Kamis, 24 April 2014

TARBIYAH: ARAH KEBIJAKAN & STRATERGI TPQ



ARAH KEBIJAKAN & STRATEGI PENGEMBANGAN TPQ


I.              Pendahuluan
Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) adalah salah satu jenis pendidikan yang khas milik umat Islam Indonesia. Pendidikan jenis ini khusus mengajarkan kepada para santri bagaimana membaca Al-Quran sesuai ilmu tajwid. Dalam perkembangan terkini, lembaga pendidikan TPQ juga membekali santri dengan kemampuan menulis huruf Arab, Bermain, Cerita, Menyanyi, dan beragam aktivitas keagamaan yang bermanfaat dan menyenangkan bagi santri.
Pada masa dahulu, pendidikan Al-Quran yang berlangsung di surau, mushalla atau masjid, kebanyakan yang konsen mengikuti pendidikan Baca Tulis Al-Quran (BTQ) adalah anak – anak desa. Sistem dan metode pendidikannya tergantung dan sesuai dengan kemampuan serta pengalaman pengajarnya. Belum ada buku pegangan standar, kesamaan kurikulum dan atau metode pembelajaran Al-Quran yang teruji efektif. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan, pengalaman pendidikan Al-Quran masa lalu menjadi pijakan bagi pengembangan pendidikan Al-Quran di Indonesia sekarang. Pendidikan Al-Quran secara “tradisional” ini setidaknya berlangsung hingga awal tahun 1980-an.
Atas dasar kelemahan pengajaran Al-Quran pada masa lalu itulah, aktivis dan pegiat pendidikan Al-Quran sibuk mencari cara dan metode yang tepat agar pembelajaran dapat berjalan efektif. Barulah pada tanggal 1 Juli 1986, K.H. Dahlan Salim Zarkasi mendirikan TK Al-Quran Raudlatul Mujawwidin di Semarang yang pertama di Indonesia. Pengajarannya menggunakan metode Qiroaty.
Dari sisi metode pengajaran dan kelembagaan, TK Al-Quran Raudlatul Mujawwidin dengan metode Qiroaty adalah revolusi baru pendidikan Al-Quran yang tidak dikenal sebelumnya. Terbayang di benak kita pada saat itu, pendidikan Al-Quran dilaksanakan semi formal, klasikal, dan dengan kurikulum yang jelas. Metode dianggap cara baru membaca Al-Quran yang praktis dan mudah, setidaknya jika dibandingkan dengan cara lama yang sudah berjalan puluhan tahun.
Sungguhpun kelahiran TK Al-Quran pertama di Semarang, gerakan massif pendidikan Al-Quran secara nasional justru lahir di Yogyakarta. Sejak ditemukannya metode Iqra’ oleh almarhum K.H. As’ad Humam dari Yogyakarta, gerakan pendidikan Al-Quran makin massif berkembang. Bahkan presiden Soeharto pada waktu itu mewisuda langsung santri TK Al-Quran di Yogyakarta. Pada tanggal 16 Maret 1988, K.H. As’ad Humam mendirikan TK Al-Quran (TKA/ TKQ) dengan metode Iqra’. Setahun kemudian, ide tersebut direspon oleh anak – anak muda Islam yang tergabung di dalam Badan Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) yang pada Munasnya ke-5 di Surabaya tanggal 27-30 Juni 1989 menjadikan TK Al-Quran ini sebagai program nasional. Pertumbuhan TK Al-Quran dilanjutkan dengan munculnya Taman Pendidikan Al-Quran (TPA/ TPQ).
Kini TPA/ TPQ sudah menjadi gaya hidup (life style) masyarakat kota dan desa dalam mempelajari Al-Quran. Perkembangan ini dapat dengan mudah dibuktikan, misalnya dengan melihat dimana ada masjid atau musalla, di sana rata – rata ada TPA/ TPQ. Bukan hanya itu, masyarakat dengan kesadarannya sendiri menyelenggarakan TPQ di rumah – rumah pendidikan atau membangun gedung sendiri mulai dari ala kadarnya sampai yang representative. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan TPQ berhasil membangun kesadaran masyarakat utamanya tentang betapa penting mempelajari kitab suci Al-Quran sejak dini.
Secara umum, perkembangan TPQ di Indonesia sangat menggembirakan. Di berbagai pelosok kota dan desa, dengan mudah dijumpai tempat – tempat yang menyelenggarakan pendidikan TPQ. Berbagai metode pembelajaran Al-Quran juga diciptakan dan diajarkan di berbagai daerah. Guru – guru yang kreatif dan inovatif mulai lahir, sehingga proses pembelajaran tidak lagi monoton dan statis.
Secara kuantitas dalam lingkup Jawa Tengah, kini sudah mencapai lebih dari 26ribu unit TPQ. Jumlah ini kemungkinan membengkak karena masih banyak tempat pendidikan Al-Quran/ TPQ yang belum terdata secara lengkap. Begitu pula dengan model pembelajaran Al-Quran yang menempel di berbagai lembaga pendidikan formal, mulai TK/ RA hingga SD/ MI. Model pendidikan Al-Quran yang menempel seperti ini, secara kelembagaan tidak bisa dikatakan TPQ, tetapi secara substansial mereka mengajarkan Al-Quran dengan metode tertentu. Munculnya PAUD TPQ (yaitu suatu bentuk layanan pendidikan di TPQ khusus bagi usia dini), juga layak diapresiasi sebagai bentuk pengembangan TPQ kontemporer.
Setelah lebih 20 tahun TPQ hadir dan mengabdi di Indonesia, bukan berarti TPQ tidak memiliki problem yang harus diselesaikan. Setidaknya ada 5 aspek penting yang perlu penanganan serius agar TPQ dapat berjalan lebih baik lagi.
Pertama, problem penjaminan mutu. Kualitas pendidikan Al-Quran masih berjalan variatif di berbagai daerah. Belum tersedia lembaga yang dapat memberikan garansi kualitas alumni TPQ, kecuali ujian yang diselenggarakan oleh masing – masing TPQ. Supervisi dan akreditasi dapat menjadi alternatif solusi, tetapi pelaksanaannya perlu dukungan dana yang tidak sedikit.
Kedua, minimnya fasilitas dan sarana-prasarana belajar di TPQ. Hampir semua TPQ tidak atau belum memiliki fasilitas pembelajaran yang memadai. Umumnya TPQ tidak memiliki gedung sendiri, dan hanya menempati serambi masjid atau mushalla. Padahal bila ditinjau dari kebutuhan, TPQ memerlukan fasilitas seperti gedung, arena permainan, dan APE untuk menunjang prestasi belajar.
Ketiga, problem pendidikan pasca TPQ. Perlu dipikirkan formula yang tepat untuk mewadahi alumni TPQ. Mereka perlu wadah pendidikan lanjutan setelah lulus dari TPQ, tapi hingga sekarang belum muncul kesepakatan tentang formula dan isinya. Pendidikan pasca TPQ sangat mendesak diwujudkan untuk menampung santri – santri yang sudah mahir membaca Al-Quran, guna mendapatkan pengetahuan agama yang lebih dalam.
Keempat, lembaga pendidikan yang menghasilkan Asatidz TPQ. Asatidz yang mengajar di TPQ belum seluruhnya qualified dari sisi latar belakang pendidikan. Prinsip mau, mampu, dan kober rasanya sudah tidak cukup untuk dapat meningkatkan kualitas TPQ. Semestinya mereka adalah sosok yang ahli di bidangnya karena mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kompensasi yang dibutuhkan.
Kelima, kesejahteraan Asatidz. Peran Asatidz yang begitu besar di dalam mendidik santri dengan nilai – nilai agama, masih belum mendapatkan apresiasi/ kompensasi yang memadai. Para Asatidz yang telah meluangkan waktu yang seharusnya untuk istirahat, keluarga, dan urusan pribadi lain masih perlu mendapatkan perhatian.
Dari berbagai masalah yang muncul di atas, dibutuhkan peran serta pemerintah dalam meningkatkan kualitas TPQ. Secara kelembagaan dan administratif, TPQ berada di bawah pembinaan Kementerian Agama. Namun tidak banyak dukungan finansial yang dapat digunakan untuk membina manajemen, kelembagaan, dan para Asatidz TPQ. Pada sisi lain, Pemerintah Daerah selama ini sudah dapat mengisi kekosongan yang tidak bisa dimainkan oleh Kementerian Agama, meskipun belum maksimal.

II.            Strategi sebagai Rencana Induk
Konsep strategi sudah ada sejak dahulu kala. Kata “strategi” berasal dari bahasa Yunani strategeia, yang berarti seni atau ilmu untuk seorang jenderal. Jenderal Yunani yang efektif dibutuhkan untuk memimpin sebuah pasukan, memenangkan pertempuran, menguasai wilayah, melindungi sebuah kota dari penyerbuan, menghalau musuh, dan seterusnya. Setiap jenis sasaran memerlukan penyebaran sumberdaya yang berbeda, program – program yang berbeda.  Demikian juga strategi militer yang dapat didefinisikan sebagai pola tindakan yang nyata yang diambil untuk menghadapi musuh.
Sekarang, orang Yunani pun menyadari bahwa strategi lebih daripada hanya memenangkan pertempuran. Jenderal yang efektif harus menentukan jalur – jalur pemasokan yang tepat, memutuskan kapan berperang dan kapan tidak berperang, dan mengelola hubungan antara tentara dan penduduk sipil, politisi, dan diplomat. Jenderal yang efektif tidak hanya harus merencanakan tetapi harus bertindak.
Dengan menengok kembali kepada jaman Yunani, maka konsep strategi terdiri dari unsur – unsur perencanaan dan unsur – unsur pengambilan keputusan atau tindakan. Jika disatukan, kedua konsep ini menjadi dasar untuk rencana strategik “induk”.

III.           Konsep Strategi Pengembangan Organisasi
Agar dapat mempertahankan diri dan mengatasi baik masalah – masalah eksternal maupun masalah – masalah internal maka organisasi dapat melakukan pengembangan organisasi.
Untuk dapat mempertahankan eksistensinya, dan dapat berkembang, maka keluaran dari sistem perlu diserap, perlu digunakan oleh sistem lainnya. Sistem akan berhenti eksistensinya jika keluarannya tidak digunakan, tidak diserap oleh sistem lain. Organisasi akan berhenti eksistensinya jika keluarannya tidak dirasakan bermanfaat, tidak diserap oleh organisasi lain. TPQ yang “tidak laku” karena sepi peminat, peran dan keberadaannya tidak dianggap bermanfaat akan tidak mampu meneruskan usahanya. Untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan diri haruslah organisasi mampu menghadapi dan mengatasi masalah – masalah lingkungannya di satu pihak, mampu memadukan/ mengintegrasikan kelompok – kelompok kerja yang membentuk dirinya di pihak lain. Organisasi harus dapat berfungsi efektif.
Pengembangan oganisasi dirumuskan dalam berbagai cara. Definisi yang paling sering dikutip ialah bahwa pengembangan organisasi adalah satu upaya : (1) yang direncanakan, (2) yang dampaknya mencakup seluruh organisasi, dan (3) yang dimanajemeni oleh puncak, untuk (4) meningkatkan efektivitas dan kesehatan organisasi melalui (5) intervensi – intervensi yang direncanakan ke dalam proses – proses organisasi dengan menggunakan pengetahuan keperilakuan (Beckhard, 1969).
McGill (1980) memberikan batasan tentang pengembangan organisasi sebagai berikut :
Pengembangan Organisasi (PO) adalah suatu proses sadar dan terencana untuk mengembangkan kemampuan suatu organisasi, sehingga mencapai dan mempertahankan suatu tingkat optimum prestasi yang diukur berdasarkan efisiensi, efektivitas, dan kesehatan. Secara operasional Pengembangan Organisasi adalah suatu proses normatif untuk memperhatikan pertanyaan :
“ Dimana nyatanya TPQ berada ?”
“ Dimana seharusnya TPQ berada?”
“ Bagaimana dari tempat dimana TPQ nyatanya berada dapat mencapai tempat dimana TPQ seharusnya berada?”
Proses di atas dilaksanakan oleh pimpinan organisasi dengan menggunakan beraneka ragam teknik. Pengembangan organisasi adalah suatu proses yang sadar dan terencana.
Kesehatan organisasi, adalah satu fungsi dan mutu hubungan antara para anggotanya dengan organisasi. Satu organisasi yang sehat memiliki tiga ciri pokok. Pertama, terdapat suatu pemaduan yang efektif antara tujuan individu dan tujuan organisasi. Tercapainya tujuan organisasi akan sekaligus berarti tercapainya tujuan organisasi. Kedua, pemaksimuman kemampuan individu dan organisasi memecahkan masalah. Potensi manusia dimanfaatkan sepenuhnya, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Ketiga, suasana mendorong pertumbuhan individual dan organisasi. Individu dan organisasi didorong dan dibantu mengenali dan mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.
Ada berbagai macam teknik intervensi yang digunakan dalam Pengembangan Organisasi TPQ. Berikut hanya diuraikan satu teknik, yaitu Pembentukan Tim (Team Building). Pembentukan Tim, menurut McGill (1982), merupakan suatu proses diagnosis dan peningkatan efektivitas suatu kelompok kerja dengan perhatian khusus terhadap prosedur kerja dan hubungan antar pribadi di dalamnya. Intervensi dengan menggunakan Teknik Pembentukan Tim pada umumnya berupaya untuk memperkuat identifikasi diri anggota tim dengan kelompok kerjanya, membantu kelompok untuk belajar berfungsi secara lebih efektif, dan meningkatkan keterpaduan antara kelompok – kelompok kerja yang ada dalam keseluruhan organisasi (Siegel & Lane, 1987).
Terkait dengan strategi bagaimana mengembangkan organisasi TPQ teknik intervensi yang bisa dilakukan diantaranya Pertemuan Pembentukan Tim Kelompok. Strategi ini, yang menekankan merumuskan tindakan untuk meningkatkan cara dengan kelompok mana yang berfungsi. Acaranya terpusat pada pembahasan : penetapan tujuan, menganalisis atau membagikan tugas – tugas kerja, mengkaji dengan kelompok kerja mana yang berfungsi, mengkaji antara hubungan – hubungan antar pribadi antara para anggota tim.
Hal mendasar yang harus dipahami oleh pengurus TPQ didalam membuat strategi pengembangan organisasi TPQ adalah :
1.    Pahami Visi, Misi, Kebijakan Dasar.
2.    Pahami Kebijakan Dasar, Strategi Umum, Program Dasar.
Setelah kedua hal tersebut dipahami, baru kita membuat Strategi Pengembangan Organisasi TPQ, diantaranya menyangkut :
a.    Persoalan potensial dan pemecahannya.
b.    Prinsip penyelenggaraan program.
c.    Komponen program dan struktur komponen program.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar