SEJARAH TAFSIR DAN TAKWIL
Al Qur’an, datang dengan membuka lebar-lebar mata
manusia agar mereka menyadari jati diri dan hakekat keberadaan mereka di pentas
bumi ini. Al Quran mengajak mereka berfikir tentang kekuasaan Allah. Dan dengan
berbagai argumentasi, Kitab Suci ini juga mengajak mereka untuk membuktikan
keharusan adanya Hari Kebangkitan, dan bahwa kebahagiaan mereka pada hari itu
akan ditentukan oleh persesuaian sikap hidup mereka dengan apa yang dikehendaki
oleh Sang Pencipta.
Singkatnya, al Qur’an, yang diyakini sebagai
firman-firman Allah, merupakan petunjuk mengenai apa yang dikehendaki-Nya.
Jadi, manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang
dikehendaki Allah harus dapat memahami maksud-maksud Allah yang tertuang dalam
Kitab Suci al Qur’an. Upaya-upaya memahami maksud firman-firman Allah inilah
yang kemudian disebut dengan tafsir.1
Upaya untuk menafsirkan al Qur’an guna mencapai dan
menemukan makna-makna yang terkandung didalamnya telah dilakukan sejak zaman
Rasulullah SAW, dimana Beliau sendiri adalah Penafsir al Qur’an yang
paling utama. Contoh yang cukup kongrit adalah ketika Rasulullah mengutus Muadz
ibn Jabal ke Yaman, dimana bila dia, Muadz ibn Jabal, menghadapi persoalan akan
mencari jawabannya dengan terlebih dahulu mencari dalam al Qur’an. Peristiwa
ini mengisyaratkan bahwa upaya penafsiran terhadap al Quran, apapun sistematika
dan metodenya, telah dimulai sejak masa Rasulullah masih hidup.
PENGERTIAN
TAFSIR DAN TA’WIL
Secara bahasa, tafsir adalah menjelaskan,
menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Adapun secara
istilah, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan
lafaz-lafaz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika
berdiri sendiri atau ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya
tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.2
Ketika tafsir dipahami demikian, maka bisa
dikatakan bahwa upaya penafsiran tehadap al Qur’an telah menjadi aktifitas yang
tidak pernah berhenti semenjak kehadirannya di muka bumi sampai saat ini. Namun
begitu, ternyata al Qur’an sendiri tampaknya tidak menetapkan suatu metode
tertentu yang harus ditempuh dalam penafsiran. Bahkan term “tafsir”
hanya muncul satu kali dalam al Qur’an, yaitu:”wa lâ ya’tûnaka bi matsalin
illâ ji’naka bi al ĥaq wa aĥsana tafsĭrâ” (Q.S. al Furqân: 33). Term-term
yang lain yang digunakan al Qur’an untuk makna yang sama atau mirip dengan tafsir
adalah ta’wil (Q.S. Ăli Imrân: 7), tadabbur (Q.S. al Nisâ’: 82), bayan atau
tabyin (Q.S. al Qiyâmah: 18, al Nahl:44, 64) dan tafşĭl (Q.S.
Fuşşilat: 3).
Term-term tersebut tidak menunjuk secara eksplisit
sebuah metode tertentu dalam penafsiran al Qur’an. Dengan demikian, al Qur’an
memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengembangkan metode-metode yang
relevan untuk menggali dan menjelaskan makna-maknanya. Atas dasar inilah para
pengkaji al Qur’an mencoba mencari dan mengembangkan metode yang relevan dan
paling valid untuk menafsirkan al Qur’an.
Seperti disebutkan di atas, bahwa istilah yang hampir
mirip dengan tafsir salah satunya adalah ta’wil, yang secara
bahasa berarti kembali ke asal.3
Sedangkan secara istilah, ta’wil menurut Nur Cholis Majid adalah
pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber Suci sedemikian
rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata pada teks
sumber Suci itu tadi, tapi pada “makna dalam” (batin, inward meaning).4
Hal ini sedikit berbeda dengan pengertian ta’wil menurut Manna’ al
Qaththan yang mendfinisikan ta’wil sebagai essensi perbuatan yang
diperintahkan.5
Kaitannya dengan perbedaan antara tafsir dan ta’wil,
para ulama’ berbeda pendapat. Namun begitu, dari beberapa pengertian kedua
istilah tersebut di atas, setidaknya dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Ketika ta’wil diartikan sebagai upaya menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka ta’wil dan tafsir adalah dua kata yang berekatan atau sama maknanya. Termasuk pengertian ini adalah do’a Rasulullah untuk Ibnu Abbas: “Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil”.
- Apabila ta’wil dimaknai sebagai essensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka perbedaan antara ta’wil dan tafsir cukup besar; sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan. Dan penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya. Hal ini berbeda dengan ta’wil yang merupakan essensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran).
- Perbedaan yang lain adalah ketika tafsir diartikan apa yang telah jelas di dalam Kitabullah, sedangkan ta’wil adalah apa yang simpulkan oleh para ulama’.
- dikatakan pula, tafsir lebih banyak dipergunakan dalam (menerangkan) lafaz dan mufradat (kosakata), sedangkan ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.6
SEJARAH
TAFSIR DAN TA’WIL
Tafsir sebagai upaya sistematis dan bermetode untuk
menguak, menjelaskan dan mengaktualisasikan kandungan ayat-ayat al Qur’an telah
mengalami perkembangan yang sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan semenjak
Rasulullah masih hidup sampai sekarang kaum Muslim tidak pernah berhenti
mengkaji Kitab Suci ini, meskipun kajian tersebut tentunya mengalami fluktuasi.
Pernah suatu ketika pengkajian al Qur’an begitu intens dan marak, sehingga
menghasilkan karya-karya besar yang monumental, orisinil, dan kualitatif. Dan
pada saat yang lain, pernah pula mengalami stagnasi dan kemunduran, sehingga
kajian-kajian yang ada hanya berkisar pada upaya pemberian syarah dan
atau tambahan ulasan terhadap kajian sebelumnya.
Pada era Rasulullah SAW, belum dikenal adanya metode
tafsir,7
karena tafsir sendiri –sebagaimana yang dipahami sekarang- belum
ditemukan waktu itu. Hal demikian dikarenakan ayat-ayat dalam al Qur’an, yang
diturunkan dalam bahasa Arab dan dalam situasi serta kondisi sosio-kultural
Arab, pada umumnya tidak selalu membutuhkan penjelasan rinci dan detail untuk
dapat dipahami dan ditangkap makna-maknanya oleh para sahabat. Meski begitu,
Rasul sendiri memberikan penjelasan-penjelasan terhadap ayat-ayat tertentu yang
memang sulit untuk “dicerna” dan diamalkan tanpa dijelaskan Beliau. Penjelasan
atau penafsiran Rasul terhadap ayat-ayat al Qur’an terkadang dalam bentuk wahyu
“tersurat” dari Tuhan, wahyu “tersirat” dalam keterangan Beliau, ataupun ijtihad
sendiri.8
Dari Ibnu Mas’ud diriwayatkan, ia berkata: ketika
turun Q.S. al An’am: 82 yang berbunyi:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ (الأنعام: )
Artinya: “Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman……(Q.S. al
An’am:82)9
Ayat di atas sangat meresahkan hati para sahabat.
Mereka bertanya kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang
tidak berbuat zalim terhadap dirinya ?’ Beliau menjawab : ‘Kezaliman
disini bukanlah seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu mendengar apa yang
dikatakan hamba yang saleh (Luqman), Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah kezaliman yang besar (Luqman : 13). Jadi, sesungguhnya kezaliman
di sini maksudnya adalah syirik.’
Demikian juga Rasulullah menjelaskan kepada mereka apa
yang ia kehendaki ketika diperlukan. Dari Uqbah Ibn ‘Amir, ia berkata: ‘Saya
pernah mendengar Rasulullah mengatakan di atas mimbar ketika membaca ayat, Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (al
Anfal:60).10
Ketahuilah, “kekuatan” di sini adalah memanah.11
Dari sini dapat dipahami bahwa dalam kandungan al
Qur’an terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali melalui
penjelasanRasulullah. Misalnya, rincian tentang perintah dan larangan-Nya serta
ketentuan mengenai hukum-hukum yang di-fardlu-kannya. Inilah yang
dimaksud dengan perkataan Rasulullah: “Ketahuilah, sungguh telah diturunkan
kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya......”.12
Dengan demikian, kendatipun Rasulullah tidak
mengintrodusir suatu metode yang baku, namun secara langsung Beliau sendiri
telah mempraktekkan dua cara pendekatan (two approaches) dalam kajian al
Qur’an. Yang pertama adalah pendekatan naqliy (nash) dan yang kedua
adalah pendekatan ‘aqliy (ra’yu).
Pada era shahabat, kedua cara pendekatan
tersebut tetap dipakai, meskipun kecenderungan pada pendekatan naqliy (nash
al Qur’an dan al Sunnah) terasa lebih dominan. Jelasnya, para sahabat dalam
menerangkan berpegang pada:
- al Qur’anu al Karim, sebab apa yang dikemukakan secar global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan denga “tafsir Qur’an dengan Qur’an”,
- Penjelasan Rasulullah, mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan al Qur’an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, dan
- Pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam al Qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar.13
Di sini perlu dijelaskan bahwasanya ijtihad mereka
pada umumnya berpijak pada:
- Penguasaan bahasa Arab yang luas dan alami,
- Pengenalan adat istiadat bangsa Arab,
- Pengenalan latar belakang sosio-kultural ketika al Qur’an diturunkan, termasuk keadaan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), dan,
- Kemampuan intelektual masing-masing.14
Diantara sahabat yang terkenal banyak menafsirkan la
Qur’an adalah empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ubai Ibn Ka’b, Zaid Ibn
Tsabit, Abu Musa al Asy’ari, Abdullah Ibn Zubair, Anas Ibn Malik, Abdullah Ibn
Umar, Jabir Ibn Abdullah, Abdullah Ibn ‘Amr Ibn ‘Ash dan Aisyah, dengan
terdapat perbedaan sedikit atau banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak
riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada mereka dan kepada sahabat yang lain di
berbagai tempat.15
Tidak jauh beda dengan masa sahabat adalah pada masa tabi’in,
dimana metode pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan al Qur’an tidak jauh
berbeda dengan apa yang dipakai shahabat. Mereka bersandar kepada para
pendahulunya disamping juga melakukan ijtihad dan pandangan tersendiri.
Jelasnya, menurut Muhammad Husein al Dzahaby, sebagaimana disitir oleh Said
Agil, para penafsir dari kalangan tabi’in dalam pemahamannya bersandar
kepada Allah itu sendiri. Juga dari sesuatu yang diriwayatkan dari shahabat
yang merupakan penafsiran mereka sendiri. Mereka juga mengambilnya dari ahli
kitab sesuatu yang terdapat dalam kitab mereka.
Begitu pun di era sesudah tabi’in, baik periode
mutaqaddimun maupun muta’akhirun, pendekatan yang digunakan dalam
upaya penafsiran al Qur’an sudah dibakukan dalam bentuk tafsir ma’tsur (riwayat)
dan tafsir ra’yu (akal).16
Namun di zaman modern, penafsir sedikit mengalami
perubahan, dimana para mufassir menempuh pola dan langkah baru dengan
memperhatikan keindahan uslub dan kehalusan ungkapan serta dengan
menitikberatkan pada aspek-aspek sosial, pemikiran kontemporer dan
aliran-aliran modern, sehingga lahirlah tafsir yang bercorak “sastera sosial”.
Di antara mufasir kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Sayid Muhammad
Rasyid Ridho, Muhammad Musthafa al Maraghi, Sayid Qutub, dan Muhammad ‘Izzah
Darwazah.17
Namun demikian, pembagian jenis tafsir secara
dikotomis ma’tsur-ra’yu akhir-akhir ini sudah mulai ditinggalkan.
Demikian pula pembagian secara trikotomis dengan memasukkan jenis tafsir
isyariy sebagai unsur ketiga, juga tidak lagi populer. Disamping karena
menimbulkan kerancuan, juga karena sulitnya menemukan kitab-kitab tafsir yang
benar-benar murni ma’tsur atau hanya berdasar ra’yu, ataupun
semata-mata isyariy. Kitab-kitab tafsir yang ada, khusunya yang ditulis
oleh para penafsir modern lebih banyak merupakan perpaduan sintesa dari ma’tsur
atau riwayah dan ra’yu atau dirayah sehingga ada yang
menamakannya sebagai metode izdiwaj (campuran). Namun, istilah yang
terakhir ini pun tidak luput dari kerancuan karena bisa menimbulkan konotasi
yang bermacam-macam.
Disebabkan adanya kesulitan seperti ini, timbul upaya
baru untuk membuat pengelompokan lain dari metode tafsir. Abd al Hayy al
Farmawiy, misalnya, membuat 4 (empat) kelompok besar jenis tafsir berdasarkan
metode yang digunakan, yaitu: metode tahliliy, metode ijmaliy,
metode muqarin, dan metode mawdluiy.18
Apapun metode yang digunakan oleh penafsir, menurut
Said Agil Husein al Munawwar, bahwa para penafsir diharapkan mampu menjelaskan
makna lafadz dan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat,
menjelaskan apa yang dapat di-istinbath-kan dari ayat serta mengemukakan
kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya (munasabah).
Dan untuk keperluan ini, demikian Said Agil menambahkan, perlu merujuk kepada
sebab-sebab turun ayat (asbab al nuzul), hadits-hadits Rasulullah SAW.
dan riwayat dari para shahabat dan tabi’in. Meskipun demikian, ra’yu
juga diberikan peranan yang cukup signifikan. Hanya saja, menurut Subhi
Shalih, tidak boleh bertentang dengan sesuatu yang sudah pasti berdasarkan nash-nash
al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Hal ini disebabkan karena ra’yu
adalah ijtihad, dan ijtihad tidak dapat disejajarkan dengan nash-nash
al Qur’an dan hadits-hadits shahih.19
Pun demikian, diharapkan dalam melakukan penafsiran
mampu menangkap pesan dan pemahaman al Qur’an tidak hanya secara tekstual serta
tidak terkurung oleh lingkup historis-sosiologis yang bersifat lokal,
melainkan menggali substansi pesan al Qur’an yang bersifat rasional dan
universal yang hadir dalam “pakaian” lokal.20
PENUTUP
Meskipun upaya untuk memahami kehendak Tuhan melalui
firman-firman-Nya yang termaktub dalam al Qur’an sudah dimulai sejak masa
Rasulullah SAW masih hidup, ternyata term tafsir hanya disebut satu kali
saja dalam al Qur’an, lainnya adalah istilah-istilah yang hampir mirip dengan
term tafsir antara lain ta’wil, tadabbur, bayan, tabyin dan tafşĭl.
Kaitannya dengan pemahaman antara tafsir dan ta’wil,
para ulama’ berbeda pendapat, apakah term tafsir dan ta’wil itu
identik ataukah berbeda sama sekali. Perbedaan akan tampak jelas ketika ta’wil
dimaknai sebagai essensi yang dimaksud dari suatu perkataan, sebab tafsir
merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan. Namun ketika ta’wil
diartikan sebagai upaya menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka
istilah tafsir dan ta’wil adalah dua istilah yang saling
berekatan atau sama maknanya.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa upaya untuk
menafsiri al Qur’an telah di mulai sejak masa Rasulullah masih hidup, namun
dari masa ke masa kajian tafsir ini mengalami pasang surut. Suatu ketika
kajian al Qur’an begitu intens dan marak, sehingga menghasilkan karya-karya
besar yang monumental, orisinil, dan kualitatif. Dan pada saat yang lain,
pernah pula mengalami stagnasi dan kemunduran, sehingga kajian-kajian yang ada
hanya berkisar pada upaya pemberian syarah dan atau tambahan ulasan
terhadap kajian sebelumnya. Namun begitu, secara umum kajian tafsir
hanya menggunakan dua cara pendekatan (two approaches) dalam kajian al
Qur’an. Yang pertama adalah pendekatan naqliy (nash) dan yang kedua
adalah pendekatan ‘aqliy (ra’yu). Demikian itulah yang pernah
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, Membumikan al Qur’an; Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XIX, 1999
al Qaththan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,
terj. Mudzakir, Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. VI, 2001
Rahman, Budhi Munawar (ed.), Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1998
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,
Surabaya: Mekar, 2004
al Dhahabi, M. Husain, Tafsir wa al Mufassirun,
Jilid I, Kairo: al Maktabah al Haditsah, 1976
al Munawar, Said Agil Husin, Al Qur’an; Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2002
al Farmawiy, Abd al Hayy, al Bidayah fi al Tafsir
al Mawdluiy, Kairo: Mathba’ah al Hadlarah al ‘Arabiyyah, 1977
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama; Sebuah
Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1998
1 M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an; Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XIX, 1999,
hlm. 15
2 Manna’ Khalil al Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,
terj. Mudzakir, Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. VI, 2001, hlm. 454 et.seq.
4 Budhi Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 103
7 Rasulullah tidak mengembangkan suatu metode yang
sistematis dalam menjelaskan kandungan al Qur’an karena pemahaman Beliau lebih
banyak bertumpu pada wahyu.
8 Dalam hal tidak ada wahyu, Rasulullah biasa
melakukan ijtihad sendiri. Kalau tidak ada wahyu yang mengoreksi ijtihad
Beliau, berarti ijtihad-nya benar. Sedangkan jika ijtihad Beliau
meleset, pasti ada koreksi dari wahyu. Bahkan terkadang pula ada wahyu
yang menjastifikasi ijtihad Beliau.
10 Ibid., hlm. 249. Adapun bunyi ayat tersebut
adalah: وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ
مِنْ قُوّةٍ
14 M. Husain al Dhahabi, Tafsir wa al Mufassirun,
Jilid I, Kairo: al Maktabah al Haditsah, 1976, hlm. 58
16 Lihat Said Agil Husin al Munawar, Al Qur’an;
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2002,
hlm. 69-71
18 Abd al Hayy al Farmawiy, al Bidayah fi al Tafsir
al Mawdluiy, Kairo: Mathba’ah al Hadlarah al ‘Arabiyyah, 1977, hlm. 23
20 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah
Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar