Polemik nikah sirri dan isbat nikah
Meskipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah diundangkan pada
tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku efektif sejak dikeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada tanggal 1 Oktober 1975, namun sampai saat ini ketentuan yang
diatur dalam Pasal 2 ayat (2)
tentang pencatatan perkawinan masih banyak dilanggar. Masih
banyak umat Islam yang melakukan praktik kawin atau nikah sirri, yakni
tidak mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor
Urusan Agama sehingga tidak mempunyai
kutipan akta nikah atau buku nikah yang menjadi bukti otentik terjadinya
perkawinan.
Praktik kawin atau nikah sirri ini
disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena faktor ketidaktahuan dan
ketidaksadaran akan pentingnya dokumen perkawinan maupun karena adanya maksud
untuk memanfaatkan celah hukum bagi mereka yang akan melangsungkan poligami,
atau menjaga kelangsungan tunjangan suami bagi wanita yang telah bercerai, atau
seorang istri takut tunjangannya sebagai istri Pegawai Negeri Sipil yang
ditinggal mati oleh suaminya hilang, dan atau karena masalah biaya pencatatan
perkawinan bagi mereka yang tidak mampu.
Di samping faktor tersebut di atas, di
kalangan umat Islam masih ada yang
berpegang teguh pada pemahaman bahwa perkawinan sudah sah apabila dilaksanakan
menurut ketentuan hukum Islam, tidak perlu ada pencatatan dan tidak perlu ada
surat atau akta nikah, sehingga perkawinan di bawah tangan atau
kawin sirri pun tumbuh subur, seiring dengan tidak adanya sikap proaktif
Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama
untuk mengawasi setiap peristiwa nikah yang ada di
wilayahnya.
Pengertian Nikah Sirri
Kata “sirri” dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab sirrun
yang berarti secara diam- diam atau tertutup, secara batin, secara rahasia,
secara sembunyi-sembunyi,
atau misterius. Jadi nikah sirri berarti nikah secara rahasia (secret
marriage, pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak).
Menurut Prof. DR. Mahmud Syalthut, mantan
Rektor Universitas al-Azhar di Kairo Mesir, berpendapat
bahwa nikah sirri
merupakan jenis pernikahan di mana akad atau transaksinya
(antara laki-laki dan perempuan) tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan
(i’lan), tidak tercatat
secara resmi, dan
sepasang suami isteri
itu hidup secara
sembunyi- sembunyi sehingga tidak ada orang lain selain mereka berdua
yang mengetahuinya. Fuqaha berpendapat nikah sirri seperti ini
tidak sah (batal), karena ada satu unsur syarat sah nikah yang tidak terpenuhi
yakni kesaksian. Jika dalam transaksi akad dihadiri dua orang saksi dan
dipublikasikan secara umum, maka nikahnya tidak disebut sirri dan sah
menurut syariat. Namun jika kehadiran para saksi berjanji untuk merahasiakan
dan tidak mempublikasikannya, fuqaha’ sepakat akan kemakruhannya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendefinisikan
kawin sirri atau nikah di bawah
tangan adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan
dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi
berwenang sebagaimana diatur dalam perturan perundang-undangan.” Demikian pula
pendapat Prof. H.A. Wasit Aulawi, menyebutkan bahwa “nikah sirri” adalah pernikahan
yang belum diresmikan,
belum diumumkan secara terbuka
kepada masyarakat atau pernikahan yang belum dicatatkan pada lembaga
pencatatan. Ini bisa dua-duanya, belum diumumkan secara terbuka kepada
masyarakat, atau mungkin hanya salah satunya saja, yaitu sudah dicatat tapi
belum diadakan resepsi pernikahan.
H. Wildan Suyuti Mustofa, Ketua PTA Semarang
dalam Mimbar Hukum No. 28 Tahun 1996 menulis, nikah sirri dapat
dibedakan kepada dua jenis. Pertama, akad nikah yang dilakukan oleh seorang
laki-laki dan seorang
perempuan tanpa hadirnya orangtua/wali si perempuan. Dalam perkawinan
bentuk pertama ini akad nikah hanya dihadiri oleh laki-laki dan perempuan
yang akan melakukan
akad nikah, dua
orang saksi, dan
guru atau ulama (kiyai) yang menikahkan tanpa
memperoleh pendelegasian dari wali nikah yang berhak. Padahal guru atau ulama
(kiyai) tersebut dalam pandangan hukum
Islam tidak berwenang
menjadi wali nikah karena ia tidak
termasuk dalam prioritas wali nikah.
Kedua, adalah akad nikah yang telah memenuhi syarat dan
rukun suatu perkawinan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum Islam, tetapi
tidak dicatatkan sesuai dengan kehendak Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.
Menurut DR. H. A. Gani Abdullah, SH., Hakim
Agung dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun 1995 mengatakan, untuk mengetahui apakah
pada suatu perkawinan itu terdapat unsur sirri atau tidak, dapat dilihat
dari tiga indikator yang harus selalu menyertai perkawinan legal. Apabila salah
satu faktor saja tidak terpenuhi, perkawinan itu dapat diidentifikasi sebagai
perkawinan sirri. Tiga indikator itu adalah : Pertama, subyek hukum akad nikah, yang terdiri calon
suami, calon istri, dan wali nikah yaitu orang yang berhak sebagai wali, dan
dua orang saksi. Kedua, kepastian hukum dari perkawinan tersebut, yaitu
ikut hadirnya Pegawai Pencatat Nikah pada saat nikah dilangsungkan. Ketiga,
walimatul ‘ursy, yaitu suatu kondisi yang sengaja diciptakan
untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa di antara kedua calon suami
istri tadi telah resmi menjadi suami istri.
Dari ketiga indikator tersebut, suatu
perkawinan dapat diklasifikasi sebagai
kawin atau nikah sirri apabila
unsur kedua dan ketiga tidak
terpenuhi, yaitu perkawinan tidak dipublikasikan kepada masyarakat dan
tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah.
Kawin atau nikah sirri tidak selalu
merupakan perkawinan yang tidak sah, baik dari aspek hukum Islam maupun hukum
positif. Jika dikatakan bahwa perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang telah
memenuhi syarat dan
rukun perkawinan sebagaimana
diatur dalam hukum Islam maupun
hukum positif. Hal itu karena Pasal 2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyatakan bahwa keabsahan suatu perkawinan apabila
dilakukan sesuai dengan ajaran agama orang yang melakukan perkawinan itu. Oleh
karena itu, perkawinan yang dilakukan apabila telah memenuhi syarat dan rukun
perkawinan menurut hukum Islam maupun hukum positif adalah sah menurut hukum
Islam dan hukum positif. Tapi karena perkawinan itu tidak dicatatkan pada
Pegawai Pencatat Nikah sehingga dikatakan sebagai nikah atau kawin sirri.
Nikah sirri kategori pertama yang
dikatakan oleh Wildan Suyuti Mustofa di atas, yaitu perkawinan yang tidak
dihadiri oleh wali nikah, sulit untuk dilegalkan dan tidak mempunyai landasan
hukum.
Di masyarakat seringkali terjadi kawin sirri
dilakukan di hadapan kiyai, guru atau modin. Pada saat perkawinan dilangsungkan
yang menjadi wali nikah adalah kiyai, guru atau modin, sementara orangtua/wali
nikah dari perempuan tidak memberikan delegasi untuk menikahkan anak
perempuannya. Perkawinan semacam ini jelas tidak sah karena tidak memenuhi
syarat dan rukun nikah, yaitu tidak ada wali nikah.
Mengenai masalah pencatatan perkawinan
sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 2 (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidaklah menentukan keabsahan suatu perkawinan yang telah
dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam karena pencatatan perkawinan hanya
menyangkut masalah administratif. Namun demikian, suatu perkawinan yang tidak
dicatatkan pada Pegawai Pencatatan Nikah, suami istri tersebut tidak akan
memiliki buku nikah sebagai bukti otentik terjadinya perkawinan sehingga
perkawinannya secara yuridis tidak diakui pemerintah, tidak mempunyai kepastian
hukum dan perlindungan hukum dari Negara.
Itsbat Nikah
Untuk memberikan legitimasi nikah sirri atau perkawinan yang tidak dicatatkan
kadang ditempuh dengan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.
Itsbat nikah yang sering disebut
dengan pengesahan nikah adalah kewenangan Pengadilan Agama yang merupakan perkara voluntair. Perkara voluntair
adalah perkara permohonan yang hanya terdiri dari pemohon saja. Oleh karena
itu, perkara voluntair tidak disebut sebagai perkara karena tidak ada
pihak lawan atau tidak obyek hukum yang disengketakan.
Dalam Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan
terakhir dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, kompetensi absolute Pengadilan
Agama di antaranya adalah Itsbat Nikah, yaitu pernyataan tentang sahnya
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Landasan yuridis dari itsbat nikah terdapat di dalam Pasal 49 ayat (2)
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Dari ketentuan tersebut, dapat dirumuskan bahwa kompetensi absolute
Pengadilan Agama tentang itsbat nikah adalah perkawinan yang terjadi
sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, bukan perkawinan yang
terjadi sesudahnya.
Dalam praktik, permohonan itsbat nikah yang
diajukan ke Pengadilan Agama sekarang ini pada umumnya sekitar 95%
adalah perkawinan yang
dilangsungkan pasca berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang menjadi pertanyaan,
dapatkah Pengadilan Agama mengitsbatkan perkawinan yang dilangsungkan setelah
berlakunya Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
Dalam Pasal 49
huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dapat dipahami bahwa
perkawinan (termasuk nikah yang tidak dicatatkan/nikah sirri) yang
diajukan ke Pengadilan Agama untuk diitsbatkan hanyalah perkawinan yang
dilakukan sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karenanya
ketentuan tersebut, tidak memberi sinyal kebolehan Pengadilan Agama untuk
mengitsbatkan perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, meskipun perkawinan itu telah dilakukan menurut ketentuan hukum
Islam (terpenuhi syarat dan dan rukunnya) tapi tidak dicatatkan pada Pegawai
Pencatat Nikah, maka perkawinan itu tidak boleh diitsbatkan oleh Pengadilan
Agama.
Pengabulan permohonan itsbat nikah oleh
Pengadilan Agama terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 didasarkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Kompilasi
Hukum Islam disebutkan :
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan
Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke
Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a.
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perkawinan;
b.
Hilangnya akta nikah;
c.
Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan;
d.
Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
e.
Perkawinan
yang dilakukan oleh
mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974.
Dalam praktik beracara di Pengadilan Agama,
hakim pada umumnya langsung menerapkan Pasal 7 Ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum
Islam (KHI) tanpa menguji kekuatan keberlakukan KHI di hadapan undang-undang.
Dengan demikian, meskipun ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf a di atas sulit dipahami, tetapi
mayoritas hakim Pengadilan Agama dengan penafsiran yang kabur memahami
ketentuan Ayat (3) huruf a tersebut, seolah-olah merupakan keharusan untuk
menerima permohonan itsbat nikah jika diajukan dengan dikumulasi gugatan
perceraian, walaupun perkawinan
itu dilakukan setelah berlakunnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Demikian juga ketika hakim memahami ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e
Kompilasi Hukum Islam.
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam jika ditinjau
dari hierarki peraturan perundang- undangan seperti yang diatur dalam Pasal 7
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Perundang-undangan,
Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1
Tahun 1991) tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, dan
kedudukannya jauh di bawah undang-undang. Ketentuan Inpres tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang.
Apabila Inpres (KHI) bertentangan dengan undang-undang atau ketentuan
hukum yang lebih tinggi, maka Inpres tidak dapat dijalankan. Hal ini sesuai
dengan asas “Lex Superior Dragot lex Inferior” (ketentuan hukum yang
lebih tinggi mengesampingkan hukum di bawahnya).
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian
pendahuluan di atas, bahwa Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan peraturan organiknya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, berlaku secara
efektif sejak 1 Oktober 1975, maka sejak tanggal tersebut semua perkawinan
harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam undang-undang perkawinan tersebut.
Perkawinan yang dilakukan setelah tanggal tersebut, tetapi tidak mengikuti
ketentuan undang-undang tersebut, maka perkawinan itu tidak mendapatkan
kepastian hukum dan diakui oleh
pemerintah.
Secara yuridis, jika perkawinan tersebut
diajukan permohonan itsbat nikah
ke Pengadilan Agama, hakim yang memeriksa permohonan tersebut harus menyatakan
tidak berwenang mengadili. Jika permohonan tersebut dikabulkan oleh hakim, berarti
pengadilan agama telah meligitimasi dan mengakui perkawinan yang melawan hukum
dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terhadap perkawinan yang dilakukan sebelum
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jika diajukan
permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, hakim yang memeriksa
permohonan tersebut, harus cermat
meneliti apakah perkawinan yang dimohonkan untuk di-itsbat-kan itu
dilaksanakan telah terpenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana yang ditentukan
dalam hukum Islam atau tidak. Jika dalam pemeriksaan di persidangan tidak
terbukti bahwa perkawinan itu dilakukan telah sesuai dengan ketentuan hukum
Islam, hakim wajib menolak permohonan itsbat nikah itu, walaupun
diajukan dalam rangka menyelesaikan perceraian. Sebab bagaimana mungkin hakim
menyatakan sahnya suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun
perkawinan. Oleh karena itu, seharusnya ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf (e)
KHI tersebut memberi kriteria yang jelas dan tegas, bahwa perkawinan yang dapat
dimohonkan itsbat-nya ke Pengadilan Agama adalah perkawinan yang
dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dan perkawinan
yang memenuhi syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Perkawinan yang dilakukan setelah
Undang-undang No.1 Tahun 1974 diundangkan yang tidak dicatatkan pada Pegawai
pencatat Nikah, dapatkah di-itsbat-kan
oleh Pengadilan Agama?
Jawabnya: tidak dengan argumentasi: Secara
yuridis ketentuan Pasal 49 huruf (a)
angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, hanya memberi izin kepada Pengadilan
Agama untuk meng-itsbat-kan perkawinan yang dilakukan sebelum
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 diundangkan. Bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan tapi perkawinan mereka tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah,
hal itu menjadi indikator bahwa mereka tidak patuh dan tidak taat hukum untuk
mencatatkan perkawinannya. Terhadap perkawinan yang demikian, hukum tidak
melindungi dan tidak diakui oleh pemerintah. Oleh karena itu, apabila mereka
mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, maka hakim harus
menolaknya karena tidak ada landasan yang logis
secara hukum untuk mengabulkannya.
Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan itsbat
nikah pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, berarti melegitimasi
dan mengakui perkawinan yang melanggar hukum. Di samping itu, secara sosiologis
itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, akan menumbuhsuburkan praktik nikah sirri
di masyarakat karena pada akhirnya perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri)
itu dapat di-itsbat-kan oleh Pengadilan Agama.
Kesimpulan
Dari paparan tersebut di atas, dapat diambil
kesimpulan :
1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 49 Ayat (2) hurup
a angka 22 dan penjelasannya, hanya mengizinkan kepada Pengadilan Agama untuk
mengitsbatkan perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan memenuhi syarat dan rukun perkawinan
yang ditentukan dalam Hukum Islam.
2. Ketentuan Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Kompilasi
Hukum Islam yang dijadikan landasan hukum oleh hakim dalam melakukan Itsbat
Nikah terhadap perkawinan yang
dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sangatlah lemah
karena KHI tidak termasuk dalam hierarki
peraturan perundang-undangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan
Perundang-undangan.
3. Nikah sirri setelah berlakunya Undang-Undang
No.1 Tahun 1974, sebagai sebagai indikator ketidakpatuhan dan ketidaktaatan terhadap ketentuan Pasal 2
Ayat (2) undang-Undang 1974, mengitsbatkannya akan menumbuhsuburkan praktik
nikah sirri di masyarakat.
4. Bila itsbat nikah dinilai sebagai salah satu
bentuk pelayanan kepada para pencari keadilan, maka diperlukan payung hukum
yang kuat bagi Pengadilan Agama untuk melakukannya dengan mengamandemen
ketentuan Pasal 49 Ayat (2) huruf a
angkat 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang telah dirubah dengan
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA :
Abdul Hayyi, Muhammad, al-Ahwal
al-Syakhsyiyyah, Al-Azhar, Makatabah Nashir.
Abu Zahrah, Muhammad, Al-Ahwal
al-Syakhsyiyyah, Dar-Alfikr.
Halim, Abd., Studi Hukum Perkawinan Islam
Kontemporer, Fakultas Syari’ah UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008.
Shomad, Abd., Hukum Islam : Penerapan
Prinsip Syari’ah dan Hukum Islam,
Kencana Prenada Media, Jakarta, 2010.
Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia
(Masalah-masalah Krusial), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah,
PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1995.
Zien, Satria Egendi M., Problematika Hukum
Keluarga Islam Kontemporer, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Kompilasi Hukum Islam.
Mimbar Hukum No. 23 Tahun 1996 dan No.. 28 Tahun 1996.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
UU No. 3 Tahun 2006
UU No. 50 Tahun 2009
Penulis: Drs. H. Abd. Rasyid As’ad, MH. (Hakim
Pengadilan Agama Mojokerto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar