Kamis, 24 April 2014

ULUMUL QUR'AN: AKHLAQ PERSPEKTIF QUR'AN



Akhlak dalam Perspektif Al-Qur'an



Segala perbuatan yang dilakukan manusia tidak terlepas dari konsep akhlak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup akhlak sangat luas. Kata akhlak memiliki kemiripan makna dengan etika, moral, dan budi pekerti, sehingga makna akhlak sering disamakan dengan etika, moral, dan budi pekerti.
Ruang lingkup akhlak dalam pandangan syariat Islam sangat luas. Akhlak tidak hanya membahas masalah etika pergaulan dan sopan santun saja, tetapi meliputi pola pikir, selera, pandangan, sikap, perilaku, kecenderungan, dan keinginan yang ada pada seseorang.
Ketika Aisyah r.a. ditanya tentang akhlak Rasulullah saw., beliau menjawab bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup umat Islam meliputi semua aspek kehidupan. Misalnya, muamalah, ibadah, hukum, dan  sosial. Jadi, berdasarkan pernyataan Aisyah r.a., bisa diambil kesimpulan bahwa ruang lingkup akhlak tidak terbatas, karena semua sikap, tindakan, perilaku dan apa pun yang dikerjakan manusia, tidak bisa lepas dari masalah akhlak.
Semua yang dilakukan dan diajarkan oleh Rasulullah saw. menjadi teladan bagi umatnya. Karena itulah, akhlak Rasulullah harus diteladani. Allah swt. dengan tegas memerintahkan hal ini dalam Surah al-Ahzab [33]: 21: Sungguh,  telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.
Dalam Islam, akhlak mempunyai ruang lingkup yang lebih luas. Selain terkait dengan muamalah, akhlak dalam Islam juga meliputi masalah ibadah, sosial, hukum, dan lain-lain. Salah satu contohnya, yaitu akhlak terhadap Allah swt. Misalnya, adanya kewajiban menjalankan rukun Islam dan rukun iman. Ketika sudah melaksanakan syahadat, salat, dan puasa, berarti kita dikatakan berakhlak terhadap Allah swt.
Suatu perbuatan dikategorikan sebagai akhlak, jika bersifat alami dan dilakukan karena tidak sengaja. Hadis riwayat Ibnu Majah berikut memberi gambaran kepada kita tentang konsep akhlak: innallâha tajâwaza 'an ummatî al-khatha'a wa mâstakrihû 'alaihi (Bahwasanya Allah memaafkanku dan umatku yang berbuat salah, lupa, dan dipaksa).
Begitu juga hadis riwayat Ahmad berikut: rufi'a al-qalam 'an an-nâimi hattâ yastaiqidhu wa 'an al-mubtalâ hattâ yabra'a wa 'an ash-shabiyyi hattâ ya'qila (Hukum dibebaskan atas tiga golongan, yaitu orang gila hingga ia sembuh dari gilanya, orang yang tidur hingga  bangun dari tidurnya, dan anak kecil hingga menjadi dewasa).  
Hadis di atas menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang gila, orang yang tidur, anak kecil, orang yang lupa, dan orang yang dipaksa, tidak disebut akhlak sebab tidak disertai kesadaran atau kemauan sendiri.

Definisi Akhlak
Akhlak berasal dari bahasa Arab, al-akhlâq. Kata dasar (mufrad) adalah khulqu berarti perangai (al-sajîyah), tabiat (ath-thabî’ah), kebiasaan (al-‘âdat), dan adab yang baik (al-murû’ah). Kata akhlak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kebiasaan, perangai atau watak. Dalam Bahasa Arab kata akhlak (akhlâq) diartikan sebagai tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama.
Meskipun kata akhlak berasal dari Bahasa Arab, tetapi kata akhlak tidak terdapat di dalam Al Qur'an. Kebanyakan kata akhlak dijumpai dalam hadis. Satu-satunya kata yang ditemukan semakna akhlak dalam al-Qur'an adalah bentuk tunggal, yaitu khuluq, tercantum dalam surat al-Qalam [68] ayat 4: Wa innaka la'alâ khuluqin 'adzîm, yang artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung. Sedangkan hadis yang sangat populer menyebut akhlak adalah hadis riwayat Malik, Innamâ bu'itstu liutammima makârima al-akhlâqi, yang artinya: Bahwasanya aku (Muhammad) diutus menjadi Rasul tak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Selain itu, secara istilah, akhlak memiliki beberapa definisi. Menurut Ibnu Abbas, akhlak berarti dîn yang agung (Islam). Ibnu Abbas mengartikan akhlak berdasarkan tafsir Surah al-Qalam [68] ayat 4. Ibnul Atsir menerangkan bahwa akhlak berasal dari kata al-khuluqu dan al-khulqu berarti dîn, tabiat, dan sifat. Akhlak mencerminkan potret batin manusia, yaitu jiwa dan kepribadian yang sebenarnya.
Akhlak memiliki pengertian yang mencakup kebiasaan atau perangai yang baik maupun buruk. Akhlak terbentuk dari kebiasaan yang sudah lama hingga mendarah daging menjadi tabiat atau watak. Sikap atau perilaku yang disebut akhlak akan muncul secara spontan (tidak dibuat-buat) dan terus-menerus. Sehingga seorang dapat dikatakan berakhlak baik, jika memang memiliki kebiasaan atau tabiat yang baik pula. Sebaliknya, kebiasaan atau tabiat yang buruk menjadi indikasi akhlak buruk yang dimiliki seseorang.
Menurut Imam Gazali, akhlak adalah keadaan yang bersifat batin dimana dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa dipikir dan tanpa dihitung resikonya (al-khuluqu haiatun rasîkhotun tashduru 'anhâ al-af'âl bi suhûlatin wa yusrin min ghoiri hâjatin 'an  fikrin wa ruwiyyatin).
Sedangkan ilmu akhlak adalah ilmu yang berbicara tentang baik dan buruk dari suatu perbuatan. Dari definisi itu maka dapat difahami bahwa istilah akhlak adalah netral. Artinya ada akhlak yang terpuji (al-akhlâq al-mahmûdah) dan ada akhlak yang tercela (al-akhlâq al-mazmûmah). Ketika berbicara tentang nilai baik buruk maka muncullah persoalan tentang konsep baik buruk. Dari sinilah kemudian terjadi perbedaan konsep antara akhlak dengan etika.
Etika (ethica) juga berbicara tentang baik buruk, tetapi konsep baik buruk dalam etika bersumber kepada kebudayaan, sementara konsep baik buruk dalam akhlak bertumpu kepada konsep wahyu, meskipun akal juga mempunyai kontribusi dalam menentukannya. Dari segi ini maka dalam etika dikenal ada etika Barat, etika Timur, dan sebagainya, sementara al-akhlâq al-karîmah tidak mengenal konsep regional, meskipun perbedaan pendapat juga tak dapat dihindarkan. Etika juga sering diartikan sebagai norma-norma kepantasan (etiket), yakni apa yang dalam bahasa Arab disebut adab atau tatakrama.
Sedangkan kata moral meski sering digunakan juga untuk menyebut akhlak, atau etika tetapi tekanannya pada sikap seseorang terhadap nilai, sehingga moral sering dihubungkan dengan kesusilaan atau perilaku susila. Jika etika itu masih ada dalam tataran konsep maka moral sudah ada pada tataran terapan. Melihat akhlak, etika atau moral seseorang, harus dibedakan antara perbuatan yang bersifat temperamental dengan perbuatan yang bersumber dari karakter kepribadiannya. Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangsang yang berasal dari lingkungan dan dari dalam diri sendiri. Temperamen berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, oleh karena itu sulit untuk berubah. Sedangkan karakter berkaitan erat dengan penilaian baik buruknya tingkahlaku seseorang didasari oleh bermacam-macam tolok ukur yang dianut masyarakat. Karakter seseorang terbentuk melalui perjalanan hidupnya, oleh karena itu ia bisa berubah.

Urgensitas Akhlâq al-Karîmah
Akhlak dalam pergaulan yang baik apakah terhadap diri sendiri, sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan yang lain, menjadi ajaran fundamental dalam Islam dan berinti pada berakhlak kepada Allah swt. Semua diajarkan berinti dan kembali kepada kehidupan manusia di dunia yaitu untuk mencapai masyarakat yang mulia dan kehidupan yang berkesimbangan. Dalam realitas kehidupan di dunia, Islam mengajarkan bahwa manusia mempunyai kedudukan yang sama, karena ia berasal dari nenek moyang yang sama (Q.S. an-Nisa' [4]: 1), kedudukan dan derajat yang sesungguhnya ditentukan oleh takwa (Q.S. al-Hujurat [49]: 13). Perbedaan budaya dan ras justru merupakan tanda kekuasaan Allah SWT (Q.S. ar-Rum [30]:22), yang bermanfaat untuk menjadi identitas agar saling kenal-mengenal (Q.S. al-Hujurat [49]: 13). Sifat mengagungkan keturunan, ras, suku, maupun golongan adalah sikap-sikap jahiliah, yang sangat ditentang Islam. Islam sangat menjunjung tinggi toleransi dan egaliterian.
Seorang mukmin yang berakhlak mulia diumpamakan Allah sebagai sebuah pohon yang banyak membawa manfaat bagi kehidupan. Sebuah ungkapan dengan perumpamaan yang sangat indah Allah sampaikan dalam sebuah firman-Nya: Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (Q.S. Ibrahim [14]: 24-25)
Berkaitan erat dengan hal tersebut di atas Rasulullah saw juga menyampaikan ungkapan yang indah pula. Beliau saw mengumpamakannya bagaikan satu tubuh, jika satu organ saja mengalami rasa sakit maka yang lainpun merasakan itu. Berikut petikan sabda Rasulullah saw. riwayat Bukhari dan Muslim:  Dari Nukman bin Basyir r.a. ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,"Perumpaan orang mukmin dalam hal cinta-mencintai, kasih sayang dan kelemah lembutan adalah bagaikan sebuah tubuh yang bila salah satu organnya menderita, semua organ yang lain akan merasakan kesakitan dan panasnya."
Jika kita selalu beramal baik dan mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah akan "menyatu" dalam diri kita. Rasululullah saw bersabda dalam sebuah hadits qudsi: Allah swt berfirman: “Aku menurut dugaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama dia apabila dia mengingat Aku. Apabila dia menyebut Aku dalam hatinya, niscaya Aku menyebutnya pula sendiriKu. Dan kalau dia menyebutKu di hadapan orang banyak, niscaya Aku menyebutnya pula di hadapan orang banyak yang lebih baik. Kalau dia mendekatkan diri kepadaKu sejengkal, niscaya Aku mendeka kepadanya sehasta. Dan kalau dia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, niscaya Aku mendekat kepadanya sedepa. Dan jika dia datang kepada-Ku berjalan, niscaya Aku datang kepadanya berlari”

Kedudukan Akhlak
Dalam tataran praktis, akhlak menjelma dalam amal. Jika baik, maka berupa amal saleh. Sebaliknya, jika buruk, maka berupa amal ghairu saleh. Dan, hal ini sebenarnya menjadi tujuan hidup manusia sebagaimana tersirat dalam Surat al-Muluk [67] ayat 2: Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Kata ‘amal bentuk mashdar dari ‘amila-ya’malu –‘amalan. Bentuk jamaknya adalah a’mâl. Di dalam al-Quran kata ‘amal dan kata lain yang seasal dengan itu disebut 359 kali. Kata amal mengandung makna perbuatan. Baik buruknya amal tidak hanya ditentukan oleh pelakunya, melainkan juga Allah SWT. Jadi perbuatan itu baru dianggap baik jika dinilai baik oleh pelakukanya, orang lain dan Allah. Demikian pula sebaliknya.
Secara terminologi kata ‘amal berarti perbuatan atau aktivitas yang dilakukan secara sadar dan sengaja, bersumber pada daya, fakir, fisik, dan kalbu.
Amal di bagi menjadi 2 yaitu: amal shâlih (perbuatan baik) dan amal ghairu shâlih (perbuatan yang tidak baik). Kata shâlih sendiri lawan dari kata fâsid yang berarti rusak. Dengan demikian amal shâlih adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan secara sadar untuk mendatangkan manfaat dan/atau menolak kerusakan.
Di dalam al-Qur’an kata shalaha disebut 180 kali di dalam berbagai bentuk. Satu kali dikemukakan dalam bentuk transitif (memerlukan objek) dan berkategori kata kerja dan di tempat lain dikemukakan dalam bentuk intransitive (tidak memerlukan objek) dan berkategori kata sifat. Atas dasar pemaknaan ini sesuatu yang dapat dikatakan saleh apabila objeknya telah memenuhi atau sesuai dengan nilai-nilai yang telah ditentukan atau apabila objek tersebut diperbaiki karena sebelumnya mengandung nilai-nilai  yang belum terpenuhi atau tidak sesuai dengan fungsi kodratnya. Jadi makin terpenuhi nilai-nilai yang telah ditentukan atau makin sesuai dengan sifat dan kodratnya, makin tinggi pula kualitasnya. Jika hal ini terwujud, Allah telah berjanji tidak akan menyia-nyiakan amalan seseorang (Q.S. Ali Imran [3]: 195).
Di dalam al-Quran amal saleh pada umumnya selalu dikaitkan dengan iman (antara lain al-Baqarah ayat 25, dan Surat al-‘Ashar ayat 3 dan sebagainya). Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan baiik merupakan pancaran dari iman kepada Allah SWT.
Al-Quran tidak merinci tentang amal saleh. Hal ini menunjukkan lapangannya sangat luas baik untuk kepentingan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Penekanannya terletak pada keimanan. Walaupun amal saleh itu sebesar biji zarrah, pasti akan dibalas oleh Allah dan di akhirat nanti balasan itu akan diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya (al-Zalzalah ayat 7-8, serta tidak akan disia-siakan-Nya (at-Taubah ayat 105.)
Amal gairu saleh sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran adalah perbuatan yang menyimpang dari ketentuan Allah atau perbuatan yang tidak mengandung manfaat serta tidak sesuai dengan fungsi, sifat, atau kodrat sesuatu sehingga tidak disukai oleh Allah.Pelakunya memperoleh kehinaan dari masyarakat dan berdosa di sisi Allah serta memperoleh siksaan di akhirat (al-Baqarah ayat 114).

Akhlak Vertikal
            Akhlak kepada Allah merupakan akhlak secara vertikal. Beberapa akhlak yang dikategorikan akhlak kepada Allah adalah:
  1. Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukkan terhadap perintah Allah.
  2. Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati.
  3. Berdo’a kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan do’a dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan akal manusia. Oleh karena itu berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktifitas hidup setiap muslim.Orang yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong ; suatu perilaku yang tidak disukai Allah.
  4. Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan.
  5. Tawaduk kepada Allah, yaitu rendah hati di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah.
  6. Meneladani seluruh sifat dan perbuatan Nabi Muhammad (ash-shiddîq, at-tablîg, al-amânah, dan al-fathânah).  

Realisasi Akhlak
  1. Akhlak kepada Orangtua
Akhlak kepada orang tua didasarkan pada surat al-Isra ayat 23-24: Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah :’Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
Dari ayat di atas terlihat jelas bagaimana penting dan besarnya arti diri orang tua di sisi Allah SWT. Jika beribadah kepada Allah wajib maka berbakti kepada kedua orang tua juga wajib. Sebaliknya, kalau ingkar kepada-Nya adalah dosa besar, begitu pula durhaka kepada orang tua. Dan berbuat baik kepada orang tua bukan hanya semasa hidupnya akan tetapi sampai matipun anak tetap wajib berbakti kepada mereka.
Sekiranya suatu saat usia mereka sudah diambang senja, janganlah kita menghardik, mencaci, memukul, serta perbuatan-perbuatan keji lainnya, mengucapkan kata “ah” saja terlarang sebagaiman dalam ayat diatas apalagi perbuatan-perbuatan yang lebih daripada itu. Dan yang patut dilakukan adalah berbicara kepada mereka dengan lemah lembut, sikap rendah diri, suara tidak melebihi suara mereka, dan itu semua adalah ahlak utama seorang anak.
Abu Dawud meriwayat suatu hadis: "Bahwa seorang laki-laki yang berasal dari Yaman hijrah ke Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam. Ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sekarang sudah hijrah!’ Beliau bertanya ‘Sudahkah mereka memberimu izin ?’ jawabnya : ‘Belum’ sabda Beliau, ‘Pulanglah dan minta ijinlah kamu kepada mereka. Kalau sekiranya mereka memberimu izin, silahkan berjuang. Tetapi kalau tidak, berbuat baiklah kamu kepada mereka.”
Di sini agama Islam meletakkan keagungan orang tua dihadapan anak-anaknya dalam rangka berbakti dan berjuang di jalan Allah. Bukan semata-mata jihad kemudian orang tua ditinggalkan begitu saja tanpa dimintai izin sama sekali. Bahakan berangkat ke medan peperangan dinomorduakan jika memang belum memenuhi kebaktiannya kepada orang tua. Dalam sebuah riwayat Imam Muslim disebutkan: “Rugilah, rugi sekali, rugi sekali, seseorang yang mendapati salah seorang dari kedua orang tuanya atau kedua-duanya sewaktu mereka sudah diambang senja, dan tidak memasukkan ia kedalam surga “
Sungguh sayang bahwa orang tua masih ada, apalagi sudah tua yang seharusnya dapat memasukkan dia kedalam surga, tetapi ternyata tidak dapat memasukkan dia ke dalam surga dikarenakan durhaka kepada mereka dan tidak berbakti kepada mereka. Betapa banyak manusia-manusia yang sampai begitu tega tidak menghormati orang tuanya bahkan memperlakukan mereka dengan perlakuan yang kasar dan menganggap mereka bagaikan pembantu rumah tangga yang siap melayani tuannya. Sungguh ironis sekali orang tua yang telah mendidik dan mengasuh anaknya dengan sekuat tenaga, ternyata sesudah besar begitu saja balas budinya.
Memperlakukan orang tua dengan baik termasuk amalan besar dan yang paling dicintai oleh Allah. Dari Abdullah bin Mas’ud: “Aku pernah bertanya kepada nabi Salallahu Alaihi Wa Salam: ‘Amal yang manakah yang paling dicintai oleh Allah ?’ Jawab beliau :’Shalat pada waktunya’. Aku bertanya lagi:’Kemudian amal apa ?’ Jawab beliau :’’Berbuat baik pada orang tua’. Aku bertanya kagi:’Sesudah itu amal apa?’ Jawab beliau :’Jihad di jalan Alla”(HR Bukhari Muslim).
Dalam hal berbuat kebaikan kepada orang tua, memang sepantasnya ibu lebih banyak dicurahkan. Ini mengingat kerja payahnya semenjak ia mengandung sampai melahirkan ditambah lagi memenuhi semua keperluannya tidak pernah merasa bosan dan lelah. Dari Abu Hurairah: “Telah datang seorang laki-laki menghadap Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam lalu bertanya :’Wahai Rasulullah siapakah yang paling berhak aku pergauli dengan cara bagus ?’ Jawab beliau :’Ibumu!’. Kemudian ia bertanya lagi ‘Sesudah itu siapa?’ Jawab beliau :’Ibumu!’. ia bertanya lagi:’Sesudah itu siapa ?’ Jawab beliau :’Ibumu!’. Ia bertanya lagi :’Sesudah itu siapa?’ Jawab beliau :’Bapakmu!”(HR Bukhari Muslim
Dan termasuk dosa besar bila seorang anak berbuat durhaka kepada orang tuanya. Rasulullah bersabda: “Termasuk dosa besar ialah seorang yang mencaci maki orang tuanya. Seseorang lalu bertanya:’Mungkinkah ada seseorang mencaci maki orang tuanya?’ Jawab beliau :’Ada! Dia mencaci maki bapak seseorang lalu orang itu membalas memaki bapaknya. Dia mencaci maki ibu seseorang lalu orang itu membalas memaki ibunya”(HR Bukhari Muslim).
Namun bagaiman bila orang tua kita bermaksiat dan musyrik kepada Allah, apakah kita tetap harus berbuat baik terhadap mereka? Islam memang menganjurkan untuk berbuat baik kepada orang tua secara umum, tetapi perlu diingat jika orang tua memaksakan kehendaknya untuk bermaksiat kepada Allah, maka hendaknya ditolak dengan lemah lembut dan penuh kesopanan. Dalam surat Luqman ayat 15 dijelaskan: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kamu kembali, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Nash Al-Qur'an tersebut diperkuat oleh hadis riwayat Imam Muslim: “Mendengar dan mentaati itu wajib bagi seorang muslim, menyangkut apa yang ia cintai maupun apa yang ia benci, selagi tidak disuruh untuk urusan maksiat. Kalau diperintah untuk maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak ada ketaatan”.

  1. Akhlak kepada Keluarga
Dalam menjaga ikatan kekerabatan ini, Islam mengatur beberapa akhlak berikut:
1. Sering bersilaturahim ke kerabat
Tidak kurang banyaknya dalil yang menganjurkan silaturahim kepada kerabat dekat baik dari al-Qur'an ataupun hadis Rasulullah Saw. Allah berfirman: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri", (Q.S. an-Nisa': 36)
Sedangkan dalam hadis Rasulullah Saw. dikatakan, "Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaknya dia menyambung tali silaturrahim." (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
Upaya menyambung tali silaturahim ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang senantiasa akrab dan sayang kita saja. Yang disebut silaturahim hakiki adalah kalau kita menyambung tali silaturahim kepada orang yang memutus tali persaudaraan dengan kita. Bahkan ikhtiar ini lebih mulia sifatnya. Karena ini merupakan upaya yang sangat berat dan tidak sembarangan orang bisa melakukannya. Sebab sudah menjadi kecenderungan manusia untuk membalas kebaikan dengan kebaikan dan membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Jarang sekali orang yang membalas kejahatan dengan kebaikan.
Namun, memang di sinilah keistimewaan dan keutamaan silaturahim kepada orang yang memutuskan tali silaturahim. Tidaklah mengherankan bahwa nilai orang yang memperjuangkan perbuatan ini akan berbeda dengan orang yang membalas kebaikan silaturahim dengan setara. Karena, hanya dengan kuatnya tali silaturahim, maka rajutan tali persaudaraan dan kekerabatan dapat dijaga agar tidak terkoyak.
Kita perlu mengoreksi sampai sejauh mana nilai silaturahim kita. Kalau taraf silaturahim kita hanya ditujukan kepada orang-orang yang lumrah bersilaturahim dan baik kepada kita, sembari mengabaikan orang yang jahat dan berlaku dingin kepada kita, tentu kita belum mencapai tingkatan silaturahim sejati. Tetapi, jika kita sudah berniat dan berupaya untuk menggalang persaudaran kepada kerabat yang acuh kepada kita, berarti kita telah menapaki puncak kemuliaan silaturahim.

2. Mengetahui silsilah atau nasab kerabat
Pentingnya mengetahui dan menelusuri jalur nasab ini, pernah ditegaskan oleh Rasulullah saw., "Pelajarilah nasab agar kamu dapat mengeratkan tali persaudaraanmu. Sebab bersilaturahim dapat menumbuhkan rasa cinta kasih dalam kekeluargaan, menambah kelapangan rizki, dan memperpanjang umur" (H.R al-Tirmidzi)
Persoalan ini nampak sangat sepele, padahal sangat penting. Sabda Rasulullah saw. di atas menunjukkan betapa prinsip hal ini. Yang perlu diingat bersama, dengan mengetahui nasab kita akan lebih bergairah untuk menjalin hubngan persaudaraan. Pasalnya, kita sudah merasa cukup dengan bersilaturahim kepada kerabat dalam ruang lingkup yang terbatas. Lain halnya jika wawasan nasab keluarga kita begitu luas. Rute silaturahim kita pun semakin lebar dan panjang.
Harus diakui, seringkali kita kurang mengabaikan penelusuran terhadap nasab ini. Kita juga malas untuk memperkenalkan tali kekerabatan kepada anak-anak kita. Akibatnya, ketika kita sudah wafat, anak kita pun tidak mengetahui siapa-siapa saja yang memliki hubungan darah dengannya. Siapa-siapa saja yang mesti dikunjunginya untuk mengikat tali persaudaraan. Ini sangat berbahaya. Sebab pada generasi keturunan selanjutnya, antara satu kerabat dengan kerabat lainnya sudah tidak saling mengenal. Mereka sudah seperti orang lain.
Sungguh tepat langkah yang diambil oleh orang tua, kalau sejak dini memperkenalkan dan mendekatkan anaknya dengan himpunan kerabat lainnya. Kebiasaan bersilaturahim membuahkan cinta kasih yang mendalam. Biasanya upaya memperkenalkan dan merajut kerenggangan ini dilakukan pada momen tertentu, seperti idul fitri. Setahun sekali. Tidak masalah, karena minimal masih ada ajang untuk bersua dan bercengkerama. Melalui ajang ini, kita sangat tertolong untuk mengenal, merekatkan, dan memperkuat kembali hubungan persaudaraan. 
Para sahabat Rasulullah saw. adalah orang-orang yang gigih menelusuri tali kekerabatan. Dipelajarinya silsilah yang ada dan disisirnya siapa saja yang belum pernah dikunjunginya. Jika ketemu, mereka langsung mengakrabkan diri.
Selain menangguk pahala dari Allah, apa lagi keistimewaan menyusuri nasab dan bersilaturahim ini? Ali bin Abi thalib berwasiat, "Muliakanlah kerabatmu, karena mereka adalah sayap yang dapat menerbangkanmu. Berkat mereka, kamu kuat dan berpengaruh. Mereka ibarat senjata di kala gawat. Untuk itu, muliakan orang-orang yang terhormat di kalangan mereka. Jenguklah yang sakit. Ajaklah mereka dalam kegiatanmu. Dan, tolonglah orang-orang miskin di antara mereka".

3. Berbuat baik kepada kerabat
Menyinggung masalah tersebut, Allah menegaskan demikian: "Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya" (QS al-Baqarah: 215)
Dalam Islam, berbuat baik dan membantu kerabat sama halnya dengan berjuang di jalan Allah. Perhatian terhadap kerabat harus lebih dikedepankan daripada orang lain selain kerabat. Artinya, kalau mereka dalam kondisi kekurangan, kelemahan, dan ketertindasan, mereka adalah golongan yang pertama kali harus dibantu karena mempunyai kedekatan hubungan dengan kita. Walaupun tentu saja tanpa menafikan orang-orang di luar lingkar sanak famili. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah pada level skala prioritas.
Dalam ayat di atas, jelas sekali urut-urutan orang yang harus dihormati dan diperhatikan. Posisi kerabat didudukkan setelah kedua orangtua, baru kemudian menyusul kelompok-kelompok orang lain. Dari sini jelas sekali kalau kerabat adalah orang yang berhak mendapat perhatian kita secara langsung.
Sebab, lazimnya, dalam satu ikatan keluarga besar, tidak seluruh kerabat bisa menjemput keberhasilan secara financial. Ada yang berhasil ada pula yang gagal. Yang satu kaya, yang lainnya miskin. Berbagai factor yang melatarbelakangi keberhasilan dan kegagalan itu. Karena itulah, menelisik kondisi tersebut, setiap orang yang memiliki kelebihan harta dihimbau untuk mengulurkan bantuan. Jika ada saudara yang terlilit penderitaan, maka seluruh kerabat seolah ikut merasakan penderitaan tersebut. Kepekaan yang terasah menggugah seluruh kerabat untuk bergotong royong demi meringankan beban kerabat yang kesusahan.

3. Berlaku adil         
Walaupun Islam mengajarkan perhatian penuh dan berbuat baik kepada kerabat, tetapi sebagai perimbangan, Islam juga menyerukan kepada kita untuk berlaku adil kepada kerabat. Artinya, kalau memang kerabat kita berbuat salah sudah selayaknya kita berlakukan hukum dengan semestinya. Bukan perbuatan yang benar kalau kita membela mati matian kerabat dengan mencari kambing hitam kepada orang lain karena kedekatan kita dengannya.
Allah menggariskan kepada kita perlakuan adil, bahkan kepada orang terdekat sekalipun dalam ayat: "Dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat" (Q.S. al-Anam: 152)
Perlakuan adil di sini juga bisa dimaknai sebagai adil kepada semua kerabat tanpa terkecuali. Dalam kategori kerabat yang dipaparkan di atas, kita berlaku adil kepada semuanya tanpa membeda-bedakan. Kita membantu mereka sekuat tenaga tanpa diskriminasi dan pilih kasih mana yang paling dekat dan paling baik dengan kita. Untuk skala prioritas memang ada, yakni pada tingkat kebutuhan mereka atas uluran tangan kita. Siapa yang lebih membutuhkan bantuan, itulah yang didahulukan.
Posisi kerabat yang dekat dengan kita membuat kita mempunyai tanggung jawab penuh terhadap mereka. Artinya, kita wajib mendidik dan memperingatkan mereka kalau berbuat salah. Kita mengajari mereka tata cara hidup Islam yang benar dan jangan sampai melalaikan ketentuan Allah yang sudah digariskan secara tegas. Karena tanggung jawab itu, kita tidak bisa acuh tak acuh dengan segala macam penyelewengan dan penyimpangan itu, nantinya akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat. Kalau kita bersikap masa bodoh pada kemaksiatan mereka, umpamanya, berarti kita telah mengabaikan amanat dari Allah itu sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari sudah sepatutnya hubungan kita dengan kerabat semakin dipererat. Sebuah hubungan yang didasarkan atas kasih sayang dan murni mencari rida Allah. Ada dua keuntungan yang bisa kita petik dengan memberdayakan hubungan berkerabat itu, keuntungan horizontal dan keuntungan vertical. Keuntungan horizontal berarti kita akan menemukan kedamaian dan ketenteraman setiap kali bisa mencukupi kebutuhan orang lain. Dengan rekatnya hubungan antar keluarga, keharmonisan di tengah keluarga bisa utuh dan hidup. Segala bentuk kekacauan dan ketegangan bisa ditepis jauh-jauh.

  1. Akhlak kepada Tetangga
Di antara akhlak bertetangga adalah sebagaimana berikut:
1. Mengenal tetangga
Kita sebagai orang yang hidup dalam sebuah komunitas masyarakat perkotaan akan dihadapkan pada kenyataan kehidupan yang individualistik. Hidup sendiri-sendiri, tidak saling mengenal. Dalam konteks seperti ini, tidak mengherankan bila kemudian antartetangga tidak saling mengenal. Karena mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Padahal masalah bertetangga ini bagi seorang muslim sangatlah krusial. Tidak bisa dipandang sebelah mata. Hadis Rasulullah saw. di atas yang menganalogikan hubungan tetangga dengan hubungan saudara patut kita renungkan bersama. Karena itu, sudah sepantasnya kita pun senantiasa bisa minimal mengenal tetangga dan bersilaturahim padanya. Himbauan untuk saling mengenal ini termaktub secara eksplisit dalam Al-Qur'an: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat [49]:13)
Pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Dengan mengenal tetangga akan muncul saling sayang. Sehingga tercipta hubungan yang mesra dan harmonis.

2. Berbuat baik kepada tetangga
Dalam hal ini, Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka janganlah menyakiti tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya dia berkata benar atau diam saja." (H.R. al-Bukhari)
Sabda Rasulullah saw. di atas merupakan pelajaran berharga kepada kita semua. Salah satunya, perlakuan kita terhadap tetangga akan mendatangkan tindakan serupa dari pihak tetangga. Kalau kita memperlakukan tetangga dengan baik, maka mereka pun akan memperlakukan kita dengan baik, dan bahkan bisa lebih baik lagi. Nyaris tidak mungkin, bila kita menumpahkan kebaikan, namun mereka malah membalasnya dengan keburukan. Akan tetapi, jika kita memperlakukan mereka dengan buruk dan jahat, maka jangan harap mereka akan memperlakukan kita dengan baik. Artinya perbuatan kita kepada mereka akan terefleksi pada perbuatan mereka kepada kita. Apa yang kita tabur, maka itulah yang akan kita panen.

3. Menjaga hubungan baik dengan tetangga
Perilaku ini juga ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya, “Apakah kamu mengetahui hak tetangga? Hak tetangga adalah jika dia meminta pertolongan kepadamu, maka kamu menolongnya. Jika dia ingin meminjam sesuatu darimu, maka engkau pun meminjaminya. Jika dia berhajat, kamu membantunya. Apabila dia sakit, kamu menjenguknya. Apabila dia mati, kamu mengiring jenazahnya. Jika dia mendapatkan karunia nikmat, kamu memberikan salam atau selamat kepadanya. Jika dia mendapat bencana, kamu hibur batinnya. Jangan engkau meninggikan rumahmu melebihi rumahnya, sehingga menghalanginya dari mendapatkan angin segar kecuali dengan izinnya. Dan jika kamu membeli buah-buahan, maka hadiahkanlah kepadanya. Dan kalau tidak bisa menghadiahkan, maka masukkan buah-buaban itu ke rumah dengan sembunyi-sembunyi. Dan janganlah anak-anakmu itu membawa keluar buah-buahan itu untuk memanaskan hati anak tetanggamu. Dan janganlah kamu menyakitinya dengan bau periukmu, kecuali memberikan barang sedikit kepadanya." (HR. al-Kharaiti)
Dari hadis yang panjang lebar ini kita bisa memetik beberapa pelajaran berharga. Mari kita kupas satu persatu: 
a.          Jika dia meminta pertolongan kepadamu, maka kamu menolongnya. Artinya, dalam bertetangga kita dilatih untuk memiliki kepekaan social yang tinggi. Dengan kepekaan tersebut kita bisa melihat bahwa tetangga sedang membutuhkan uluran tangan dari kita. Ketika kita bisa membantu, maka curahan bantuan itu sangat bermakna baginya, walaupun terlihat kurang berharga di sisi kita. 
b.          Jika dia ingin meminjam sesuatu darimu, maka engkau pun meminjaminya. Maksud meminjam di sini bisa bermacam bentuknya, bisa meminjam uang, barang, perabotan, alat transportasi dan lain sebagainya. Sebagai tetangga yang baik, tentunya kita harus berusaha semaksimal mungkin meminjamkannya kepada tetangga jika memang ia membutuhkan.
c.           Jika dia berhajat, kamu membantunya. Maksud berhajat di situ bisa bermacam-macam. Bisa saja ia memerlukan bantuan, atau mungkin ia menggelar acara hajatan dan memerlukan bantuan dari orang lain. Tetapi intinya adalah, dibutuhkannya bantuan dari tetangga lain. Bantuan itu bisa berupa bantuan pikiran, tenaga, dan macam-macam. Dalam konteks ini pun kehidupan bertetangga akan terasa lebih hangat bila seorang tetangga menggelar acara hajatan, maka tanpa diminta tetangga lain turun tangan membantunya. Ringan sama dijinjing berat sama dipikul menjadi motto antartetangga.
d.         Apabila dia sakit, kamu menjenguknya. Dalam kehidupan bertetangga, kepekaan sangat dibutuhkan termasuk dalam konteks apabila salah satu tetangga jatuh sakit. Ketika jatuh sakit, maka tetangga lainnya bersegera menjenguk. Dalam hubungan bertetangga ini tidak ada diskriminasi atas nama agama, ras, suku dan golongan. Semuanya lebur dalam ikatan persatuan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ketika tetangga Yahudinya sakit, Rasulullah saw. segera menjenguknya.
e.          Apabila dia mati, kamu mengiring jenazahnya. Sebagaimana ketika menjenguk tetangga yang sakit, maka ketika ada tetangga yang meninggal pun, kita dianjurkan untuk mengiring jenazahnya dan ikut mengebumikannya.
f.            Jika dia mendapatkan karunia nikmat, kamu memberikan selamat kepadanya. Kehidupan bertetangga memang sangatlah dekat. Karena antar rumah hanya dipisah tembok pembatas saja. Oleh karena itu, setiap tetangga akan sangat mudah mengetahui nikmat yang tercurah kepada tetangganya. Dari situ, ia harus bisa memberikan selamat kepada tetangga yang bersangkutan. Ia tidak boleh merasa dengki dan berambisi untuk merebut nikmat tersebut.
g.          Jika dia mendapat bencana, kamu hibur batinnya. Ketika tetangga terjerat musibah, maka kita harus bergegas menghiburnya. Misalnya saja, ada salah satu sanak familinya yang meninggal, maka sebagai tetangga kita harus segera bertakziah ke rumahnya. 
h.          Jangan engkau meninggikan rumahmu melebihi rumahnya, sehingga menghalanginya dari mendapatkan angin segar kecuali dengan izinnya. Kondisi ini umumnya dialami oleh kita yang hidup di perkotaan. Lahan yang sempit memang mengharuskan kita melakukan pelbagai hal untuk menyulap rumahnya agar lebih nyaman. Termasuk meninggikan tembok rumah. Tentu saja hal ini tidak dilarang. Akan tetapi akan lebih terhormat jika sebelumnya kita meminta perkenaan dari tetangga. Karena bisa jadi ia terganggu dengan agenda kita itu. Angin segar yang biasanya dinikmatinya sekarang harus hilang, gara-gara rencana kita.
Termasuk dalam konteks meminta izin kepada tetangga adalah seumpama kita memiliki rencana untuk melakukan renovasi rumah sehingga menimbullkan aktivitas yang berisik, tentu kita memerlukan kerelaan tetangga. Setelah mendapat ketulusan mereka, langkah kita menjadi lebih ringan. Dalam pelbagai aktivitas yang kita lakukan, jika memang mengganggu tetangga maka sebaiknya meminta izin terlebih dahulu.
Masih terkait dengan urusan ini adalah larangan atas kita untuk melanggar batas-batas tanah milik tetangga. Karena siapa yang melanggar tanah milik tetangga berarti ia telah menzaliminya.
i.        Dan jika kamu membeli buah-buahan, maka hadiahkanlah kepadanya. Dan kalau tidak bisa menghadiahkan, maka masukkan buah-buaban itu ke rumah dengan sembunyi-sembunyi. Dan janganlah anak-anakmu itu membawa keluar buah-buahan itu untuk memanaskan hati anak tetanggamu.
            Sungguh luhur akhlak yang diajarkan Rasulullah saw. kepada kita semua. Beliau menginginkan kehidupan yang penuh kasih sayang, harmonis, guyub, mesra dan saling pengertian antartetangga. Salah satunya adalah dengan sering berbagi hadiah. Karena dengan berbagi hadiah maka akan tumbuh rasa sayang. Dalam sebuah hadis beliau pernah bersabda, “Berbagi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling menyayangi.” Karenanya dalam konteks ini, bila kita membeli sesuatu, maka hendaknya ada jumlah lebih untuk bisa dihadiahkan kepada tetangga. Jika memang kita tidak bisa membeli lebih, usahakan jangan sampai tetangga tahu apa yang kita beli. Anak-anak pun harus kita kendalikan agar jangan sampai memamerkannya di hadapan anak tetangga sehingga menyakiti hati mereka.
j.        Janganlah kamu menyakitinya dengan bau periukmu kecuali berbagi dengannya. Maksudnya tentu saja adalah senantiasa berbagi apa pun yang kita miliki dengan tetangga. Sehingga laksana saudara sendiri, tetangga senantiasa mendapat nikmat yang kita rasakan.
            Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Dzar, Wahai Abu Dzar, apabila kamu memasak sayur (daging kuah), maka perbanyaklah airnya dan berilah tetanggamu.” (H.R. Muslim).

4. Memberikan rasa aman kepada tetangga
Hal ini juga ditandaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya, "Demi Allah, tidak Islam seorang hamba sehingga selamat semua orang dan gangguan hati tangan dan lisannya. Dan tidak beriman seorang hamba sehingga aman tetangganya dari gangguannya". Sahabat bertanya, “Apakah gangguan-gangguan itu, wahai Rasulullah Saw?' Beliau bersabda, "Tipuan dan aniaya." (H.R. Abu al-Laits as-Samarkandi)
Dalam hadis lain, Rasulullah saw. juga mengecam keras siapa pun yang mengganggu tetangganya sehingga tetangganya seolah tidak memiliki rasa aman dalam kehidupannya sehari-hari, "Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, dan demi Allah tidak beriman". Para sahabat bertanya, "Siapakah yang tidak beriman itu, ya Rasulullah?' Beliau menjawab, "Dialah orang yang para tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya" (HR. al-Bukhari dan Muslim)

5. Bersabar  terhadap perilaku tetangga yang kurang baik
            Dalam kehidupan bertetangga sepatutnya masing-masing tetangga bisa memosisikan dirinya secara tepat dan baik. Seorang tetangga mestinya bisa berlaku baik kepada tetangganya. Kebaikan dari seorang tetangga seharusnya dibalas dengan kebaikan pula. Air susu dibalas air susu. Begitu pula, jika tetangga berwatak tercela, mayoritas pembalasan dari tetangga pun juga tercela. Air tuba dibalas air tuba. Akan tetapi alangkah paling baik kalau kita sebagai seorang muslim bisa membalas air tuba dengan air susu.
Kita bisa bertindak baik dan terpuji dalam menghadapi perilaku tercela dari sang tetangga. Ini tingkatan yang paling mulia. Melalui kesabaran dan keluasan hati, kita tidak merasa jengkel jika diperlakukan secara zalim oleh tetangga. Kita berupaya, dan terus berupaya untuk membalas keburukan dengan kebaikan. Inilah tingkatan tertinggi dalam kehidupan bertetangga. Rasulullah saw. bersabda “Ada tiga kelompok manusia yang dicintai Allah.... –disebutkan di antaranya-: Seseorang yang mempunyai tetangga, ia selalu disakiti (diganggu) oleh tetangganya, namun ia sabar atas gangguannya itu hingga keduanya dipisah oleh kematian atau keberangkatannya.” (H.R. Ahmad)

  1. Akhlak kepada Kawan
Kehadiran teman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan kita dengan teman sangatlah dekat, bahkan seringkali lebih dekat ketimbang saudara sendiri. Kepadanya, kita sering berbagi cerita, mencurahkan segala macam persoalan yang menghimpit, menjalani suka duka dan lain sebagainya. Pendek kata, dengan teman kita lebih intim bergaul. Laksana satu kesatuan, yang tak terpisahkan.
Mengingat begitu lekatnya teman dalam kehidupan, kita perlu memahami akhlak yang telah digariskan Islam ihwal bagaimana laiknya berinteraksi dengan teman. Dengan memahami tuntunan tersebut diharapkan hubungan kita dengan teman bisa lebih mesra dan pertemanan tersebut bisa membimbing kita menggapai ridha Allah.
1. Mengasihi dan berbuat baik kepada teman
Allah berfirman: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Q.S. an-Nisa': 36)
Dalam ayat tersebut tergambar dengan jelas kewajiban untuk berbuat baik kepada teman sejawat. Kebaikan kepada teman sejawat dituturkan oleh Allah secara berurutan dengan kebaikan kepada orang tua, anak yatim, orang miskin,  dan kerabat.  Artinya, prioritas teman untuk mendapat kasih sayang dan kebaikan dari kita terletak setelah beberapa golongan di atas.
Namun begitu, bukan berarti posisi teman sangat rendah atau dalam posisi terakhir untuk mendapat kasih sayang dan kebaikan kita. Sebab, secara tersirat ayat tersebut ingin mendorong tergeraknya hati kita untuk senantiasa melimpahkan kasih sayang dan kebaikan kepada setiap makhluk yang dekat dengan kita, termasuk teman. Tak ada pilih kasih dalam hal ini. Rasulullah saw. adalah panutan kita dalam segala hal, khususnya interaksi beliau dengan sahabatnya. Kisah di atas hanya sepenggal limpahan kasih sayang dan kebaikan beliau kepada para sahabatnya. Masih ada segunung kebaikan yang tertumpah dari beliau yang agung kepada para sahabatnya, yang tak sanggup kita gambarkan.
Cukuplah sebagai informasi bahwa saking sayang dan dekatnya beliau kepada para sahabatnya maka para sahabat seolah-olah merasa diri mereka yang paling dekat dengan beliau. Masing-masing individu mengklaim dirinyalah yang paling dicintai Rasulullah saw. Tak ada yang merasa dinomorduakan beliau. Semua merasa dinomorsatukan. Memang, beliau menumpahkan kasih sayangnya secara merata, tak pilih kasih. Semuanya mendapatkan jatah sendiri-sendiri, tak kurang tak lebih. Walhasil, nampaknya tak berlebihan jika dikatakan bahwa inilah cermin puncak kasih sayang beliau kepada sahabatnya sehingga semua orang merasa dikasihi dan disayangi. Semua orang mengakui dianakemaskan oleh beliau!

2. Saling menasehati
Kewajiban utama kepada teman adalah menanamkan pengaruh akhlak yang mulia, agar teman juga dapat memperbaiki akhlak dan mempertebal imannya. Kalau dia sudah menjalankan hal itu, maka kita pun mesti mendukungnya semaksimal mungkin. Sebaliknya, ketika teman melakukan kesalahan dan penyimpangan, sudah menjadi kewajiban kita pula untuk mengingatkan dan mengarahkannya menuju jalan yang lurus agar tidak berlarut-larut. Tanpa itu, dikhawatirkan ia makin terpeleset dan tercebur dalam kekeliruan. Jika sudah begitu, kita pun kena getahnya. Kita terimbas dosanya. Sebab sebagai orang yang berdekatan dengannya dan mengetahui perbuatannya, kita tidak segera mengoreksi langkahnya ketika keliru. Ini merupakan pengamalan dari prinsip Islam awar ma'ruf nahi munkar (menyuruh pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran).
Sementara di sisi lain, kita pun juga harus lapang dada ketika teman menegur kita karena kita bertindak salah. Karena memang sudah tugasnya mengarahkan sahabatnya ke jalan yang benar dan meluruskannya ketika bengkok. Alangkah indahnya kalau prinsip seperti ini dapat diterapkan, sehingga kehidupan pertemanan dapat berlangsung harmonis dan akrab.
Allah berfiman: “Demi masa.  Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.  Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. al-'Ashr: 1-3)
Teguran atau nasihat yang kita utarakan kepada teman haruslah disampaikan dengan cara lemah lembut dan tidak menyakiti hati. Karena bukan tidak mungkin walaupun nasihat kita mengandung unsur kebenaran, tetapi kalau disampaikan dengan cara yang salah, maka ia tidak dapat menerima. Bisa jadi,  ia tersinggung dan jengkel.
Apabila teguran dan nasihat sudah diberikan tetapi tidak mempan, dan ia masih bersikukuh dengan perilakunya, maka kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita pasrahkan sepenuhnya urusan ini kepada Allah. Hanya Dia yang berwenang memberikan hidayah. Mandat kita sebatas menyampaikan nasihat. Tidak lebih. Kita hanya berikhtiar agar tidak ikut arus sembari mendoakannya agar secepatnya memperoleh petunjuk. Sembari masih tetap menjaga jalinan persahabatan dengannya.

3. Membantu teman
Tidak selamanya orang itu berada dalam kondisi kecukupan dan kelebihan. Suatu masa dia pasti mengalami kekurangan yang membutuhkan uluran tangan orang lain. Maka, di sini peran teman lainnya sangat dibutuhkan. Entah itu bantuan berupa materi seperti uang, misalnya, ataupun bantuan nonmateri seperti dorongan dan dukungan ataupun doa. Akhlak Islam juga mengajarkan bahwa orang yang susah harus dibantu dengan sekuat tenaga.
Mari kita lihat contoh perilaku sahabat Anshar terhadap sahabat Muhajirin seperti yang dilaporkan oleh Husain Haikal dalam bukunya Hayatu Muhammad. Ketika sahabat Muhajirin hijrah bersama Nabi ke Madinah meninggalkan kampung halamannya, mereka tidak membawa bekal apa-apa. Kondisi miskin dan papa itulah keadaan mereka pada waktu itu, kecuali segrelintir sahabat saja yang memang dari asalnya dia kaya seperti 'Utsman bin 'Affan.
Menyaksikan kondisi sahabatnya dalam kesusahan, tanpa basa-basi para sahabat Anshar pun segera mengulurkan tangan. Setiap warga Anshar menampung satu orang Muhajirin di rumahnya sembari mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Tanpa perhitungan, mereka menumpahkan kemampuan dan harta miliknya untuk membantu sahabat. Harapan mereka hanya agar kaum Muhajirin bisa berbahagia.
Namun, bukanlah sifat seorang muslim kalau dia hanya menjadi beban bagi orang lain. Pantang disebut sebagai pecundang karena terus menerus bergantung pada pundak orang lain, sahabat Mujahirin dengan halus menolak uluran tangan yang dirasakan berlebihan tersebut. Sahabat Muhajirin malah minta ditunjukkan pasar Madinah dan akan langsung bekerja di sana dengan meminjam modal dari sahabat Anshar.
Dengan kernampuannya yang luar biasa dalam berdagang, beberapa sahabat Muhajirin sudah bisa meraup laba lumayan besar dalam waktu singkat, dan walhasil dengan cepat bisa mengembalikan modal yang mereka pinjam. Sementara sebagian sahabat lainnya lagi ada yang menjadi pekerja pada kebun-kebun kurma sahabat Anshar dengan imbalan bagi hasil panen kurma. Demikianlah, mereka saling menolong. Dan akhirnya Rasulullah Saw mengikat tali persaudaraan di antara mereka.

4. Kesetiakawanan
Tak yang melebihi kesetiakawanan yang dianyam oleh para mujahidin di waktu perang Yarmuk meletus. Adalah Hudzaifah al-Adawi, salah satu mujahidin untuk merangsek ke medan perang untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi. Ia juga mengemban tugas untuk memberikan minuman kepada para korban luka.
Ketika melihat sebagian mujahidin terluka, segera Hudzaifah menghampiri salah satunya. Dibawanya bejana air dan hendak dikucurkannya ke tenggorokan prajurit Allah ini. Namun ia menolak ketika mendengar sahabatnya sesama mujahidin mengerang. “bawalah air untuknya. Aku tidak lebih mulia dari jiwa siapa pun yang beruang di jalan Allah”
Dengan hati teriris, hudzaifah cepat-cepat mendatangi korban yang mengerang tadi. Ternyata ia ad hisyam bin al-ash. “Semoga Allah merahmatimu wahai Hudzaifah” sambut Hisyam.
Belum sempat hudzaifah mengangkat bejana air untuk memberi minum, tiba-tiba hisyam sudah menunjuk mujahidin lain yang terluka. “bawalah air ini kepadanya. Ia lebih membutuhkannya ketimbang aku” katanya.
Kembali dengan hati nelangsa, Hudzaifah secepat kilat mendatangi mujahid ini. Malang sekali, mujahid itu telah dipanggil Allah. Hudzaifah tercenung dan berdoa. Dengan sigap ia melompat menuju Hisyam. Rupanya, Hisyam pun dengan senyum lebar telah menjemput ajal. Dengan hati yang diliputi keharuan, Hudzaifah menghambur kepada mujahid yang pertama tadi. Tapi, lagi-lagi, ia telah menjadi syahid.
Air mata Hudzaifah meleleh. Rasa haru sekaligus bangga menyelimuti relung batinnya. Sungguh kesetiakawanan yang tiada tara, pikirnya. Semoga Allah senantiasa menumpahkan nikmat-Nya kepada mereka, doanya.  

5. Mendamaikan teman yang sedang berselisih
Dalam kitab Riyad ash-Salihin, Rasulullah Saw bersabda: “Setiap orang yang mendamaikan orang lain yang berseteru, maka baginya pahala sedekah setiap hari pada saat matahari terbit di mana dia bisa mengkompromikan antara dua orang dengan adil” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sungguh besar pahala yang dijanjikan kepada siapa saja yang bisa merekatkan kembali tali pertemanan yang sedang renggang. Sebab, tindakan tersebut memang tidak mudah.  Ada resiko yang menghadang di depan. Bila tidak berhasil, ia bisa dimaki kedua belah pihak. Bermacam tudingan buruk mengarah padanya walaupun ia berniat baik. Dibilang tidak adil, berat sebelah, punya niat buruk dan macam-macam. Jika mau berhasil, ia harus mengacuhkan itu semua dan menata niat. Dengan mendamaikan dua pihak yang berselisih, ia telah menjegal langkah setan. Pasalnya, setan paling suka melihat pertengkaran sesama muslim. Namun bila muslim itu sudah terdamaikan, ia pun masygul.

6. Toleransi kepada teman
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang begitu majemuk, tidak semua teman yang kita punya tergabung dalam satu agama dengan kita. Adakalanya teman kita juga berasal dari orang yang tidak satu agama. Dalam hal ini Islam menggariskan akhlak toleransi kepada teman yang tidak muslim, karena memang agama itu tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. Masing-masing orang mempunyai hak untuk memilih agama sekehendak hatinya. Allah berfirman: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (Q.S. al-Kafirun: 6)

  1. Akhlak kepada Non-Muslim
Bertolak dari pemahaman bahwa keberadaan kaum non muslim merupakan ketentuan Allah yang Mahamutlak sekaligus teladan Rasulullah saw. yang senantiasa berlaku welas asih kepada siapa saja, maka dalam berinteraksi dengan non-muslim pun telah digariskan sejumlah akhlak. Dengan memahami dan menindakkan akhlak tersebut dalam kehidupan nyata, berarti seorang muslim telah menaikkan derajatnya dalam sifat santun, welas asih dan ramah kepada pemeluk agama lain.
Namun perlu dicatat oleh kita semua bahwa akhlak terhadap non-muslim ini hanya berlaku kepada kalangan non muslim zimi. Dalam bahasa fikih disebut dengan kafir zimi. Kafir jenis ini adalah kafir yang memiliki semangat untuk hidup berdampingan dengan kuam muslimin. Mereka mencita-citakan hidup yang dilandasi semangat toleransi dan saling menghormati. Antara mereka dengan kaum muslimin terjalin perjanjian –tertulis maupun tidak- untuk mewujudkan keharmonisan hidup. Kondisi ini tentu berbeda dengan golongan kafir harbi. Golongan ini adalah kafir yang senantiasa memusuhi kaum muslimin. Hidup mereka tidak tenang kalau tidak merongrong dan merusak kehidupan kaum muslimin. Karenanya, setiap hari selalu timbul ketegangan antara mereka dengan kaum muslimin. Untuk golongan ini, perlakuan kaum muslimin harus tegas. Layaknya terlibat dalam kecamuk peperangan, kaum muslimin harus menundukkan mereka.
Berikut ini akhlak terhadap non muslim: 
1. Menghormati keyakinan non muslim
Sebagai seorang muslim kita memang boleh mengklaim agama kita paling benar di antara semua agama. Bahkan hal itu wajib kita tancapkan dalam lubuk sanubari. Dengan begitu, kualitas keimanan yang tertancap dalam batin kita telah mantap dan mendarahdaging. Kalau kita sendiri tidak yakin pada kebenaran keimanan yang kita anut, tentunya tauhid kita perlu diragukan. Jadi, sekali lagi, keyakinan tersebut mesti terpaku kuat. Akan tetapi, hendaknya keyakinan tersebut hanya ditandaskan secara internal. Kita tidak perlu mengungkapkan kemutlakan agama kita kepada pihak lain (non muslim). Peneguhan bahwa Islam adalah agama yang paling benar sepatutnya berlaku dalam level penghayatan, bukan dalam interaksi dengan pemeluk agama lain. 
Sebab kaum non muslim juga memiliki keyakinan serupa. Dalam lubuk sanubari terdalam, mereka meyakini bahwa hanya agama mereka yang paling benar. Agama lain keliru, termasuk agama Islam. Keyakinan yang sudah terpaku di alam kesadaran ini tidak akan tergoyahkan oleh apa pun. Karenanya, ketika ada stimulan dari luar mereka yang menyatakan bahwa agama tertentu paling benar, tentu mereka dengan spontan bereaksi menyangkalnya. Secara mutlak mereka mengklaim bahwa agama merekalah yang paling benar dan mengantar ke surga yang abadi. Akibatnya, di sini ada dua klaim kebenaran agama yang berbenturan. Jika sudah bertabrakan maka akan menimbulkan ketegangan, dan bukan tidak mungkin memantik konflik. Padahal konflik dan kekerasan dalam bentuk apa pun, tentu tidak kita inginkan.
Karena itu, langkah yang paling selamat dalam menyikapi perbedaan keyakinan antara kita sebagai muslim dengan non muslim adalah saling menghormati keyakinan. Kita meyakini kebenaran keyakinan kita. Mereka pun dipersilahkan meyakini kesejatian keyakinannya. Sikap ini ditunjukkan oleh Rasulullah saw. ketika diajak oleh pembesar musyrik untuk mencampuradukkan agama. Beliau mengungkapkan bahwa kami akan mengerjakan risalah agama kami, dan anda pun diperbolehkan mengerjakan keyakinan anda.
Hal ini dipertegas Allah: “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir.  Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.  Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.  Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.  Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.  Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S. al-Kafirun [109]: 1-6)

2. Larangan menghina sesembahan non muslim.
Kehidupan antar pemeluk agama memang sangat rentan dengan konflik terutama konflik yang berbau teologis, sebab masing-masing agama mengklaim bahwa Tuhannyalah yang paling sejati. Masing-masing pemeluk agama berkeyakinan dan menegaskan bahwa Tuhanyalah yang Mahakuasa, Mahamulia dan Maha-Maha yang lain. Perdebatan kusir pun sering kali berlangsung untuk mempertahankan keyakinannya masing-masing. Akibatnya, sering kali muncul hujatan dari salah satu pemeluk agama kepada sesembahan agama lain. Cibiran dan olokan dari suatu pemeluk agama berhamburan kepada sesembahan pemeluk agama tertentu. Tentu saja tindakan tersebut menyakitkan pemeluk agama agama yang disasar. Sebagai balasannya, mereka pun melontarkan tindakan serupa. Mencibir, mengolok dan meremehkan. Akibatnya praktik saling mengolok menjadi semarak. 
Praktik mengolok sesembahan atau tuhan agama lain sangat ditentang oleh Islam. Walaupun seorang muslim berkeyakinan bahwa Islam adalah agama paling benar dan Allah adalah Tuhan sejati, tiada tuhan selain Dia, namun bukan berarti ia boleh mengolok tuhan agama lain. Ia tak boleh mencibir tuhan agama Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan lain sebagainya. Lisannya perlu dikunci rapat-rapat dari ucapan yang bernada sindiran atau olokan. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”(Q.S. al-An'am [6]: 108).
Dari ayat di atas tergambar jelas sekali bahwa larangan mencibir pemeluk agama lain didasarkan alasan agar hal itu tidak menjadi senjata makan tuan. Sama sekali tidak diharapkan, kaum non muslim melontarkan olokan dan cibiran serupa kepada Allah, Tuhan alam semesta. Padahal mereka melemparkan hujatan dan olokan itu semata-mata didasarkan emosi dan ketidaktahuan. Karena itu, dalam interaksi antar agama diharuskan adanya saling pengertian dan menghindari praktik hujat menghujat, dan olok mengolok.

3. Toleransi pada keyakinan masing-masing
Termasuk menghormati keyakinan agama lain adalah tidak memaksa non muslim untuk memeluk Islam. Dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia ini, terdapat beberapa agama yang diakui secara resmi oleh Negara. Semua pemeluk agama tersebut berhak untuk menjalankan ritualitas agamanya secara bebas dan terhormat. Demikian juga, seluruh pemeluk agama diharuskan menghormati pemeluk agama yang lain, sehingga bisa terwujud kehidupan yang harmonis, indah dan penuh pengertian.
Dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila, termaktub sila pertama yang berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya, seluruh warga Indonesia adalah orang-orang yang beragama atau memeluk satu agama. Negara tidak mengakui adanya orang ateis di hidup di negara ini.  Penganut faham komunis dan Marxisme yang anti-agama tidak diakui keberadaannya di negara ini. Karenanya, pasca kemerdekaan, kaum tidak beragama ini ditumpas oleh pemerintah.
Mengingat bahwa tidak ada orang Indonesia yang tidak beragama, semuanya memeluk agama tertentu, maka seharusnya masing-masing lebih concern mengurusi agamanya sendiri-sendiri. Artinya, tidak arif bila ada seorang pemeluk agama mengusik kedamaian dan ketenteraman agama lain. Sepatutnya ia menyibukkan diri dengan ritualitas ibadahnya sendiri-sendiri. Di sisi lain, aktivitas dakwah yang digalakkan di republik ini sebaiknya disasarkan pada kalangan internal pemeluk agama tersebut. Kita sebagai kaum muslimin, memiliki kewajiban untuk berdakwah. Akan tetapi makna dakwah tersebut bukannya mengajak pemeluk agama lain untuk memeluk agama Islam. Karena dalam konteks Indonesia, hal tersebut sangat rawan memicu konflik. Demikian pula sebaliknya, kaum non muslim juga dilarang keras untuk merecoki dan mengusik kedamaian kaum muslimin. Mereka dilarang berdakwah untuk mengajak kaum muslimin menjadi murtad.
Sebaiknya dakwah kita lebih ditujukan untuk mencerdaskan dan meningkatkan kualitas keagamaan kaum muslimin sendiri. Masih banyak lahan-lahan dakwah di kalangan umat Islam yang masih belum tergarap. Akan tetapi, lain lagi masalahnya bila ada orang non-muslim yang ingin mengetahui risalah Islam. Sebagai seorang muslim, kita berkewajiban untuk menjabarkannya secara tuntas. Kita harus mendakwah Islam secara maksimal. Dengan begitu, kita berhap risalah Islam bisa masuk ke dalam kalbunya. Kita perlu menyampaikan risalah Islam secara lemah lembut dan sarat hikmah. Kalaupun terlibat dalam sebuah perdebatan, maka berdebatlah dengan penuh kesantunan. Allah berfirman:  “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. an-Nahl [15]:125)
Kewajiban seorang muslim dalam berinteraksi dengan muslim lain adalah memperlihatkan toleransi yang sangat tinggi. Sebab bukan tidak mungkin ketika seorang muslim memperlihatkan perilaku yang santun, beradab, penuh toleransi kepada kaum non muslim, maka mereka akan tertarik sendiri untuk memeluk Islam, dengan hidayah Allah. Banyak sekali contoh dalam sejarah yang melukiskan betapa perilaku dan gerak gerik yang mulia merupakan sarana paling efektif untuk berdakwah. Dakwah dengan perbuatan lebih mujarab dibandingkan dakwah lisan. Rasulullah saw. adalah sosok yang berbudi pekerti luhur. Karena itu banyak sekali kaum musyrikin yang insyaf dari kemusyrikannya dan memeluk agama Islam begitu melihat ketinggian akhlak beliau. Padahal beliau tidak pernah mendakwahinya agar masuk Islam. Akan tetapi keanggunan tingkah lakunya telah memancarkan pesoan tersendiri.
Dakwah Islami bukanlah dakwah yang disertai dengan pemaksaan dan kekerasan. Islam sangat anti kekerasan. Sepanjang hidupnya, Rasulullah saw. tidak pernah memaksakan risalahnya kepada orang lain. Sebab Allah telah menandaskan dalam Al-Qur'an bahwa agama tidak bisa dipaksakan: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]:251)
Toleransi dalam kehidupan beragama ini juga seyogianya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan menghormati praktik beragama pemeluk lain. Ketika, misalnya, pemeluk agama Kristen sedang menjalankan ritual misa di hari minggu maka seluruh muslimin dilarang menggangu atau mengusik kekhusyukan ibadah tersebut. Sebaliknya, ketika seorang kaum muslimin sedang menunaikan salat, maka pemeluk agama lain dilarang melakukan tindakan yang bisa mengusik ketenangan beribadah. Hendaknya masing-masing saling menghargai. Karenanya, praktik toleransi yang diterapkan oleh sebagian masyarakat Indonesia ini sangat baik. Ketika sedang marak-maraknya pengeboman gereja-gereja oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab, maka di malam natal, pasukan Banser bersama Polisi turut serta menjaga keamanan. Potret toleransi yang sangat tinggi.

4. Tolong menolong dan bekerja sama dengan non muslim
Akhlak Islam terhadap pemeluk agama lain memang sangat maju. Selain bersikap toleran, kaum muslimin juga diharapkan bisa saling menolong dengan orang non muslim atau kafir zimi, yakni kafir yang hidup berdampingan dengan umat Islam.
Tolong-menolong tersebut berlaku dalam semua ranah kehidupan, kecuali bidang agama. Artinya, kaum muslimin diperkenankan bahu membahu dengan kaum non muslim untuk memajukan pendidikan, ekonomi, kebudayaan, politik, dan aspek-aspek kehidupan yang lain. Kaum muslimin dipesilahkan gotong royong dengan kaum muslim untuk membangun jalan, memperbaiki saluran air, membersihkan sampah-sampah yang berserakan, umpamanya. Seluruh kegiatan kemasyarakatan bisa digarap secara bahu membahu. Sepanjang hal itu demi kemaslahatan bersama, maka para pemeluk agama bisa berpartisipasi aktif. Karena dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dibutuhkan kesetiakawanan dan persatuan. Namun, menyangkut urusan agama, yang bisa dikatakan urusan “rumah tangga”, maka masing-masing pihak berjalan sendiri-sendiri.
Dalam ranah ekonomi pun dipersilahkan untuk menjalin ikatan perniagaan dengan non muslim. Dalam sebuah kisah, Rasulullah saw. pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi untuk ditukar dengan bahan makanan. Praktik ini jelas menjadi cermin bagi kita betapa Rasulullah saw. sendiri menggalang kerjasama yang harmonis dengan kaum non muslim. Allah berfirman:  “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, aka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Mumtahinah [60]:8-9)
Husain Haikal menceritakan bahwa ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, ternyata kota itu sangat majemuk. Selain para sahabat Anshar yang telah memeluk Islam, di sana juga ada sejumlah pemeluk agama lain seperti Yahudi dan Nasrani. Tetapi di antara kaum non muslim ini, yang paling banyak adalah Yahudi. Dengan berkembangnya Islam di seluruh penjuru Madinah, maka beliau ditahbiskan sebagai pemimpin di kota itu, bahkan pemimpin untuk seluruh kaum muslimin di masa itu. Sebagai pemimpin, kebijakan yang beliau terapkan sangat toleran kepada pemeluk agama lain. Tidak ada pemaksaan kepada semua penduduk Madinah untuk masuk agama Islam. Walaupun seandainya beliau berkenan, bisa saja behau menerapkan kebijakan seperti itu.
Tetapi dalam faktanya masing-masing penduduk diberikan kebebasan untuk memeluk agama yang diyakininya benar. Bahkan lebih dari itu, beliau juga mengikat perjanjian dengan para pemeluk agama lain di Madinah agar tercipta iklim keberagamaan yang kondusif dan harmonis. Perjanjian itu populer disebut sebagai Piagam Madinah yang pada intinya mempertahankan sikap saling menghormati dan tidak saling mengganggu antara pemeluk agama. Rasulullah saw. berusaha sekuat tenaga menepati isi perjanjian tersebut, walaupun pihak-pihak lawan malah mencabik-cabik dan melanggarnya.

6. Senantiasa berbuat adil
Khalifah ali bin abi thalib suatu ketika kehilangan baju besinya. Beberapa hari kemudianketika sedang berjalan-jalan di pasar, ia melihat baju itu di tangan seorang yahudi. Ia menanyakannya. Akan tetapi si yahudi berkeras mengakui bahwa itu adalah miliknya sendiri. Keduanya ngotot dengan pendirianya masing-masing. Akhirnya masalah ini dibawa ke pengadilan. Pengadilan itu dijalankan dengan menggunakan system Islam. Hakimnya pun beragama Islam.
Hakim menanyakan kepada Ali apakah punya saksi. Ali menjawab bahwa Hasan, putranya, cuma melihat ketika baju besi itu akan hilang. Namun kesaksian itu dianggap tak kuat oleh hakim. Selain itu, kesaksian dari pihak keluarga tertolak. Karena tak ada bukti, akhirnya Ali dikalahkan dalam kasus ini. Walaupun seorang khalifah, ia harus tunduk pada keputusan hukum. Si yahudi dimenangkan dan berhak memiliki baju besi itu.
Tentu saja si Yahudi kaget melihat keputusan itu. Sungguh adil pengadilan Islam. Ia pun mengaku bahwa sebenarnya baju itu milik Ali. Karena menyaksikan sendiri keadilan Islam, walaupun kepada non muslim, si Yahudi ini menyatakan diri masuk Islam.
Keadilan adalah sebuah hal yang mutlak tanpa mengenal agama dan kulit. Ketika misalnya, hakimnya adalah muslim sedangkan pihak yang berseteru adalah muslim dan orang non-muslim, maka di sini hakim tersebut harus berlaku adil. Kalau memang non-Muslim salah haruslah dihukum, begitu juga kalau muslim salah dia pun tidak boleh segan untuk menjatuhkan hukuman. Jangan sampai perbedaan agama, bisa mengubah putusan yang semestinya dijatuhkan. Allah berfirnan,  “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Maidah [5]:8)

7. Larangan menzalimi dan melanggar hak non muslim
Dalam kehidupan dengan non muslim, seorang muslim wajib menghormati setiap hak non muslim. Diharamkan baginya melanggar segala hak non muslim,baik hak hidup, hak milik dan sebagainya. Ia juga dilarang menzalimi non muslim.
Sebab Rasulullah saw. bersabda "Ingatlah siapa yang menzalimi kafir mu'ahid, mengurangi haknya, membebani di luar batas kemampuannya, atau menjarah hak miliknya tanpa perkenan darinya, maka akulah musuhnya di hari kiamat."

8. Mengunjungi non muslim yang sakit dan mendoakannya
Dalam interaksi kemanusiaan, pembesukan terdapat orang sakit memiliki nilai yang sangat berharga. Karena itu, salah satu akhlak Islam adalah membesuk non muslim yang sakit. Tidak hanya saudara muslim saja yang dijenguk, tetapi juga non muslim, jika masih ada hubungan dengan kita.
Menurut informasi Anas bin Malik. Rasulullah saw. memiliki pembantu dari kalangan Yahudi. Ia masih muda. Suatu ketika, sang pembantu jatuh sakit. Segera Rasulullah saw. menengoknya dan mendoakan kesembuhannya.
Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah saw. mendoakan seorang Yahudi yang meminta didoakan oleh beliau. Dari Ibrahim, datanglah seorang Yahudi kepada Rasulullah Saw. dia berkata, "Doakan aku". Beliau berdoa, "Mudah-mudahan Allah memperbanyak harta dan anakmu, menyehatkan tubuhmu dan memanjangkan umurmu". 

9. Menghormati jenazah non muslim
Jabir bin ‘Abdillah menceritakan: Suatu hari kami melihat jenazah. Kemudian Rasulullah Saw berdiri untuk menghormat padanya, kami pun ikut berdiri. Kami menjelaskan, "Wahai Rasulullah Saw itu adalah jenazah orang Yahudi". Beliau bersabda, “kalau kalian melihat jenazah maka berdirilah.” 
Sebagai sosok teladan, Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita bersikap kepada orang non muslim. Beliau memberikan penghormatan yang sangat agung kepada setiap manusia, apa pun agamanya. Terbukti dalam riwayat di atas diketengahkan ajaran bagaimana beliau berdiri ketika ada jenazah sedang diantar ke liang lahat. Ketika arak-arakan itu lewat dengan sigap beliau berdiri untuk memberikan penghormatan terakhir. Nampaknya beliau tidak peduli jenazah siapakah itu. bahkan ketika sahabatnya mengingatkan bahwa itu jenazah Yahudi (non muslim), beliau tidak bergeming dan memerintahkan para sahabat untuk melakukan tindakan serupa.

Kontekstualisasi Akhlak
UII sebagai lembaga pendidikan tinggi berfungsi untuk mencetak al-insân al-muta’allim (manusia terpelajar) yang menyadari eksistensinya sebagai abdullâh dan khalifatullâh. Dalam konteks ini manusia terpelajar (al-insân al-muta’allim) membangun relasi dalam empat faktor: dengan Allah (al-khâliq), dengan alam (al-kaun), dengan sesama manusia (an-nâs), dan dengan kehidupan (al-hayât).

1. Relasi dengan al-Khâliq
            Relasi manusia terpelajar (al-insân al-muta’allim) dengan al-khaliq merupakan relasi penghambaan (alâqat al-ubûdiyah). Inilah yang menjadi tujuan pokok dari penciptaan manusia (al-Zariyat ayat 56-58). Ibadah yang menjadi tujuan dapat mengimplementasikan ketaatan yang prima (kamal al-tha’ah) yang disebabkan karena kecintaan yang sempurna (kamalul mahabbah), rasa optimis yang maksimal (kamalul roja’) dan rasa takut yang mendalam (kamalul khauf). Untuk sampai kepada kecintaan ini dan asesorisnya diperlukan ilmu pengetahuan dan kompetensi keahlian yang maksimal dan ditekuni (Q.S. Fathir ayat 28).
Ibadah yang menjadi bagian yang lekat dengan al-insan al-muta’allim ini mempunyai tiga manipestasi pokok yaitu manipestasi keagamaan (mazhar dini), manipestasi sosial (mazhar ijtima’i), dan manipestasi kealaman (mazhar kauni).
Manipestasi keagamaan temanya terpusat pada hubungan manusia muslim dengan sang Pencipta. Sedangkan manipestasi social adalah komitmen muslim dengan ketentuan-ketentuan Tuhan seputar hubungan personal dengan masyarakat dan kehidupan social. Sedanglan manipestasi kealaman temanya terpusat pada pengarahan sang Pencipta seputar hubungan personal dengan jagad raya.
Aplikasi mazhar dini adalah pengenalan dan pengetahuan manusia terpelajar dengan Allah SWT dan semua bentuk ibadah mahdah lainnya. Sedangkan mazhar ijtima’I akan melahirkan solidaritas social. Sedangkan mazhar kauni akan mendorong manusia terpelajar untuk memikirkan dan merenungi sekaligus meneliti ciptaan-ciptaan Tuhan.
Berangkan dari pemahaman ibadah seperti ini akan lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan tidak hanya ulum diniyah, ulum ijtimaiyah dan ulum kauniyah (ilmu-ilmu keagamaan, ilmu social dan ilmu kealaman), melainkan ilmu yang tidak terbatas secra kuantitatif dalam bingkai ilmu-ilmu pengetahuan.
Ketiga manipestasi ini saling melengkapi dan saling berkolaborasi dalam kehidupan seseorang. Pemisahan terhadap ketiga mazhar ini akan mengakibatkan kekacauan, setidakanya yaitu:
§  Membatasi konsep ibadah hanya pada mazhar dini akan mengakibatkan kealfaan/kelalaian terhadap mazhar ijtima’I dan mazhar kauni. Sehingga ilmu-ilmu social dan kealaman menjadi terabaikan.
§  Membatasi konsep ibadah pada mazhar dini akan memisahkan tujuan dengan sarana (al-goyat dengan al-wasail), atau mengedepankan tujuan dan melupakan sarana. Hal ini akan berimplikasi pada merajalelanya sikap tawakkal, malas dan sikap fatalistic, tidak ada kreasi dan inovasi dalam komunitas masyarakat beragama. Hal ini menyebabkan melemahnya produksi dalam berbagai aspek dan menghindarnya manusia dari tanggung jawab.
Kesulitan bahkan mustahil merealisasikan tujuan karena terpisahnya dari sarana. Artinya akan mempersulit penanaman nilai-nilai keagamaan pada komunitas yang kurang menghayati agama. Akibatnya kehidupan mereka akan jauh dari nilai-nilai relegius. Kenyataan ini menjadi pemandangan di tengah komunitas muslim saat ini.

2. Relasi dengan Alam
Hubungan Manusia terpelajar dengan al-Kaun merupakan hubungan eksploitasi (‘alaqah taskhir). Al-Kaun merupakan kitab terbuka untuk meneliti dan memahami sifat-sifat Tuhan. Pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan akan melahirkan al-mahabbah al-kamilah yang akan menuntun kepada at-tha’ah al-kamilah. Al-Kaun adalah merupakan laboratorium untuk meneliti kebenaaran wahyu dan membuktikan kejujuran Nabi. Dalam al-kaun manusia terpelajar meneliti perbuatan, sifat dan asma Tuhan. Di dalam al-kaun manusia terpelajar dapat mengungkap tanda-tanda kebesaran Tuhan dalam aturan-aturan yang rapid an anggun. Semua ini adalah ilmu pengetahuan yang jika diungkap oleh manusia dengan rasio dan indranya akan menjadikan kebenaran wahyu akan semakin terbukti. Wahyu dan al-kaun adalah dua bagian dalam satu buku: bagian pertama menyajikan “Ayatullah fi al-Kitab” dan bagian kedua menyajikan “ayatollah fi al-afaaq wa al-anfus” (Ali Imran ayat 190, Fussilat 53).
Taskhir artinya bahwa Allah memberikan manusia kemampuan untuk menjadikan alam mengabdi kepada kepentingan manusia dan menelitinya. Hal ini hampir hilang dari komunitas muslim selama berabad-abad, akibatnya mereka tidak merasakan dosa sama asekali jika mereka memberlakukan al-kaun dan berinteraksi dengannya dengan cara tidak waajar, akibat lain tata lingkungan menjadi rusak, lebih fatal lagi mereka tidak merasa berdosa dengan prilaku ini, karena mereka memahami konsep dosa terbatas pada pelanggaran aspek agama dan moral.

3. Relasi dengan Sesama Manusia
Hubungan Manusia dengan manusia merupakan hubungan ‘adlin dan ihsan. Hubungan ini merupakan terjemahgan aplikatif dari manipestasi social (mazhar ijtima’i) bagi umat manusia. Hubungan ini sesungguhnya tunduk pada kaidah umum yang ditetapkan al-Qur’an (Lihat Surat al-Nahal ayat 90).
‘Adl artinya al-insof (keadilan dan kejujuran). Sedangkan al-ihsan artinya al-Tafadh-dhul (berbuat baik dengan penuh kesopanan). Adil adalah batas minimal hubungan antara sesama manusia. Kurang dari batas tersebut dapat diterima jika terjadi pertentangan yang membawa emosional dan membawa sikap marah yang mengakibatkan kesewenang-wenangan dan ketidak adilan (al-jur dan al-zulm).
Adil merupakan suatu wilayah yang satu dengan yang lain lebih luas dan bertingkat sesuai dengan sesuatu yang dihadapi. Wilayah pertama berprilaku adil terhadap diri sendiri, menyusul berbuat adil pada keluarga. (Lihat Surat al-Nisa’ ayat 3). Kemudian adil dalam wilayah kerabat dekat (al-qurba) (al-An’am ayat 152). Menyusul kemudian adil dalam wilayah umat atau masyarakat yang di dalamnya merupakan kumpulan dari individu atau kelompok (lihat Surat al-Hujarat ayat 9). Terakhir adil dalam wilayah kemanusiaan secara menyeluruh (lihat Surat an-Nisa’ ayat 58).
Sikap dan perilaku adil dalam semua wilayah ini dituntut dalam berbagai situasi dan kondisi, termasuk terhadap musuh dan teman, pada saat-saat bermusuhan, atau hubungan sedang baik atau buruk. Meluas dan meratanya hubungan keadilan menunjukkan kematangan, kesempurnaan dan istiqomah. Sehubungan dengan ini lihat Surat al-Nahal ayat 76).
Adapun hubungan al-ihsan dalam arti berbuat kebaikan pada sesame merupakan suatu naluri manusia. Ia adalah merupakan hubungan dimana Allah memotivasi manusia untuk berlomba-lomba dalam bidang dan kompetensi masing-masing. Al-Ihsan akan mengembalikan manusia kepada karakter aslinya yaitu persodaraan dan solidaritas social. Al-Qur’an banyak mengisyaratkan makna ini (lihat al-A’raf ayat 199, 200, Surat al-Mu’minun ayat 96 s/d 98, Surat Fussilat ayat 34-36).
Terkait dengan 3 ayat dalam Surat Fussilat ini Ibn Kasir berkata: ini adalah tiga ayat, tidak ada empat dalam maknanya yaitu bahwa Allah memerintahkan berbuat baik pada musuh dan berprilaku ihsan dalam upaya mengembalikan karakter aslinya. Alloh juga memerintahkan manusia agar berlindung kepada-Nya dari musuh syetan, karena syetan tidak akan pernah menerima sikap baik manusia dan prilaku ihsan agar manusia tidak terjerumus nista karena permusuhan antara manusia dan syrtan sangat tajam. (Ibn Kasir, Tafsir hal. 1/13).
Ihsan juga bertingat seperti halnya keadilan. Ihsan wilayah pertama adalah terhadap diri sendiri, menyusul ihsan terhadap keluarga (kedua orang tua, anak dan isteri/suami), menyusul ihsan pada masyarakat dan kepada manusia secara keseluruhan (lihat al-Baqarah ayat 83). Ihsan juga diterapkan dalam berbagai keadaan. Berbuat ihsan sesame manusia akan melahirkan masyarakat yang bercirikan mahabbatullah, dan memperoleh pahala di dunia dan akhirat, rizki yang berlimpah, rahmat yang turun, kenikmatan dan kekuatan di dunia, magfiroh dan al-hikmah, ilmu dan kedamaian, dan rasa aman dan lain-lain.

4. Relasi dengan Kehidupan
Hubungan Manusia dengan kehidupan (al-hayat) merupakan ‘alaqah Ibtila’ (hubungan ujian dan cobaan). Hubungan ini juga ada hubungannya dengan hubunagan manusia dengan Tuhan (‘alaqh ibadah), dan ini merupakan bentuk lain dari al-mazhar al-ijtima’I yang akan membentuk kamal al-tho’ah.
Ibtila’ artinya imtihan dan ikhtibar (ujian) yaitu ujian dalam kontek ibadah dengan dua aspeknya yaitu kamal al-mahabbah dan kamal at-tho’ah. Jika hubungan al-insan dengan al-kaun berorientasi pada pembuktian kemahakuasaan Allah dan agar lebih meyakini apa yang terkandung dalam al-Risalah yang akan mewariskan mahabbatullah dan mengagungkan kebesaran-Nya, maka yang dituntut dari ‘alaqoh ibtila’ adalah pengargumentasian terhadap al-mahabbah kepada Allah dan implementasinya secara riil






Tidak ada komentar:

Posting Komentar