NIKAH SIRIH DALAM PANDANGAN ISLAM
BAB I
PENDAHULAAN
A.
Latar
Belakang
Allah menciptakan sesuatu dengan pasang-pasangan,
laki-laki perempuan , hewan jantan dan betina, siang dam malam dan sebagainya, manusia
hidup berpasangan-pasangan menjadi suami istri menbangun rumah tangga yang
damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kekal
dan tidak mudah diputuskan, yaitu ikatan akad nikah atau
ijab Kabul perkawinan. Bila akad nikah telah dilangsungkan maka
mereka telah berjanji dan setia akan membangun rumah tangga yang sakinah dan
mawadah warohmah, yang natinya akan akan lahir keturunan-keturunan dari mereka.
Dalam hukum islam tujuan perkawianan adalah
menjalankan perintah allah SWT agar meperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat, dan membentuk keluarga yang bahagia. Artinya ketika seseorang
memutuskan untuk menikah, maka lembaga perkawinan tersebut pastilah bertujuan
untuk untuk menciptakan ketenangan. Dan kedamaian bagi manusia yang telah
mampuh unuk melaksanakannya. Sebagai firman allah :
ﻴﺎﻤﻌﺳﺮﺍﻟﺷﺎﺐ ﻤﻦ ﺍﺳﺘﻁﺎﻉ ﻤﻧﻛﻢ ﺍﻟﺑﺎﺀﺓ
ﻓﻠﻴﺘﺯ ﻮﺝ
“hai sekalian pemuda . siap yang sanggup bersetubu
(Karena ada belanja nika), hendaklah berkawin”
ﻓﺎﻧﻛﺣﻮ ﺍﻤﺎ ﻂﺎﺐ ﻠﻛﻢ ﻤﻦ ﺍﻠﻧﺴﺂﺀﻤﺛﻦ ﻮﺛﻠﺚ
ﻮﺮﺑﺎﻉ ﺨﻔﺗﻡ ﺍﻻﺗﻌﺪ ﻠﻮ ﺍﻔﻮ ﺍﺣﺫﺓ﴿ ﺍﻠﻧﺳﺎﺀ :٣﴾
“ Maka kawianlah perempuan yang kamu sukai, satu, dua,
tiga dan emapat, tetapi kalau kamu kautir tidak berlaku adil (diantara
prempuan-prempuan Itu), hendaklah satu saja”(QS.Anisa.ayat 3)
Dalam firman Allah SWT dan sabda rosulnya mengajukan
perkawinan. yang diatas sudah jelas.
Namun akhir ini banyak temuan kasus perkawinan sirih
di berbagai kalangan, misalnya media cetak, maupun media elektronik dalam acara
infotemen dalam siaran TV swasta, banyak sekali tayangan-tanyangan maraknya
tentang perkawinan sirih mulai dari kalangan tokoh politik, selebritis maupun
masyarakat biasa, meski perkawinan tersebut sah menurut agama namun belum tentu
secara hukum.
Berdarakan uraian latarbelakang diatas, maka penulis
merasa perlu untuk mengangkatnya dalam suatu judul makalah Yaitu: “
Nikah Siri Menuruut Pandangan Ulama Dan Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif Indonesia”.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nikah siri?
2. Bagaimana tata cara pernikahan menurut islam?
3. Faktor apa saja yang melatarbelakangi
terjadinya nika siri?
4. Sah tidaknya nikah siri menurut hukum agama
dan hukum positif indonesia ?
5. Bagaimana pandangan para ulama tentang nikah
sirih?
6. Bagai mana dampak yang ditimbulkan dari nikah
siri terhadap perempuan dan
anaknya?
C.
Maksud dan
Tujuan
1. Agar kita mengetahui yang dimaksud niakah
siri.
2. Agar kita mengetahui tata cara pernikahan
menurut islam.
3. Agar kita mengetahui sah tidahnya nikah sirih
menurut hukum islam dan
Hukum Posotif indonesia.
4. Agar kita mengetahui bagaimana pandangan ualam
tentang nikah siri.
5. Agar kita mengetahui faktor apa saja yang
melatarbelakangi terjadinya nikah
siri.
6. Agar kita mengetahui dampak yang ditimulkan
dari nikah siri terhadap
perempuan dan anaknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nikah Siri
Perkawinan adalah aqad antara calon laki istri untuk
memenuhi hajat jenis kelamin yang diatur oleh syari’at. Sedangkan pengertian
dari ikah siri adalah nikah secara rahasia (sembunyi-sembuyi). Disebut secara
rahasia karena tidak dilaporkan kekantor urusan agama atau KUA bagi muslim atau
kantor catatan sipil bagi non muslain.
Biasanya nikah siri dilakukan karena dua pihak belum
siap meresmikannya atau meramaikannya, namun dipihak lain untuk menjadi agar
tidak terjadi hal-hal yag tidak dinginkan atau terjerumus kepada hal-hal yang
dilarang agama.
Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah
siri adalah nikah yang tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan
pernikahannya ke KUA dengan tiga imam madzab lainnya. Beliau menetapkan bahwa
wanita yang telah baligh dan berakal (dalam kondisi normal) maka diperbolehkan
memilih sendiri calon suaminya. Dia tidak hanya tergantung pada walinya saja.
Lebih lanjut beliau menjelaskan wanita baligh dan berakal juga diperbolehkan
aqad nikah sendiri baik dalam kondisi perawan atau janda
B. Bagaimana
Tata Cara Pernikahan Menurut Islam
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada
pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau
aturan-aturan Allah Subhanallah. Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah,
tidak akan memilih tata cara yang lain.
Namun di masyarakat kita, hal ini tidak banyak
diketahui orang. Kami akan mengungkap tata cara penikahan sesuai dengan Sunnah
Nabi Muhammad SAW yang hanya dengan cara inilah kita terhindar dari jalan yang
sesat (bidah).
Jelas tentang ajaran agamanya karena meyakini
kebenaran yang dilakukannya. Dalam masalah pernikahan sesunggguhnya Islam telah
mengatur sedemikian rupa. Dari mulai bagaimana mencari calon pendamping hidup
sampai mewujudkan sebuah pesta pernikahan.
Berikut ini kami akan membahas tata cara pernikahan
menurut Islam secara singkat.Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Sebelum Menikah
1. Minta
Pertimbangan
Bagi seorang lelaki sebelum ia memutuskan untuk
mempersunting seorang wanita untuk menjadi isterinya, hendaklah ia juga minta
pertimbangan dari kerabat dekat wanita tersebut yang baik agamanya. Mereka
hendaknya orang yang tahu benar tentang hal ihwal wanita yang akan dilamar oleh
lelaki tersebut, agar ia dapat memberikan pertimbangan dengan jujur dan adil.
Begitu pula
bagi wanita yang akan dilamar oleh seorang lelaki, sebaiknya ia minta
pertimbangan dari kerabat dekatnya yang baik agamanya.
2. Shalat
Istikharah
Setelah mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana
calon isterinya, hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai hatinya diberi
kemantapan oleh Allah Taala dalam mengambil keputusan. Shalat istikharah adalah
shalat untuk meminta kepada Allah Taala agar diberi petunjuk dalam memilih mana
yang terbaik untuknya. Shalat istikharah ini tidak hanya dilakukan untuk
keperluan mencari jodoh saja, akan tetapi dalam segala urusan jika
seseorang mengalami rasa bimbang untuk mengambil
suatu keputusan tentang urusan yang penting. Hal ini untuk menjauhkan diri dari
kemungkinan terjatuh kepada penderitaan hidup. Insya Allah ia akan mendapatkan
kemudahan dalam menetapkan suatu pilihan.
3. Khithbah
(peminangan)
Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan
wanita pilihannya, maka hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut harus
menghadap orang tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk menyampaikan kehendak
hatinya, yaitu meminta agar ia direstui untuk menikahi anaknya. Adapun wanita
yang boleh dipinang adalah bilamana memenuhi dua syarat sebagai berikut, yaitu:
a. Pada waktu
dipinang tidak ada halangan-halangan.
syari yang menyebabkan laki-laki dilarang
memperisterinya saat itu. Seperti karena suatu hal sehingga wanita tersebut
haram dini kahi selamanya(masih mahram) atau sementara (masa iddah/ditinggal
suami atau ipar dan lain-lain).
b. Belum
dipinang orang lain secara sah
Sebab Islam mengharamkan seseorang meminang pinangan
saudaranya. Dari Uqbah bin Amir radiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: "Orang mukmin adalah saudara orang mukmin yang
lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin menjual barang yang sudah dibeli
saudaranya, dan tidak halal pula meminang wanita yang sudah dipinang
saudaranya, sehingga saudaranya itu meninggalkannya." (HR. Jamaah) Apabila seorang wanita memiliki dua syarat di
atas maka haram bagi seorang laki-laki untuk meminangnya.
4. Melihat Wanita yang Dipinang
Islam adalah agama yang hanif yang mensyariatkan
pelamar untuk melihat wanita yang dilamar dan mensyariatkan wanita yang dilamar
untuk melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing- masing pihak benar-benar
mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan pasangan hidupnya Dari Jabir
radliyallahu anhu, bersabda : Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
"Apabila salah seorang di antara kalian meminang
seorang wanita, maka apabila ia mampu hendaknya ia melihat kepada apa yang
mendorongnya untuk menikahinya."
Jabir berkata: "Maka aku meminang seorang budak
wanita dan aku bersembunyi untuk bisa
melihat apa yang mendorong aku untuk
menikahinya. Lalu aku menikahinya." (HR. Abu Daud dan dihasankan
oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud, 1832).
Adapun ketentuan hukum yang diletakkan Islam dalam
masalah melihat pinangan ini di antaranya adalah:
a. Dilarang berkhalwat dengan laki-laki peminang tanpa
disertai mahram.
b. Wanita yang dipinang tidak boleh berjabat tangan
dengan laki- laki yang meminangnya
5. Aqad Nikah
Dalam aqad
nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
a. Adanya
suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya
ijab qabul. Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan.
Qabul artinya menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya
seseorang menyatakan sesuatu kepada
lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima. Dalam perkawinan
yang dimaksud dengan "ijab qabul" adalah seorang wali atau wakil dari
mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak perempuannya/ perempuan
yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang mengambil
perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan
menerima pernikahannya itu.
c. Adanya
Mahar (mas kawin)
Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang
hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin). Islam tidak menetapkan
batasan nilai tertentu dalam mas kawin ini, tetapi atas kesepakatan kedua belah
pihak dan menurut kadar kemampuan. Islam juga lebihmenyukai mas kawin yang mudah dan sederhana serta tidak
berlebih-lebihan dalam memintanya.
Dari Uqbah bin Amir, bersabda Rasulullah
shallallahualaihi wa sallam:
"Sebaik-baik mahar adalah yang paling
ringan."
(HR.Al-Hakim dan Ibnu Majah, shahih, lihat Shahih
Al-Jamius Shaghir 3279 oleh Al-Albani)
d. Adanya
Wali
Dari Abu Musa radliyallahu anhu, Nabi
shallallahualaihi wa sallam bersabda:
"Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali."
(HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi
Dawud.
Wali yang mendapat prioritas pertama di antara
sekalian wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada
barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau
seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat
terdekat yang lainnya atau hakim.
e. Adanya
Saksi-Saksi
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang
adil." (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih
Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).
Menurut sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam,
sebelum aqad nikah diadakan khuthbah lebih dahulu yang dinamakan khuthbatun
nikah ataukhuthbatul-hajat.
6. Walimah
Walimatul Urus hukumnya wajib. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaih wa sallam kepada
Abdurrahman bin Auf:"....Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor
kambing." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan
Abu Dawud no. 1854)
Memenuhi undangan walimah hukumnya juga
wajib."Jika kalian diundang walimah, sambutlah undangan itu (baik undangan
perkawinan atau yang lainnya).
Barangsiapa yang tidak menyambut undangan itu berarti
ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR. Bukhari 9/198,
Muslim 4/152, dan Ahmad no. 6337 dan Al-Baihaqi 7/262 dari Ibnu Umar).
Akan tetapi tidak wajib menghadiri undangan yang
didalamnya terdapat maksiat kepada Allah Taala dan Rasul-Nya, kecuali dengan
maksud akan merubah atau menggagalkannya. Jika telah terlanjur hadir,
tetapi tidak mampu untuk merubah atau menggagalkannya maka
wajib meninggalkan tempat itu. Dari Ali
berkata: "Saya membuat makanan maka aku mengundang Nabi shallallahu
?alaihi wa sallam dan beliaupun datang. Beliau masuk dan melihat tirai yang
bergambar maka beliau keluar dan bersabda:
"Sesungguhnya malaikat tidak masuk suatu rumah
yang di dalamnya ada gambar." (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah, shahih, oleh
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii.
Adapun Sunnah yang harus diperhatikan ketika
mengadakan walimah adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan selama 3 (tiga) hari setelah hari dukhul
(masuk- nya)
2. Hendaklah mengundang orang-orang shalih, baik
miskin atau kaya
3. Sedapat mungkin memotong seekor kambing atau lebih,
sesuai dengan taraf
ekonominya.
C. Faktor
Yang Melatarbelakangi Terjadinya Nika Siri
Bermacam alasan yang melatarbelakangi seseorang
melakukan nikah siri. Ada yang menikah karena terbentur ekonomi,
sebab sebagian pemuda tidak mampu menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah
milik dan harta gono gini,
maka mereka memilih menikah dengan cara misyar yang
penting halal, hal ini terjadi di sebagian besar Negara Arab . Adajuga
yang tidak mampu mengeluarkan dana untuk mendaftarkan diri ke KUA yang
dianggapnya begitu mahal. Atau malah secara finansial pasangan ini cukup untuk
membiayai, namun karena khawatir pernikahannya tersebar luas akhirnya
mengurungkan niatnya untuk mendaftar secara resmi ke KUA atau catatan sipil.
Hal ini untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman
administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi
pegawai negeri dan TNI).
Menurut psikolog Ekorini Kuntowati, nikah
siri juga dilatarbelakangi oleh model keluarga masing-masing pasangan.
Pernikahan siri ataupun bukan, tidak menjadi jaminan untuk mempertahankan
komitmen. Seharusnya orang lebih bijak, terutama bila hukum negara tidak
memfasilitasinya. Nikah siri terjadi bukan hanya karena motivasi dari
pelaku/pasangan atau latar belakang keluarganya, lingkungan sosial atau nilai
sosial juga turut membentuknya. Sebut saja ketika biaya pencatatan bikah
terlalu mahal sehingga ada kalangan masyarakat tak mampu tidak memedulikan
aspek legalitas.
Faktor lain, ada kecenderungan mencari celah-celah
hukum yang tidak direpotkan oleh berbagai prosedur pernikahan yang dinilai
berbelit, yang penting dapat memenuhi tujuan, sekalipun harus rela mengeluarkan
uang lebih banyak dari seharusnya. UU 1/1974 tentang Perkawinan beserta
peraturan pelaksanaannya mengatur syarat yang cukup ketat bagi seseorang atau
pegawai negeri sipil (PNS) yang akan melangsungkan pernikahan untuk kali kedua
dan seterusnya, atau yang akan melakukan perceraian. Syarat yang ketat itu,
bagi sebagian orang ditangkap sebagai peluang ''bisnis'' yang cukup
menjanjikan. Yaitu dengan menawarkan berbagai kemudahan dan fasilitas, dari
hanya menikahkan secara siri (bawah tangan) sampai membuatkan akta nikah asli
tapi palsu (aspal). Bagi masyarakat yang berkeinginan untuk memadu, hal itu
dianggap sebagai jalan pintas atau alternatif yang tepat. Terlebih, di tengah
kesadaran hukum dan tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang relatif
rendah.
Tidak dipersoalkan, apakah akta nikah atau tata cara
perkawinan itu sah menurut hukum atau tidak, yang penting ada bukti tertulis
yang menyatakan perkawinan tersebut sah. Penulis menyebut fenomena itu sebagai
''kawin alternatif''.
D. Sah
Tidaknya Nikah Siri Menurut Hukum Agama Dan Hukum Positif Indonesia
1. Hukum Agama
Hukum nikah sirih hukum nikah siri secara agama adalah
sah atau legal dan dihalalkan atau diperbolehkan jika sarat dan rukun nikanya
terpenuhi pada saat ini nikah sirih digelar. Rukun nikah yaitu 1). Adanya kedua
mempelai ,2) adanya wali, 3) adanay saki nika, 4) adanay mahar atau ma kawin,
5) adanay ijab gobul atau akad.
2. Hukum Positif Indonesia
Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun
1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan
dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut
UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU
Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada
pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: "(1) Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku."
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi
syarat dan rukun nikah atau ijab kabultelah dilaksanakan (bagi umat Islam)
atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka
perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan
masyarakat.
Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan
kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini
ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan
perkawinan . Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam
pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari
adanya perkawinan tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI "perkawinan hanya dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah").
Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan dilakukan di kantor
Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta Perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II
Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang
melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA.
Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan
kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9
tahun 1975. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau
tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan
akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah
dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU. Lalu setelah
dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan
suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan
menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat
yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum .
E. Bagaimana
Pandangan Para Ulama Tentang Nikah Siri
Menurut pandangna mahzab hanfi dan hambali suatu
penikahan yang sarat dan rukunya mka sah menurut agama islam walaupun pernikah
itu adalah pernikahn siri. Hal itu sesuai dengan dalil yang berbunyi :
artinya “takutlah kamu terhadap wanita, kamu ambil
mereka (dari orang tuanya) dengan amanah allah dan kamu halalkan percampuran
kelamin dengan mereka dengan kalimat allah(ijab qabul”)(rohil muslaim).
Sedangkan menurut kiayai hisen muhamad seorang
komisioner komnas prempuan mnyatakan pernikahan pria dewasa dengan wanita
secara sirih merupakan pernikahan terlarang karena pernikahn tersebut dapat
merugikan si perempauan, sedangkan islam jusru melindungi prempuan bukan malah
merugikannya.
Menurut kalangan Ulama Syiah memang membolehkan cara
pernikahan seperti itu. Yaitu nikah siri, sebih baik ketimbang berjinah yang
sangat dilaknat oleh Allat SWT.
Kalangan Ulama Suni di Indonesia yang berpendapat
bahwa Nikah sirih adalah Halal berdasarkan nash Al Qur’an (Anisa:3), dan bahkan
tidak sedikit diantaranya yang melakukannya, bukan semata-mata karena kebutuhan
seksual, tetapi guna menunjukan ke-halalan Nikah sirih itu sendiri.
F. Bagaimana
Dampak Yang Ditimbulkan Dari Nikah Siri Terhadap
Perempuan Dan Anaknya
R Valentina, dalam Perihal Perkawinan menulis ,
dampak yang akan timbul dari perkawinan yang tidak dicatatkan secara Yuridis
Formal.
Pertama, perkawinan dianggap tidak sah.
Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara
perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh KUA atau Kantor
Catatan Sipil (KCS).
Kedua, anak hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibu (pasal 42 dan 43 UU Perkawinan). Sedangkan
hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. Ini artinya anak tidak dapat
menuntut hak-haknya dari ayah. Dengan dilahirkan dalam perkawinan yang tidak
dicatatkan, kelahiran anak menjadi tidak tercatatkan pula secara hukum dan hal
ini melanggar hak asasi anak (Konvensi Hak Anak). Anak-anak ini berstasus anak
di luar perkawinan.
Ketiga, akibat lebih jauh dari perkawinan
yang tidak tercatat adalah, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan
sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama di luar perkawinan, dan ini
sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi
kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang
tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak luar kawin
yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai
hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak
mempunyai bapak (Wila Chandrawila, 2001). Sebenarnya, tidak
ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika
kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu
kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi
hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan dan anak-anak.
Bersinggungan dengan pentingnya pencatatan perkawinan,
seperti juga pembuatan KTP atau SIM, kita sesungguhnya membicarakan
pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab negara. Sehingga sudah semestinya
memperhatikan prinsip good governance, salah satunya adalah menetapkan biaya
yang sesuai dengan taraf kehidupan masyarakat dan prosedur yang tidak
berbelit-belit (user-friendly). Dengan prosedur yang tidak berbelit-belit dan
biaya yang sesuai masyarakat diajak untuk mencatatkan perkawinannya.
G. Pengertian poligami , Nikah Siri dan kawin
Kontrak
Poligami adalah uangkapan bagi seorang lelaki
yang beristri lebih dari satu, dan ini dalam ajaran Islam tidak dilarang meski
untuk melakukannya harus memenuhi syarat dan kriteria tertentu. Dalam
perkembangannya poligami terkadang hanya dijadikan alasan oleh sebagian orang
sebagai legalisasi, namun tidak sedikit penganut poligami yang Rumah tangganya
bahagia karena di dasari dengan ajaran Agama yang diyakini kebenarannya.
Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam
melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun
karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan
secara syah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam hal ini Pemerintah yang
di wakili Departemen Agama.
Kawin Kontrak adalah sebuah perkawinan yang di
batasi waktu sehingga akan berakhir sesuai ketentuan waktu yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri. Kawin
kontrak yang dalam ajaran Islam di kenal dengan Istilah Nikah Mut’ ah yang
dalam perkembangan syari’at Islam nikah model ini telah dilarang.
Ketiga type perkawinan tersebut kini telah digodog
rancangan undang-undangnya oleh Pemerintah yang di wakili oleh Departemen Agama
dengan sebuah Rancangan Undang-undang , yang didalamnya diatur bagi orang yang
melakukannya akan di kenai sangsi hukum. Akankah RUU tersebut efektif,
mungkinkah ini akan menjadi sebuah solusi atau hanya akan menjadi masalah baru
? dalam kehidupan masyarakat kita, setujukah rekan-rekan semua dengan rancangan
Undang-undang tersebut, sesuatu yang di halalkan oleh Tuhan mungkinkah dilarang
oleh Manusia, wallahu Alam.
Berikut cuplikan beberapa pasal tentang draft RUU
tersebut yang menjadi kontroversi
Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang
berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui
bank syariah sebesar Rp 500 juta.
Pasal 143, setiap orang yang dengan sengaja
melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana
dengan ancaman hukuman bervariasi. Mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan
denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Pasal 144, setiap orang yang melakukan
perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal
karena hukum.
Selain mengatur tentang Perkawinan Siri,
Mutah/Kontrak, RUU ini juga mengatur soal perkawinan campur (berbeda
kewarganegaraan).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Pernikah siri adalah nika dibawah tangan atau nikah secara
sembunyi-sembunyi. Disebut secara sembunyi karena tidak dilaporakan kekantor
urusan agama bagi muslaim atau catatan sipil non muslim. Pendapat Imam Abu
Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah sirih adalah nikah yang tidak bisa
menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya.
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada
pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau
aturan-aturan Allah Subhanallah. Penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam yang hanya dengan cara inilah kita terhindar dari
jalan yang sesat (bidah).
Hukum nikah sirih secara aturan agama adalah sah. Dan
dihalalkan atau diperbolehkan jika sarat dan rukun nikanya terpenuhi. Namun
secara hukum yang berlaku di Negara kita tentang perundang-undangan pernikahan
itu tidak sah karena di dalam perundangan ada yang tidak lengkap secara
administrasi.
Dampak yang ditimbulkan dari nikah sirih lebih banyak
faktor kerugaiannya dibandingkan faktor keuntungannya. Kerugaian yang terbesar
dari nikah siri berdampak pada pihak perempuan dan anaknya untuk masa depannya.
Faktor yang melatarbelakangi adanya nikah sirih yaitu
1) faktor ekonomi, 2) proses admisntrasi pernikahan yang dianggap terlalu
sukar, 3) bagi pria yang yang ingin menukah lagi atau poligami tetap tidak
mendapat persetujuan atau disetujui dari istri ke pertama, 4) dari awal baik
siwanita atau pria yang melakukan nikah siri mempunyai itikad tidak baik, hanya
sekedar menghalalkan hubungan persetubuhan saja.
B. Saran
Kepada pemuda pemudi islam tidak mengikuti tata cara
perkawinan sirih karena dapat merugikan. Dan berusaha menghindari pernikahan
sirih. Juga kepada pemerintah melakukan penyuluhan dan dapat menghimbau
masyarakat tentang kerugian nikah siri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar