mengakui dianakemaskan oleh beliau!
2. Saling menasehati
Kewajiban utama kepada
teman adalah menanamkan pengaruh akhlak yang mulia, agar teman juga dapat
memperbaiki akhlak dan mempertebal imannya. Kalau dia sudah menjalankan hal
itu, maka kita pun mesti mendukungnya semaksimal mungkin. Sebaliknya, ketika
teman melakukan kesalahan dan penyimpangan, sudah menjadi kewajiban kita pula
untuk mengingatkan dan mengarahkannya menuju jalan yang lurus agar tidak
berlarut-larut. Tanpa itu, dikhawatirkan ia makin terpeleset dan tercebur dalam
kekeliruan. Jika sudah begitu, kita pun kena getahnya. Kita terimbas dosanya.
Sebab sebagai orang yang berdekatan dengannya dan mengetahui perbuatannya, kita
tidak segera mengoreksi langkahnya ketika keliru. Ini merupakan pengamalan dari
prinsip Islam awar ma'ruf nahi munkar (menyuruh pada kebaikan dan melarang dari
kemungkaran).
Sementara di sisi lain,
kita pun juga harus lapang dada ketika teman menegur kita karena kita bertindak
salah. Karena memang sudah tugasnya mengarahkan sahabatnya ke jalan yang benar
dan meluruskannya ketika bengkok. Alangkah indahnya kalau prinsip seperti ini
dapat diterapkan, sehingga kehidupan pertemanan dapat berlangsung harmonis dan
akrab.
Allah berfiman: “Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian. Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S.
al-'Ashr: 1-3)
Teguran atau nasihat yang
kita utarakan kepada teman haruslah disampaikan dengan cara lemah lembut dan
tidak menyakiti hati. Karena bukan tidak mungkin walaupun nasihat kita
mengandung unsur kebenaran, tetapi kalau disampaikan dengan cara yang salah,
maka ia tidak dapat menerima. Bisa jadi,
ia tersinggung dan jengkel.
Apabila teguran dan
nasihat sudah diberikan tetapi tidak mempan, dan ia masih bersikukuh dengan
perilakunya, maka kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita pasrahkan
sepenuhnya urusan ini kepada Allah. Hanya Dia yang berwenang memberikan
hidayah. Mandat kita sebatas menyampaikan nasihat. Tidak lebih. Kita hanya
berikhtiar agar tidak ikut arus sembari mendoakannya agar secepatnya memperoleh
petunjuk. Sembari masih tetap menjaga jalinan persahabatan dengannya.
3. Membantu teman
Tidak selamanya orang itu
berada dalam kondisi kecukupan dan kelebihan. Suatu masa dia pasti mengalami
kekurangan yang membutuhkan uluran tangan orang lain. Maka, di sini peran teman
lainnya sangat dibutuhkan. Entah itu bantuan berupa materi seperti uang,
misalnya, ataupun bantuan nonmateri seperti dorongan dan dukungan ataupun doa.
Akhlak Islam juga mengajarkan bahwa orang yang susah harus dibantu dengan
sekuat tenaga.
Mari kita lihat contoh
perilaku sahabat Anshar terhadap sahabat Muhajirin seperti yang dilaporkan oleh
Husain Haikal dalam bukunya Hayatu Muhammad. Ketika sahabat Muhajirin
hijrah bersama Nabi ke Madinah meninggalkan kampung halamannya, mereka tidak
membawa bekal apa-apa. Kondisi miskin dan papa itulah keadaan mereka pada waktu
itu, kecuali segrelintir sahabat saja yang memang dari asalnya dia kaya seperti
'Utsman bin 'Affan.
Menyaksikan kondisi
sahabatnya dalam kesusahan, tanpa basa-basi para sahabat Anshar pun segera
mengulurkan tangan. Setiap warga Anshar menampung satu orang Muhajirin di
rumahnya sembari mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Tanpa perhitungan,
mereka menumpahkan kemampuan dan harta miliknya untuk membantu sahabat. Harapan
mereka hanya agar kaum Muhajirin bisa berbahagia.
Namun, bukanlah sifat
seorang muslim kalau dia hanya menjadi beban bagi orang lain. Pantang disebut
sebagai pecundang karena terus menerus bergantung pada pundak orang lain,
sahabat Mujahirin dengan halus menolak uluran tangan yang dirasakan berlebihan
tersebut. Sahabat Muhajirin malah minta ditunjukkan pasar Madinah dan akan
langsung bekerja di sana dengan meminjam modal dari sahabat Anshar.
Dengan kernampuannya yang
luar biasa dalam berdagang, beberapa sahabat Muhajirin sudah bisa meraup laba
lumayan besar dalam waktu singkat, dan walhasil dengan cepat bisa mengembalikan
modal yang mereka pinjam. Sementara sebagian sahabat lainnya lagi ada yang
menjadi pekerja pada kebun-kebun kurma sahabat Anshar dengan imbalan bagi hasil
panen kurma. Demikianlah, mereka saling menolong. Dan akhirnya Rasulullah Saw
mengikat tali persaudaraan di antara mereka.
4. Kesetiakawanan
Tak yang melebihi
kesetiakawanan yang dianyam oleh para mujahidin di waktu perang Yarmuk meletus.
Adalah Hudzaifah al-Adawi, salah satu mujahidin untuk merangsek ke medan perang
untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi. Ia juga mengemban tugas untuk
memberikan minuman kepada para korban luka.
Ketika melihat sebagian
mujahidin terluka, segera Hudzaifah menghampiri salah satunya. Dibawanya bejana
air dan hendak dikucurkannya ke tenggorokan prajurit Allah ini. Namun ia
menolak ketika mendengar sahabatnya sesama mujahidin mengerang. “bawalah air
untuknya. Aku tidak lebih mulia dari jiwa siapa pun yang beruang di jalan
Allah”
Dengan hati teriris,
hudzaifah cepat-cepat mendatangi korban yang mengerang tadi. Ternyata ia ad
hisyam bin al-ash. “Semoga Allah merahmatimu wahai Hudzaifah” sambut Hisyam.
Belum sempat hudzaifah
mengangkat bejana air untuk memberi minum, tiba-tiba hisyam sudah menunjuk
mujahidin lain yang terluka. “bawalah air ini kepadanya. Ia lebih
membutuhkannya ketimbang aku” katanya.
Kembali dengan hati
nelangsa, Hudzaifah secepat kilat mendatangi mujahid ini. Malang sekali,
mujahid itu telah dipanggil Allah. Hudzaifah tercenung dan berdoa. Dengan sigap
ia melompat menuju Hisyam. Rupanya, Hisyam pun dengan senyum lebar telah
menjemput ajal. Dengan hati yang diliputi keharuan, Hudzaifah menghambur kepada
mujahid yang pertama tadi. Tapi, lagi-lagi, ia telah menjadi syahid.
Air mata Hudzaifah
meleleh. Rasa haru sekaligus bangga menyelimuti relung batinnya. Sungguh
kesetiakawanan yang tiada tara, pikirnya. Semoga Allah senantiasa menumpahkan
nikmat-Nya kepada mereka, doanya.
5. Mendamaikan teman yang sedang
berselisih
Dalam kitab Riyad
ash-Salihin, Rasulullah Saw bersabda: “Setiap orang yang mendamaikan
orang lain yang berseteru, maka baginya pahala sedekah setiap hari pada saat
matahari terbit di mana dia bisa mengkompromikan antara dua orang dengan adil”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sungguh besar pahala yang
dijanjikan kepada siapa saja yang bisa merekatkan kembali tali pertemanan yang
sedang renggang. Sebab, tindakan tersebut memang tidak mudah. Ada resiko yang menghadang di depan. Bila
tidak berhasil, ia bisa dimaki kedua belah pihak. Bermacam tudingan buruk
mengarah padanya walaupun ia berniat baik. Dibilang tidak adil, berat sebelah,
punya niat buruk dan macam-macam. Jika mau berhasil, ia harus mengacuhkan itu
semua dan menata niat. Dengan mendamaikan dua pihak yang berselisih, ia telah
menjegal langkah setan. Pasalnya, setan paling suka melihat pertengkaran sesama
muslim. Namun bila muslim itu sudah terdamaikan, ia pun masygul.
6. Toleransi kepada teman
Dalam konteks kehidupan
bermasyarakat di Indonesia yang begitu majemuk, tidak semua teman yang kita
punya tergabung dalam satu agama dengan kita. Adakalanya teman kita juga
berasal dari orang yang tidak satu agama. Dalam hal ini Islam menggariskan
akhlak toleransi kepada teman yang tidak muslim, karena memang agama itu tidak
dapat dipaksakan kepada orang lain. Masing-masing orang mempunyai hak untuk
memilih agama sekehendak hatinya. Allah berfirman: “Untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku” (Q.S. al-Kafirun: 6)
- Akhlak kepada Non-Muslim
Bertolak
dari pemahaman bahwa keberadaan kaum non muslim merupakan ketentuan Allah yang
Mahamutlak sekaligus teladan Rasulullah saw. yang senantiasa berlaku welas asih
kepada siapa saja, maka dalam berinteraksi dengan non-muslim pun telah
digariskan sejumlah akhlak. Dengan memahami dan menindakkan akhlak tersebut
dalam kehidupan nyata, berarti seorang muslim telah menaikkan derajatnya dalam
sifat santun, welas asih dan ramah kepada pemeluk agama lain.
Namun
perlu dicatat oleh kita semua bahwa akhlak terhadap non-muslim ini hanya
berlaku kepada kalangan non muslim zimi. Dalam bahasa fikih disebut dengan
kafir zimi. Kafir jenis ini adalah kafir yang memiliki semangat untuk hidup
berdampingan dengan kuam muslimin. Mereka mencita-citakan hidup yang dilandasi
semangat toleransi dan saling menghormati. Antara mereka dengan kaum muslimin
terjalin perjanjian –tertulis maupun tidak- untuk mewujudkan keharmonisan
hidup. Kondisi ini tentu berbeda dengan golongan kafir harbi. Golongan ini
adalah kafir yang senantiasa memusuhi kaum muslimin. Hidup mereka tidak tenang
kalau tidak merongrong dan merusak kehidupan kaum muslimin. Karenanya, setiap
hari selalu timbul ketegangan antara mereka dengan kaum muslimin. Untuk
golongan ini, perlakuan kaum muslimin harus tegas. Layaknya terlibat dalam
kecamuk peperangan, kaum muslimin harus menundukkan mereka.
Berikut
ini akhlak terhadap non muslim:
1.
Menghormati keyakinan non muslim
Sebagai
seorang muslim kita memang boleh mengklaim agama kita paling benar di antara
semua agama. Bahkan hal itu wajib kita tancapkan dalam lubuk sanubari. Dengan
begitu, kualitas keimanan yang tertancap dalam batin kita telah mantap dan
mendarahdaging. Kalau kita sendiri tidak yakin pada kebenaran keimanan yang
kita anut, tentunya tauhid kita perlu diragukan. Jadi, sekali lagi, keyakinan
tersebut mesti terpaku kuat. Akan tetapi, hendaknya keyakinan tersebut hanya
ditandaskan secara internal. Kita tidak perlu mengungkapkan kemutlakan agama
kita kepada pihak lain (non muslim). Peneguhan bahwa Islam adalah agama yang
paling benar sepatutnya berlaku dalam level penghayatan, bukan dalam interaksi
dengan pemeluk agama lain.
Sebab
kaum non muslim juga memiliki keyakinan serupa. Dalam lubuk sanubari terdalam,
mereka meyakini bahwa hanya agama mereka yang paling benar. Agama lain keliru,
termasuk agama Islam. Keyakinan yang sudah terpaku di alam kesadaran ini tidak
akan tergoyahkan oleh apa pun. Karenanya, ketika ada stimulan dari luar mereka
yang menyatakan bahwa agama tertentu paling benar, tentu mereka dengan spontan
bereaksi menyangkalnya. Secara mutlak mereka mengklaim bahwa agama merekalah
yang paling benar dan mengantar ke surga yang abadi. Akibatnya, di sini ada dua
klaim kebenaran agama yang berbenturan. Jika sudah bertabrakan maka akan
menimbulkan ketegangan, dan bukan tidak mungkin memantik konflik. Padahal
konflik dan kekerasan dalam bentuk apa pun, tentu tidak kita inginkan.
Karena
itu, langkah yang paling selamat dalam menyikapi perbedaan keyakinan antara
kita sebagai muslim dengan non muslim adalah saling menghormati keyakinan. Kita
meyakini kebenaran keyakinan kita. Mereka pun dipersilahkan meyakini kesejatian
keyakinannya. Sikap ini ditunjukkan oleh Rasulullah saw. ketika diajak oleh
pembesar musyrik untuk mencampuradukkan agama. Beliau mengungkapkan bahwa kami
akan mengerjakan risalah agama kami, dan anda pun diperbolehkan mengerjakan
keyakinan anda.
Hal
ini dipertegas Allah: “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan
yang aku sembah. Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku
sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku." (Q.S. al-Kafirun [109]: 1-6)
2. Larangan
menghina sesembahan non muslim.
Kehidupan
antar pemeluk agama memang sangat rentan dengan konflik terutama konflik yang
berbau teologis, sebab masing-masing agama mengklaim bahwa Tuhannyalah yang
paling sejati. Masing-masing pemeluk agama berkeyakinan dan menegaskan bahwa
Tuhanyalah yang Mahakuasa, Mahamulia dan Maha-Maha yang lain. Perdebatan kusir
pun sering kali berlangsung untuk mempertahankan keyakinannya masing-masing.
Akibatnya, sering kali muncul hujatan dari salah satu pemeluk agama kepada
sesembahan agama lain. Cibiran dan olokan dari suatu pemeluk agama berhamburan
kepada sesembahan pemeluk agama tertentu. Tentu saja tindakan tersebut
menyakitkan pemeluk agama agama yang disasar. Sebagai balasannya, mereka pun
melontarkan tindakan serupa. Mencibir, mengolok dan meremehkan. Akibatnya
praktik saling mengolok menjadi semarak.
Praktik
mengolok sesembahan atau tuhan agama lain sangat ditentang oleh Islam. Walaupun
seorang muslim berkeyakinan bahwa Islam adalah agama paling benar dan Allah
adalah Tuhan sejati, tiada tuhan selain Dia, namun bukan berarti ia boleh
mengolok tuhan agama lain. Ia tak boleh mencibir tuhan agama Kristen, Yahudi,
Budha, Hindu dan lain sebagainya. Lisannya perlu dikunci rapat-rapat dari
ucapan yang bernada sindiran atau olokan. Allah berfirman: “Dan janganlah
kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”(Q.S.
al-An'am [6]: 108).
Dari ayat di atas
tergambar jelas sekali bahwa larangan mencibir pemeluk agama lain didasarkan
alasan agar hal itu tidak menjadi senjata makan tuan. Sama sekali tidak
diharapkan, kaum non muslim melontarkan olokan dan cibiran serupa kepada Allah,
Tuhan alam semesta. Padahal mereka melemparkan hujatan dan olokan itu
semata-mata didasarkan emosi dan ketidaktahuan. Karena itu, dalam interaksi
antar agama diharuskan adanya saling pengertian dan menghindari praktik hujat
menghujat, dan olok mengolok.
3. Toleransi
pada keyakinan masing-masing
Termasuk menghormati
keyakinan agama lain adalah tidak memaksa non muslim untuk memeluk Islam. Dalam
bingkai kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia ini, terdapat beberapa agama
yang diakui secara resmi oleh Negara. Semua pemeluk agama tersebut berhak untuk
menjalankan ritualitas agamanya secara bebas dan terhormat. Demikian juga,
seluruh pemeluk agama diharuskan menghormati pemeluk agama yang lain, sehingga
bisa terwujud kehidupan yang harmonis, indah dan penuh pengertian.
Dalam ideologi bangsa
Indonesia, Pancasila, termaktub sila pertama yang berbunyi Ketuhanan yang Maha
Esa. Artinya, seluruh warga Indonesia adalah orang-orang yang beragama atau
memeluk satu agama. Negara tidak mengakui adanya orang ateis di hidup di negara
ini. Penganut faham komunis dan Marxisme
yang anti-agama tidak diakui keberadaannya di negara ini. Karenanya, pasca
kemerdekaan, kaum tidak beragama ini ditumpas oleh pemerintah.
Mengingat bahwa tidak ada
orang Indonesia yang tidak beragama, semuanya memeluk agama tertentu, maka
seharusnya masing-masing lebih concern mengurusi agamanya sendiri-sendiri.
Artinya, tidak arif bila ada seorang pemeluk agama mengusik kedamaian dan
ketenteraman agama lain. Sepatutnya ia menyibukkan diri dengan ritualitas
ibadahnya sendiri-sendiri. Di sisi lain, aktivitas dakwah yang digalakkan di
republik ini sebaiknya disasarkan pada kalangan internal pemeluk agama
tersebut. Kita sebagai kaum muslimin, memiliki kewajiban untuk berdakwah. Akan
tetapi makna dakwah tersebut bukannya mengajak pemeluk agama lain untuk memeluk
agama Islam. Karena dalam konteks Indonesia, hal tersebut sangat rawan memicu
konflik. Demikian pula sebaliknya, kaum non muslim juga dilarang keras untuk
merecoki dan mengusik kedamaian kaum muslimin. Mereka dilarang berdakwah untuk
mengajak kaum muslimin menjadi murtad.
Sebaiknya dakwah kita
lebih ditujukan untuk mencerdaskan dan meningkatkan kualitas keagamaan kaum
muslimin sendiri. Masih banyak lahan-lahan dakwah di kalangan umat Islam yang
masih belum tergarap. Akan tetapi, lain lagi masalahnya bila ada orang
non-muslim yang ingin mengetahui risalah Islam. Sebagai seorang muslim, kita
berkewajiban untuk menjabarkannya secara tuntas. Kita harus mendakwah Islam
secara maksimal. Dengan begitu, kita berhap risalah Islam bisa masuk ke dalam
kalbunya. Kita perlu menyampaikan risalah Islam secara lemah lembut dan sarat
hikmah. Kalaupun terlibat dalam sebuah perdebatan, maka berdebatlah dengan
penuh kesantunan. Allah berfirman: “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. an-Nahl [15]:125)
Kewajiban
seorang muslim dalam berinteraksi dengan muslim lain adalah memperlihatkan
toleransi yang sangat tinggi. Sebab bukan tidak mungkin ketika seorang muslim
memperlihatkan perilaku yang santun, beradab, penuh toleransi kepada kaum non
muslim, maka mereka akan tertarik sendiri untuk memeluk Islam, dengan hidayah
Allah. Banyak sekali contoh dalam sejarah yang melukiskan betapa perilaku dan
gerak gerik yang mulia merupakan sarana paling efektif untuk berdakwah. Dakwah
dengan perbuatan lebih mujarab dibandingkan dakwah lisan. Rasulullah saw.
adalah sosok yang berbudi pekerti luhur. Karena itu banyak sekali kaum
musyrikin yang insyaf dari kemusyrikannya dan memeluk agama Islam begitu
melihat ketinggian akhlak beliau. Padahal beliau tidak pernah mendakwahinya
agar masuk Islam. Akan tetapi keanggunan tingkah lakunya telah memancarkan
pesoan tersendiri.
Dakwah
Islami bukanlah dakwah yang disertai dengan pemaksaan dan kekerasan. Islam
sangat anti kekerasan. Sepanjang hidupnya, Rasulullah saw. tidak pernah
memaksakan risalahnya kepada orang lain. Sebab Allah telah menandaskan dalam
Al-Qur'an bahwa agama tidak bisa dipaksakan: “Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan
yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS
al-Baqarah [2]:251)
Toleransi
dalam kehidupan beragama ini juga seyogianya diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari dengan menghormati praktik beragama pemeluk lain. Ketika, misalnya,
pemeluk agama Kristen sedang menjalankan ritual misa di hari minggu maka
seluruh muslimin dilarang menggangu atau mengusik kekhusyukan ibadah tersebut.
Sebaliknya, ketika seorang kaum muslimin sedang menunaikan salat, maka pemeluk
agama lain dilarang melakukan tindakan yang bisa mengusik ketenangan beribadah.
Hendaknya masing-masing saling menghargai. Karenanya, praktik toleransi yang
diterapkan oleh sebagian masyarakat Indonesia ini sangat baik. Ketika sedang
marak-maraknya pengeboman gereja-gereja oleh kalangan yang tidak bertanggung
jawab, maka di malam natal, pasukan Banser bersama Polisi turut serta menjaga
keamanan. Potret toleransi yang sangat tinggi.
4. Tolong
menolong dan bekerja sama dengan non muslim
Akhlak
Islam terhadap pemeluk agama lain memang sangat maju. Selain bersikap toleran,
kaum muslimin juga diharapkan bisa saling menolong dengan orang non muslim atau
kafir zimi, yakni kafir yang hidup berdampingan dengan umat Islam.
Tolong-menolong
tersebut berlaku dalam semua ranah kehidupan, kecuali bidang agama. Artinya,
kaum muslimin diperkenankan bahu membahu dengan kaum non muslim untuk memajukan
pendidikan, ekonomi, kebudayaan, politik, dan aspek-aspek kehidupan yang lain.
Kaum muslimin dipesilahkan gotong royong dengan kaum muslim untuk membangun
jalan, memperbaiki saluran air, membersihkan sampah-sampah yang berserakan,
umpamanya. Seluruh kegiatan kemasyarakatan bisa digarap secara bahu membahu.
Sepanjang hal itu demi kemaslahatan bersama, maka para pemeluk agama bisa
berpartisipasi aktif. Karena dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dibutuhkan
kesetiakawanan dan persatuan. Namun, menyangkut urusan agama, yang bisa
dikatakan urusan “rumah tangga”, maka masing-masing pihak berjalan
sendiri-sendiri.
Dalam
ranah ekonomi pun dipersilahkan untuk menjalin ikatan perniagaan dengan non
muslim. Dalam sebuah kisah, Rasulullah saw. pernah menggadaikan baju besinya
kepada seorang Yahudi untuk ditukar dengan bahan makanan. Praktik ini jelas
menjadi cermin bagi kita betapa Rasulullah saw. sendiri menggalang kerjasama
yang harmonis dengan kaum non muslim. Allah berfirman: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, aka mereka itulah orang-orang yang
zalim.” (QS. al-Mumtahinah [60]:8-9)
Husain
Haikal menceritakan bahwa ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, ternyata
kota itu sangat majemuk. Selain para sahabat Anshar yang telah memeluk Islam,
di sana juga ada sejumlah pemeluk agama lain seperti Yahudi dan Nasrani. Tetapi
di antara kaum non muslim ini, yang paling banyak adalah Yahudi. Dengan
berkembangnya Islam di seluruh penjuru Madinah, maka beliau ditahbiskan sebagai
pemimpin di kota itu, bahkan pemimpin untuk seluruh kaum muslimin di masa itu.
Sebagai pemimpin, kebijakan yang beliau terapkan sangat toleran kepada pemeluk
agama lain. Tidak ada pemaksaan kepada semua penduduk Madinah untuk masuk agama
Islam. Walaupun seandainya beliau berkenan, bisa saja behau menerapkan
kebijakan seperti itu.
Tetapi
dalam faktanya masing-masing penduduk diberikan kebebasan untuk memeluk agama
yang diyakininya benar. Bahkan lebih dari itu, beliau juga mengikat perjanjian
dengan para pemeluk agama lain di Madinah agar tercipta iklim keberagamaan yang
kondusif dan harmonis. Perjanjian itu populer disebut sebagai Piagam Madinah
yang pada intinya mempertahankan sikap saling menghormati dan tidak saling
mengganggu antara pemeluk agama. Rasulullah saw. berusaha sekuat tenaga
menepati isi perjanjian tersebut, walaupun pihak-pihak lawan malah
mencabik-cabik dan melanggarnya.
6.
Senantiasa berbuat adil
Khalifah
ali bin abi thalib suatu ketika kehilangan baju besinya. Beberapa hari
kemudianketika sedang berjalan-jalan di pasar, ia melihat baju itu di tangan
seorang yahudi. Ia menanyakannya. Akan tetapi si yahudi berkeras mengakui bahwa
itu adalah miliknya sendiri. Keduanya ngotot dengan pendirianya masing-masing.
Akhirnya masalah ini dibawa ke pengadilan. Pengadilan itu dijalankan dengan
menggunakan system Islam. Hakimnya pun beragama Islam.
Hakim
menanyakan kepada Ali apakah punya saksi. Ali menjawab bahwa Hasan, putranya,
cuma melihat ketika baju besi itu akan hilang. Namun kesaksian itu dianggap tak
kuat oleh hakim. Selain itu, kesaksian dari pihak keluarga tertolak. Karena tak
ada bukti, akhirnya Ali dikalahkan dalam kasus ini. Walaupun seorang khalifah,
ia harus tunduk pada keputusan hukum. Si yahudi dimenangkan dan berhak memiliki
baju besi itu.
Tentu
saja si Yahudi kaget melihat keputusan itu. Sungguh adil pengadilan Islam. Ia
pun mengaku bahwa sebenarnya baju itu milik Ali. Karena menyaksikan sendiri
keadilan Islam, walaupun kepada non muslim, si Yahudi ini menyatakan diri masuk
Islam.
Keadilan
adalah sebuah hal yang mutlak tanpa mengenal agama dan kulit. Ketika misalnya,
hakimnya adalah muslim sedangkan pihak yang berseteru adalah muslim dan orang
non-muslim, maka di sini hakim tersebut harus berlaku adil. Kalau memang
non-Muslim salah haruslah dihukum, begitu juga kalau muslim salah dia pun tidak
boleh segan untuk menjatuhkan hukuman. Jangan sampai perbedaan agama, bisa
mengubah putusan yang semestinya dijatuhkan. Allah berfirnan, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Maidah [5]:8)
7. Larangan menzalimi dan melanggar
hak non muslim
Dalam kehidupan dengan
non muslim, seorang muslim wajib menghormati setiap hak non muslim. Diharamkan
baginya melanggar segala hak non muslim,baik hak hidup, hak milik dan
sebagainya. Ia juga dilarang menzalimi non muslim.
Sebab Rasulullah saw.
bersabda "Ingatlah siapa
yang menzalimi kafir mu'ahid, mengurangi haknya, membebani di luar batas
kemampuannya, atau menjarah hak miliknya tanpa perkenan darinya, maka akulah
musuhnya di hari kiamat."
8. Mengunjungi non muslim yang sakit
dan mendoakannya
Dalam interaksi
kemanusiaan, pembesukan terdapat orang sakit memiliki nilai yang sangat
berharga. Karena itu, salah satu akhlak Islam adalah membesuk non muslim yang
sakit. Tidak hanya saudara muslim saja yang dijenguk, tetapi juga non muslim,
jika masih ada hubungan dengan kita.
Menurut informasi Anas
bin Malik. Rasulullah saw. memiliki pembantu dari kalangan Yahudi. Ia masih
muda. Suatu ketika, sang pembantu jatuh sakit. Segera Rasulullah saw.
menengoknya dan mendoakan kesembuhannya.
Bahkan dalam riwayat
lain, Rasulullah saw. mendoakan seorang Yahudi yang meminta didoakan oleh
beliau. Dari Ibrahim, datanglah
seorang Yahudi kepada Rasulullah Saw. dia berkata, "Doakan aku".
Beliau berdoa, "Mudah-mudahan Allah memperbanyak harta dan anakmu,
menyehatkan tubuhmu dan memanjangkan umurmu".
9. Menghormati jenazah non muslim
Jabir bin ‘Abdillah menceritakan: Suatu hari kami melihat jenazah.
Kemudian Rasulullah Saw berdiri untuk menghormat padanya, kami pun ikut
berdiri. Kami menjelaskan, "Wahai Rasulullah Saw itu adalah jenazah
orang Yahudi". Beliau bersabda, “kalau kalian melihat jenazah maka
berdirilah.”
Sebagai sosok teladan, Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita
bersikap kepada orang non muslim. Beliau memberikan penghormatan yang sangat
agung kepada setiap manusia, apa pun agamanya. Terbukti dalam riwayat di atas
diketengahkan ajaran bagaimana beliau berdiri ketika ada jenazah sedang diantar
ke liang lahat. Ketika arak-arakan itu lewat dengan sigap beliau berdiri untuk
memberikan penghormatan terakhir. Nampaknya beliau tidak peduli jenazah
siapakah itu. bahkan ketika sahabatnya mengingatkan bahwa itu jenazah Yahudi
(non muslim), beliau tidak bergeming dan memerintahkan para sahabat untuk
melakukan tindakan serupa.
Kontekstualisasi Akhlak
UII sebagai lembaga
pendidikan tinggi berfungsi untuk mencetak al-insân al-muta’allim
(manusia terpelajar) yang menyadari eksistensinya sebagai abdullâh dan khalifatullâh.
Dalam konteks ini manusia terpelajar (al-insân al-muta’allim) membangun
relasi dalam empat faktor: dengan Allah (al-khâliq), dengan alam (al-kaun),
dengan sesama manusia (an-nâs), dan dengan kehidupan (al-hayât).
1. Relasi dengan al-Khâliq
Relasi
manusia terpelajar (al-insân al-muta’allim) dengan al-khaliq merupakan
relasi penghambaan (alâqat al-ubûdiyah). Inilah yang menjadi tujuan pokok
dari penciptaan manusia (al-Zariyat ayat 56-58). Ibadah yang menjadi tujuan
dapat mengimplementasikan ketaatan yang prima (kamal al-tha’ah) yang disebabkan
karena kecintaan yang sempurna (kamalul mahabbah), rasa optimis yang
maksimal (kamalul roja’) dan rasa takut yang mendalam (kamalul khauf).
Untuk sampai kepada kecintaan ini dan asesorisnya diperlukan ilmu pengetahuan
dan kompetensi keahlian yang maksimal dan ditekuni (Q.S. Fathir ayat 28).
Ibadah yang
menjadi bagian yang lekat dengan al-insan al-muta’allim ini mempunyai
tiga manipestasi pokok yaitu manipestasi keagamaan (mazhar dini),
manipestasi sosial (mazhar ijtima’i), dan manipestasi kealaman (mazhar
kauni).
Manipestasi
keagamaan temanya terpusat pada hubungan manusia muslim dengan sang Pencipta.
Sedangkan manipestasi social adalah komitmen muslim dengan ketentuan-ketentuan
Tuhan seputar hubungan personal dengan masyarakat dan kehidupan social.
Sedanglan manipestasi kealaman temanya terpusat pada pengarahan sang Pencipta
seputar hubungan personal dengan jagad raya.
Aplikasi mazhar
dini adalah pengenalan dan pengetahuan manusia terpelajar dengan Allah SWT
dan semua bentuk ibadah mahdah lainnya. Sedangkan mazhar ijtima’I akan
melahirkan solidaritas social. Sedangkan mazhar kauni akan mendorong
manusia terpelajar untuk memikirkan dan merenungi sekaligus meneliti
ciptaan-ciptaan Tuhan.
Berangkan dari
pemahaman ibadah seperti ini akan lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan tidak
hanya ulum diniyah, ulum ijtimaiyah dan ulum kauniyah (ilmu-ilmu keagamaan,
ilmu social dan ilmu kealaman), melainkan ilmu yang tidak terbatas secra
kuantitatif dalam bingkai ilmu-ilmu pengetahuan.
Ketiga
manipestasi ini saling melengkapi dan saling berkolaborasi dalam kehidupan
seseorang. Pemisahan terhadap ketiga mazhar ini akan mengakibatkan kekacauan,
setidakanya yaitu:
§ Membatasi
konsep ibadah hanya pada mazhar dini akan mengakibatkan
kealfaan/kelalaian terhadap mazhar ijtima’I dan mazhar kauni.
Sehingga ilmu-ilmu social dan kealaman menjadi terabaikan.
§ Membatasi
konsep ibadah pada mazhar dini akan memisahkan tujuan dengan sarana (al-goyat
dengan al-wasail), atau mengedepankan tujuan dan melupakan sarana. Hal ini akan
berimplikasi pada merajalelanya sikap tawakkal, malas dan sikap fatalistic,
tidak ada kreasi dan inovasi dalam komunitas masyarakat beragama. Hal ini
menyebabkan melemahnya produksi dalam berbagai aspek dan menghindarnya manusia
dari tanggung jawab.
Kesulitan
bahkan mustahil merealisasikan tujuan karena terpisahnya dari sarana. Artinya
akan mempersulit penanaman nilai-nilai keagamaan pada komunitas yang kurang
menghayati agama. Akibatnya kehidupan mereka akan jauh dari nilai-nilai
relegius. Kenyataan ini menjadi pemandangan di tengah komunitas muslim saat
ini.
2. Relasi dengan Alam
Hubungan
Manusia terpelajar dengan al-Kaun merupakan hubungan eksploitasi (‘alaqah
taskhir). Al-Kaun merupakan kitab terbuka untuk meneliti dan memahami
sifat-sifat Tuhan. Pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan akan melahirkan
al-mahabbah al-kamilah yang akan menuntun kepada at-tha’ah al-kamilah. Al-Kaun
adalah merupakan laboratorium untuk meneliti kebenaaran wahyu dan membuktikan
kejujuran Nabi. Dalam al-kaun manusia terpelajar meneliti perbuatan, sifat dan
asma Tuhan. Di dalam al-kaun manusia terpelajar dapat mengungkap tanda-tanda
kebesaran Tuhan dalam aturan-aturan yang rapid an anggun. Semua ini adalah ilmu
pengetahuan yang jika diungkap oleh manusia dengan rasio dan indranya akan
menjadikan kebenaran wahyu akan semakin terbukti. Wahyu dan al-kaun
adalah dua bagian dalam satu buku: bagian pertama menyajikan “Ayatullah fi
al-Kitab” dan bagian kedua menyajikan “ayatollah fi al-afaaq wa al-anfus” (Ali
Imran ayat 190, Fussilat 53).
Taskhir artinya
bahwa Allah memberikan manusia kemampuan untuk menjadikan alam mengabdi kepada
kepentingan manusia dan menelitinya. Hal ini hampir hilang dari komunitas
muslim selama berabad-abad, akibatnya mereka tidak merasakan dosa sama asekali
jika mereka memberlakukan al-kaun dan berinteraksi dengannya dengan cara tidak
waajar, akibat lain tata lingkungan menjadi rusak, lebih fatal lagi mereka
tidak merasa berdosa dengan prilaku ini, karena mereka memahami konsep dosa
terbatas pada pelanggaran aspek agama dan moral.
3. Relasi dengan Sesama Manusia
Hubungan
Manusia dengan manusia merupakan hubungan ‘adlin dan ihsan. Hubungan
ini merupakan terjemahgan aplikatif dari manipestasi social (mazhar ijtima’i)
bagi umat manusia. Hubungan ini sesungguhnya tunduk pada kaidah umum yang
ditetapkan al-Qur’an (Lihat Surat al-Nahal ayat 90).
‘Adl artinya al-insof
(keadilan dan kejujuran). Sedangkan al-ihsan artinya al-Tafadh-dhul
(berbuat baik dengan penuh kesopanan). Adil adalah batas minimal hubungan
antara sesama manusia. Kurang dari batas tersebut dapat diterima jika terjadi
pertentangan yang membawa emosional dan membawa sikap marah yang mengakibatkan
kesewenang-wenangan dan ketidak adilan (al-jur dan al-zulm).
Adil merupakan
suatu wilayah yang satu dengan yang lain lebih luas dan bertingkat sesuai
dengan sesuatu yang dihadapi. Wilayah pertama berprilaku adil terhadap diri
sendiri, menyusul berbuat adil pada keluarga. (Lihat Surat al-Nisa’ ayat 3).
Kemudian adil dalam wilayah kerabat dekat (al-qurba) (al-An’am ayat 152).
Menyusul kemudian adil dalam wilayah umat atau masyarakat yang di dalamnya
merupakan kumpulan dari individu atau kelompok (lihat Surat al-Hujarat ayat 9).
Terakhir adil dalam wilayah kemanusiaan secara menyeluruh (lihat Surat an-Nisa’
ayat 58).
Sikap dan
perilaku adil dalam semua wilayah ini dituntut dalam berbagai situasi dan
kondisi, termasuk terhadap musuh dan teman, pada saat-saat bermusuhan, atau
hubungan sedang baik atau buruk. Meluas dan meratanya hubungan keadilan
menunjukkan kematangan, kesempurnaan dan istiqomah. Sehubungan dengan ini lihat
Surat al-Nahal ayat 76).
Adapun hubungan
al-ihsan dalam arti berbuat kebaikan pada sesame merupakan suatu naluri
manusia. Ia adalah merupakan hubungan dimana Allah memotivasi manusia untuk
berlomba-lomba dalam bidang dan kompetensi masing-masing. Al-Ihsan akan
mengembalikan manusia kepada karakter aslinya yaitu persodaraan dan solidaritas
social. Al-Qur’an banyak mengisyaratkan makna ini (lihat al-A’raf ayat 199, 200,
Surat al-Mu’minun ayat 96 s/d 98, Surat Fussilat ayat 34-36).
Terkait dengan
3 ayat dalam Surat Fussilat ini Ibn Kasir berkata: ini adalah tiga ayat, tidak
ada empat dalam maknanya yaitu bahwa Allah memerintahkan berbuat baik pada
musuh dan berprilaku ihsan dalam upaya mengembalikan karakter aslinya. Alloh
juga memerintahkan manusia agar berlindung kepada-Nya dari musuh syetan, karena
syetan tidak akan pernah menerima sikap baik manusia dan prilaku ihsan agar
manusia tidak terjerumus nista karena permusuhan antara manusia dan syrtan
sangat tajam. (Ibn Kasir, Tafsir hal. 1/13).
Ihsan juga
bertingat seperti halnya keadilan. Ihsan wilayah pertama adalah terhadap diri
sendiri, menyusul ihsan terhadap keluarga (kedua orang tua, anak dan
isteri/suami), menyusul ihsan pada masyarakat dan kepada manusia secara
keseluruhan (lihat al-Baqarah ayat 83). Ihsan juga diterapkan dalam berbagai
keadaan. Berbuat ihsan sesame manusia akan melahirkan masyarakat yang
bercirikan mahabbatullah, dan memperoleh pahala di dunia dan akhirat, rizki
yang berlimpah, rahmat yang turun, kenikmatan dan kekuatan di dunia, magfiroh
dan al-hikmah, ilmu dan kedamaian, dan rasa aman dan lain-lain.
4. Relasi dengan Kehidupan
Hubungan
Manusia dengan kehidupan (al-hayat) merupakan ‘alaqah Ibtila’ (hubungan ujian
dan cobaan). Hubungan ini juga ada hubungannya dengan hubunagan manusia dengan
Tuhan (‘alaqh ibadah), dan ini merupakan bentuk lain dari al-mazhar
al-ijtima’I yang akan membentuk kamal al-tho’ah.
Ibtila’ artinya imtihan
dan ikhtibar (ujian) yaitu ujian dalam kontek ibadah dengan dua aspeknya
yaitu kamal al-mahabbah dan kamal at-tho’ah. Jika hubungan al-insan dengan
al-kaun berorientasi pada pembuktian kemahakuasaan Allah dan agar lebih
meyakini apa yang terkandung dalam al-Risalah yang akan mewariskan
mahabbatullah dan mengagungkan kebesaran-Nya, maka yang dituntut dari ‘alaqoh
ibtila’ adalah pengargumentasian terhadap al-mahabbah kepada Allah dan
implementasinya secara riil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar