PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG
PERKAWINAN KONTRAK
BAB I
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak
ada yang keluar dari garisNya, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah berfirman,
وَمِنْ كُلِّ شَيْئ ٍ خَلَقْنَا
زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (الذارية: ٤٩)
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan,
supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah" (QS. Adz
Dzariyat : 49)
Allah memilih sarana ini untuk berkembangbiaknya alam
dan kesinambungan ciptaanNya, setelah mempersiapkan tugas dan posisi
masing-masing setiap pasangan. Allah
berfirman,
يَاَيُّهَاالنَّاسُ اتَّقُوا
رَبَّكُمُ الَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْس ٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا
زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَّنِسَاءً
Artinya :
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah
menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. (An Nisa' : 1)
Allah menciptakan manusia seperti ciptaan yang
lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak beraturan. Tetapi Allah
meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusanNya,
Muhammad SAW.
Oleh karenanya, salah satu maqashid syari’ah (hikmah
pensyari’atan), yaitu menjaga keturunan. Islam menganjurkan umat Islam untuk
menikah dan diharamkan membujang. Islam melarang mendekati zina dan menutup
sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor tersebut. Islam juga
mengharamkan perzinaan yang berbalutkan dengan sampul pernikahan, atau pelacuran menggunakan baju kehormatan.
Di antara pernikahan yang diharamkan oleh Islam, ialah
seperti:
1.
Nikah muhalil, yaitu
seseorang menikah dengan seorang wanita yang telah dithalak
tiga
oleh suaminya, dengan tujuan agar suami pertama dapat rujuk dengannya.
2.
Nikah syighar, yaitu seseorang menikahkan putrinya
dengan seseorang, dengan syarat
orang
yang dinikahkan tersebut juga menikahkan putrinya, dan tidak ada mahar atas
keduanya.
3.
Nikah muhrim, dan seterusnya.
Juga terdapat pernikahan yang diharamkan, yang dikenal
dengan nikah mut’at. Nikah mut’ah ini merupakan salah satu pernikahan yang
diharamkan Islam. Uniknya, nikah mut’ah ini bahkan dilanggengkan dan
dilestarikan oleh agama Syi’ah dengan mengatasnamakan agama.
Nikah mut’ah di Indonesia dikenal juga dengan istilah
kawin kontrak, secara kwantitatif sulit untuk didata, karena perkawinan kontrak
itu dilaksanakan selain tidak dilaporkan, secara yuridis formal memang tidak
diatur dalam peraturan apapun, sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan
kontrak/ nikah mut’ah di Indonesia tidak diakui dan tidak berlaku hukum itu.
Dari sini penyusun akan menguraikan bagaimana
sebenarnya pandangan hukum Islam mengenai praktek kawin mut'ah yang terjadi di
Indonesia.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimanakah penjelasan nikah menurut Islam?
2.
Apa sebenarnya nikah mut’ah itu?
3.
Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai kawin kontrak
di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERNIKAHAN
1. Pengertian
pernikahan
Pernikahan dalam bahasa arab adalah nikah. Ada
arti sebenarnya ada arti kiasan. Arti sebenarnya nikah adalah dhom yang
artinya menghimpit, menindih, atau berkumpul. Arti kiasannya adalah sama dengan
wath’i yang artinya bersetubuh.
Menurut hukum islam, nikah itu pada hakikatnya ialah aqad
antara calon suami dan pihak calon istri (wali nikah) untuk memperbolehkan
keduanya bergaul sebagai suami-istri. Aqad artinya ikatan atau perjanjian. Jadi
aqad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara
seorang laki-laki dan seorang wanita (diwakili oleh wali nikahnya).
Sedangkan menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun
1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Hukum nikah
1.
Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya.
2.
Sunah, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah
3.
Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda zina
4.
Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah
5.
Haram, bagi orang yang mempunyai niat akan menyakiti perempuan yang
dinikahinya
3.
Syarat, rukun dan larangan dalam pernikahan
Menikah dalam ajaran agama Islam ada
aturan yang perlu dipatuhi oleh calon mempelai serta keluarganya agar
perkawinan yang dilakukan sah secara agama sehingga mendapat ridho dari Allah
SWT. Berikut ini adalah uraian ringkas mengenai syarat, rukun dan larangan
dalam pernikahan.
2.1. Syarat-Syarat Sah
Perkawinan/Pernikahan
a)
Mempelai laki-laki/ pria
· agama islam
· tidak dalam paksaan
· pria/ laki-laki normal
· tidak punya empat atau
lebih istri
· tidak dalam ibadah ihram
haji atau umroh
· bukan mahram calon istri
· yakin bahwa calon istri
halal untuk dinikahi
· cakap hukum dan layak
berumah tangga
· tidak ada halangan
perkawinan
b)
Mempelai perempuan/ wanita
· beragama islam
· wanita/ perempuan normal
(bukan bencong/lesbian)
· bukan mahram calon suami
· mengizinkan wali untuk
menikahkannya
· tidak dalam masa iddah
· tidak sedang bersuami
· belum pernah dili'an
· tidak dalam ibadah ihram
haji atau umrah
c)
Syarat wali mempelai perempuan
· pria beragama islam
· tidak ada halangan atas
perwaliannya
· punya hak atas
perwaliannya
d)
Syarat bebas halangan perkawinan bagi kedua mempelai
· tidak ada hubungan darah
terdekat (nasab)
· tidak ada hubungan
persusuan (radla'ah)
· tidak ada hubungan persemendaan
(mushaharah)
· tidak pernah dili'an
· si pria punya istri
kurang dari 4 orang dan dapat izin istrinya
· tidak dalam ihram haji
atau umrah
· tidak berbeda agama
· tidak talak ba'in kubra
· tidak permaduan
· si wanita tidak dalam
masa iddah
· si wanita tidak punya
suami
e)
Syarat-syarat syah bagi saksi pernikahan/perkawinan
· pria/ laki-laki
· berjumlah dua orang
· sudah dewasa/ baligh
· mengerti maksud dari akad
nikah
· hadir langsung pada
acara akad nikah
f)
Syarat-syarat/persyaratan akad nikah yang syah :
· ada ijab (penyerahan
wali)
· ada qabul (penerimaan
calon suami)
· ijab memakai kata nikah
atau sinonim yang setara.
· ijab dan kabul jelas,
saling berkaitan, satu majelis, tidak dalam ihrom haji atau umroh.
2.2. Rukun-Rukun Pernikahan/Perkawinan Sah
a)
ada calon mempelai pengantin pria dan wanita
b)
ada wali pengantin perempuan
c)
ada dua orang saksi pria dewasa
d)
ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari
pengantin
pria)
2.3. Pantangan/ Larangan-Larangan Dalam
Pernikahan/ Perkawinan
a)
ada hubungan mahram antara calon mempelai pria dan wanita
b)
rukun nikah tidak terpenuhi
c)
ada yang murtad keluar dari agama islam
2.4. Menurut Undang-Undang Perkawinan
a)
perkawinan/pernikahan didasari persetujuan kedua calon mempelai
b)
bagi calon yang berusia di bawah 21 tahun harus punya izin orang tua atau
wali yang
masih ada hubungan darah dalam garis keturunan lurus atau melalui
putusan pengadilan
c) umur atau usia minimal untuk menikah untuk pria/laki-laki berusia 19 tahun
dan untuk
wanita/perempuan berumur paling
tidak 16 tahun.
4.
Wanita-wanita yang haram untuk dinikahi
Wanita yang dilarang dinikahi sesuai surat
An Nisa': 23 yaitu:
4.1. Dari pihak keturunan:
a)
ibu dan seterusnya ke jalur atas
b)
anak perempuan dan seterusnya ke jalur bawah
c)
saudara wanita seayah seibu atau seibu atau seayah
d)
anak wanita saudara laki-laki
e)
anak wanita saudara perempuan
f)
bibi dari garis ayah
g)
bibi dari garis ibu
4.2. Dari sebab menyusu, yaitu: ibu yang
menyusuinya dan saudara perempuan sepersusuan.
4.3. Adapun wanita yang haram dinikahi
karena hubungan persemendaan adalah:
a)
ibu istri dan seterusnya ke jalur atas
b)
anak-anak wanita mereka dan seterusnya ke jalur bawah, jika istri sudah
disetubuhi
c)
istri-istri bapak, kakak dan seterusnya ke jalaur atas
d)
istri-istri anak laki-laki dan seterusnya ke jalur bawah
4.4. Dan haram menikahi dua perempuan
bersaudara dengan cara dikumpulkan bersama-
sama.
B. KAWIN MUT'AH
1. Definisi
Nikah Mut’ah
Nikah Mut’ah, atau disebut pula dengan Zawuj Muaqqat
(kawin sementara) atau Zawuj Munqathi’ (kawin putus) merupakan jenis
“pernikahan” yang berbeda dengan perkawinan yang lazim berlaku di masyarakat,
utamanya masyarakat Islam. Perkawinan Mut’ah terjadi atas dasar perjanjian
bersama antara pria dan wanita untuk hidup bersama dalam waktu tertentu. Jika
waktu yang telah ditentukan itu berakhir, maka secara otomatis ikatan
perkawinan itu pun berakhir.
Nikah mut’ah di Indonesia dikenal juga dengan istilah
kawin kontrak. Meskipun secara kwantitatif tidak ada data dan tidak belaku
hukum perkawinan kontrak/ nikah mut’ah di Indonesia, namum pada kenyataannya,
perkawinan kontrak tersebut telah banyak berkembang di Indonesia, terutama di
Daerah-daerah Industri yang banyak melibatkan investor asing, seperti didaerah
Kalimatan, Batam, dan tidak mustahil diberbagai daerah di pulau jawa dan Nusa
Tenggara. Memang yang sempat mengemuka di media perkawinan kontrak itu banyak
dilakukan wanita Indonesia (Islam) dengan laki-laki yang berasal dari luar
negeri, baik dari Erofa, Amerika, Thailand dan Timur Tengah. Namun boleh jadi
ada praktek kawin kontrak ini dilakukan wanita dan pria sesama warga Negara
Indonesia.
2.
Aturan mengenai fiqih nikah mut’ah menurut Syi'ah
a)
nikah mut'ah bukan pernikahan yang membatasi istri hanya empat
Dari Abu Bakar bin Muhammad Al Azdi dia
berkata :aku bertanya kepada Abu Hasan tentang mut'ah, apakah termasuk dalam
pernikahan yang membatasi 4 istri? Dia menjawab tidak. (Al Kafi. Jilid 5
hal. 451).
Wanita yang dinikahi secara mut'ah adalah
wanita sewaan, jadi diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan 1000 wanita
sekaligus, karena akad mut'ah bukanlah pernikahan. Jika memang pernikahan maka
dibatasi hanya dengan 4 istri.
Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu
Abdullah, aku bertanya tentang mut'ah pada beliau apakah merupakan bagian dari
pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya: menikahlah dengan seribu wanita,
karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan. (Al Kafi Jilid. 5 Hal. 452).
b)
syarat utama nikah mut'ah
Dalam nikah mut'ah yang terpenting adalah
waktu dan mahar. Jika keduanya telah disebutkan dalam akad, maka sahlah akad
mut'ah mereka berdua. Karena seperti yang akan dijelaskan kemudian bahwa
hubungan pernikahan mut'ah berakhir dengan selesainya waktu yang disepakati.
Jika waktu tidak disepakati maka tidak akan memiliki perbedaan dengan
pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam.
Dari Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata:
Nikah mut'ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu
dan bayaran tertentu. (Al Kafi Jilid. 5 Hal. 455).
c) batas minimal mahar mut'ah
Di atas disebutkan bahwa rukun akad mut'ah
adalah adanya kesepakatan atas waktu dan mahar. Berapa batas minimal mahar
nikah mut'ah?
Dari Abu Bashir dia berkata: aku bertanya
pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut'ah, lalu beliau menjawab
bahwa minimal mahar mut'ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum atau korma.
(Al Kafi Jilid. 5 Hal. 457).
d) tidak ada talak dalam
mut'ah
Dalam nikah mut'ah tidak dikenal istilah
talak, karena seperti di atas telah diterangkan bahwa nikah mut'ah bukanlah
pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam. Jika hubungan pernikahan yang lazim
dilakukan dalam Islam selesai dengan beberapa hal dan salah satunya adalah talak,
maka hubungan nikah mut'ah selesai dengan berlalunya waktu yang telah
disepakati bersama. Seperti diketahui dalam riwayat di atas, kesepakatan atas
jangka waktu mut'ah adalah salah satu rukun/ elemen penting dalam mut'ah selain
kesepakatan atas mahar.
Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi
wanita yang mut'ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan
tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua
terpisah tanpa adanya talak. (Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 458).
e) jangka waktu minimal
mut'ah.
Dalam nikah mut'ah tidak ada batas minimal
mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut'ah. Jadi boleh saja nikah mut'ah
dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali
hubungan suami istri.
Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku
mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka
waktu mut'ah? Apakah diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu
kali hubungan suami istri? Jawabnya: ya. (Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 460).
Dari Abu Abdillah, ditanya tentang orang
nikah mut'ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya: "
tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya
dan tidak melihat pasangannya". (Al Kafi jilid 5 hal 460).
f) nikah mut'ah
berkali-kali tanpa batas
Diperbolehkan nikah mut'ah dengan seorang
wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana
jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain
dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama. Hal ini seperti
diterangkan oleh Abu Ja'far, Imam Syiah yang ke empat, karena wanita mut'ah
bukannya istri, tapi wanita sewaan.
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu
Ja'far, seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa
mut'ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu
nikah mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya
tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 laki-laki apakah masih boleh menikah
dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far: ya dibolehkan menikah mut'ah berapa
kali
sekehendaknya, karena wanita ini bukan
seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah wanita sewaan, seperti budak
sahaya. (Al Kafi jilid 5 hal 460).
g) wanita mut'ah diberi mahar
sesuai jumlah hari yang disepakati
Wanita yang dinikah mut'ah mendapatkan
bagian maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu
pergi maka boleh menahan maharnya.
Dari Umar bin Handhalah dia bertanya pada
Abu Abdullah: aku nikah mut'ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku
tidak memberinya sebagian dari mahar, jawabnya: ya, ambillah mahar bagian yang
dia tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika
sepertiga bulan maka ambillah sepertiga maharnya. (Al Kafi Jilid 5 Hal. 452).
h) jika ternyata wanita yang
dimut'ah telah bersuami ataupun seorang pelacur, maka mut'ah tidak terputus
dengan sendirinya
Jika seorang pria hendak melamar seorang
wanita untuk menikah mut'ah dan bertanya tentang statusnya, maka harus percaya
pada pengakuan wanita itu. Jika ternyata wanita itu berbohong, dengan
mengatakan bahwa dia adalah gadis tapi ternyata telah bersuami maka menjadi
tanggung jawab wanita tadi.
Dari Aban bin Taghlab berkata: aku
bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang
wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali
dia adalah pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.
(Al Kafi Jilid 5 Hal. 462).
Ayatullah Ali Al Sistani mengatakan :
Masalah 260: dianjurkan nikah mut'ah
dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia
bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya
tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut'ah bukanlah
syarat sahnya nikah mut'ah. (Al Sistani. Ali. Minhajushalihin. www.al-shia.com. Jilid 3 hal 82).
i)
nikah mut'ah dengan gadis
Dari Ziyad bin Abil Halal berkata : aku
mendengar Abu Abdullah berkata tidak mengapa bermut'ah dengan seorang gadis
selama tidak menggaulinya di qubulnya, supaya tidak mendatangkan aib bagi
keluarganya. (Al Kafi jilid 5 hal 462).
j) nikah mut'ah dengan
pelacur
Diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan
wanita pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di atas bahwa wanita yang
dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa wanita baik-baik
tentunya diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang pekerjaannya adalah
menyewakan dirinya.
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani mengatakan
:
Masalah 261: diperbolehkan menikah mut'ah
dengan pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya jika wanita itu dikenal sebagai
pezina maka sebaiknya tidak menikah mut'ah dengan wanita itu sampai dia
bertaubat. (Minhajushalihin. Jilid 3 Hal. 8)
j) pahala yang
dijanjikan bagi nikah mut'ah
Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku
bertanya pada Abu Abdullah, apakah orang yang bermut'ah mendapat pahala?
Jawabnya: jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka
setiap lelaki itu berbicara padanya pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai
balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti diberi
pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti Allah mengampuni sebuah dosa
sebagai balasannya, jika dia mandi maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak
jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi. Aku bertanya :
sebanyak jumlah rambut? Jawabnya: Ya, sebanyak jumlah rambut. (Man La
yahdhuruhul faqih. Jilid 3. Hal 464).
Abu Ja'far berkata "ketika Nabi
sedang isra' ke langit berkata: Jibril menyusulku dan berkata: wahai Muhammad,
Allah berfirman: Sungguh Aku telah mengampuni wanita ummatmu yang mut'ah. (Man
La Yahdhuruhul Faqih jilid 3 hal 464).
k) hubungan warisan
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam
bukunya menuliskan: Masalah 255: Nikah mut'ah tidak mengakibatkan
hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat,
berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai
mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini. (Minhajushalihin. Jilid 3 Hal.
80).
l) nafkah
Wanita yang dinikah mut'ah tidak berhak
mendapatkan nafkah dari suami.
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut'ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut'ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut'ah atau akad lain yang mengikat. (Minhajus shalihin. Jilid 3 hal 80).
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut'ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut'ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut'ah atau akad lain yang mengikat. (Minhajus shalihin. Jilid 3 hal 80).
Begitulah gambaran mengenai fikih nikah
mut’ah.
Rukun nikah mut’ah menurut Syiah Imamiah ada empat:
1.
Shighat, seperti ucapan : "aku nikahi
engkau", atau "aku
mut’ahkan engkau".
2.
Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau
kitabiah.
3.
Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu
genggam gandum.
4.
Jangka waktu tertentu.
2. Hukum Islam Tentang Nikah Mut’ah
Kawin mut’ah ini pernah diperkenankan oleh Rasulullah
SAW sebelum stabilnya syariah Islamiah, yaitu ketika dalam bepergian dan
peperangan, kemudian diharamkannya untuk selama-lamanya.
Rahasia dibolehkannya kawin mut’ah waktu itu, ialah
karena masyarakat Islam waktu itu masih dalam suatu perjalanan yang kita
istilahkan dengan masa transisi, masa peralihan dari jahiliyah kepada Islam.
Sedang perzinaan di masa jahiliah merupakan satu hal yang biasa dan tersebar
dimana-mana.
Maka setelah Islam datang dan menyerukan kepada
pengikutnya untuk pergi berperang, dan jauhnya mereka dari isteri merupakan
suatu penderitaan yang cukup berat.
Sebagian mereka ada yang imannya kuat dan ada pula
yang lemah. Yang imannya lemah, akan mudah untuk berbuat zina sebagai suatu
perbuatan yang keji dan cara yang tidak baik.
Dengan demikian, maka dibolehkannya kawin mut’ah
adalah sebagai suatu jalan untuk mengatasi problema tersebut dan merupakan
jenjang menuju diundangkannya hukum perkawinan yang sempurna, di mana dengan
hukum tersebut akan tercapailah seluruh tujuan perkawinan seperti:
terpeliharanya diri, ketenangan jiwa, berlangsungnya keturunan, kecintaan,
kasih-sayang dan luasnya daerah pergaulan kekeluargaan karena perkawinan itu.
Sebagaimana al-Quran telah mengharamkan khamar dan
riba dengan bertahap, di mana kedua hal tersebut telah terbiasa dan tersebar
luas di zaman jahiliah, maka begitu juga halnya dalam masalah haramnya
kemaluan, Rasulullah tempuh dengan jalan bertahap juga. Misalnya tentang
mut’ah, dibolehkannya ketika terpaksa, setelah itu diharamkannya.
Dalil yang mengharamkan nikah mut’ah adalah :
1.
Hadits Rasulullah SAW
Dalil hadits yang mengaramkannya pun jelas dan shahih
lagi. Sehingga tidak alasan bagi kita saat ini untuk menghalalkannya.
Dari Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Wahai
manusia, dahulu aku mengizinkan kamu nikah mut'ah. Ketahuilah bahwa Allah SWT
telah mengharamkannya sampai hari kiamat." (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu
Majah).
2.
Ijma’ Seluruh Ummat Islam
Seluruh umat Islam telah sampai pada posisi ijma'
tentang pengharamannya. Semua sepakat menyatakan bahwa dalil yang pernah
menghalalkan nikah mut’ah itu telah dimansukhkan sendiri oleh Rasulullah SAW.
Tak ada satu pun kalangan ulama ahli sunnah yang menghalalkannya.
3.
Ali bin Abi Thalib sendiri telah mengharamkan nikah
Mut’ah
Dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW telah
mengharamkan menikah mut'ah dengan wanita pada perang Khaibar dan makan himar
ahliyah (keledai). (HR. Bukhari dan Muslim).
4.
Al-Baihaqi menaqal dari Ja'far bin Muhammad bahwa
beliau ditanya tentang nikah mut'ah dan jawabannya adalah bahwa nikah mut'ah
itu adalah zina itu sendiri.
5.
Mut’ah Tidak Sesuai Dengan Tujuan Pernikahan
Selain itu nikah mut'ah sama sekali tidak sejalan
dengan tujuan dari pernikahan secara umum, karena tujuannya bukan membangun
rumah tangga sakinah. Sebaliknya tujuannya semata-mata mengumbar hawa nafsu
dengan imbalan uang.
6.
Mut’ah Tidak Berorientasi Untuk Mendapatkan Keturunan
Apalagi bila dikaitkan bahwa tujuan pernikahan adalah
untuk mendapatkan keturunan yang shalih dan shalihah. Semua itu jelas tidak
akan tercapai lantararan nikah mut'ah memang tidak pernah bertujuan untuk
mendapatkan keturunan.
Tetapi untuk menikmatan seksual sesaat. Tidak pernah
terbersit untuk nantinya punya keturunan dari sebuah nikah mut’ah.
7.
Ibnu Umar ra merajam pelaku nikah mut’ah.
Ungkapan bahwa nikah mut’ah itu adalah zina dibenarkan
oleh Ibnu Umar. Dan sebagai sebuah kemungkaran, pelaku nikah mut’ah diancam
dengan hukum rajam, karena tidak ada bedanya dengan zina.
8.
Nikah Mut’ah Identik Dengan Penyakit Kelamin Yang
Memalukan
Dan dampak negatif dari nikah mut'ah ini seperti yang
banyak didapati kasusnya adalah beredarnya penyakit kelamin semacam spilis,
raja singa dan sejenisnya di kalangan mereka yang menghalalkannya. Karena pada
hakikatnya nikah mu'tah itu memang zina.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Nikah yaitu, seorang laki-laki mengadakan aqad
(pejanjian) dengan seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’
(bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat memperoleh keturunan dan tujuan lain
yang merupakan maslahat nikah.
2.
Yang dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu
tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa
harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka
dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.
3.
Nikah mut’ah haram hukumnya, baik menurut hukum Islam
(ahlus sunnah) maupun hukum yang berlaku di Indonesia. Karena tujuannya adalah
untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang
melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama
dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan.
DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman Rasjid, 1998. Fiqh Islam. Sinar Baru
Algensindo: Bandung
http//blog.vbaitullah.or.id
Hakekat Tersembunyi Syiah Imamiyah - mrshiaa@gmail.com
http//www.nurmadinah.com
http//mahkamahsyariahaceh.go.id
http//www.canboyz.co.cc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar