NIKAH MUT’AH DAN STATUS ANAK ZINA
- PENDAHULUAN
Sebagaimana yang telah diketahui, di masa sekarang ini
nikah mut’ah sering dimanfaatkan banyak orang, namun hal itu disalah artikan
oleh mereka. Contohnya saja di kota-kota besar, banyak mereka yang
melangsungkan nikah mut’ah, padahal mereka sendiri tidak termasuk kedalam salah
satu syarat bagaimana melakukan nikah mut’ah itu sendiri. Lebih lagi banyak
rumor menyatakan nikah mut’ah itu dilarang bahkan diharamkan.
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang
sangat berarti. Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua
masih hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal, anak
adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda
kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi,
maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya[1].
Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT
mensyari’atkan adanya perkawinan.
Oleh karena itu agama Islam melarang perzinaan. Hukum
Islam memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Karena zina dapat
mengakibatkan ketidakjelasan keturunan. Sehingga ketika lahir anak sebagai
akibat dari perbuatan zina, maka akan ada keraguan tentang siapa bapaknya.
Dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami, mutlak
menjadi anak dari suami itu, tanpa memerlukan pengakuannya darinya.[2]
Hal ini diungkapkan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ :
32:
“dan janganlah
kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk”.
2. RUMUSAN MASALAH
a.
Bagaimana Hukum Nikah Mut’ah
- Bagaimana Status Anak Zina
3. PEMBAHASAN
a. Hukum Nikah
Mut’ah
- Pengertian nikah mut’ah
Kata mut’ah berasal dari bahasa arab ma-ta-’a yang
mengandung beberapa arti diantaranya yaitu:
- Kesenangan, seperti dalam firman allah: متاع الحياة الدنيا(QS. 3: 14)
- Alat perlengkapan, seperti dalam firman allah:متاعا لكم وللسيارة(QS. 5: 96)
- Pemberian, seperti dalam firman allah: وعلى المقتر قدره متاعا بالمعروف(QS. 2:236)
Nikah mut’ah dalam istilah hukum bisa disebutkan: “
perkawinan untuk masa tertentu”, dalam arti dalam waktu akad dinyatakan berlaku
ikatan perkawinan sampai masa tertentu yang bila masa itu telah dating,
perkawinan terputus dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian.[3]
Nikah mut’ah adalah ikatan seorang laki-laki dengan
seorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan upah tertentu pula.[4]
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah
terputus karena laki-laki menikahi seorang perempuan hanya untuk sehari atau
seminggu atau sebulan. Dinamakan nikah mut’ah karena laki-lakinya bermaksud
untuk bersenang-senang saja[5].
Hukum nikah mut’ah
Jumhur ulama’ telah mengemukakan pernyataan tentang
keharaman nikah mut’ah, antara lain:
Pada tanggal 25 oktober 1997, dewan pimpinan majlis
ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa:[6]
1) Nikah mut’ah hukumnya adalah
HARAM.
2) Pelaku
nikah mut’ah harus dihadapkan kepengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini dikuatkan dengan pernyataan bahwa pernikahan seperti ini oleh seluruh
imam madzhab disepakati haramnya.[7]alasan
mereka adalah:
- Pernikahan seperti ini tidak sesuai dengan pernikahan yang di maksud dalam al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah thalak, iddah, dan pusaka. Jadi kawin seperti ini bathil sebagaimana bentuk perkawinan- perkawinan lain zang dibatalkan islam.
- Banyak hadist-hadist yang dengan tegas menyebutkan haramnya. Umpamanya: hadist dari saburahal-jahmiy, bahwa ia pernah menyertai rosululloh dalam perang penaklukan makkah, dimana rosululloh mengizinkan mereka nikah mut’ah.
Katanya: ia (saburah) tidak meninggalkan kawin mut’ah
ini sampai kemudian di haramkan oleh rosululloh. Dalam suatu lafadz yang di
riwayatkan oleh ibnu majah, rosululloh telah mengharamkan kawin mut’ah
dengan sabdanya:
يا ايها الناس انى كنت اذنت لكم فى الاستمتاع الا وان
الله قد حرمها الى يوم القيامة.
“wahai manusia! Saya telah mengizinkan kamu kawin
mut’ah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Alloh telah mengharamkan sampai hari
kemudian.”[8]
وعن على ر.ض. ان رسول الله صلعم نهى عن متعة النساء يوم
خيبر, وعن لحوم الحمر الاهلية
Dari ‘ali, Rasululloh saw. Telah melarang kawin mut’ah
pada waktu perang khaibar dan melarang makan daging keledai penduduknya.[9]
- Umar ketika menjadi khalifah dengan berpidato di atas mimbar mengharamkannya dan para sahabat pun menyetujuinya, padahal merka tidak akan mau menyetujui sesuatu yang salah, andai kata mengharamkan nikah mut’ah itu salah.
- Al khatthabi berkata: haramnya nikah mut’ah itu sudah ijma. Kecuali oleh beberapa golongan aliran syiah.
Menurut kaidah mereka (golongan syiah) dalam
persoalan-persoalan yang di perselisihkan tidak adadasar yang sah sebagai
tempat kembali kecuali kepada ali, padahal ada riwayat yang sah dari ali kalau
kebolehan nikah mut’ah sudah dihapuskan.
Baihaqi meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad keetika
ia di tanya orang tentang nikah mut’ah. Jawabannya: sama dengan zina.
- Kawin mut’ah sekedar bertujuan pelempiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara anak-anak, yang kedua merupakan maksud pokok dari perkawinan. Karena itu ia di samakan dengan zina, di lihat dari segi tujuan untuk semata-mata bersenang-senang.
Selain itu juga membahayakan perempuan, karena ia
ibaratsebuah yang pindah dari satu tangan ke tangan lain, juga merugikan
anak-anak, karena mereka tidak mendapatkan rumah tempat untuk tinggal dan
memperoleh pemeliharaan dan pendidikan dengan baik.
- Nikah mut’ah hanya bertujuan untuk melampiaskan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara anak, yang keduanya merupakan tujuan utama pernikahan.
Firman Allah SWT:
Artinya:
Dan (diantara sifat orang mu’min itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali
terhadap istri mereka, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.
(QS.Al-mu’minun:5-6).
Ayat tersebutjelas mengutarakan bahwa hubunggan
kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai istri. Sedangkan
wanita yang di nikahi dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri, karena
akad mut’ah bukanlah akad nikah, dengan alasan sebagai berikut:
- Tidak saling mewarisi. Sedangkan akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan.
- Iddah mut’ah tidak seperti iddah nikah biasa.
- Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan beristri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut’ah.
- Dengan melakukan mut’ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri, sebab mut’ah itu tidak menjadikan wanita berstatus sebagai istri.
- Status Anak Zina
- Pengertian
Sebelum kita masuk pada pembahasan status anak zina,
perlu kita ketahui bahwa zina adalah memasukkan zakar kedalam farji
istrinya dan tidak ada unsur syubhat ( keserupaan atau kekeliruan). Zina
itu dilarang dan haram hukumnya, sebab zina mengandung bahaya besar bagi
pelakunya sendiri dan juga bagi
masyarakat, antara lain:
- Pencemaran kelamin dan pencampuran nasab (keturunan), padahal islam sangat menjaga kesucian/ kehormatan kelamin dan kemurnian nasab.
- Penularan penyakit kelamin.
- Pertengkaran keluarga yang berakibat perceraian.
- Teraniayanya anak yang tidak berdosa akibat zina.
- Pembebanan kepada masyarakat dan Negara karena mengasuh anak yang tidak berdosa tersebut.
Anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari
hasil hubungan badan diluar nikah. Anak zina menurut pandangan islam, adalah
suci dari segala dosa, karena kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada
anak tersebut tetapi kepada kedua orang tuanya. Firman allah SWT:
Artinya:
(yaitu)
bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, (QS. An-Najm:
38)
Anak zina atau jadah itu suci dari segala dosa orang
yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan hadis nabi Muhammad
SAW:
- Status Anak Zina Menurut Hukum Islam
Mengenai status anak zina, para ulama sepakat bahwa
anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung
jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan
keluarga ibunya.Demikian pula dengan hak waris-mewaris[10].
Dalam hal ini akan di bagi ke dalam dua kategori :
a. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang
sah,[11]
namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah
Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir
setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada
bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan
kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak
di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.[12]
b. Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar
pernikahan yang sah
Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua
mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
(a). Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak
itu hanya mempunyai
hubungan
nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memebrikan nafkah kepada anak itu,
namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah
secara manusiawi, bukan secara hukum.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri
seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya
hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha)[13]
(b). Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena
hubungan nasab
merupakan salah satu penyebab kerwarisan.
(c). Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar
nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa
lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya[14].
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
فَنِكَاحُهَابَاطِلٌ … فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ
وَلِيَّ لَهُ
“Siapa saja wanita yang
menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali
berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita
yang tidak punya wali.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)[15]
3. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
Nikah mut’ah adalah perkawinan untuk masa tertentu”,
dalam arti dalam waktu akad dinyatakan berlaku ikatan perkawinan
sampai masa tertentu yang bila masa itu telah
dating, perkawinan terputus dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian.
Dan dewan pimpinan majlis ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa nikah mut’ah
hukumnya adalah HARAM. Kemudian mengenai status anak zina, para ulama sepakat
bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya dan
tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah
ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pula dengan hak waris-mewaris.
4. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat pemakalah sampaikan,
pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena
kesempurnaan hanyalah milik allah SWT. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat pemakalah harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
selanjutnya.
Dan akhirnya pemakalah mohon maaf apabila terdapat
banyak kesalahan, baik dalam sistematika penulisan, isi dari pembahasan maupun
dalam hal penyampaian materi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pemakalah sendiri pada khususnya dan para pembaca budiman pada umumnya dalam
kehidupan ini, amiiin,,
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahalli
Jalaludin, Al-Qulyuby wa „Umarah, , Juz III, (Semarang: Maktabah
Putra Semarang, t.th.)
Hasan Ali, Azas-azas
Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukun Islam di
Indonesia, (Jakarta: Raja wali Press, 1997)
Ibn Ruyd, Bidayah
Al-Mujtahid .juz 5(Beirut: Dar Al-Fikr)
Sabiq Sayid,
Fiqih Sunnah, ( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006
Sayyid
Sabiq, fiqih sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif,1997)
Syarifuddin
Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009)
Syarifuddin
Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002)
Qardhawi
Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1976
[1] Yusuf al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya:
PT.Bina Ilmu, 1976), hlm. 256-158
[3]
Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang- undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana,
2009) hlm 10
[4] Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal
dan Haram dalam Islam, ( Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997) hlm 257
[5] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2006), hlm. 523
[8]
Sayyid Sabiq, fiqih sunnah,
(Bandung: PT. Al-Ma’arif,1997), hlm. 58
[10] Ibn Ruyd, Bidayah Al-Mujtahid .juz 5(Beirut:
dar al-fikr)., h. 357
[11] M. Ali Hasan, Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukun Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja wali Press, 1997),
h 81
[12] Jalaluddin al-Mahalli, al-Qulyuby
wa „Umarah, , Juz III, (Semarang: Maktabah Putra Semarang, t.th.), hlm. 31
[13] http:// anak muslim. WordPress.com,
[14] Dr. Amir Syarifuddin, Meretas
Kebekuan Ijtihad, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 195
[15] Op cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar