Hukum Menikahi Wanita HAmil Karena Zina
A.
Latar Belakang
Pergaulan bebas antara muda mudi seperti yang terjadi
sekarang ini seringkali membawa kepada hal-hal yang tidak diinginkan. Sebagai
contoh terjadinya kehamilan sebelum sempat dilakukan pernikahan, atau lebih
dikenal dengan marriage by accident
atau dalam istilah LKMD (jawa : lamar keri meteng disek (melamar balakangan tapi hamil
dahulu)) yang sering diliput dalam media massa baik cetak maupun elektronik.
Adapun yang diungkapkan oleh media adalah sebagian kecil kasus, akan tetapi
masih banyak kasus yang tidak sampai kepada redaksi.
Dengan demikian, hamil diluar nikah atau hamil sebelum terjadinya pernikahan telah menjadi problematika yang membutuhkan pemecahan yang serius, terutama oleh orang tua, guru, tokoh-tokoh masyarakat, apalagi sarjana syari’ah dan para ulama’ yang ditangan merekalah disandarkan tanggung jawab yang sangat besar menyangkut syariat.
Dengan demikian, hamil diluar nikah atau hamil sebelum terjadinya pernikahan telah menjadi problematika yang membutuhkan pemecahan yang serius, terutama oleh orang tua, guru, tokoh-tokoh masyarakat, apalagi sarjana syari’ah dan para ulama’ yang ditangan merekalah disandarkan tanggung jawab yang sangat besar menyangkut syariat.
Ditinjau dari sudut sosiologis,
berdasarkan rasa malu, maka orang tua yang kebetulan putrinya korban hamil
diluar nikah berusaha agar cucunya lahir dengan ayah, mereka cenderung tidak
ingin apabila cucunya lahir tanpa bapak. Untuk itu mereka berusaha menikahkan
putrinya dengan seorang laki-laki, baik laki-laki itu adalah yang menghamilinya
ataupun bukan laki-laki yang menghamilinya. Dengan terjadinya praktek-praktek
seperti ini yang terjadi dalam masyarakat, sehingga sangat relevan untuk
dibahas kedudukan hukum Islam dalam masalah ini.
Menikahi wanita yang hamil diluar
nikah / wanita hamil karena zina bukanlah merupakan masalah yang baru, hal ini
pernah terjadi pada masa Rosulullah SAW. Karena itu para ulama’ berdasarkan
pemahaman mereka terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadist telah berijtihad
untuk menetapkan hukumnya.
A.
Bagaimana Pengertian Zina?
Zina adalah memasukkan khasafah kepada farji atau dalam bahasa kerennya lebih dikenal dengan kata sex,
menurut definisi Malikiyah, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang
mukallaf terhadap farji manusia yang
bukan halal baginya dengan kesengajaan,[1][1] sedangkan
menurut pengertian Syafii’iyah, zina adalah memasukkan dzakar kedalam farji yang
diharamkan karena dzatnya tanpa ada subhat
dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat[2][2], jadi dari
pengertian diatas, pada hakikatnya zina
adalah memasukkan dzakar kedalam farji yang tidak halal baginya dan dalam
keadaan yang sadar serta menimbulkan syahwat.
Dari definisi zina yang telah
dikemukakan oleh para Ulama’, dapat diketahui bahwa unsur-unsur zina ada dua
yaitu 1) persetubuhan yang diharamkan, (الوطء المحرم) dan adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum (تعمد الوطء او
القصر الجنائ)[3][3] . . Persetubuhan yang dapat dianggap sebagai zina
adalah persetubuhan dalam farji atau
kemaluan. Ukurannya adalah apabila kepala kemaluan (khasyafah) telah masuk dalam farji
walupun sedikit. Walupun antara zakar
dan farji terdapat penghalang yang
tipis yang tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggama. Disamping itu
untuk menentukan persetubuhan sebagai zina adalah persetubuhan yang terjadi
bukan pada miliknya sendiri.[4][4] Apabila
persetubuhan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka tidak
dianggap sebagai zina yang dikenai hukuman had melainkan hanya tergolong kepada
perbuatan maksiat yang diancam dengan hukuman ta’zir walaupun perbuatan
tersebut merupakan pendahuluan daripada zina seperti berciuman, berpelukan,
bersunyi-sunyi dengan lawan jenis bukan mahrom, tidur bersama dalam satu
ranjang, mufakhodzah (memasukkan
penis diantara dua paha), memasukkan penis ke dalam mulut (oral sek),
sentuhan-sentuhan lembut dan menggairahkan serta merangsang diluar farji.
B.
Anjuran Nikah dan Larangan Zina
Allah ta’ala menciptakan makhluk secara
berpasang-pasangan, ada siang ada malam, ada langit ada bumi, begitu juga
manusia diciptakan secara berpasangan juga, ada laki-laki dan ada juga perempuan
yang mempunyai khoziroh
terhadap lawan jenis masing-masing. Oleh karena itu manusia dianjurkan untuk
mencari pasanganya dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat.
Anjuran untuk menikah dan perintah untuk melaksanakan perkawinan tersebut tertuang
dalam surat An-Nisa ayat 3’
dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Selain perintah ini Rosulullah SAW
juga menganjurkan para pemuda yang telah dewasa untuk menikah dengan hadist
yang artinya :.
Hai para
pemuda! Siapa saja diantara kamu yang sudah mampu menanggung biaya, maka
hendaklah ia kawin, karena kawin itu membatasi pandangan dan menjaga
kehormatan. Bagi siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena
puasa itu menjadi perisai baginya.
Secara implisit, hadist diatas
menunjukkan batapa besarnya rahmad perkawinan, karena dapat memelihara
seseorang dari perbuatan–perbuatan tercela, dengan perkawinan, nafsu syahwat
dapat disaalurkan melalui jalur yang telah ditentukan. Agama Islam juga
menunjukkan jalan keluar bagi yang belum mampu untuk menikah, yaitu dengan
berpuasa. Karena dengan berpuasa dapat membersihkan jiwa dan mempunyai daya
yang kuat untuk manahan nafsu berbuat haram.
Disamping anjuran menikah,
Rosulullah melarang umatnya hidup membujang, menghindarkan diri dari
perkawinan. Anas bin Malik mengatakan bahwa ada tiga golongan orang yang datang
ke rumah istri-istri Nabi SAW, mereka menanyakan tentang ibadah Nabi SAW.
Manakala diberitahukan, seolah-olah mereka saling berkata, maka mereka berkata
dimana letaknya ibadah kita kalau dibandingkan dengan ibadah Nabi SAW,
sedangkan beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan
datang. Salah seorang diantara mereka berkata : “ saya akan sholat semalam
suntuk, seorang lagi berkata : saya akan berpuasa selama-lamanya dan tidak akan
berbuka, yang ketiga berkata : saya memutuskan diri dari berhubungan dengan
wanita dan tidak akan kawin lagi. “ Maka
Nabi SAW berkata kepada mereka
Kalian
mengatakan demikian, demi Allah, sesungguhnya saya lebih takut dan lebih takwa
kepada Allah dibanding kalian, tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya
mengerjakan sholat, tidur dan kawin. Maka siapa yang berpaling dari sunnahku
ini, tidak termasuk dari golonganku.
Berdasarkan perintah menikah dan
larangan membujang, para ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan hukum nikah.
Menurut jumhur, nikah itu sunah dan kadangkala bisa menjadi wajib dan haram.
Sedangkan menurut Ahlu Dhohir, termasuk Ibnu Hazm, mengatakan wajib[5][5]
Perbedaan pendapat tersebut
disebabkan perbedaan mereka dalam mengartikan perintah ayat dan hadist diatas.
Apakah perintah tersebut berarti wajib atau tidak. Demikian juga mengenai
kemaslahatan yang terkandung dalam aqod nikah. Pada sebagian orang nikah itu
menjadi wajib, karena semua syarat kawin tepenuhi. Pada sebagian orang kawin
itu menjadi sunah, haram, atau mubah. Hal ini sesuai dengan berlebih atau
berkurangnya masalah,[6][6] sesuai
dengan perbedaan kemampuan orang itu sendiri / individual different.
Pembagian perkawinan menjadi wajib,
sunah, mubah dan haram itu disebabkan karena perbedaan keadaan mukallaf yang
kepadanya disandarkan hukum taklif,[7][7] sesuai
dengan situasi dan kondisinya. Para ulama’ mazhab telah berijtihad dalam masalah
ini.
Tujuan perkawinan tidak hanya
terbatas pada hubungan kelamin saja, akan tetapi lebih jauh mencakup tuntunan
kehidupan yang penuh rasa kasih sayang sehingga manusia dapat hidup tenang,
baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Imam Muhammad Abu Zahra’ telah
mengungkapkan bahwa perkawinan merupakan dasar pokok dalam rumah tangga. Dengan
perkawinan ditetapkam adanya hak dan kewajiban bagi setiap individu, baik suami
maupun istri, sehingga terbinalah ketentraman jiwa bukan sekedar dalam hubungan
syahwat. Perkawinan merupakan cirri utama pembinaan kehidupan bermasyarakat.
Manusia tidak dapat hidup secara individual. Tetapi setiap manusia mempunyai
hak dan kewajiban masing-masing sebagai anggota masyarakat, sehingga
terbentuklah persaudaraan kemanusiaan yang penuh rasa kasih sayang yang diikat
dengan tali agama[8][8]. Hal ini
senada dengan firman Allah yang artinya :
Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istrimu dari
jenismu sendiri, supaya kamu merasa tentram kepadanya dan dijadikan rasa kasih
saying dan rahmah diantara kamu. Sesungguhnya pada yang itu sungguh menjadi
tanda bagi orang yang berfikir.
Islam membina masyarakat yang damai,
tentram dan aman melalui perkawinan, dengan peraturan-peraturan yang rinci baik
melalui Al-Quran maupun Al-Sunah, untuk menjaga masyarakat tetap aman dan
damai, Islam melarang zina dengan memberikan hukuman kepada pelakunya, karena
zina dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia, baik secara individu
maupun masyarakat. Allah melarang tegas perbuatan zina dengan firman-Nya :
Dan
janganlah kamu mendekati zina, sesumgguhnya zina itu sesuatu perbuatan yang
keji dan jalan yang buruk.
Larangan zina tersebut diatas
diikuti hukuman bagi para pelakunya sebagaimana termaktub dalam surah Al-Nur
ayat 2
Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah keduanya seratus kali
dera, dan janganlah ada belas kasihan kepada keduanya yang mencegah kamu untuk
menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah
pelaksanaan hukuman mereka itu disaksikan
oleh sekelompok kaum mukminin.
Islam menganjurkan nikah dan
melarang zina untuk menjaga kesejahteraan masyarakat, karena zina merupakan
sumber kehancuran.
Menurut dokter ahli penyakit kulit
dan kelamin, zina merupakan sumber penularan penyakit sifillis, gonore, dan
sejenisnya. Bila seorang lelaki berzina dengan seorang WTS kemudian berhubungan
badan dengan istrinya, maka besar kemungkinan istrinya akan tertular penyakit sifillis atau gonore.[9][9]
Islam sejak dini menberantas
penyakit ini dengan tidak menyediakan ladang tempat tumbuh dan berkemnbang,
yaitu dengan melarang zina dan menindak pelakunya secara keras. Selama zina
dibiarkan hidup dan berkembang, maka penyakit kelamin akan tetap subur dan tak
mampu untuk ditanggulangi.
C.
Bagaimana Pendapat Ulama’ Tentang
Menikahi Wanita Pezina?
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam
menyikapi masalah hukum menikahi wanita pezina, perbedaan ini disebabkan
berbedanya titik pandang terhadap pemahaman kalimat larangan menikahi wanita
pezina sebagaimana tertuang dalam surat Al-Nur :3
Laki-laki
yang berzina tidak menikahi kecuali perempuan yang berzina atau perempuan
musyrik, dan perempuan pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi
orang-orang yang beriman.
Menurut Ibnu Rusyd, para ulama’
mempertanyakan apakah larangan tersebut yaitu kata la yankihuha kareana dosa atau haram.[10][10]
Jumhur ulama’ cenderung mengartikan
sebagai dosa, bukan haram. Maka mereka membolehkan menikahinya, berdasarkan
hadist[11][11]
Ada seorang
laki-laki bertanya kepada nabi mengenai istrinya yang berzina, nabi menjawab :”
talaklah dia. Laki-laki itu mengatakan: saya sangat mencintainya. Nabi menjawab
: tak usah engkau ceraikan dia.”
Hadist inilah yang menjadi pegangan
jumhur, Nabi mencabut kembali perintahnya kerena laki-laki mengatakan bahwa dia
sangat mencintai istrinya. Kebijaksanan Nabi ini sangat dapat dimaklumi apalagi
laki-laki itu sangat mencintai istrinya tentu dia akan menjaga istrinya untuk
tidak akan berzina lagi.
Menurut Sayid Sabiq, boleh menikahi
wanita pezina dengan catatan bahwa mereka harus bertaubat terlebih dahulu.[12][12] Pendapat
ini berdasarkan kepada firman Allah SWT
Dan
orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar dan
tidak berzina. Barang siapa melakukan yang demikian itu, dia akan mendapat
dosa. Akan dilipat gandakan azab baginya pada hari kiamat dan ia akan kekal
dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat
beriman dan mengerjakan amal sholeh, maka Allah akan menggantikan kejahatan
mereka dengan kebajikan. Dan Allah lagi maha pengampun lagi maha penyayang.
Dikalangan para sahabat, ada yang
berpendapat apabila seseorang telah bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat,
meskipun sebelumnya ia seorang pezina, maka boleh dinikahi. Ibnu Abbas pernah
ditanya seseorang mengenai wanita pezina yang kemudian bertaubat. “apakah ia
boleh dinikahi??” sebelum Ibnu Abbas menjawab, Anas memperingtkan, perempuan
yang berzina tidak dikawini kecuali oleh laki-laki yang berzina atau musyrik.
Ibnu Abbas mengatakan : ” pertanyaan tadi tidak termasuk apa yang anda katakan,
hai Anas. “Ibnu Abbas berkata kepada laki-laki itu : ”nikahilah dia, bila
berdosa, saya yang akan bertanggung jawab.”[13][13]
Yusuf Al-Qordhowi berpendapat, tidak
boleh mengawini wanita lacur. Ia mengemukakan peristiwa dimasa Nabi SAW .
Murtsad bin Murtsad meminta kepada Nabi SAW untuk mengawini wanita lacur. Nabi SAW berpaling darinya sehingga turunlah
ayat az zani la yankihuha…. Nabi
membacakan ayat tersebut kepadanya seraya berkata “ kamu jangan menikahinya.”[14][14]
Al-Qordhowi selanjutnya mengemukakan
alasan bahwa Allah hanya membolehkan mengawini wanita yang baik-bak dari
kalangan Islam dan ahli kitab. Dengan demikian yang halal dikawini bagi
laki-laki ialah wanita yang baik-baik (muhsonat)
sebagaimana surat Al Nisa’ ayat 24.[15][15] menurut
Al-Qordhowi, ayat az zani la yankihuha…disebutkan
setelah ayat yang manyatakan hukuman jilid. Menurutnya hukum ini adalah hukum badaniah. Adapun hukum adabiah ( moral ) ialah pengharaman
mengawini pezina.[16][16]
Pendapat Al-Qordhowi ini sebetulnya
sudah amat tegas namun masih memberikan jalan keluarnya, yaitu apabila mereka
telah bertaubat maka boleh dinikahi, dan untuk mengetahui kesucian rahimnya
maka harus malampaui sekurang-kurangnya satu kali haid.
Dengan demikian penulis cenderung
tidak membolehkan menikahi wanita lacur selama dia belum bertaubat. Karena
ditinjau dari sudut pandang kesehatan, wanita lacur cukup berbahaya karena
dapat menularkan penyakit kelamin. Oleh karena itu tepat sekali pendapat ulama’
yang mengatakan haram menikahi wanita lacur kecuali telah bertaubat.
Untuk masa sekarang, penulis
cenderung merekomendasikan untuk menambahkan syarat yaitu ke dokter sebagai
upaya penguat apakah wanita itu benar-benar terbebas dari penyakit kelamin,
karena walaupun dia sudah lama tidak melacur dan bertaubat, belum tentu dia telah
terbebas dari penyakit kelamin.
D.
Bagaimana Hukum Menikahi Wanita
Hamil Karena Zina?
Para ulama’ berbeda pendapat
mengenai wanita yang hamil diluar nikah, apakah mereka dikenakan had atau
tidak. sebagian ulama’ berpendapat bahwa dikenakan had, dan sebagian lagi
tidak. Yang mengatakan tidak adalah pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i karena
kemungkinan wanita itu dipaksa atau laki-laki itu mendatanginya pada waktu
wanita itu tidur.[17][17] Pendapat
itu tepat sekali dalam konteks sekarang ini mengingat masa sekarang ini banyak
sekali dijual obat-obat penenang atau obat tidur. Hal ini sering kita temukan
di media massa baik elektronik maupun cetak. sebagian ulama’ ada yang
berpendapat bahwa wanita hamil karena zina mempunyai iddah, dan ada yang
berpendapat tidak ada iddahnya. Demikian juga mengenai dihargai atau tidaknya
sperma zina. Berdasarkan perbedaan ini maka diantara para ulama ada yang
berpendapat sah menikahi wanita hamil karena zina dan adapula yang berpendapat
tidak sah. Hal ini apabila yang menikahi wanita hamil itu adalah orang lain,
bukan pria yang menghamilinya. Adapun kalau pria yang menghamilinya maka sah
menikahinya, tetapi anak yang lahir diluar nikah itu tidak dinisbatkan
kepadanya.
a.
Pernikahan dengan Bukan Pria yang Menghamilinya
Dalam masalah ini ulama’ berbeda
pendapat, ada dua pendapat yang berkembang, yang pertama, pendapat yang
mengatakan sah nikah dan tidak boleh digauli. Abu Hanifah dan As-Syafi’i
berpendapat bahwa wanita hamil diluar nikah tidak ada iddahnya.[18][18] Menurut
mereka wanita yang berzina tidak dikenakan ketentuan-ketentuan hukum
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh nikah syar’i, karena iddah itu
disyri’atkan untuk memelihara keturunan dan menghargai sperma. Dalam hal ini
sperma zina tidak dihargai dengan alasan tidak ditetapkanya keturunan anak zina
kepada ayahnya, tetapi kepada ibunya. Hal ini berlandaskan kepada hadist Nabi
Anak itu
dinasabkan kepada ibunya (pemilik firasy), sedangkan laki-laki pezina itu tidak
memiliki apa-apa.
Kalau sperma zina tidak dihargai,
maka tidak mencegah aqod nikah wanita yang yang berzina. Ia halal untuk
dinikahi dan tidak ada hukum yang menetapkan keharaman menikahi wanita wanita
hamil karena zina. Hanya saja tidak boleh menikahi sebelum ia melahirkan.[19][19]
Dipandang dari segi positifnya,
pendapat diatas memang mengandung segi positif yaitu dapat menutup aib seorang
wanita. Masyarakat akan mengetahui bahwa anak yang lahir itu mempunyai ayah
walaupun nasab anak itu tidak disandarkan kepada ayahnya. Suatu hal yang
menjadi pertanyaan adalah apakah seorang laki-laki mampu tidak menyentuh
istrinya padahal mereka telah nyata tinggal serumah?
Pendapat kedua adalah pendapat yang
mengatakan tidak sah nikah dan tidak boleh bergaul. Pendapat ini dikemukakan
oleh Malik dan Ahmad, dimana wanita hamil karena zina wajib iddah dan tidak sah
aqod nikahnya, karena tidak halal menikahi wanita hamil sebelum
melahirkan. Ini juga pendapat Abu Yusuf
dan Zafar[20][20]. Mereka
menyandarkan alasan mereka kepada hadist Nabi :
Barang siapa
beriman kepada allah dan hari akhir maka tidak menyiramkan airnya ketanaman
orang lain. (HR. Abu Daud)
Dasar selanjutnya adalah
Perempuan
hamil dilarang digauli sampai ia melahirkan. (HR. Abu Daud)
Mereka mengatakan bahwa karena
wanita hamil dari hubungan dengan laki-laki lain, maka haram menikahinya
sebagaimana haram menikahi wanita hamil lainya, sebagaimana hamil yang ada
nasabnya. Oleh karena tujuan nikah adalah untuk menghalalkan hubungan kelamin,
dan apabila tidak boleh hubungan kelamin maka nikah itu tidak ada artinya.[21][21]
Hadist diatas merupakan hujjah bagi orang yang mengatakan tidak
sah nikah dan tidak boleh menggauli. Mereka mewajibkan iddah karena pada
dasarnya mereka menginginkan kesucian rahim. Iddah wanita hamil adalah sampai
ia melahirkan, dan setelah melahirkan harus ditambah satu syarat lagi yaitu
bertaubat
b.
Pernikahan dengan Pria yang Menghamilinya
Para ulama sepakat bahwa laki-laki
pezina halal bagi wanita pezina.[22][22] Dengan
demikian pernikahan antara pria dan wanita yang menghamilinya sendiri adalah
sah. Mereka boleh bersetubuh sebagimana layaknya suami istri. Hal ini juga
tidak bertentangan dengan surat Al-Nur ayat 3 karena statusnya adalah sebagai
pezina.
Pengarang kitab Muhazzab mengatakan
dengan tegas apabila seseorang berzina dengan perempuan, tidak diharamkan
mereka menikah sesuai frman Allah surat Al-Nisa’ ayat 24 yang artinya :
……….dan dihalalkan bagimu selain yang demikian.
Demikian juga sesuai dengan hadist
yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Nabi pernah ditanya oleh seseorang lelaki
yang berzina dengan perempuan, lalu kemudian dia ingin menikahinya atau dengan
anaknya perempuan yang dizinai. Nabi berkata : “haram itu tidak mengharamkan
yang halal, hanya saja yang diharamkan dengan nikah dan tidak diharamkan karena
zina ibunya atau anaknya[23][23]
Ini bukan berarti bahwa seorang yang
menghamili wanita kemudian menikahinya maka masalahnya selesai, akan tetapi
mereka wajib bertaubat nasuha dengan beristiqfar menyesali dan menjauhkan diri
dari dosa, dan keduanya memulai hidup baru yang bersih tanpa dosa.
E.
Bagaimanakah Status Anak Zina?
Diatas telah disebutkan mengenai
kebolehan menikahi wanita hamil karena zina dan boleh menggaulinya bila lelaki
itu sendiri yang menghamilinya. Persoalanya yang muncul adalah bagaimana status
anak yang akan lahir, bagaiman nasabnya?
Pada dasarnya, nasab anak zina
disandarkan kepada ibunya[24][24]sesuai
dengan hadist Nabi al waladu lil firasyi
(seorang anak adalah milik ibunya). Maka anak itu tidak dinasabkan kepada
ayahnya walaupun ayahnya mengakui bahwa anak itu adalah anaknya.[25][25]
Dr. Wahbah Al-Rakhili mengupas hal
ini secara mendalam yaitu dengan menetapkan batas waktu kelahiran anak dihitung
sejak terjadinya perkawinan, karena kehamilan seorang itu agaknya sulit
diketahui kecuali oleh wanita itu sendiri. Menurutnya apabila bayi itu lahir
setelah enam bulan sejak terjadinya aqod nikah, maka bayi itu dinisbatkan
kepada ayahnya. Dan apabila lahir kurang dari enam bulan sejak terjadinya aqod
maka dinisbatkan kepada ibunya kecuali bila suami mengatakan bahwa anak itu
adalah anaknya dan dan bukan dari hubungan zina. Pengakuan ini menurutnya
menetapkan nasab kepada suami berdasarkan aqod nikah yang lalu, karena orang
Islam harus berbuat baik dan menutup aib[26][26]
Dr. Wahbah Al-Rakhili tidak menyebutkan
alasan dari penetapan waktu enam bulan. Ia menjadikan pengakuan sang ayah bahwa
anak itu adalah anaknya bila lahir kurang dari enam bulan dengan alasan orang
Islam harus berbuat baik dengan menutup aib.
[1][1] Abdul
Kadir Audah, At Tasyri’ Al Jinayi Al
Islamiyi Juz 2, (Beirut Dar Al Kitab Al Araby,tt) hal 349
[2][2] ibid
[4][4] Ahmad
Wardi Muslich, , Hukum Pidana Islam,
(Jakarta : Sinar Grafika Osffset, 2005), hal.8
[5][5]
Mustafa Said Khan, Atsar Al Akhti Af Fi Al-Qowaid Al Ushuliyah Fi Ikhtilaf Al
Fuqoha’i, (Kairo,Muassasah Al-Risalah, 1969) hal 568-569
[7][7]
Al-Imam Muhammad Abu Zahro’, Al Akhwal Al
Syahshiyah, (Mesir Dar Al Fikr Al Araby, 1957) hal 23-28
[8][8] Ibid
hal 19-20
[9][9]
Mawarli Harahap, Penyakit Menular Seksual,(Jakarta,PT
Gramedia, 1984) hal 3
[10][10] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayah Al
Muqtasyid, ( Semarang, Penerbit Semarang,tt) hal 30
[12][12]
Sayyid Sabiq, fiqh al sunah, (
Beyrut, Dar Al Fikry, 1404 ) hal 85
[13][13] Ibid , hal 86
[14][14]
Yusuf Al Qordhowi, Al Halal Wal Haram Fil
Islam, ( Bierut, Maktabah Al Islam, 1978 ) hal 181
[16][16] Ibid
[17][17] Ibnu
Rusyd, op.cit., hal 329
[18][18]
Abdurrahman bin Abdurrahman Syumailah al-ahdal, Al-Inkihat Al-Fasidah (Riyadh,Al-Maktabah Al-Dauliyah,1984) hal 225
[20][20] ibid
[22][22]
Wahbah Al-Rakhili, Al-Fiqh Al Islamy Wa
Adillatuhu Juz VII,( Beyrut, Dar Al-Fikry,1985) hal 184
[23][23] Al
Syaikh Al-Imam Al-Zuhdi, Al-Muhazzab II,
(Mesir, Isa Al Baby Al Halaby Wa Syurakahu,tt) hal 43
[24][24]
Abdurrahman bin Abdurrahman Syumailah Al-Ahdal, ..op. cit., hal 255
[25][25]
Hasan Kamil Al-Malthawi, Fiqh Mu’amalat
‘Ala Mazhab Imam Malik, (Mesir, Jumhuruiyah Mishr Al-Arabiyah Al-Majlis
‘Ala Li Syuun Al Islamiah Lajnah Al Ta’rif Bi Al Islam, tt) hal 294_
[26][26]
Wahbah Al-Rakhili,, op.cit., hal 148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar