ARAH KEBIJAKAN & STRATEGI PENGEMBANGAN TPQ
I.
Pendahuluan
Taman
Pendidikan Al-Quran (TPQ) adalah salah satu jenis pendidikan yang khas milik
umat Islam Indonesia. Pendidikan jenis ini khusus mengajarkan kepada para
santri bagaimana membaca Al-Quran sesuai ilmu tajwid. Dalam perkembangan
terkini, lembaga pendidikan TPQ juga membekali santri dengan kemampuan menulis
huruf Arab, Bermain, Cerita, Menyanyi, dan beragam aktivitas keagamaan yang
bermanfaat dan menyenangkan bagi santri.
Pada
masa dahulu, pendidikan Al-Quran yang berlangsung di surau, mushalla atau
masjid, kebanyakan yang konsen mengikuti pendidikan Baca Tulis Al-Quran (BTQ)
adalah anak – anak desa. Sistem dan metode pendidikannya tergantung dan sesuai
dengan kemampuan serta pengalaman pengajarnya. Belum ada buku pegangan standar,
kesamaan kurikulum dan atau metode pembelajaran Al-Quran yang teruji efektif.
Dengan segala kekurangan dan keterbatasan, pengalaman pendidikan Al-Quran masa
lalu menjadi pijakan bagi pengembangan pendidikan Al-Quran di Indonesia
sekarang. Pendidikan Al-Quran secara “tradisional” ini setidaknya berlangsung
hingga awal tahun 1980-an.
Atas
dasar kelemahan pengajaran Al-Quran pada masa lalu itulah, aktivis dan pegiat
pendidikan Al-Quran sibuk mencari cara dan metode yang tepat agar pembelajaran
dapat berjalan efektif. Barulah pada tanggal 1 Juli 1986, K.H. Dahlan Salim
Zarkasi mendirikan TK Al-Quran Raudlatul Mujawwidin di Semarang yang pertama di
Indonesia. Pengajarannya menggunakan metode Qiroaty.
Dari
sisi metode pengajaran dan kelembagaan, TK Al-Quran Raudlatul Mujawwidin dengan
metode Qiroaty adalah revolusi baru pendidikan Al-Quran yang tidak dikenal
sebelumnya. Terbayang di benak kita pada saat itu, pendidikan Al-Quran
dilaksanakan semi formal, klasikal, dan dengan kurikulum yang jelas. Metode
dianggap cara baru membaca Al-Quran yang praktis dan mudah, setidaknya jika
dibandingkan dengan cara lama yang sudah berjalan puluhan tahun.
Sungguhpun
kelahiran TK Al-Quran pertama di Semarang, gerakan massif pendidikan Al-Quran
secara nasional justru lahir di Yogyakarta. Sejak ditemukannya metode Iqra’
oleh almarhum K.H. As’ad Humam dari Yogyakarta, gerakan pendidikan Al-Quran
makin massif berkembang. Bahkan presiden Soeharto pada waktu itu mewisuda langsung
santri TK Al-Quran di Yogyakarta. Pada tanggal 16 Maret 1988, K.H. As’ad Humam
mendirikan TK Al-Quran (TKA/ TKQ) dengan metode Iqra’. Setahun kemudian, ide
tersebut direspon oleh anak – anak muda Islam yang tergabung di dalam Badan
Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) yang pada Munasnya ke-5
di Surabaya tanggal 27-30 Juni 1989 menjadikan TK Al-Quran ini sebagai program
nasional. Pertumbuhan TK Al-Quran dilanjutkan dengan munculnya Taman Pendidikan
Al-Quran (TPA/ TPQ).
Kini
TPA/ TPQ sudah menjadi gaya hidup (life
style) masyarakat kota dan desa dalam mempelajari Al-Quran. Perkembangan
ini dapat dengan mudah dibuktikan, misalnya dengan melihat dimana ada masjid
atau musalla, di sana rata – rata ada TPA/ TPQ. Bukan hanya itu, masyarakat dengan
kesadarannya sendiri menyelenggarakan TPQ di rumah – rumah pendidikan atau
membangun gedung sendiri mulai dari ala kadarnya sampai yang representative.
Hal ini menunjukkan bahwa gerakan TPQ berhasil membangun kesadaran masyarakat
utamanya tentang betapa penting mempelajari kitab suci Al-Quran sejak dini.
Secara
umum, perkembangan TPQ di Indonesia sangat menggembirakan. Di berbagai pelosok
kota dan desa, dengan mudah dijumpai tempat – tempat yang menyelenggarakan
pendidikan TPQ. Berbagai metode pembelajaran Al-Quran juga diciptakan dan
diajarkan di berbagai daerah. Guru – guru yang kreatif dan inovatif mulai
lahir, sehingga proses pembelajaran tidak lagi monoton dan statis.
Secara
kuantitas dalam lingkup Jawa Tengah, kini sudah mencapai lebih dari 26ribu unit
TPQ. Jumlah ini kemungkinan membengkak karena masih banyak tempat pendidikan
Al-Quran/ TPQ yang belum terdata secara lengkap. Begitu pula dengan model
pembelajaran Al-Quran yang menempel di berbagai lembaga pendidikan formal,
mulai TK/ RA hingga SD/ MI. Model pendidikan Al-Quran yang menempel seperti
ini, secara kelembagaan tidak bisa dikatakan TPQ, tetapi secara substansial
mereka mengajarkan Al-Quran dengan metode tertentu. Munculnya PAUD TPQ (yaitu
suatu bentuk layanan pendidikan di TPQ khusus bagi usia dini), juga layak
diapresiasi sebagai bentuk pengembangan TPQ kontemporer.
Setelah
lebih 20 tahun TPQ hadir dan mengabdi di Indonesia, bukan berarti TPQ tidak
memiliki problem yang harus diselesaikan. Setidaknya ada 5 aspek penting yang
perlu penanganan serius agar TPQ dapat berjalan lebih baik lagi.
Pertama,
problem
penjaminan mutu. Kualitas pendidikan Al-Quran masih berjalan variatif di
berbagai daerah. Belum tersedia lembaga yang dapat memberikan garansi kualitas
alumni TPQ, kecuali ujian yang diselenggarakan oleh masing – masing TPQ.
Supervisi dan akreditasi dapat menjadi alternatif solusi, tetapi pelaksanaannya
perlu dukungan dana yang tidak sedikit.
Kedua,
minimnya
fasilitas dan sarana-prasarana belajar di TPQ. Hampir semua TPQ tidak atau
belum memiliki fasilitas pembelajaran yang memadai. Umumnya TPQ tidak memiliki
gedung sendiri, dan hanya menempati serambi masjid atau mushalla. Padahal bila
ditinjau dari kebutuhan, TPQ memerlukan fasilitas seperti gedung, arena
permainan, dan APE untuk menunjang prestasi belajar.
Ketiga,
problem
pendidikan pasca TPQ. Perlu dipikirkan formula yang tepat untuk mewadahi alumni
TPQ. Mereka perlu wadah pendidikan lanjutan setelah lulus dari TPQ, tapi hingga
sekarang belum muncul kesepakatan tentang formula dan isinya. Pendidikan pasca
TPQ sangat mendesak diwujudkan untuk menampung santri – santri yang sudah mahir
membaca Al-Quran, guna mendapatkan pengetahuan agama yang lebih dalam.
Keempat,
lembaga
pendidikan yang menghasilkan Asatidz TPQ. Asatidz yang mengajar di TPQ belum
seluruhnya qualified dari sisi latar
belakang pendidikan. Prinsip mau, mampu, dan kober rasanya sudah tidak cukup untuk dapat meningkatkan kualitas
TPQ. Semestinya mereka adalah sosok yang ahli di bidangnya karena mendapatkan
pendidikan yang sesuai dengan kompensasi yang dibutuhkan.
Kelima,
kesejahteraan
Asatidz. Peran Asatidz yang begitu besar di dalam mendidik santri dengan nilai
– nilai agama, masih belum mendapatkan apresiasi/ kompensasi yang memadai. Para
Asatidz yang telah meluangkan waktu yang seharusnya untuk istirahat, keluarga,
dan urusan pribadi lain masih perlu mendapatkan perhatian.
Dari
berbagai masalah yang muncul di atas, dibutuhkan peran serta pemerintah dalam
meningkatkan kualitas TPQ. Secara kelembagaan dan administratif, TPQ berada di
bawah pembinaan Kementerian Agama. Namun tidak banyak dukungan finansial yang
dapat digunakan untuk membina manajemen, kelembagaan, dan para Asatidz TPQ.
Pada sisi lain, Pemerintah Daerah selama ini sudah dapat mengisi kekosongan
yang tidak bisa dimainkan oleh Kementerian Agama, meskipun belum maksimal.
II.
Strategi
sebagai Rencana Induk
Konsep strategi sudah
ada sejak dahulu kala. Kata “strategi” berasal dari bahasa Yunani strategeia, yang berarti seni atau ilmu
untuk seorang jenderal. Jenderal Yunani yang efektif dibutuhkan untuk memimpin
sebuah pasukan, memenangkan pertempuran, menguasai wilayah, melindungi sebuah
kota dari penyerbuan, menghalau musuh, dan seterusnya. Setiap jenis sasaran
memerlukan penyebaran sumberdaya yang berbeda, program – program yang berbeda. Demikian juga strategi militer yang dapat
didefinisikan sebagai pola tindakan yang nyata yang diambil
untuk menghadapi musuh.
Sekarang, orang
Yunani pun menyadari bahwa strategi lebih daripada hanya memenangkan
pertempuran. Jenderal yang efektif harus menentukan jalur – jalur pemasokan
yang tepat, memutuskan kapan berperang dan kapan tidak berperang, dan mengelola
hubungan antara tentara dan penduduk sipil, politisi, dan diplomat. Jenderal
yang efektif tidak hanya harus merencanakan tetapi harus bertindak.
Dengan menengok
kembali kepada jaman Yunani, maka konsep strategi terdiri dari unsur – unsur perencanaan
dan unsur – unsur pengambilan keputusan atau tindakan. Jika disatukan,
kedua konsep ini menjadi dasar untuk rencana strategik “induk”.
III.
Konsep
Strategi Pengembangan Organisasi
Agar dapat
mempertahankan diri dan mengatasi baik masalah – masalah eksternal maupun
masalah – masalah internal maka organisasi dapat melakukan pengembangan
organisasi.
Untuk dapat
mempertahankan eksistensinya, dan dapat berkembang, maka keluaran dari sistem
perlu diserap, perlu digunakan oleh sistem lainnya. Sistem akan berhenti
eksistensinya jika keluarannya tidak digunakan, tidak diserap oleh sistem lain.
Organisasi akan berhenti eksistensinya jika keluarannya tidak dirasakan
bermanfaat, tidak diserap oleh organisasi lain. TPQ yang “tidak laku” karena
sepi peminat, peran dan keberadaannya tidak dianggap bermanfaat akan tidak
mampu meneruskan usahanya. Untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan diri
haruslah organisasi mampu menghadapi dan mengatasi masalah – masalah
lingkungannya di satu pihak, mampu memadukan/ mengintegrasikan kelompok –
kelompok kerja yang membentuk dirinya di pihak lain. Organisasi harus dapat
berfungsi efektif.
Pengembangan
oganisasi dirumuskan dalam berbagai cara. Definisi yang paling sering dikutip
ialah bahwa pengembangan organisasi adalah satu upaya : (1) yang direncanakan,
(2) yang dampaknya mencakup seluruh organisasi, dan (3) yang dimanajemeni oleh
puncak, untuk (4) meningkatkan efektivitas dan kesehatan organisasi melalui (5)
intervensi – intervensi yang direncanakan ke dalam proses – proses organisasi
dengan menggunakan pengetahuan keperilakuan (Beckhard, 1969).
McGill (1980)
memberikan batasan tentang pengembangan organisasi sebagai berikut :
Pengembangan
Organisasi (PO) adalah suatu proses sadar dan terencana untuk mengembangkan
kemampuan suatu organisasi, sehingga mencapai dan mempertahankan suatu tingkat
optimum prestasi yang diukur berdasarkan efisiensi, efektivitas, dan kesehatan.
Secara operasional Pengembangan Organisasi adalah suatu proses normatif untuk
memperhatikan pertanyaan :
“ Dimana nyatanya TPQ
berada ?”
“ Dimana seharusnya
TPQ berada?”
“ Bagaimana dari
tempat dimana TPQ nyatanya berada dapat mencapai tempat dimana TPQ seharusnya
berada?”
Proses di atas
dilaksanakan oleh pimpinan organisasi dengan menggunakan beraneka ragam teknik.
Pengembangan organisasi adalah suatu proses yang sadar dan terencana.
Kesehatan organisasi,
adalah satu fungsi dan mutu hubungan antara para anggotanya dengan organisasi.
Satu organisasi yang sehat memiliki tiga ciri pokok. Pertama, terdapat suatu pemaduan yang efektif antara tujuan
individu dan tujuan organisasi. Tercapainya tujuan organisasi akan sekaligus
berarti tercapainya tujuan organisasi. Kedua,
pemaksimuman kemampuan individu dan organisasi memecahkan masalah. Potensi
manusia dimanfaatkan sepenuhnya, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.
Ketiga, suasana mendorong pertumbuhan
individual dan organisasi. Individu dan organisasi didorong dan dibantu
mengenali dan mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.
Ada berbagai macam
teknik intervensi yang digunakan dalam Pengembangan Organisasi TPQ. Berikut
hanya diuraikan satu teknik, yaitu Pembentukan
Tim (Team Building). Pembentukan Tim, menurut McGill (1982), merupakan
suatu proses diagnosis dan peningkatan efektivitas suatu kelompok kerja dengan
perhatian khusus terhadap prosedur kerja dan hubungan antar pribadi di
dalamnya. Intervensi dengan menggunakan Teknik Pembentukan Tim pada umumnya
berupaya untuk memperkuat identifikasi diri anggota tim dengan kelompok
kerjanya, membantu kelompok untuk belajar berfungsi secara lebih efektif, dan
meningkatkan keterpaduan antara kelompok – kelompok kerja yang ada dalam
keseluruhan organisasi (Siegel & Lane, 1987).
Terkait dengan
strategi bagaimana mengembangkan organisasi TPQ teknik intervensi yang bisa
dilakukan diantaranya Pertemuan
Pembentukan Tim Kelompok. Strategi ini, yang menekankan merumuskan tindakan
untuk meningkatkan cara dengan kelompok mana yang berfungsi. Acaranya terpusat
pada pembahasan : penetapan tujuan, menganalisis atau membagikan tugas – tugas
kerja, mengkaji dengan kelompok kerja mana yang berfungsi, mengkaji antara
hubungan – hubungan antar pribadi antara para anggota tim.
Hal mendasar yang
harus dipahami oleh pengurus TPQ didalam membuat strategi pengembangan
organisasi TPQ adalah :
1. Pahami
Visi, Misi, Kebijakan Dasar.
2. Pahami
Kebijakan Dasar, Strategi Umum, Program Dasar.
Setelah kedua hal tersebut dipahami,
baru kita membuat Strategi Pengembangan Organisasi TPQ, diantaranya menyangkut
:
a. Persoalan
potensial dan pemecahannya.
b. Prinsip
penyelenggaraan program.
c. Komponen
program dan struktur komponen program.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar