Kamis, 24 April 2014

MATERI MUNAKAHAT; CERAI DALAM RUMGA



PERCERAIAN DALAM RUMAH TANGGA
(Sebagai Patologi Sosial dalam Masyarakat)

Latar Belakang
Tatanan pranata sosial dalam masyarakat akan diawali dari konsepsi dasar ajaran Islam melalui sunnah Nabi Muhammad yang kita sebut dengan perkawinan, perkawinan sebagaimana dalam UU No 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai bentuk hubungan antara laki dan perempuan yang kekal dan abadi untuk tujuan yang mulia,
Tujuan dari perkawinan bisa kita tangkap sebagai bentuk pakta integritas yang sudah membumi dengan empat hal, yakni, sebagai penjagaan diri (Hifdzun Nafs)  dari hal-hal yang bisa menjerumuskan diri kita dalam masalah yang bertentangan dengan ajaran agama dan nilai serta moral yang melingkupi kita, kedua sebagai upaya melestarikan keturunan ( Hifdzun Nasl) dengan perkawinan akan lahir keturunan-keturunan yang bisa menjadi generasi penerus dari aset bangsa dan agama, ketiga sebagai bentuk penjagaan dan pencitraaan nilai-nilai agama (Hifdzun Din).
Perkawinan sebagai bentuk penyatuan dua pribadi yang berbeda dalam banyak hal, tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk meraih kehidupan perkawinan yang sakinah. Perbedaan-perbedaan itu bila tidak disikapi dengan baik, maka akan banyak menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Seperti yang dialami oleh seorang istri yang diungkapkan di sebuah blog internet, yaitu:
Saya pikir, kalau kita benar, pasti hal itu akan terhindarkan. Ternyata hal itu terjadi pada saya. Rasanya sangat terkejut dengan makhluk bernama lelaki yang jadi suamiku saat itu. Segala sesuatu yang tidak saya senangi ada di diri suami. Saya sangat kesal. Ditambah lagi suami tidak sensitive, rasanya saat itu saya kaya orang yang salah pilih suami. Maklumlah proses ta’arufnya singkat, karena niat lillahi ta’ala, ya nikah deh.”
Begitupun dengan suamiku, ngotot-ngototan pendapat kerap terjadi dan rasanya masing-masing merasa paling benar. Seiring dengan berjalannya waktu ketika saya berusaha menerima suami apa adanya, mengembalikan niat awala saya menikah dengannya, di kala itu semuanya serba indah dan membahagiakan dan ternyata berhasil. Ketika saya iklas menerima suami apa adanya dan tetap lemah lembut kepadanya subhanalloh, kata-kata saya lebih mudah dicerna oleh suami saya! Dan yang saya inginkan tersampaikan dengan lancar, suamipun lebih mengerti dan mau membuka dirinya tentang apa yang mengganjal di antara kami”.

Pada umumnya kehidupan rumah tangga tidak lepas dari konflik. Dra. Wulandari, Psi dalam sebuah seminar “ manejemen konflik dalam rumah tangga” mengatakan bahwa dalam rumah tangga adalah hal yang biasa kalau kadang terjadi perbedaan dan pertentangan pendapat yang terjadi. Namun ada kecenderungan dalam masyarakat yang menganggap konflik sebagai hal yang kurang baik dan harus dihindari. Konflik sering dituding sebagai penyebab terjadinya hal-hal yang kurang menyenangkan dalam suatu hubungan, seperti perceraian dan perpisahan.
Padahal semestinya ketiadaan konflik dapat menunjukkan adanya sikap apatis dan ketidakterlibatan dalam hubungan, sebaliknya, konflik dapat memberikan nilai positif apabila ditangani dengan baik. Dan tugas suami istri adalah bagaimana mengatasinya jika timbul konflik ( A.Azra, 2002 : 34).
Bahkan, rumah tangga orang-orang sholih juga tidak lepas dari masalah, perselisihan, pertengkaran dan kemarahan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Sahl Ibn Sa’ad, dia menceritakan, Rosululloh mendatangi rumah fatimah, namun beliau tidak menemukan Ali. Maka beliau bertanya kepada Fatimah “ Mana anak pamanmu (Ali)? Fatimah menjawab, kami sedang bertengkar yang membuat aku marah, maka dia keluar dan tidak tidur siang di rumahku”
Perkembangan waktu seiring perkembangan zaman dan tehnologi sebagai akibat arus globalisasi dimana nilai-nilai agama dan norma masyarakat mulai pudar mengakibatkan konflik yang ada dalam rumah tangga semakin komplek semakin parah ketika suami istri mempertahankan ego dan kepentingan dan tidak disikapi dengan arif, maka menjadi sangat wajar ketika sekarang angka perceraian dalam rumah tangga semakin meningkat.
Perceraian semestinya, bukan solusi yang tepat bagi rumah tangga yang sedang terjadi konflik, sekalipun agama membolehkan tetapi itu menjadi sesuatu yang dibenci oleh Alloh dan menjadi betuk bagian dari degadensi dan penisbian nilai-nilai moral masyarakat.
Perceraian sebagai bagian dari proses sosiologi dalam rumah juga diatur dalam legislasi hukum positif yang ada di Indonesia, yaitu:
  1. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dalam pasal :
  2. Kompilasi Hukum Islam dalam pasal ;
apakah yang menjadi penyebab dari terjadinya perceraian dalam kehidupan rumah  tangga ?”
Sebelum mengurai anteseden dari istilah cerai atau perceraian, terlebih kita kupas secara singkat pemahaman istilah cerai, cerai dalam bahasa arab disamakan dengan kata Tolaq yang berarti lepas, putus, hancur. Dalam konsepsi hukum islam dan hukum positif cerai merupakan bentuk lepasnya ikatan lahir batin antara seorang laki dan perempuan yang mengakibatkan lepasnya bentuk tanggung jawab dan hak antara laki dan perempuan sebagai seorang suami istri.
Perceraian dalam konsepsi hukum positif terbagi menjadi dua perceraian dalam pengertian Gugat cerai dimana istri mengajukan kepada Pengadilan Agama sebagai penggugat, sementara yang lain adalah Cerai Talaq dimana suami mengajukan gugatan kepada pengadilan Agama, apapun jenisnya perceraian sebenarnya merupakan bentuk fenomena dari patologi rumah tangga yang berimplikasi dalam ranah sosial kemasyarakatan.
Munculnya masalah (konflik) dalam rumah tangga yang bisa dikatakan menjadi pemicu dasar dari perceraian merupakan akibat dari adanya masalah sosial yang sudah menggurita (Endemic Social Problem) dan bahkan bisa menjadi bagian dari penacarian jati diri dan trand maker, namun terlepas dari alasan dasar apa yang menjadi pemicu dari perceraian secara umum perceraian sebagai patologi rumah tangga itu disebabkan :
  1. Agama
Konflik atau masalah dalam rumah tangga merupakan bagian yang selalu melekat dan bisa dibilang sunnatulloh karena dalam rumah tangga adalah perpaduan dari dua orang yang memiliki karakter berbeda dan kepentingan berbeda, sadar atau tidak perkawinan adalah tujuan mulia tetapi akan menjadi ternoda ketika niat yang ada dalam awal membangun mahligai rumah tangga semata untuk kepentingan sesaat. Menjadi sangat wajar bila biduk rumah tangga akan mudah terombang ambing jika tidak ada fondasi yang kokoh.
Fondasi agama menjadi prasarat dasar untuk terciptanya mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, perkembangan arus globalisasi, polarisasi budaya, dan penanaman nilai-nilai agama yang berjalan tidak seimbang menjadi bulatan bola salju masalah. Akan tetapi bila kita runut pendidikan agama dalam rumah tangga perlu ditanamkan secara dini kepada anak-anak kita karena mereka pada suatu saat akan mengalami fase dimana mereka akan mengalami membentuk rumah tangga.
Pendidikan agama dalam keluarga saat ini lebih bersifat profan dan tidak bersifat substantif, sehingga elan dasar dari tujuan dan maksud membina rumahtangga yang sesuai dengan ajaran agama menjadi bias dan bersifat kamuflase(Quraisy Syihab, 1998 : 53), masalah yang ada lebih didekati dengan rasionalisasi yang bersifat egosentris.
Bias pemaknaan nilai agama dalam membina rumah tangga bisa teridentifikasi dari munculnya kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan hilangnya saling menghargai dan menghormati antara suami dan istri, sementara konsepsi agama jelas menunjukkan kepada kita bersama bagaimana membangun mahligai rumah tangga yang ideal yang tidak mudah goyah karena polarisasi budaya yang ada dan terus menggurita dalam sendi-sendi sosial kemasyarakatan.
  1. Ekonomi
Patologi lain yang juga bisa menjadi pemicu perceraian dalam rumah tangga saat ini adalah faktor ekonomi, himpitan sosial karena kemiskinan mengakibatkan banyak orang yang tidak bisa berfikir jernih dan rasional. Menjadi relevan dan reliabiltasnya tinggi ajaran dari nabi untuk mempersiapakan diri secara mapan dalam konteks materi ketika akan menapaki kehidupan baru dalam membentuk rumah tangga.
Pola memenej keuangan dan keterbukaan antara suami dan istri dalam maslah materi atau keuangan menjadi bagian yang terintegrasi dalam menejemen keluarga, sementara saat ini tidak jarang keterbukaan dalam masalah ini berlaku dalam kehidupan rumah tangga, sehingga sering kita dengar dan lihat ada istilah uang laki dan uang perempuan, jika ini terus berlanjut jelas tidak mungkin akan menjadi pemicu awal terjadinya konflik.
Masalah sosial dalam perspektif ekonomi tidak hanya bagi mereka yang berekonomi pas-pasan mereka yang berlimpah pun tidak lepas dari endemic masalah sosial ini jika keterbukaan sebagaimana di atas tidak dijalankan bagi mereka keluarga yang berlimpah. (Budi Atmono, 2004: 43) Namun sebagian besar potret dari akumulasi patologi rumah tangga dalam perspektif ekonomi lebih didominasi oleh keluarga yang kekurangan (miskin).
  1. Budaya
Tatanan sosial kemasyarakatan tidak akan pernah lepas dari nilai budaya, varian budaya pun mampu mempengaruhi cara pandang dan berfikir masyarakat dalam menghadapi masalah termasuk kaitannya dalam hal ini adalah rumah tangga. Pola kehidupan rumah tangga akan langsung merasakan akibat dari munculnya varian budaya, saat sekarang budaya hedonistik, glamoritas, trendsitas seolah menjadi konsumsi masyarakat di semua lapisan dalam strata sosial yang berbeda sekalipun.
Filterisasi yang tidak baik dalam kehidupan rumah tangga menjadikan budaya negatif begitu gampang memepengaruhi kehidupan rumah tangga manapun, apalagi pola pikir masyarakat kita lebih bersifat patronisasi, hampir setiap hari masyarakat mendapat suguhan visualisasi dari media cetak dan elektronik tentang kehidupan rumah tangga artis yang kawin cerai, sedikit atau banyak ini cukup menjadi alasan meningkatnya angka perceraian di Indonesia.
Terlebih munculnya varian budaya lokal yang jelek ambil contoh yang ada di daerah Jawa Barat khususnya derah subang yang punya asumsi semakin sering seorang wanita bercerai maka dia semakin memiliki strata sosial yang lebih.
Lemahnya  kontrol masyarakat terhadap perkembangan budaya juga menjadi alasan pemicu berkembangnya budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, maraknya prostitusi liar tempat –tempat judi dan maksiat semakin menambah buruknya varian budaya di tengah masyarakat.
E.  Menciptakan Solusi Konflik
Ketika kita menyadari betapa angka perceraian yang semakin hari semakin meningkat dan dampak yang muncul dari perceraian juga bisa menjadi daftar permasalahan sosial, maka perlu dilakukan pendekatan-pendekatan strategis dan komprehensif melalui tiga hal di bawah ini :
  1. Siap dengan hal yang tidak diduga
Dalam rumah tangga bisa jadi pasangan kita tidak sesuai dan seideal yang kita impikan. Oleh karena itu, kita harus siap menerima apabila ternyata dia tidak secantik dan setampan yang kita bayangkan, atau tidak segesit yang kita harapkan. Disinilah kita harus sangat berlapang dada apabila kita menjumpai kekurangan dari pasangan kita.
  1. Memperbanyak pesan diri
Tindak lanjut dan kesiapan kita menghadapi perbedaan yang ada, adalah dengan memperbanyak pesan diri. Sebab, ketika pasangan kita semakin mengetahui tabiat dan kebiasaan kita, maka dia akan lebih siap untuk menghadapi kita. Sebab sangat mungkin seseorang membuat kesalahan akibat dia tidak tahu tata nilai kita yang dampaknya akan banyak muncul ketersinggungan. Maka disinilah perlunya kita belajar memberitahukan apa yang kita inginkan. Inilah esensi dari pesan diri.
Dengan mempertegas pesan diri, diharapkan peluang konflik dalam rumah tangga tidak membesar, karena kita telah mengkondisikan agar orang memahami kita. Sungguh kita tidak perlu malu kepada pasangan kita untuk menyatakan harapan dan keinginan kita dan keberatan kita dalam segala hal, sebab dengan keterbukaan seperti ini pasangan hidup kita dapat lebih mudah dalam menerima diri kita.
  1. Tegakkan peraturan
Dalam menjalani bahtera rumah tangga juga diperlukan adanya aturan-aturan yang disepakati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar