PERCERAIAN DALAM RUMAH TANGGA
(Sebagai Patologi Sosial dalam
Masyarakat)
Latar
Belakang
Tatanan
pranata sosial dalam masyarakat akan diawali dari konsepsi dasar ajaran Islam
melalui sunnah Nabi Muhammad yang kita sebut dengan perkawinan, perkawinan
sebagaimana dalam UU No 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai
bentuk hubungan antara laki dan perempuan yang kekal dan abadi untuk tujuan
yang mulia,
Tujuan
dari perkawinan bisa kita tangkap sebagai bentuk pakta integritas yang sudah
membumi dengan empat hal, yakni, sebagai penjagaan diri (Hifdzun Nafs) dari hal-hal yang bisa menjerumuskan diri
kita dalam masalah yang bertentangan dengan ajaran agama dan nilai serta moral
yang melingkupi kita, kedua sebagai upaya melestarikan keturunan ( Hifdzun
Nasl) dengan perkawinan akan lahir keturunan-keturunan yang bisa menjadi
generasi penerus dari aset bangsa dan agama, ketiga sebagai bentuk penjagaan dan
pencitraaan nilai-nilai agama (Hifdzun Din).
Perkawinan
sebagai bentuk penyatuan dua pribadi yang berbeda dalam banyak hal, tentunya
tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk meraih kehidupan perkawinan yang
sakinah. Perbedaan-perbedaan itu bila tidak disikapi dengan baik, maka akan
banyak menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Seperti yang dialami oleh
seorang istri yang diungkapkan di sebuah blog internet, yaitu:
“ Saya
pikir, kalau kita benar, pasti hal itu akan terhindarkan. Ternyata hal itu
terjadi pada saya. Rasanya sangat terkejut dengan makhluk bernama lelaki yang
jadi suamiku saat itu. Segala sesuatu
yang tidak saya senangi ada di diri suami. Saya sangat kesal. Ditambah lagi
suami tidak sensitive, rasanya saat itu saya kaya orang yang salah pilih suami.
Maklumlah proses ta’arufnya singkat, karena niat lillahi ta’ala, ya nikah deh.”
“ Begitupun dengan suamiku, ngotot-ngototan pendapat kerap terjadi dan
rasanya masing-masing merasa paling benar. Seiring dengan berjalannya waktu
ketika saya berusaha menerima suami apa adanya, mengembalikan niat awala saya
menikah dengannya, di kala itu semuanya serba indah dan membahagiakan dan
ternyata berhasil. Ketika saya iklas menerima suami apa adanya dan tetap lemah
lembut kepadanya subhanalloh, kata-kata saya lebih mudah dicerna oleh suami
saya! Dan yang saya inginkan tersampaikan dengan lancar, suamipun lebih
mengerti dan mau membuka dirinya tentang apa yang mengganjal di antara kami”.
Pada umumnya kehidupan rumah tangga tidak lepas dari
konflik. Dra. Wulandari, Psi dalam sebuah seminar “ manejemen konflik dalam
rumah tangga” mengatakan bahwa dalam rumah tangga adalah hal yang biasa kalau
kadang terjadi perbedaan dan pertentangan pendapat yang terjadi. Namun ada
kecenderungan dalam masyarakat yang menganggap konflik sebagai hal yang kurang
baik dan harus dihindari. Konflik sering dituding sebagai penyebab terjadinya
hal-hal yang kurang menyenangkan dalam suatu hubungan, seperti perceraian dan
perpisahan.
Padahal semestinya ketiadaan konflik dapat menunjukkan
adanya sikap apatis dan ketidakterlibatan dalam hubungan, sebaliknya, konflik
dapat memberikan nilai positif apabila ditangani dengan baik. Dan tugas suami
istri adalah bagaimana mengatasinya jika timbul konflik ( A.Azra, 2002 : 34).
Bahkan, rumah tangga orang-orang sholih juga tidak lepas
dari masalah, perselisihan, pertengkaran dan kemarahan. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Sahl Ibn Sa’ad, dia menceritakan,
Rosululloh mendatangi rumah fatimah, namun beliau tidak menemukan Ali. Maka
beliau bertanya kepada Fatimah “ Mana anak pamanmu (Ali)? Fatimah menjawab,
kami sedang bertengkar yang membuat aku marah, maka dia keluar dan tidak tidur
siang di rumahku”
Perkembangan waktu seiring perkembangan zaman dan
tehnologi sebagai akibat arus globalisasi dimana nilai-nilai agama dan norma
masyarakat mulai pudar mengakibatkan konflik yang ada dalam rumah tangga
semakin komplek semakin parah ketika suami istri mempertahankan ego dan
kepentingan dan tidak disikapi dengan arif, maka menjadi sangat wajar ketika
sekarang angka perceraian dalam rumah tangga semakin meningkat.
Perceraian semestinya, bukan solusi yang tepat bagi rumah
tangga yang sedang terjadi konflik, sekalipun agama membolehkan tetapi itu
menjadi sesuatu yang dibenci oleh Alloh dan menjadi betuk bagian dari degadensi
dan penisbian nilai-nilai moral masyarakat.
Perceraian sebagai bagian dari proses sosiologi dalam
rumah juga diatur dalam legislasi hukum positif yang ada di Indonesia, yaitu:
- Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dalam pasal :
- Kompilasi Hukum Islam dalam pasal ;
apakah yang menjadi penyebab dari terjadinya
perceraian dalam kehidupan rumah tangga
?”
Sebelum mengurai anteseden dari istilah cerai atau
perceraian, terlebih kita kupas secara singkat pemahaman istilah cerai, cerai
dalam bahasa arab disamakan dengan kata Tolaq yang berarti lepas, putus,
hancur. Dalam konsepsi hukum islam dan hukum positif cerai merupakan bentuk
lepasnya ikatan lahir batin antara seorang laki dan perempuan yang
mengakibatkan lepasnya bentuk tanggung jawab dan hak antara laki dan perempuan
sebagai seorang suami istri.
Perceraian dalam konsepsi hukum positif terbagi
menjadi dua perceraian dalam pengertian Gugat cerai dimana istri mengajukan
kepada Pengadilan Agama sebagai penggugat, sementara yang lain adalah Cerai
Talaq dimana suami mengajukan gugatan kepada pengadilan Agama, apapun jenisnya
perceraian sebenarnya merupakan bentuk fenomena dari patologi rumah tangga yang
berimplikasi dalam ranah sosial kemasyarakatan.
Munculnya masalah (konflik) dalam rumah tangga yang
bisa dikatakan menjadi pemicu dasar dari perceraian merupakan akibat dari
adanya masalah sosial yang sudah menggurita (Endemic Social Problem)
dan bahkan bisa menjadi bagian dari penacarian jati diri dan trand maker, namun
terlepas dari alasan dasar apa yang menjadi pemicu dari perceraian secara umum
perceraian sebagai patologi rumah tangga itu disebabkan :
- Agama
Konflik atau masalah dalam rumah tangga merupakan
bagian yang selalu melekat dan bisa dibilang sunnatulloh karena dalam rumah
tangga adalah perpaduan dari dua orang yang memiliki karakter berbeda dan
kepentingan berbeda, sadar atau tidak perkawinan adalah tujuan mulia tetapi
akan menjadi ternoda ketika niat yang ada dalam awal membangun mahligai rumah
tangga semata untuk kepentingan sesaat. Menjadi sangat wajar bila biduk rumah
tangga akan mudah terombang ambing jika tidak ada fondasi yang kokoh.
Fondasi agama menjadi prasarat dasar untuk terciptanya
mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, perkembangan arus
globalisasi, polarisasi budaya, dan penanaman nilai-nilai agama yang berjalan
tidak seimbang menjadi bulatan bola salju masalah. Akan tetapi bila kita runut
pendidikan agama dalam rumah tangga perlu ditanamkan secara dini kepada
anak-anak kita karena mereka pada suatu saat akan mengalami fase dimana mereka
akan mengalami membentuk rumah tangga.
Pendidikan agama dalam keluarga saat ini lebih bersifat
profan dan tidak bersifat substantif, sehingga elan dasar dari tujuan dan
maksud membina rumahtangga yang sesuai dengan ajaran agama menjadi bias dan
bersifat kamuflase(Quraisy Syihab, 1998 : 53), masalah yang ada lebih didekati
dengan rasionalisasi yang bersifat egosentris.
Bias pemaknaan nilai agama dalam membina rumah tangga
bisa teridentifikasi dari munculnya kekerasan dalam rumah tangga,
perselingkuhan hilangnya saling menghargai dan menghormati antara suami dan
istri, sementara konsepsi agama jelas menunjukkan kepada kita bersama bagaimana
membangun mahligai rumah tangga yang ideal yang tidak mudah goyah karena
polarisasi budaya yang ada dan terus menggurita dalam sendi-sendi sosial
kemasyarakatan.
- Ekonomi
Patologi lain yang juga bisa menjadi pemicu perceraian
dalam rumah tangga saat ini adalah faktor ekonomi, himpitan sosial karena
kemiskinan mengakibatkan banyak orang yang tidak bisa berfikir jernih dan
rasional. Menjadi relevan dan reliabiltasnya tinggi ajaran dari nabi untuk
mempersiapakan diri secara mapan dalam konteks materi ketika akan menapaki
kehidupan baru dalam membentuk rumah tangga.
Pola memenej keuangan dan keterbukaan antara suami dan
istri dalam maslah materi atau keuangan menjadi bagian yang terintegrasi dalam
menejemen keluarga, sementara saat ini tidak jarang keterbukaan dalam masalah
ini berlaku dalam kehidupan rumah tangga, sehingga sering kita dengar dan lihat
ada istilah uang laki dan uang perempuan, jika ini terus berlanjut jelas tidak
mungkin akan menjadi pemicu awal terjadinya konflik.
Masalah sosial dalam perspektif ekonomi tidak hanya
bagi mereka yang berekonomi pas-pasan mereka yang berlimpah pun tidak lepas
dari endemic masalah sosial ini jika keterbukaan sebagaimana di atas tidak
dijalankan bagi mereka keluarga yang berlimpah. (Budi Atmono, 2004: 43) Namun
sebagian besar potret dari akumulasi patologi rumah tangga dalam perspektif
ekonomi lebih didominasi oleh keluarga yang kekurangan (miskin).
- Budaya
Tatanan sosial kemasyarakatan tidak akan pernah lepas
dari nilai budaya, varian budaya pun mampu mempengaruhi cara pandang dan
berfikir masyarakat dalam menghadapi masalah termasuk kaitannya dalam hal ini adalah
rumah tangga. Pola kehidupan rumah tangga akan langsung merasakan akibat dari
munculnya varian budaya, saat sekarang budaya hedonistik, glamoritas,
trendsitas seolah menjadi konsumsi masyarakat di semua lapisan dalam strata
sosial yang berbeda sekalipun.
Filterisasi yang tidak baik dalam kehidupan rumah
tangga menjadikan budaya negatif begitu gampang memepengaruhi kehidupan rumah
tangga manapun, apalagi pola pikir masyarakat kita lebih bersifat patronisasi,
hampir setiap hari masyarakat mendapat suguhan visualisasi dari media cetak dan
elektronik tentang kehidupan rumah tangga artis yang kawin cerai, sedikit atau
banyak ini cukup menjadi alasan meningkatnya angka perceraian di Indonesia.
Terlebih munculnya varian budaya lokal yang jelek
ambil contoh yang ada di daerah Jawa Barat khususnya derah subang yang punya
asumsi semakin sering seorang wanita bercerai maka dia semakin memiliki strata
sosial yang lebih.
Lemahnya
kontrol masyarakat terhadap perkembangan budaya juga menjadi alasan
pemicu berkembangnya budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama,
maraknya prostitusi liar tempat –tempat judi dan maksiat semakin menambah
buruknya varian budaya di tengah masyarakat.
E. Menciptakan
Solusi Konflik
Ketika kita menyadari betapa angka perceraian yang
semakin hari semakin meningkat dan dampak yang muncul dari perceraian juga bisa
menjadi daftar permasalahan sosial, maka perlu dilakukan pendekatan-pendekatan
strategis dan komprehensif melalui tiga hal di bawah ini :
- Siap dengan hal yang tidak diduga
Dalam rumah tangga bisa jadi pasangan kita tidak sesuai
dan seideal yang kita impikan. Oleh karena itu, kita harus siap menerima
apabila ternyata dia tidak secantik dan setampan yang kita bayangkan, atau
tidak segesit yang kita harapkan. Disinilah kita harus sangat berlapang dada
apabila kita menjumpai kekurangan dari pasangan kita.
- Memperbanyak pesan diri
Tindak lanjut dan kesiapan kita menghadapi perbedaan yang
ada, adalah dengan memperbanyak pesan diri. Sebab, ketika pasangan kita semakin
mengetahui tabiat dan kebiasaan kita, maka dia akan lebih siap untuk menghadapi
kita. Sebab sangat mungkin seseorang membuat kesalahan akibat dia tidak tahu
tata nilai kita yang dampaknya akan banyak muncul ketersinggungan. Maka
disinilah perlunya kita belajar memberitahukan apa yang kita inginkan. Inilah
esensi dari pesan diri.
Dengan mempertegas pesan diri, diharapkan peluang konflik
dalam rumah tangga tidak membesar, karena kita telah mengkondisikan agar orang
memahami kita. Sungguh kita tidak perlu malu kepada pasangan kita untuk
menyatakan harapan dan keinginan kita dan keberatan kita dalam segala hal,
sebab dengan keterbukaan seperti ini pasangan hidup kita dapat lebih mudah
dalam menerima diri kita.
- Tegakkan peraturan
Dalam menjalani bahtera rumah tangga juga diperlukan
adanya aturan-aturan yang disepakati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar