Sejarah Singkat
Warga Kecamatan Kaliori
merupakan warga yang agamis dan mayoritas beragama Islam, sehingga sebagian
dari praktek kehidupan masyarakat menggunakan hukum Islam. Praktek ini telah
terjadi sejak Islam masuk di wilayah Kaliori. Begitu pula ketika penjajahan
Belanda, karena meskipun dahulu wilayah Kaliori termasuk wilayah yang dijajah
oleh Belanda namun pada saat itu mereka masih memberikan kesempatan terhadap
berlakunya hukum Islam dalam bidang pernikahan. Hal ini karena masalah
pernikahan telah diresiplir ke dalam hukum adat sehingga berlakulah hukum Islam
sebagai hukum perkawinan yang legal bagi umat Islam.
Berlakunya hukum
perkawinan Islam bagi pemeluknya mengakibatkan munculnya lembaga yang mengatur
bidang perkawinan Islam ini sehingga proses pernikahan tidak terjadi secara liar. Sedangkan yang
mengatur perkawinan di desa-desa pada saat itu adalah modin sebagai pemuka
agama setempat. Namun
tentu saja pengaturan ini tidaklah seperti jaman sekarang karena pada saat itu
belum dilakukan pencatatan.
Setelah Indonesia
merdeka dan lahir UU No. 22 Th. 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
untuk wilayah Jawa dan Madura, kemudian disusul dengan lahirnya UU No. 32 Tahun
1954 tentang pembelakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 untuk wilayah Luar
Jawa dan Madura, sehingga setelah berlakunya Undang-Undang tersebut maka
praktis hukum perkawinan produk Hindia Belanda tidak berlaku lagi dan
undang-undang yang berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia baik yang
beragama Islam maupun non Islam, warga pribumi maupun warga keturunan adalah UU
No. 22 Tahun 1946 itu. Lalu UU No. 22 Tahun 1946 ini disempurnakan lagi dengan
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang semakin mengukuhkan eksistensi
lembaga pencatatan nikah di masing-masing wilayah kecamatan yaitu pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar